Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh admin daarulihsan

hadapkanlah wajahmu ke masjidil haram, wajibnya menghadap kiblat ketika shalat

10 tahun yang lalu
baca 11 menit

kaligrafi-bismillahirrahmanirrahim-i3

Hadapkanlah Wajahmu ke Masjidil Haram

Wajibnya menghadap kiblat[1] ketika shalat

Para pembaca waffaqonallahu jami’an,

Diantara perkara wajib yang harus dilakukan oleh seorang yang bermunajat kepada Allah ta’ala  dengan melakukan shalat ialah menghadap kiblat berdasarkan banyak dalil diantaranya :

v  Firman Allah ta’ala فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Maka palingkanlah wajahmu ke arah al Masjidil Haram . (Al Baqarah 144)

v  Juga firman Allah di ayat yang sama وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Dan dimanapun kalian berada maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya [Masjidil Haram]

Yang semakna dengan ayat di atas tersebut juga di ayat ke-149 dan 150 dari surat Al Baqarah[2].

Masjidil Haram pada ayat – ayat di atas bermakna Ka’bah. Sebagian ahli tafsir menyebutkan diantara hikmah pemilihan lafazh masjidil haram dibandingkan lafazh ka’bah karena terkait dengan turunnya ayat – ayat di atas ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Madinah yang jauh dari Ka’bah dimana jumhur/mayoritas ulama berpendapat bahwa yang wajib bagi seorang yang jauh dari Ka’bah/ tidak mungkin melihat Ka’bah secara langsung ialah menghadap ke arah Ka’bah dan bukan ke bangunan Ka’bah itu sendiri; sehingga dari sini dipakai lafazh masjidil Haram yang memang lebih umum/luas dibandingkan Ka’bah[3]. Wallahu a’lam.

Catatan :

ü  perintah untuk menghadapkan wajah ke arah Ka’bah hanya khusus terkait ibadah shalat, bukan selainnya.

ü  Makna wajah pada ayat – ayat di atas maknanya adalah seluruh tubuh bukan khusus wajah yang ada di kepala[4].

v  Hadits al musiiu shalatahu yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari seorang yang tidak mengetahui tata cara shalat yang benar. Diantara yang beliau perintahkan kepada orang tersebut jika hendak mengerjakan shalat ialah untuk menghadap ke kiblat (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hukum menghadap ke kiblat ketika shalat

Wajib bagi seorang yang shalat untuk menghadap ke kiblat dan bahkan para ulama telah menukil adanya ijma’ atau kesepakatan bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat[5].

Beberapa hikmah dari syariat ini

–          Agar seseorang menghadapkan badannya ke tempat yang Allah perintahkan untuk mengagungkannya yaitu Ka’bah sehingga selaras dengan menghadapnya qalbu kepada rabbul ‘alamin ketika shalat

–          Menampakkan persatuan umat Islam dimana mereka menghadap ke arah yang sama dalam menegakkan shalat yang merupakan ibadah terbesar setelah tauhidullah

Kewajiban orang yang bisa melihat langsung Ka’bah

Para ulama sepakat bahwa wajib baginya untuk menghadapkan seluruh tubuhnya ke Ka’bah dan tidak boleh sebagian tubuhnya ke arah Ka’bah dan sebagian tubuh lainnya ke samping kanan Ka’bah misalnya[6].

Kewajiban orang yang tidak bisa melihat langsung Ka’bah

Pendapat yang kuat di kalangan para ulama bahwa wajib baginya menghadap ke arah Ka’bah bukan ke bangunan Ka’bah itu sendiri. Diantara dalilnya adalah ayat – ayat yang tersebut di atas dimana disebutkan di dalamnya perintah untuk menghadap ke  شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ  ( arah Masjidil Haram)bukan ke bangunannya secara persis. Selain itu, pemilihan lafazh Masjidil Haram dan bukan Ka’bah juga mengisyaratkan kepada makna ini sebagaimana telah dipaparkan di atas. Di sisi lain, memang secara kenyataan inilah yang mampu dilakukan oleh orang yang jauh dari Ka’bah dan tidak bisa melihat langsung bangunan Ka’bah.

