Islam adalah agama yang datang dengan mewujudkan kebaikan dan mencegah kerusakan.Agama yang luhur ini telah mengatur hubungan kemanusiaan dengan lengkap dan sempurna.Toleransi pun telah ditentukan dengan sebaik-baik ketentuan.
Terdapat kaidah-kaidah agung berkenaan hubungan antar seorang muslim dengan non muslim, diantaranya :
a) Tetap diperhatikan batasan-batasan akidah Islam yang murni dengan dijaganya setiap sisi dari ancaman segala bentuk akidah menyimpang dan pemikiran-pemikiran yang disusupkan ke dalam Islam.Dengan demikian akan terhindar dari sikap tafrifh (meremehkan) prinsip agama, yang sikap ini sangat getol diusung oleh kaum liberal dengan propaganda lintas agama.
b) Tidak melalaikan sikap adil dan berbuat baik kepada non muslim yang memang tidak memerangi kaum muslimin.Dengan demikian akan terhindar dari sikap ifrath (berlebihan), yang sikap ini sangat getol diusung oleh kaum radikal dengan propaganda jihad mereka.
Maka terlihatlah sikap pertengahan (wasath) yang benar pada Islam karena memang ditegakkan di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasul secara utuh.
Diantara ayat Al Qur’an yang mendasari 2 prinsip di atas adalah firman Allah (artinya) : “Telah terdapat suri teladan yang baik bagi kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, manakala mereka berkata kepada kaumnya : “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah.Kami ingkari kalian dan telah tampak permusuhan dan kebencian antara kami dengan kalian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja…” (Al Mumtahanah : 4)
Ini adalah dalil Al Qur’an tentang prinsip ke-1.
Kemudian pada ayat ke-8 dari surat yang sama, Allah berfirman (artinya) : “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan adil terhadap orang-orang (kafir) yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak pula mengusir kalian dari dari kampung kalian.Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil”.
Ini adalah dalil Al Qur’an tentang prinsip ke-2.Bahkan beberapa dalil syar’i menunjukkan ancaman bagi seorang muslim yang mengganggu orang kafir mu’ahad, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam (artinya) : “Ketahuilah ! Barangsiapa menzalimi orang kafir mu’ahad, mengurangi haknya, membebani upeti di luar kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaannya, maka aku akan menundukkan orang tersebut pada hari kiamat”. (HR.Abu Dawud dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Hadits ini adalah salah satu bukti dari sekian bukti yang menunjukkan bahwa Islam sejak kurang lebih 1400 tahun yang lalu telah mengatur HAM dengan sempurna sehingga kita sebenarnya amat tidak butuh terhadap undang-undang HAM buatan orang-orang kafir yang nyatanya tidak lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu.
Para ulama juga telah menjelaskan 2 prinsip ini secara lengkap sehingga tepat penerapannya, diantaranya al-‘Allamah al-Qarrafi rahimahullah di dalam kitab al-Furuq pada Pasal : Penjelasan Tentang Perbedaan Antara Perintah Berbuat Baik Terhadap Ahli Dzimmah Dengan Larangan Mencintai Mereka.Diantara yang beliau kemukakan adalah : “…ditetapkannya perbuatan baik terhadap mereka (ahli dzimmah) dalam setiap perkara tidaklah menunjukkan kecintaan hati dan tidak pula pengagungan syiar-syiar kekufuran.Maka jika sampai menjurus kepada salah satu dari 2 hal ini (kecintaan hati atau pengagungan syiar kekufuran, pen), maka hal ini terlarang”.
Sebagai penerapan makna yang telah disebutkan di sini, maka para ulama telah bersepakat bahwa berpartisipasi dalam perayaan-perayaan orang kafir adalah haram.Termasuk dalam hal ini adalah Perayaan Natal & Tahun Baru yang tidak ragu lagi bahwa keduanya adalah perayaan orang-orang kafir.
