AT-TA'ANNI SIKAP INDAH YANG MULAI PUDAR
❱ Disampaikan oleh Al-Ustadz Muhammad Afifuddin as-Sidawy hafizhahullah
Simak selengkapnya di: https://youtu.be/OrYqOJFkBDo
( HQ - Durasi: 1:04:42 )
#Taani #Tabayyun #Tatsabbut
📮••••|Edisi| t.me/Mp3_kajian / www.alfawaaid.net
// Audio dari: t.me/s/mahadalbayyinah
03:46 At-Ta'anni atau juga disebut al-anaatu biasa bergandingan dengan sifat yang lain yaitu al-hilm.
At-Ta'anni atau Al-Anaatu
— itu dimaknakan dengan at-tatsabbut (kroscek) wa tarayyuts (penuh perhitungan) wa tarkul 'aajalah (tidak tergesa-gesa) — [ Disebutkan oleh an-Nawawi dalam syarah shahih Muslim ]
Al-Hilm
— itu dimaknakan dengan at-ta'akkul fil umur (mencerna/memikirkan segala sesuatu sebelum bertindak)
09:57 At-Ta'anni itu
— [ 1 ] harus ada dalam ucapan-ucapan,
— [ 2 ] harus ada sebelum berbuat, dan
— [ 3 ] harus diwujudkan dlm menerima & menyampaikan berita.
11:57 [ Pertama ]
At-ta'anni dalam berbica yakni termasuk padanya di dalam pembicaraan lisan, penulisan-penulisan atau sekarang banyak dikenal dengan postingan-postingan.
Disebutkan dalam hadits al-Bukhari & Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah [ﷺ] bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan yang baik atau dia diam.”
Ini Dhabith / kaidahnya yang diberikan oleh Rasulullah terkait dengan akwal:
— Yang sesuai dengan hadits ini = itulah at-Ta'anni
— Yang menyalahi hadits ini = itulah al-'ajaalah
Al-Imam an-Nawawi dalam mensyarah hadits ini mengatakan dalam Riyadhus Shalihin:
“Hadits ini sharih (sangat tegas) menunjukkan bahwa seyogyanya bagi seseorang itu tidak berbicara kecuali;
— apabila pembicaraannya itu perkara kebaikan / nampak jelas kemaslatannya
— kapan dia ragu tentang kemaslahatannya = jangan dia berbicara.”
Dikitab yang sama al-Imam an-Nawawi mengatakan:
“Seyogyanya bagi setiap mukallaf untuk menjaga lisannya dari semua ucapan, kecuali ucapan yang nampak padanya kemaslahatannya.”
17:02 Seorang muslim / sunni salafy, sebelum berbicara dia harus memastikan 3 hal:
[ 1 ] Ucapannya itu haq pada asasnya — yakni niatnya ikhlash karena Allah, bukan karena tendensi yang lain
[ 2 ] Ucapannya haq pada dzatnya — yakni ucapannya tsabit (ditetapkan) dengan dalil dari al-Quran dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaf
[ 3 ] Ucapannya haq pada dampak/pengaruhnya — yakni ucapan dia tidak mengandung sebuah kemafsadatan (apabila berbicara) yang lebih besar dibandingkan dengan mafsadahnya ketika dia diam.
Ketika sudah terpenuhi 3 perkara ini, barulah dia menyampaikan/ berbicara.
20:05 Seorang Muslim, terutamanya seorang Sunni, betul² dia ta'anni, betul² dia tatsabbut, betul² dia tarayyuts dan tidak terburu-buru.
Lihat dulu niatannya, muatan ucapannya dan dampaknya.
[ 1 ] Terkadang niatnya baik, tapi ucapannya bathil, atau syubhat, atau bertententangan dengan nash = tidak cukup dgn niat baik.
[ 2 ] Terkadang ucapannya haq, dengan hujjah dan dalil, tapi niatanya tidak ikhlas, barangkali ada tendensi peribadi atau tendensi duniawi dll = ini juga tidak boleh diucapkan.
Itu bukan ta'anni karena ta'anni itu ikhlas, terbebaskan dari tendensi apapun, siasah, (politik), makar, ta'anni tidak akan bisa bersatu dengan semua ini.
