Hadits-Hadits Lemah & Palsu Terkait Bulan Sya’ban
Seseorang yang hendak meyakini, mengamalkan atau lebih-lebih menyampaikan sebuah hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, hendaknya memastikan terlebih dahulu kesahihan hadits tersebut.Hendaknya ia membaca terlebih dahulu keterangan ulama terpercaya, atau bertanya kepada orang yang mengerti dan terpercaya agar membacakan keterangan atau derajat hadits tersebut.Hendaknya seseorang ingat terhadap ancaman Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam (artinya) : “Barangsiapa berkata sesuatu atas (nama) diriku yang aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”.(HR.al-Bukhari)
Sebelum membawakan hadits di atas, Al-Hafizh Ibnu Hibban rahimahullah berkata : “Pasal : Penyebutan konsekuensi masuk neraka, bagi seseorang yang menyandarkan sesuatu kepada al-Mushthafa Shallallahu ‘alaihi Wasallam dalam keadaan dia tidak tahu tentang kesahihan penyandaran tadi”.(Shahih Ibni Hibban, Maktabah Syamilah)
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : “Maka jelaslah dari apa yang telah kami bawakan bahwasanya tidak boleh menyebarkan hadits-hadits dan riwayat-riwayatnya tanpa memastikan kesahihannya.Bahwasanya barangsiapa yang melakukan hal itu, maka cukuplah hal itu termasuk berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam…”(Silsilah adh-Dhaifah, Maktabah Syamilah)
Bahkan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa berdusta atas nama Rasul pada hakikatnya adalah berdusta atas nama Allah, karena Rasul berbicara bersumber dari Allah, sehingga termasuk dalam firman Allah (artinya) : “Dan siapakah yang lebih zalim dibanding orang yang berdusta atas nama Allah..”(Lihat Syarh Nuzhah an-Nazhar)
Dikecualikan dari ini adalah seseorang yang menyampaikan hadits yang lemah atau palsu untuk kemudian disampaikan kelemahan atau kepalsuan hadits tersebut, sehingga manusia dapat selamat dari kesalahan.
Memang semangat beramal dan berdakwah adalah perkara yang sangat terpuji.Akan tetapi semangat dalam kebaikan haruslah diawali dengan bekal ilmu yang memadai.Bila tidak, justru kebatilanlah yang akan muncul berupa penyimpangan yang diatasnamakan Islam.Tidak setiap buku atau karya tulis yang berbicara tentang Islam (dalam hal ini hadits) itu layak dibaca, lebih-lebih dibacakan kepada orang lain.Sangat mungkin di dalam buku atau karya tulis tersebut memuat hadits-hadits lemah atau bahkan palsu.Janganlah terpedaya dengan gelar orang yang menulisnya, judul yang menarik atau semata-mata penilaian mayoritas manusia yang notabene awam terhadap sebuah buku.
Sebenarnya para ulama pakar hadits (sejak zaman dahulu hingga sekarang) telah mengumpulkan sekian ribu hadits lemah atau palsu yang lantas tertuang dalam karya-karya ilmiah mereka.Hal ini mereka lakukan dalam rangka menyelamatkan manusia dari kesalahan.Salah satu karya besar di zaman sekarang yang memuat sekian banyak hadits lemah dan palsu adalah kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dhaifah (berbahasa Arab), karya asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah (wafat 1420 H / 1999 M).Tinggal sekarang bagaimana menghidupkan keinginan dan semangat untuk belajar ilmu agama secara kontinyu (termasuk mengetahui hadits yang sahih, lemah atau palsu), sehingga dapat meraih keselamatan di dunia dan akherat.
Beberapa Hadits Lemah atau Palsu Terkait Bulan Sya’ban
Salah satu sebab munculnya hadits-hadits yang lemah atau palsu adalah semangat mendakwahi manusia untuk beramal shalih tapi tanpa diadasari ilmu.Termasuk dalam hal ini adalah sebab muncul dan tersebarnya hadits-hadits lemah atau palsu terkait bulan Sya’ban.
Berikut ini beberapa hadits tersebut :
Hadits Pertama
“Apabila telah tiba malam Nishfu (pertengahan) dari bulan Sya’ban, maka hendaklah kalian tunaikan shalat (tertentu) pada malam harinya dan puasa (tertentu) pada siang harinya.Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia di malam tersebut ketika terbenamnya matahari, lantas Dia berkata : “Tidakkah ada orang yang meminta ampun kepada-Ku lalu Aku ampuni dia ? Tidakkah ada orang yang meminta rizki kepada-Ku lalu Aku beri rizki kepadanya ? Tidakkah ada orang yang tertimpa penyakit lalu Aku sembuhkan dia ? Tidakkah demikian dan tidakkah demikian ?”, hingga terbitnya fajar”
Hadits ini derajatnya palsu (maudhu’) karena di dalam jalur periwayatannya ada seseorang bernama Ibnu Abi Sabrah.Dia ini dinilai oleh para ulama hadits sebagai orang yang memalsukan hadits.Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in juga menilai demikian.Hadits ini dikatakan lemah oleh Ibnu Rajab dan al-Bushiri.(Lihat Silsilah adh-Dhaifah no.2132, Maktabah Syamilah)
Hadits Kedua
“Ada 5 malam yang doa itu tidak ditolak padanya : malam pertama bulan Rajab, malam Nishfu Sya’ban, malam Jum’at, malam Idul Fithri dan malam Id an-Nahr (Adha)”
Hadits ini palsu karena di dalam jalur periwayatannya ada 2 orang, yaitu Abu Said Bundar bin Umar bin Muhammad ar-Ruyani dan Ibrahim bin Abi Yahya.Ibnu Asakir membawakan hadits di atas tatkala menyebut biografi Abu Said Bundar, dan meriwayatkan dari Abdul Aziz an-Nakhsyabi bahwa beliau berkata : “Jangan engkau dengar hadits dari dia.Sesungguhnya dia ini pendusta”.Asy-Syaikh al-Albani mengatakan bahwa Ibrahim bin Abi Yahya juga seorang pendusta, sebagaimana dikatakan oleh Yahya dan selain beliau.(Lihat Silsilah adh-Dhaifah no.1452, Maktabah Syamilah)
Hadits Ketiga
“Rajab adalah bulan milik Allah, Sya’ban adalah bulan milikku dan Ramadhan adalah bulan milik umatku”
Hadits ini lemah (dhaif) karena terputusnya rangkaian riwayat antara seorang tabi’in bernama al-Hasan al-Bashri rahimahullah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.(Lihat Silsilah adh-Dhaifah no.4400, Maktabah Syamilah)
Al-Lajnah ad-Daimah mengatakan bahwa hadits “Rajab adalah bulan milik Allah, Sya’ban adalah bulan milikku dan Ramadhan adalah bulan milik umatku” adalah hadits palsu, karena di dalam periwayatannya ada Abu Bakr bin al-Hasan an-Naqqasy yang tertuduh berdusta, dan al-Kisa’i yang tidak dikenal (majhul).(Lihat www.alifta.net)
Hadits Keempat
“Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan”
Hadits ini lemah karena ada 2 orang yang berada pada jalur periwayatannya, yaitu Ziyad an-Numairi dan Zaidah bin Abi ar-Ruqqad.Adz-Dzahabi mengatakan bahwa kedua orang ini lemah.Al-Haitsami mengatakan bahwa al-Bukhari menilai Zaidah dengan munkarul hadits, sedangkan sekelompok ulama menilainya dengan periwayat yang tidak dikenal (majhul).(Dicuplik dari www.ajurry.com)
Wallahu a’lamu bish-Shawab