Pada edisi terdahulu telah dibahas bahwa merebaknya zina merupakan salah satu sebab Allah menurunkan ujian berupa penyakit – penyakit yang tidak dikenal sebelumnya. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan pernikahan sebagai ibadah mulia sekaligus sebagai solusi bagi umat manusia ketika Allah mengharamkan zina.
Pernikahan sangatlah sakral. Oleh karena itu, Syaikh as-Sa’dy dalam karya beliau Irsyad Ulil Bashair menjelaskan ada beberapa hukum istimewa dari pernikahan yang membedakannya dengan akad – akad lain, diantaranya :
Menikah merupakan suatu perkara yang sangat dianjurkan dan merupakan sunnah/tuntunan dan ajaran para nabi dan rasul ‘alaihimus shalatu was salam sebagaimana dalam firman Allah ta’ala (artinya) :
“Sungguh kami telah mengutus para rasul dan kami jadikan bagi mereka istri – istri dan anak keturunan.” (Ar Ra’d 38)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (artinya ) : “ Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian memiliki kemampuan maka hendaklah menikah…” (HR.al-Bukhari dan Muslim)
Kapan seseorang diwajibkan untuk menikah ?
Jika seseorang memiliki kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan jika tidak menikah maka dia akan terjerumus pada perbuatan zina
Ada dua kemungkinan. Bisa jadi dia sebenarnya setuju dan gembira namun kegembiraannya diluapkan dengan menangis atau dia setuju namun di sisi lain bersedih dan menangis karena tahu akan berpisah dengan kedua orang tuanya. Jika ini yang terjadi maka proses bisa dilanjutkan.
Kemungkinan kedua menangisnya karena ketidaksetujuan dengan proses yang sedang berlangsung maka dalam hal ini proses dihentikan.
Peringatan : penyebutan keadaan sang calon suami harus jelas, apakah seorang perjaka atau duda, sifat – sifatnya dan termasuk pekerjaan dan keadaan ekonominya jika memang menjadi faktor pertimbangan. Yang demikian agar sang wanita tidak tertipu dan terperdaya
Adanya seorang wali bagi si wanita, berdasarkan beberapa dalil diantaranya hadits (artinya) : “Tidak sah suatu pernikahan melainkan dengan adanya seorang wali.” ( Ahmad dan lainnya dari shahabat Abi Musa al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu , Syaikh al-Albani menilainya shahih).
Termasuk ‘ashabah dari wanita tadi. Yang dimaksud dengan ‘ashabah adalah setiap laki – laki dari kerabatnya yang dalam nasab antara si wanita dengan laki – laki itu tidak diperantarai oleh seorang wanita.
Dari pengertian ‘ashabah di atas, masuk padanya :
Jika seorang wanita memiliki beberapa orang yang semuanya berhak menjadi wali dengan kriteria di atas, maka yang paling berhak adalah sesuai urutan ‘ashabah di atas. Misal : jika ada ayah, tidak boleh kakak kandung menjadi wali. Namun demikian, jika ayah mewakilkan hak perwaliannya kepada orang lain, maka orang lain tersebut (baik masih keluarga maupun pihak luar) lebih berhak menjadi wali dibandingkan ‘ashabah yang lain.
Hal ini berdasarkan hadits (artinya) : “Sulthan/pemerintah adalah wali bagi yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud dan lainnya, Syaikh al-Albani menilainya shahih di berbagai kitab beliau seperti di al-Irwa)
Sikap wali seperti ini diistilahkan dengan ‘adhl. Jika penolakan sang wali yang paling berhak tanpa dilandasi alasan yang dibenarkan menurut syariat maka hak perwalian berpindah ke wali berikutnya ( sesuai urutan di atas ). Jika seluruh wali yang ada tidak mau menikahkan tanpa alasan yang syar’i, maka diadukan ke hakim/pemerintah sehingga hakim bisa memaksa wali untuk menikahkan sang wanita. Jika setelah dipaksa oleh hakim para wali tetap tidak mau menikahkan, maka hakim yang menjadi wali (silahkan dirujuk ke kitab Nailul Authar).
Peringatan : Sebagian wanita bermudah-mudahan dalam mencari wali hakim dalam keadaan masih ada wali dari pihak keluarganya, baik ayah maupun saudaranya. Ini dilakukan dengan alasan pihak keluarga tidak menyetujui proses pernikahan yang hendak dia lakukan. Cara yang demikian tidak benar dan akad yang dilakukan pada keadaan di atas tidak sah. Cara yang benar adalah melalui proses yang telah kami jelaskan di atas. Wallahu a’lam.
Mirip dengan kondisi di atas, jika wali yang berhak masih hidup walaupun jauh rumahnya maka tidak boleh bermudah-mudahan mencari wali pengganti lain. Apalagi di zaman kita sekarang dimana teknologi informasi dan transportasi semakin mudah, wajib bagi semua pihak untuk benar – benar memastikan dan mencari keberadaan wali yang paling berhak
Pendapat jumhur/mayoritas ulama bahwa nasab anak zina hanya melalui jalur ibu sehingga dia tidak punya nasab lewat jalur ayah biologisnya. Oleh karena itu, anak zina tidak memiliki ‘ashabah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kesimpulannya : wali nikahnya adalah wali hakim.
Masalah : persyaratan adanya wali bagi seorang wanita yang hendak menikah berlaku umum walaupun si wanita seorang yang agamanya baik, berilmu, ekonominya mapan, mampu mengurus dirinya sendiri dan seterusnya. Tidak cukup adanya sifat – sifat ini sebagai ganti dari disyaratkannya wali. Hal ini kami tegaskan disini karena adanya pendapat yang mengkiyaskan/menganalogikan akad nikah dengan akad – akad lainnya dimana pada akad – akad yang lain seorang wanita yang memiliki sifat – sifat di atas boleh bertindak sendiri tanpa wali. Analogi semacam ini tidak benar karena bertentangan dengan dalil yang jelas tentang disyaratkannya wali pada suatu akad nikah.
Ada perbedaan pendapat yang kuat dalam masalah ini. Syaikh ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau asy-Syarhul Mumti’ menyebutkan tiga pendapat dalam masalah ini dan beliau memilih pendapat pertengahan yaitu : dipersyaratkan satu diantara dua pilihan : persaksian dua orang adil atau pengumuman nikah. Beliau juga menambahkan bahwa sekedar adanya persaksian tanpa diumumkannya pernikahan menjadikan keabsahan pernikahan tersebut perlu ditinjau ulang. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengumumkan pernikahan dalam sabda beliau (artinya) : Umumkanlah pernikahan (HR. Nasai dan lainnya, Syaikh al-Albani menilainya hasan dalam kitab beliau Shahihul Jami’ )
Adapun hadits yang menyebutkan persyaratan adanya dua saksi adil adalah hadits dha’if alias lemah.
Wallahu a’lam.