[ 3 ] Terkadang ikhlas niatnya, benar (haq) ucapannya tapi dampaknya jelek. Adakalanya diplintir oleh banyak pihak, dimaiankan oleh sebagian ahli fitnah, dipandang ternyata lebih besar mafsadahnya = maka ditahan, jangan disampaikan, karena tidak semua yang kita tahu, yang kita yakini disampaikan, diposting, dishare (disebar). Harus melihat dampaknya.
Ketika semua sudah terpenuhi, ikhlas niatnya, ucapannya haq, kemudian dampaknya positif = dia sampaikan, dia bicara. Inilah yang namanya at-ta'anni fi akwal.
Dhabithnya sangat jelas:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan yang baik atau dia diam.”
Sehingga tidak semua (yang diketahui) disampaikan, dan tidak semua orang layak untuk bicara.
Terlebih pada perkara² yang dianggap besar, terkait dakwah, terkait perkara ummat, maka yang seperti ini harus (yang bicara) orang yang berkompetan.
{ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ }
“Apabila urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat!” — [HR lmam Bukhari no 59 dan 6496]
25:03 [ Kedua ]
Ta'ani dalam bab berita - Ada beberapa poin harus ta'anni, harus tatsabbut terkait bab khabar,
- bisa jadi pada khabarnya (muatan substansinya)
- bisa jadi pada mukhbirnya (pembawa khabar).
1. Pada kabarnya - terkadang kita harus ta'anni terkait dengan sebuah kabar yang sampai
Misal:
- kabarnya aneh, tidak mahsyur, ada kejanggalan,
- bertentangan dengan hal yang maklum,
- berita²nya ada simpang siur / tumpang tindih
- terlebih berita yang muncul di ayyamul fitan / banyak terjadi fitnah
= maka harus lebih² utk ta'anni.
2. Pada mukhbirnya (orang yang membawa berita) -
bisa jadi beritanya pas, tapi harus ta'anni lagi kerena yang membawa beritanya ini
misal:
- orangnya dikenal al-'ajaalah (terburu-buru)
- orangnya makruf bi tadlis (suka menyamarkan berita) au fisq (orang yang dikenal fasik)
- orangnya suka membikin makar, talaub, dusta dll
= harus lebih² utk ta'anni dlm menerima beritanya.
29:04 Dhabitnya:
“Wahai orang² yang beriman, apabila datang kepada kamu seorang fasiq (membawa suatu berita, pen), maka tabayunlah (carilah kebenaran berita / tatsabbut) sebab dikhawatirkan kamu nanti menimpakan kepada suatu kaum sebuah tuduhan dengan kejahilan, nanti kamu akan menyesal di kemudian hari.” [QS Al-Hujuraat: 6]
Ayat ini adalah dasar pijakan para ulama dalam bab at-tatsabbut wa tabayyun fil khabar.
30:35 Bisa dilihat dalam tafsir as-Sa'dy rahimahullah dan tafsir lainnya, dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa sesorang yg membawa berita, selain beritanya Rasulullah [ﷺ], dibagi menjadi 3:
🔬 — [ Pertama ] Yang membawa berita orangnya jujur, masyhur dikenal dengan kejujurannya = hukum asal beritanya diterima.
Disebutkan oleh para ulama beberapa pengecualian (yakni tetap harus tatsabbut wa tabayyun lagi, walaupun beritanya dari seorang yang jujur):
— [ 1 ] Ditabayyun dan ditatsabbut lagi utk menta'qid (menekankan) / untuk memastikan kebenaran berita, bukan utk menuduh pembawa berita yg jujur ini dusta atau fasik.
Biasanya pada perkara yang besar atau yang menerima berita seseorg yang lebih alim namun dia lupa, maka dia tatsabbut dan tabayyun lagi
sebagaimana kisah
- dalam peristiwa tha'un, haditsnya Umar bin al-Khattab
- dalam bab mengucap salam 3 kali meminta idzin untuk bertamu, haditsnya Abu Musa al-Asy'ari
38:10
— [ 2 ] Kondisi lain yang dikecualikan - Beritanya simpang siur / banyak versi, walaupun yang membawa berita adalah orang yang jujur tetap harus tatsabbut, tetap ta'anni dalam menerima berita.
