Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh admin daarulihsan

hadits-hadits lemah yang terkenal di bulan ramadhan

5 tahun yang lalu
baca 7 menit

Sebagian ulama menyebutkan bahwa hadits bila ditinjau dari diterima atau tidaknya, terbagi menjadi 3 macam : shahih, hasan dan dhaif (lemah). Namun sebagian ulama lain membaginya menjadi 2 macam : shahih dan dhaif. Perbedaan pendapat ini tidaklah menjadi masalah, karena hadits hasan itu masuk di bawah kategori hadits shahih dari sisi keduanya dapat diterima sebagai dalil.

Dari ketiga atau kedua macam hadits di atas, hanya hadits dhaif-lah yang tidak bisa diterima. Dengan demikian kita mulai mengerti bahwa tidak setiap hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam itu benar-benar hadits beliau. Apabila sebuah hadits itu shahih atau hasan, maka itu adalah hadits Nabi dan wajib kita terima. Namun apabila sebuah hadits itu lemah menurut penelitian ilmiah oleh pakar hadits, maka kita tidak boleh meyakininya sebagai hadits Nabi. Tinggal sekarang, bagaimana kita mengetahui sebuah hadits itu shahih, hasan ataukah justru lemah ? Dari sinilah, sangat penting bagi kita untuk terus menuntut ilmu agama sehingga semakin tahu. Apalagi ini terkait dengan agama yang merupakan perkara paling penting dalam hidup kita.

Apabila kita menuntut ilmu agama, maka minimalnya kita dapat membaca keterangan para ulama pakar hadits tentang sekian banyak hadits dalam sekian banyak perkara. Termasuk dalam hal ini adalah hadits-hadits lemah yang berkaitan dengan bulan Ramadhan beserta ibadah padanya. Hal ini semakin dirasa perlu dikaji, mengingat sebagian hadits lemah tersebut banyak bertebaran dan sangat dikenal sejak dahulu di tengah kaum muslimin dalam keadaan mayoritas mereka belum mengetahuinya. Semoga dengan tulisan sederhana ini, kita semua mendapatkan bimbingan yang benar. Aamiin.

Beberapa hadits lemah yang dapat kami tampilkan adalah :

Hadits Pertama

“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”

Hadits ini memiliki jalur periwayatan : Sallam bin Sawwar – Maslamah bin ash-Shilt – az-Zuhri – Abu Salamah – Abu Hurairah – Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah (seorang pakar hadits abad ke-20) mengatakan bahwa hadits ini mungkar. Hadits mungkar adalah salah satu jenis hadits lemah. Beliau (asy-Syaikh al-Albani) menyebutkan ucapan beberapa ulama tentang sebagian periwayat hadits ini, yaitu :

Al ‘Uqaili berkata : “Tidak ada asalnya pada dia (Maslamah bin ash-Shilt, pen) periwayatan hadits dari az-Zuhri.”

Ibnu ‘Adi berkata : “Dan Sallam (ibnu Sulaiman bin Sawwar) menurutku munkar al-hadits, sedangkan Maslamah tidaklah dikenal.”

Adz-Dzahabi juga mengatakan demikian (seperti ucapan Ibnu ‘Adi).

Abu Hatim mengatakan bahwa Maslamah itu matruk al-hadits (ditinggalkan haditsnya).

Adapun penjelasan terhadap hadits ini bahwa dengan hadits ini, awal bulan Ramadhan adalah waktu turunnya rahmat dari Allah, pertengahannya adalah waktu turunnya ampunan dari-Nya dan akhir Ramadhan adalah waktu bebasnya hamba-hamba Allah dari neraka. Ini merupakan keutamaan yang besar pada bulan Ramadhan. Namun karena hadits ini adalah hadits yang mungkar (lemah), maka kita tidak bisa menentukan pembagian keutamaan Ramadhan menjadi 3 macam seperti di atas. Adapun hadits-hadits yang shahih justru menunjukkan bahwa sejak awal hingga akhir bulan Ramadhan itu adalah rahmat, ampunan (karena puasa dan shalat tarawih) sekaligus dibebaskannya hamba-hamba Allah dari neraka. 3 macam keutamaan ini (rahmat, ampunan dan pembebasan dari neraka) senantiasa beriringan sejak awal hingga akhir Ramadhan.

Hadits Kedua

“Berpuasalah, niscaya engkau akan sehat.”

Hadits ini memiliki jalur periwayatan : Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud – Zuhair bin Muhammad – Suhail bin Abi Shalih – Abu Shalih – Abu Hurairah – Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.

Asy-Syaikh al-Albani berkata bahwa hadits ini lemah. Beliau mengatakan bahwa Zuhair itu lemah jika yang meriwayatkan darinya adalah penduduk negeri Syam, sedangkan hadits ini termasuk dari periwayatan penduduk Syam. Al-Albani menyebutkan ucapan beberapa ulama, yaitu :

Ath-Thabrani berkata : “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dengan lafazh demikian selain Zuhair.”

Al-Hafizh al-Iraqi mengatakan bahwa derajat hadits ini adalah lemah.

Adapun keterangan terhadap hadits ini bahwa dengan hadits ini, orang yang berpuasa itu dapat meraih kesehatan. Mungkin saja secara medis, yang demikian ini benar adanya tapi kami belum dapat memastikannya karena kami bukan pihak yang memiliki kapasitas ilmu untuk itu. Adapun kalau menyandarkan pernyataan “puasa itu dapat menyehatkan badan” kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, maka itu tidaklah benar. Hadits tentang hal itu adalah lemah, sehingga tidak boleh diyakini bahwa puasa itu dapat menyehatkan badan karena Nabi mengatakan hal itu.

Hadits Ketiga

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.”