Ucapan Para Ulama Tentang Larangan Bagi Seorang Muslim Ikut Merayakan Hari Besar Orang-orang Kafir
Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata : “Jauhilah musuh-musuh Allah (Yahudi dan Nashara) dalam perayaan mereka di hari berkumpulnya mereka.Sesungguhnya murka Allah turun kepada mereka dan aku khawatir murka itu akan menimpa kalian…” (Syu’abul Iman karya al-Baihaqi)
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata : “Dibenci berkendara bersama mereka di atas kapal yang mereka kendarai untuk hari raya mereka karena turunnya murka dan laknat Allah kepada mereka”.
Abdul Malik bin Hubaib rahimahullah dari mazhab Maliki berkata : “Tidak halal bagi kaum muslimin untuk menjual apa pun kepada orang-orang Nashara terkait kebutuhan hari raya mereka, baik daging, lauk maupun pakaian. Tidak pula meminjamkan kendaraan tunggangan dan membantu suatu perkara dari agama mereka, karena hal itu termasuk pengagungan terhadap kesyirikan mereka dan membantu kekufuran mereka.Wajib bagi penguasa wilayah untuk melarang kaum muslimin dari hal itu.Ini adalah ucapan al-Imam Malik dan selain beliau.Aku tidak tahu adanya seorang pun dari ulama yang menyelisihinya”.
Al-‘Allamah at-Turkmani rahimahullah dari mazhab Hanafi berkata : “Para imam telah bersepakat atas apa yang dipersyaratkan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan segenap para sahabat bahwa Ahlul Kitab tidak diperbolehkan untuk menampakkan perayaan dan syiar mereka di negeri-negeri muslimin.Jika syariat telah melarang mereka dari hal itu, maka barangsiapa yang tidak mengingkari mereka dalam menampakkan hal itu, berpartisipasi dalam suatu perkara dari kegiatan mereka dan membantu mereka dalam peminjaman suatu barang atau memperbanyak jumlah mereka, orang tersebut akan dikumpulkan bersama mereka (pada hari kiamat)”.
Sederetan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa orang yang mencocoki orang-orang kafir dalam perayaan mereka layak untuk dikenai hukuman (ta’zir).Demikian dikatakan di dalam kitab an-Najmu al-Wahhaj karya ad-Dimyari, Mughni al-Muhtaj karya asy-Syarbini dan Asna al-Mathalib karya Abu Zakariya al-Anshari dan selain mereka.
Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah berkata : “…Dan ketahuilah bahwa tidak ada pada masa Salaf yang terdahulu dari kalangan muslimin, seseorang yang berpartisipasi dengan mereka dalam sesuatu pun dari perayaan mereka.Seorang mukmin yang hakiki adalah seseorang yang meniti jalan as-Salaf ash-Shalihin, menempuh jejak-jejak junjungan para Nabi, mengambil petunjuk orang-orang yang telah Allah beri kenikmatan kepada mereka baik dari kalangan para Nabi, shiddiqin, syuhada’ maupun shalihin.Semoga Allah menjadikan kita termasuk dari golongan mereka dengan karunia dan kemurahan-Nya.Sesungguhnya Dia adalah Zat Yang Maha Dermawan dan Pemurah”.
Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah berkata : “…Dalam meniru orang-orang kafir itu terdapat kerusakan juga : Bahwa anak-anak muslimin tumbuh dengan kecintaan terhadap perayaan-perayaan kufur ini karena apa yang dibuat di perayaan-perayaan itu berupa hiburan, pakaian, makanan, roti yang dibuat bulat pipih dan selainnya.Betapa buruknya sebagai seorang pendidik, wahai anda seorang muslim ! Manakala anda tidak mencegah istri dan putra-putri anda dari hal itu.Tidak mengenalkan kepada mereka bahwa itu adalah milik orang-orang Nashara yang tidak halal bagi kita untuk berpartisipasi dan menyerupai mereka dalam perayaan-perayaan itu”.