Terlebih lagi ketika beritakan yang dia bawa itu terkait sosok seseorang yang dikenal dengan kebaikannya selama ini, diberitakan dia salah atau tergelincir dll, terasa aneh bagi yang mendengarnya maka ini ditatsabbut.
Bentuk tatsabbutnya ialah dengan mengecek sanad.
— kamu tsiqah dapat berita dari fulan wa fulan, juga tsiqah = maka diterima.
— Atau kamu tsiqah, tapi dapat beritanya dari fulan wa fulan, dia musta'jil atau dia tidak jelas = maka ditolak.
40:58
🔬 [ Kedua ] — Yang membawa berita ma'rul bil kadzib / dikenal seorang dengan kedustaannya = hukum asal beritanya ditolak.
Namun para ulama memberikan sebuah pengecualian:
— Terkadang seorang dikenal dustanya (berkata) jujur menyampaikan beritanya.
- berdasarnya kisah iblis yang berkata jujur dalam mengkabarkan kepada Abu Hurairah tentang amalan membaca ayat kursi sebelum tidur.
Maka cara memastikan kebenaran beritanya adalah dengan merujuk kepada pihak yang berkompetan, ahlul ilmi, para ulama para masyayikh, orang yang dikenal keilmuannya, orang yang berkompetan untuk mengkroscek, sebagaimana Abu Hurairah yang bertanyakan kepada Rasulullah untuk memastikan keabsahan berita yang disampaikan oleh iblis tersebut.
45:10
🔬 [ Yang Ketiga ] — Orang yang membawa berita adalah orang yang fasik, juga dikatakan oleh para ulama termasuk orang yg majhul = maka hendaknya ditabayyun beritanya (artinya tidak langsung diterima atau ditolak namun dikroscek dulu).
Ada dua kemungkinan:
1 - beritanya memiliki penguat-penguat dari ahlu shidqi (orang yang jujur), bahwa pembawa berita ini benar beritanya - wajib kamu terima berita tersebut walaupun pembawa asal beritanya tadi seorang yang fasik atau majhul.
2. Ada penguat-penguat dari ahlu shidqi bahwa pembawa berita ini salah atau dusta beritanya = maka berita tersebut ditolak.
Ini semua terkait dengan kaidah tabayyun, yakni terkait dengan orangnya.
48:04 Terkait dengan masalah khabar setelah yakin dan dipastikan dari khabar shadiq atau dari murajihat (penguat-penguat lain dari orang yang shadiq) bahwa itu adalah khabar yang shahih:
Ada satu poin lagi yang harus diperhatikan baik², terkait dengan masalah khabar yang sudah diketahui kesahihannya:
Yakni terkait menyebarkan berita ini, maka ini babnya lain lagi. Ini masuk dalam bab pertama yang dibahas di atas tadi, ta'anni dalam berbicara. Yakni tidak semua berita yang kamu tahu disebarkan, harus ditimbang dulu sebagaimana proses ta'anni fil kalam,
- ikhlaskah atau tidak,
- shahihkah atau tidak, dan
- dampak menyebarkannya maslahat atau tidak.
50:17 Dari sinilah para ulama memberikan kaidah at-tafriqu baina majalis (membedakan majlis) - ada majalis khassah (khusus) dan majalis ammah (umum)
majalis ammah = yg dihadiri berbagai kalangan, yg disampaikan adalah faidah ilmiyyah umum yg bisa ditangkap/diserap oleh pemikiran mereka dlm bab akidah, akhlak, abdab, muamalah dll. ( Bukan tempatnya menyampaikan yang sifatnya interen / sifatnya privasi / rahasia / hal² yg menjadi ranahnya ulama & para duat = tidak untuk konsumsi umum. )
majalis khassah = ini orang-orang yang berkompetan dibidangnya (yang bicara) = para uqala (orang-orang yang berakal), shahibu ta'anni yang berkompetan dalam bidangnya dari kalangan para duat, asatidzah tertentu saja. Disampaikan kepada sekumpulan orang saja / forumnya terbatas.
Selengkapnya bisa mendengarkan audio video di atas:
- https://youtu.be/OrYqOJFkBDo
- https://t.me/Mp3_kajian/2375