Hadits ini memiliki jalur periwayatan : Suraih bin Yunus – Sulaiman bin ‘Amr – Abdul Malik bin Umair – Abdullah bin Abi Aufa – Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Al-Hafizh al-Iraqi menyebutkan bahwa di dalam periwayatan hadits ini terdapat Sulaiman bin ‘Amr an-Nakha’i, yang dia ini adalah salah satu pendusta.
Al-Munawi menambahkan bahwa di dalamnya juga ada Abdul Malik bin Umair. Adz-Dzahabi memasukkan orang ini ke dalam para periwayat hadits yang lemah. Al-Imam Ahmad berkata : “Orang yang goncang dalam meriwayatkan hadits.” Ibnu Ma’in berkata : “Orang yang tercampur hafalannya1.” Abu Hatim berkata : “Bukan penghafal hadits.”

Asy-Syaikh al-Albani menyatakan bahwa hadits ini lemah.

Terkait penjelasan terhadap hadits ketiga ini, bahwa dengan hadits ini seseorang dapat beralasan untuk banyak tidur saat dirinya berpuasa. Dirinya menganggap bahwa tidur saja sudah dinilai sebagai ibadah saat ia berpuasa. Namun sayangnya, hadits yang ia jadikan untuk bermalas-malasan tersebut ternyata lemah. Sebaliknya, hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa Nabi justru bersemangat dalam beribadah di bulan Ramadhan, terlebih 10 akhir Ramadhan. Namun, bukankah tidurnya seorang muslim itu bisa bernilai ibadah ? Jawabnya : Ya, bisa bernilai ibadah jika ia niatkan untuk beristirahat agar dapat melanjutkan ketaatan dalam keadaan rasa letihnya telah hilang, dan nilai ibadah seperti ini berlaku bukan hanya tatkala dirinya berpuasa saja. Kapan saja ia tidur dengan niatan seperti itu, maka dapat bernilai ibadah. Sebaliknya bila ia tidur karena bermalas-malasan meski sedang berpuasa Ramadhan, maka tidaklah bernilai ibadah.

Hadits Keempat

“Kalau seandainya hamba-hamba Allah itu mengetahui (keutamaan) apa yang ada pada Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar Ramadhan itu menjadi satu tahun penuh.”

Hadits ini memiliki jalur periwayatan : Jarir bin Ayyub al-Bajali – asy-Sya’bi – Naf’ bin Burdah – Ibnu Mas’ud al-Ghifari – Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Ibnul Jauzi berkata :”Hadits ini dipalsukan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Yang tertuduh memalsukan hadits ini adalah Jarir bin Ayyub. Yahya berkata : “Dia ini tidak ada apa-apanya.” Al Fadhl bin Dukain berkata : “Dia ini memalsukan hadits.” An Nasa’i dan Ad Daruquthni berkata : “Matruk (ditinggalkan, pen).”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Jarir bin Ayyub bersendirian meriwayatkan hadits ini, sedangkan dia ini lemah sekali…”

Al-Hafizh al-Mundziri berkata :”Jarir bin Ayyub al-Bajali itu lemah dan penampakan-penampakan pemalsuan hadits ada pada dirinya.”

Sebuah Peringatan Penting

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, seseorang yang ingin menyampaikan sebuah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, hendaknya memastikan terlebih dahulu apakah hadits yang akan ia sampaikan tersebut shahih, lemah ataukah justru palsu. Hendaknya terlebih dahulu ia membaca keterangan para ulama terpercaya tentang derajat sebuah hadits atau bertanya kepada orang yang lebih tahu dan jujur dalam membacakan keterangan para ulama tentang derajat hadits tersebut. Hendaknya dirinya ingat terhadap ancaman Nabi (artinya) : “Barangsiapa berkata sesuatu atas (nama) diriku yang aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR.al-Bukhari).

Memang semangat menyampaikan ilmu itu merupakan perkara terpuji, asalkan didasari dengan bekal ilmu yang memadai. Apabila tidak demikian, justru keburukanlah yang akan muncul berupa penyimpangan yang diatasnamakan Islam. Tidak setiap buku atau karya tulis yang berbicara tentang Islam (terkhusus yang memuat hadits) itu boleh dibaca, apalagi dinukilkan atau dibacakan kepada orang lain. Sangat mungkin terjadi di dalam buku atau karya tulis tersebut terdapat banyak hadits lemah, bahkan hadits palsu.

Adapun kitab yang banyak memuat hadits lemah bahkan palsu, diantaranya :
• Kitab Ihya’ Ulumiddin karya al-Ghazali (wafat 505 H / sekitar 1111 M), sebagaimana penegasan Abu Bakr ath-Thurthusyi (wafat 520 H / sekitar 1126 M). Hadits “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” ternyata dimuat di kitab ini.
• Kitab Fadha’il A’mal karya Muhammad Zakariya al-Kandahlawi (wafat 1402 H / sekitar 1983 M), sebagaimana pernyataan Hamud at-Tuwaijiri (wafat 1413 M / sekitar 1992 M).

Kedua kitab ini sengaja kami jadikan contoh, karena keduanya cukup populer di tengah kaum muslimin dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Bahkan, kitab Fadha’il A’mal sering dijadikan rujukan dan dibacakan kepada sebagian kaum muslimin. Kita yang tidak memiliki bekal ilmu seperti para ulama untuk mengoreksi, hendaknya benar-benar menjauh dari kedua kitab tersebut. Kita dapat beralih kepada kitab lain yang masih banyak jumlahnya dan aman untuk dibaca, semisal kitab Riyadhush Shalihin karya al-Imam an-Nawawi rahimahullah dengan penelitian hadits oleh asy-Syaikh al-Albani.

Wallahu a’lamu bish-Shawab

Oleh:
admin daarulihsan