Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

nasihat untuk suami yang bekerja meninggalkan keluarga

7 tahun yang lalu
baca 6 menit

 BEKAL ILMU UNTUK ANDA YANG HENDAK BEKERJA MENINGGALKAN KELUARGA

Fatwa Lajnah Ad Daimah diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.

Fatwa no 9822

Tanya:

Kami adalah pekerja Mesir tinggal di Republik Irak. Kami datang ke sini karena mencari sesuap penghidupan yang halal, pendidikan anak kami dengan pendidikan Islam, serta mencukupi seluruh kebutuhan mereka: pangan, sandang, dan papan untuk mereka. Kami meninggalkan istri bersama anak-anak untuk mengawasi pendidikan mereka dan mengatur mereka, kami kirim dana untuk mereka.

Namun, kami bingung dan menyesal karena lamanya kami berpisah dengan istri kami. Kadang sampai dua tahun atau lebih. Hal ini demi anak dan istri kami.

▶️ 1. Apakah meninggalkan istri dengan waktu yang panjang ini, halal atau haram?
▶️ 2. Berapakah waktu undang-undang sesuai syariat Islam untuk meninggalkan istri?
▶️ 3. Apakah istri terhitung tertalak pada masa ditinggalkan tersebut, dan harus akad ulang ketika kembali, atau tidak? Apa hukum Islam dan yang disyariatkan ketika meninggalkan dengan waktu yang panjang ini?
▶️ 4. Berapakah waktu maksimal safar ke luar negeri meski sang istri rela dan menyetujuinya?

Jawab:

أولا: إذا رضيت بغيابك عنها تلك المدة فلا حرج ولا إثم عليك، وإن لم ترض فهجرك إياها تلك المدة حرام.

1️⃣ Jika sang istri rela dengan kepergianmu selama itu, maka tidak mengapa, dan engkau tidak berdosa. Namun jika dia tidak rela, maka engkau meninggalkannya selama itu, hukumnya haram.

ثانيًا: المدة التي يجوز فيها الغياب عن الزوجة: أربعة أشهر، وتسمى: مدة الإيلاء، وما زاد على ذلك فالغياب عنها فيه حرام إلا برضاها.

2️⃣ Waktu yang diperbolehkan meninggalkan istri adalah empat bulan. Waktu ini disebut 'waktu ila' Maka pergi dengan waktu lebih dari itu hukumnya haram kecuali dengan kerelaan istri.

ثالثًا: لا تعتبر الزوجة مطلقة خلال هذه المدة، ولا يحتاج إلى عقد عليها عند عودته إليها.

3️⃣ Istri tidak teranggap diceraikan pada selang waktu ini. Tidak perlu akad saat kembali ke istri.

رابعًا: إذا رغبت الزوجة في سفره ووافقت عليه فلا حد للمدة، وإذا لم توافق على سفره وعلى الغياب عنها كان له أن يسافر عنها أربعة أشهر.

4️⃣ Jika istri senang dan setuju untuk sang suami safar, maka tidak ada batasan waktu. Namun jika istri tidak setuju sang suami safar dan pergi darinya, maka si suami hanya boleh pergi meninggalkannya selama empat bulan.

Sumber: http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=3&View=Page&PageNo=3&PageID=7426&languagename=

#safar #bahtera #suamiistri #pasangan #fatwa #lajnah

Website: tashfiyah.com ||| telegram.tashfiyah.com
Gabung Channel Majalah Tashfiyah : telegram.me/majalahtashfiyah

Crane | By Pixabay

Terpisahnya jarak antara suami dengan istrinya adalah hal lumrah. Terlebih karena didesak oleh kebutuhan dan situasi yang syar’i. Namun demikian seyogianya suami tidak meninggalkan istrinya untuk waktu yang sangat lama. Sebaliknya juga, dibutuhkan kesabaran seorang istri manakala situasi menuntut yang demikian.

