(168)
Dengan sombongnya, Iblis pongah berkata :
أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ
"Saya jauh lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" ( QS Al A'raf : 12 )
Sejak saat itulah, permusuhan dikibarkan, kebencian dikobarkan, dan perlawanan dikabarkan; antara Iblis dengan Adam beserta anak-anak keturunannya.
Sesat jalan bersumber dari perasaan dan pernyataan, " Saya jauh lebih baik darinya ".
Di Mekkah, menyaksikan langsung para jamaah umroh yang menyelenggarakan ibadah thawaf dan sa'i, membuat kita takjub dan terkagum-kagum.
Banyaknya orang, dari berbagai negara datang, bahasa yang berbeda-beda, kulit yang berwarna-warna, dari berbagai tingkatan dan strata, sulit ditandai siapa miskin siapa kaya; mereka bersama-sama beribadah dan tidak terlihat rasa, " Saya jauh lebih baik darinya".
Andaikan, sepulang umroh tidak ada oleh-oleh berujud barang, ia pulang membawa satu kesadaran bahwa; tidak boleh ia berkawan dengan ujub, itu sudah lebih dari sangat cukup.
Ibnul Mubarak pernah ditanya tentang ujub, " Saat engkau menganggap dirimu memiliki suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain ", jawabnya. (Tadzkiratul Huffazh 1/278)
Ujub adalah penyakit kronis. Berat. Akut juga. Daya rusaknya bisa luas. Efek buruknya menakutkan. Jika dikupas lapis demi lapis, sifat ujub menyimpan banyak hal yang mengerikan.
Dalam pergaulan, orang yang ujub akan dijauhi. Dibenci. Kalau ia datang, orang memilih pergi. Kalau ingin bertemu, orang berusaha menghindari. Kalaupun sempat ada yang dekat, akhir-akhirnya juga meninggalkan.
Orang yang ujub tidak bisa menutupi sifat ujubnya. Kata-kata yang dipilih, kalimat yang dipakai, sikap yang diperlihatkan, akan memantulkan ujubnya. Walau ditutup-tutupi, meski bertopeng, biarpun ia bersandiwara, sifat ujub pasti tersingkap.
Sebab, jelas ia berprinsip - walau tak terucap - :
أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ
Pokoknya, saya lah yang terbaik!
Orang yang ujub tak bisa mengakui kekurangannya. Ia tak dapat menerima kenyataan bila ada cacat pada dirinya. Orang lain lah yang salah melihat, keliru mendengar, dan tak benar menilai. Bukannya wajah yang buruk, cermin lah yang salah hingga mesti dibelah.
Untuk meraih kemuliaan, agar memperoleh derajat tinggi, bukan dengan cara merendahkan yang lain. Bukan juga dengan menjatuhkan.
Ibnul Haaj, ulama negeri Fes Maroko (wafat tahun 737 H), menulis dalam Al Madkhal (2/122), " Siapa yang ingin derajat tinggi, rendahkanlah dirinya karena Allah Ta'ala. Sungguh, kemuliaan itu tidaklah dicapai melainkan sesuai kadar dirinya merendah"
" Coba perhatikanlah air yang turun meresap hingga ke akar pohon, bukankah akhirnya naik juga hingga bagian pohon yang paling tinggi? ", lanjut beliau.
Sangat tepat analogi beliau!
Intinya adalah selalu koreksi diri. Evaluasi niat. Apa sebenarnya tujuan yang ingin ia cari dan capai?
Adz Dzahabi (Siyar A'lam 7/349) menerangkan tips menepis sifat ujub, bahwa jika diingatkan atau ditegur, tidak membela diri atau mencari-cari pembenaran. Justru ia berterimakasih dan berdoa: " Semoga Allah melimpahkan rahmat- Nya untuk orang yang menunjukkan di mana aib-aibku"
Beliau berkata, " Jangan ujub pada dirinya! Jangan sampai ia tidak merasa memiliki aib. Lebih parah lagi, jangan ia tidak merasa bila dirinya tidak merasa. Sungguh, ini adalah penyakit kronis "
Jika Iblis diusir dari surga, dijauhkan dari rahmat- Nya, dilaknat oleh banyak makhluk, karena sifat ujubnya. Maka, wajar saja jika manusia yang bersifat ujub akan dijauhi, dihindari, dan ditinggalkan.
Mana bisa nyaman dekat dengan orang berpikir:
أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ
Pokoknya, saya lah yang terbaik!
BDJ. Jumat 16 Desember 2022
t.me/anakmudadansalaf