Pengecualian

Beberapa keadaan yang keluar dari hukum di atas (diperbolehkan menghadap ke selain kiblat):

  1. Orang yang tidak mampu menghadap kiblat karena ‘udzur/alasan yang syar’i seperti seorang yang sakit dan tidak mampu mengarahkan tubuhnya ke arah kiblat dan tidak ada orang di sekitarnya yang membantu memposisikan tubuhnya kea rah kiblat. Hal ini berdasarkan keumuman dalil seperti firman Allah ta’ala فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertakwalah kepada Allah semampu kalian ( QS. At-Taghabun 16)

  1. Ketika berkecamuknya peperangan berdasarkan salah satu hadits terkait shalat khauf bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan shalat baik menghadap kiblat ataupun membelakanginya ketika perang sedang berkecamuk (HR.al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu)
  2. shalat sunnah  yang dilakukan seorang musafir yang sedang dalam perjalanan. Hal ini berdasarkan beberapa hadits shahih dalam masalah ini seperti hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah di atas tunggangan beliau ketika melakukan safar dan beliau menghadap sesuai arah tunggangan beliau (HR. al-Bukhari dan Muslim). Disunnahkan dalam keadaan ini untuk memulai shalat/ melakukan takbiratul ihram dengan menghadapkan kendaraannya ke arah kiblat adpaun setelah itu terserah ke mana arah kendaraannya[7].

Catatan : dalam keadaan ini harus terkumpul tiga syarat : i) dalam keadaan safar, ii) sedang dalam perjalanan, iii) yang dilakukan adalah shalat sunnah. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi maka tetap wajib menghadap ke kiblat seperti :

  • musafir nazil (tidak sedang dalam perjalanan)
  • jika seorang di kota tempat tinggalnya dimana kota tersebut adalah suatu kota besar yang dari ujung ke ujungnya berjauhan maka dalam keadaan seperti ini dia tidak teranggap musafir.
  • Shalat yang dikerjakan adalah shalat wajib. Artinya, jika seorang musafir sedang dalam perjalanan dan hendak menunaikan shalat wajib maka wajib baginya untuk menghadap kiblat. Hanya saja, jika keadaan tidak memungkinkan untuk turun-seperti seorang naik kereta api- dan dikhawatirkan jika menunggu kereta sampai di tempat tujuan waktu shalat habis dan tidak mungkin dijama’ dengan shalat lainnya; maka dalam keadaan ini dia termasuk dalam keadaan no.1 sehingga shalat semampunya asal waktu shalat masih ada. wallahu a’lam.

Beberapa masalah terkait dengan syariat menghadap kiblat

a)      Masjid yang arah kiblatnya tidak tepat ke arah Ka’bah, bagaimana hukum shalat dengan tetap mengikuti arah kiblat masjid yang menyimpang tersebut ? Jawabnya : melencengnya arah kiblat suatu masjid ada dua kemungkinan :

  • Menyimpang yang masih bisa dimaklumi/tergolong sedikit, maka yang seperti ini sah shalat dengan mengikuti arah kiblat masjid tersebut
  • Menyimpang yang banyak, maka tidak boleh mengikuti arah kiblat masjid yang seperti ini.

Bagaimana batasan menyimpang yang sedikit atau banyak ?

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa menyimpang yang teranggap banyak seperti jika kiblat di belakangnya atau di samping kiri atau di samping kanannya[8].