Sudah menjadi kewajiban bagi seorang suami untuk bergaul dengan istrinya dengan ma’ruf. Karena Allah azza wa jalla memerintahkan dalam firman-Nya yang agung:

“Bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma’ruf.” (An-Nisa`: 19)

Hak untuk mendapatkan pergaulan dengan ma’ruf ini merupakan hak yang wajib ditunaikan suami terhadap istrinya. Sebagaimana pula seorang istri dituntut untuk berlaku demikian terhadap suaminya karena istri pun punya kewajiban. Sebagaimana Allah berfirman:

“Mereka (para istri) punya hak yang sebanding dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Al-Imam Al-Qasimi rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Dalam ayat di atas Allah menetapkan adanya hak seorang istri terhadap suaminya, seperti halnya suami punya hak yang harus ditunaikan istrinya. Maka masing-masingnya melaksanakan apa yang semestinya mereka tunaikan untuk pasangannya dengan cara yang ma’ruf.” (Mahasinut Ta`wil, 2/175)

Termasuk bergaul dengan ma’ruf adalah seorang suami tidak bepergian meninggalkan istrinya dalam waktu yang lama. Adalah merupakan hak istri untuk menikmati pergaulan suaminya, sebagaimana seorang suami menikmati pergaulan dengan istrinya. Namun terkadang sepasang suami istri terpaksa “berpisah” dalam waktu lama dengan alasan suami harus mencari pekerjaan di kota lain, atau bahkan di luar negeri untuk menghidupi keluarganya. Atau suami harus bepergian lama dengan alasan tugas/dinas, atau suami merantau ke negeri orang dalam rangka mencari ilmu. Lalu timbullah pertanyaan,

bolehkah hal ini dilakukan oleh suami? Berdosakah dia?

Bila perginya si suami karena menunaikan kewajiban yang khusus baginya atau yang berkaitan dengan istrinya atau kepentingan umum bagi dirinya dan bagi umat, maka tidak ada dosa bagi si suami. Demikian pula bila ia pergi dalam waktu lama tanpa udzur dan bukan karena menunaikan kewajiban namun istrinya ridha, ia tidaklah berdosa.

Akan tetapi bila istrinya tidak ridha maka si suami berdosa dan pantas mendapatkan hukuman. Karena dia telah menyia-nyiakan kewajiban dalam hidup berkeluarga. Walaupun si istri tercukupi dari sisi penghasilan, pakaian, tempat tinggal dan makanan, namun ia juga punya hak untuk memperoleh nafkah batin. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, fatwa no. 606, 19/338)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Bila seorang istri ridha dengan kepergian suami walaupun dalam masa yang lama, maka itu merupakan hak istri. Si suami tidaklah berdosa. Namun dengan syarat si suami meninggalkan istrinya di tempat aman, yang tidak dikhawatirkan akan terjadi apa-apa pada istrinya. Apabila seorang suami pergi jauh untuk mencari rizki dalam keadaan istrinya ridha maka suami tersebut tidak berdosa walaupun ia tidak pulang hingga dua tahun atau lebih. Adapun bila si istri menuntut haknya agar suaminya kembali/pulang, maka perkaranya dalam hal ini dikembalikan kepada mahkamah syar’iyah. Apa yang ditetapkan mahkamah syar’iyah maka itulah yang dilaksanakan.” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, hal. 17)

Dengan demikian, bila istri ridha untuk sementara berjauhan dengan suaminya baik dalam waktu singkat ataupun waktu yang lama, dan masing-masing dapat menjaga kehormatan diri, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Namun bila si istri khawatir dirinya atau suaminya akan terjatuh ke dalam fitnah meski ada kebutuhan untuk mencari penghidupan, ia bisa menuntut untuk berkumpul kembali dalam rangka menjaga kehormatan diri dan menjaga kemaluan. Akan tetapi bila si suami enggan untuk segera kembali, istri dapat mengangkat perkaranya kepada hakim agama (mahkamah syar’iyah) agar memutuskan perkara antara dia dan suaminya sesuai dengan apa yang Allah k syariatkan. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, fatwa no. 1545, 19/339, 340)

Selengkapnya baca di : http://asysyariah.com/meninggalkan-istri/