Jika adz-Dzahabi yang hidup lebih dari 600 tahun yang lalu sudah berbicara seperti itu tentang pengawasan orang tua terhadap putra-putrinya terkhusus adanya perayaan-perayaan orang kafir, maka bagaimana kalau seandainya beliau menyaksikan keadaan orang tua muslimin di zaman kita ?! Seiring itu kita dapati di negeri yang mayoritas muslimin ini perayaan Natal dan Tahun Baru selalu bertepatan dengan liburan sekolah dan penanggalan merah.Saat seperti itu sangat besar mendorong putra-putri muslimin ikut berpartisipasi dalam perayaan orang kafir, terutama perayaan Tahun Baru.Apalagi sekian banyak orang tua muslimin masih menganggap perayaan Tahun Baru bukanlah perayaan orang-orang kafir.
Al-Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah dari mazhab Hambali berkata tentang orang yang melakukan apa yang seperti orang kafir lakukan di perayaan mereka : “Mereka (para ulama) bersepakat un tuk mengingkari hal itu dan mewajibkan untuk menjatuhi hukuman terhadap orang yang melakukannya”.
Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Dan adapun mengucapkan selamat atas syiar-syiar yang memang identik dengan kekufuran, maka hukumnya haram dengan kesepakatan para ulama.Semisal : mengucapkan selamat atas perayaan dan puasa mereka dengan berkata : “Perayaan yang berbarakah” atau “Selamat Hari ini atau itu” dan yang semisalnya.Maka hal ini jika pengucapnya sekalipun selamat dari kekufuran , maka ucapan itu termasuk diharamkan.Keadaannya seperti orang yang memberi selamat terhadap orang kafir atas sujudnya dia kepada salib.Bahkan hal itu lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih keras murka-Nya dibandingkan ucapan selamat atas seseorang yang meminum khamr, membunuh jiwa, menodai kemaluan yang terlarang dan semisalnya.Banyak manusia yang agama itu tidak memiliki nilai di hadapannya terjatuh dalam perkara ini, tidak mengetahui buruknya perbuatan yang ia lakukan.Barangsiapa mengucapkan selamat kepada seseorang atas suatu kemaksiatan, kebid’ahan atau kekufuran, maka dirinya terancam dengan murka Allah dan kemarahan-Nya…”
Dengan demikian bukanlah termasuk toleransi yang dibenarkan Islam jika seorang muslim mengucapkan selamat Hari Natal atau perayaan-perayaan orang kafir lainnya, bahkan hal itu merupakan perkara yang dilarang dan diharamkan oleh Islam.Seorang muslim hendaknya takut kepada Allah atas ucapan dan perbuatan dosanya karena kelak dirinya akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah yang amat pedih siksanya.Janganlah dirinya takut kepada manusia hingga harus mengikuti kemauan mereka karena sesungguhnya mereka tidak akan bersedia sedikit pun menjadi pembela atau menanggung dosa dirinya kelak di hari kiamat, bahkan mereka niscaya akan berlepas diri.Hendaknya yang ia cari adalah ridha Allah sekalipun manusia murka kepadanya, dan bukan ridha manusia sekalipun Allah murka kepadanya.Ingatlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam (artinya) : “Barangiapa yang mencari ridha Allah sekalipun mendatangkan murka manusia, maka Allah ridha dan menjadikan manusia akhirnya ridha kepadanya.Barangsiapa mencari ridha manusia sekalipun mendatangkan murka Allah, maka Allah akan murka dan menjadikan manusia akhirnya murka kepadanya”. (Hadits ini dikatakan oleh al-Albani : Sahih lighairihi)
Namun setelah penjelasan ini, apakah seseorang yang mengaku sebagai muslim yang beriman kepada Allah dan dahsyatnya Hari Kiamat masih saja ikut merayakan Hari Natal atau perayaan-perayaan orang kafir termasuk Tahun Baru ? Waktu, tenaga dan harta begitu banyak terbuang sia-sia hanya untuk kesenangan sesaat di dunia dan menjerumuskan ke dalam dosa jika ia tetap melakukan hal itu.
Wallahu a’lamu bish-Shawab