Asy-Syaikh Muhammad Ali Firkaus al-Jazairi hafizhahullah memiliki suatu tulisan khusus dalam masalah ini dan pernah dimuat di situs sahab.net maka beliau menyatakan bahwa batasan menyimpang yang banyak tidak dijelaskan dalam dalil secara pasti sehingga dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Dalam hal ini beliau menyimpulkan bahwa jika menyimpangnya lebih dari 450 (nishfu zaawiyah qaaimah) maka teranggap sebagai penyimpangan yang besar sehingga Ka’bah teranggap di sisi kiri atau kanannya dan menyebabkan batalnya shalat[9].

b)      Seorang yang berada di suatu tempat dan tidak mengerti arah kiblat maka hendaklah berusaha semaksimal mungkin mengetahui arah kiblat seperti :

  • memakai kompas atau perangkat teknologi lain yang jitu
  • bertanya kepada orang yang terpercaya
  • memperhatikan gugusan bintang tertentu
  • memperhatikan posisi matahari
  • memperhatikan posisi bulan
  • memperhatikan arah angin[10]

c)      seorang yang tidak tahu arah kiblat kemudian langsung shalat tanpa berusaha secara maksimal mencari petunjuk arah seperti yang kami contohkan di atas kemudian setelah usai shalat ternyata dia telah shalat ke arah yang salah maka dalam hal ini dia harus mengulang shalat karena dia belum melaksanakan apa yang Allah ta’ala wajibkan berupa bertakwa kepada Allah semampunya. Adapun jika sudah berusaha secara maksimal mencari tahu arah ternyata tetap salah arah maka shalatnya sah dan tidak perlu mengulang shalatnya.

d)      Seorang yang memulai shalat dengan menghadap ke selain kiblat tanpa disengaja kemudian diingatkan arah kiblat yang benar maka wajib baginya seketika itu juga menghadap ke arah yang benar kemudian melanjutkan shalatnya dan tidak perlu mengulang shalat dari awal. Dalilnya adalah hadits yang mengisahkan sebagian shahabat yang shalat Subuh kea rah Baitul Maqdis dan mereka belum mengetahui perubahan arah kiblat ke Ka’bah. Lalu datanglah seorang yang mengingtakan bahwa arah kiblat sudah berubah ke Ka’bah maka mereka pun langsung mengubah arah shalat mereka dan melanjutkan shalat (HR.al-Bukhari dan Muslim).

e)      Wajib bagi kita mengingatkan arah kiblat yang benar ketika tahu ada saudara kita melakukan shalat ke selain kiblat sebagai bentuk ta’awun ‘alal birri wat taqwa. Hendaknya peringatan ini dilakukan sesegera mungkin dan dengan petunjuk arah kiblat yang jelas. Jangan sampai arahan kita mengambang dan tidak jelas seperti ucapan kiblat Anda salah, arah shalatmu tidak benar, dsb karena arahan semisal ini belum menjelaskan arah yang benar. Hendaknya dilengkapi dengan ucapan seperti hadaplah ke kanan, berputarlah ke belakang 1800, dsb.

f)       Wajib bagi para penanggung jawab masjid yang arah kiblatnya menyimpang banyak [dengan batasan yang telah kami paparkan di atas] untuk mengubah kiblat masjid ke arah yang benar, tentunya setelah diadakan penelitian yang mendalam dan berdasarkan petunjuk para ahli dalam masalah ini. Adapun jika menyimpang sedikit maka usaha untuk meluruskan kiblat masjid harus memperhatikan maslahat dan mafsadah yang mungkin timbul.

g)      Asy-Shalih al Fauzan hafizhahullah berkata : “ Diantara golongan yang mendapat udzur terkait shalat adalah orang yang naik kendaraan dimana jika dia turun dari kendaraan akan mengalami kerepotan yang sangat seperti hujan atau lumpur, atau jika turun dari kendaraan akan kesulitan untuk naik kendaraan lagi atau khawatir tertinggal oleh rombongannya jika turun atau mengkhawatirkan keselamatan dirinya dari bahaya musuh atau binatang buas; maka dalam keadaan – keadaan ini bia boleh shalat di atas kendaraannya…”

Beliau juga menjelaskan : “ Wajib bagi orang yang melakukan shalat wajib di atas kendaraan karena sebaba – sebab di atas untuk menghadap kiblat semampunya berdasarkan firman Allah ta’ala [kemudian beliau sebutkan ayat ke-144 dari surat Al Baqarah] dan wajib baginya mengerjakan semampunya ruku’, sujud, isyarat kepala [sebagai ganti keduanya] dan thuma’ninah berdasarkan firman Allah ta’ala [kemudian beliau sebutkan ayat ke-16 dari surat At Taghabun]. Gerakan – gerakan yang dia tidak mampu mengerjakannya maka dia tidak terbebani dengannya. Jika dia tidak mampu menghadap kiblat maka tidak wajib baginya menghadap kiblat dan dia shalat sesuai keadaannya itu. Demikian pula penumpang pesawat maka dia shalat sesuai kemampuannya : berdiri atau duduk, ruku’, sujud atau isyarat dengan kepala, sesuai dengan kemmapuannya dengan tetap menghadap kiblat karena perkara ini [menghadap kiblat] memungkinkan[11].

h)      Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata : “ Jika ada kebutuhan [untuk menoleh] di dalam shalat maka tidak mengapa seperti jika mendengar suara binatang yang akan menyerangmu atau seorang yang memiliki kebutuhan yang sangat maka tidak mengapa menoleh asalkan yang menoleh hanya kepala saja. Adapun menolehkan badan maka ini bisa membatalkan shalat karena dia telah menyimpang dari kiblat padahal diantara syarat sah shalat adalah mengahdap kiblat…”[12]

Wallahu a’lam bish shawab.

 



[1] Ka’bah disebut kiblat kaum muslimin karena  إقبال  (menujunya)manusia ke arahnya dan karena orang yang shalat  يقابلها (berhadapan) dengannya. Adapun bangunan Ka’bah dinamakan dengan Ka’bah لتكعبها : bentuk segi empatnya. (Hasyiyah Raudhil Murbi’ libnil Qashim an Najdy rahimahullah)

[2] As Sa’di rahimahullah menjelaskan diantara hikmah pengulangan perintah menghadap ke Masjidil Haram/Ka’bah adalah sebagai penegasan terhadap perintah tersebut karena hal ini terkait dengan pemindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Pemindahan arah kiblat ini merupakan ujian keimanan yang besar bagi kaum muslimin waktu itu dan musuh – musuh Islam menjadikannya peluang untuk menjatuhkan nama Islam dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sinilah Allah ta’ala mengulang perintah ini beberapa kali sebagai penegasan dan penguatan qalbu kaum muslimin. wallahu a’lam.

[3] Tafsir al-Alusi : Ruhul Ma’ani.

[4] Tafsir as-Sa’di

[5] Diantara yang menukil ijma’ adalah Ibnu Hazm, Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Taimiyah rahimahumullah.Meski demikian, asy-Syaukani di dalam Nailul Authar berpendapat lain dan menganggap menghadap kiblat bukan syarat sah shalat namun hukumnya sekadar wajib. Wallahu a’lam. ( ats Tsamrul Mustathab)

[6] Asy Syarhul Mumti’

[7] Demikianlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan sebagaimana dalam hadits Anas ibn Malik dalam riwayat Abu Dawud dan asy-Syaikh al-Albani menghasankan hadits ini. Hukum memulai shalat sunnah dengan menghadapkan kendaraan ke kiblat ketika safar adalah sunnah/mustahab bukan wajib karena hadits yang menjelaskan masalah ini adalah berupa perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan berupa perintah dari ucapan beliau. ( asy Syarhul Mumti’ dan Hasyiyah ar Raudh)

[8] Al Liqo asy Syahri 3/482

[9] Al inhiraf al Fahisy ‘an qiblatil muslimin baina al inshaf wa at ta’annut

[10] Arah angin merupakan petunjuk alam yang paling lemah sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ (sebagaimana dikutip dari risalah Al inhiraf al Fahisy )

[11] Dinukil dari sahab.net dari situs resmi beliau.

[12] Syarh Riyadhis Shalihin