BERITA DI SEKITAR KITA
…عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ حِينَ قَالَ لَهَا أَهْلُ الإِفْكِ مَا قَالُوا، فَبَرَّأَهَا اللهُ مِنْهُ
“Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, istri terkasih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang isu yang disebarkan oleh ahlul ifki (para penyebar dusta) mengenai kehormatan beliau. Isu yang kemudian Allah menyucikan diri beliau darinya
Takhrij Haditsul Ifki
Kisah yang disebut dengan haditsul ifki ini secara lengkap diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahihnya (no. 4750) dan beberapa tempat lain.
Al-Imam Muslim juga meriwayatkan kisah ini di dalam Shahih-nya (17/102).
Selain beliau berdua, yang meriwayatkan kisah ini adalah at-Tirmidzi (4/155), Ahmad (6/59), Abdur Razzaq (5/410) Ibnu Jarir (18/90) dan lainnya.
Hadits di atas sering dipilih oleh ahli hadits sebagai bukti kejelian, puncak kemampuan, dan kekuatan ilmu al-Imam az-Zuhri rahimahullah. Betapa tidak? Beliau memperoleh alur kisah di atas dari empat orang guru, yaitu Urwah bin Zubair, Said bin al-Musayyab, ‘Alqamah bin Waqqash dan Ubaidullah bin Abdillah. Apa yang telah dilakukan?
Az-Zuhri mengulang kembali haditsul ifki dalam satu alur saja. Sebuah kisah yang tersaji dengan menghimpun seluruh alur cerita yang disampaikan oleh guru-gurunya.
Al-Jam’u baina asy-syuyukh (menghimpun beberapa riwayat lantas disampaikan dalam satu alur) yang dilakukan oleh az-Zuhri bisa diterima oleh ulama. Sebab, beliau adalah seorang perawi yang hafizh lagi mutqin. Selain itu, az-Zuhri menguasai betul letak persamaan dan titik perbedaan riwayat-riwayat tersebut.
Perawi yang tingkatannya tidak seperti az-Zuhri, jika melakukan al-jam’u baina asy-syuyukh, tidak dapat diterima. Oleh sebab itu, ulama mengingkari riwayat semacam ini dari al-Waqidi, Atha’ bin as-Sa’ib, Jabir al-Ju’fi, ‘Auf al-A’rabi, dan lainnya. Sebab, mereka semua tidak memenuhi kriteria untuk melakukannya. (Syarh ‘Ilal at-Tirmidzi, 2/672—677)
Berita Dusta
Ada sekian berita dusta yang pernah tercatat dalam sejarah Islam. Isu-isu tidak berdasar, tuduhan keji, kabar palsu, dan informasi bohong, menjadi pilihan utama untuk memerangi Islam dan kaum muslimin. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diisukan sebagai seorang dukun, tukang sihir, dan penyair? Bahkan, beliau dikatakan sebagai orang gila. Subhanallah!
Masihkah kita akan terseret dalam arus kesedihan? Apakah kita terus terjebak pada belenggu kecewa? Sedih dan kecewa dengan kadar sewajarnya masihlah disebut manusiawi. Ya, menghadapi atau mendengar isu dusta dan berita bohong memang amat mengganggu. Apalagi kita yang menjadi obyeknya. Masya Allah!
Jangan terjebak dalam belenggu kecewa! Tak usahlah terseret dalam arus kesedihan! Saat isu dusta diembuskan walau perlahan, ketika berita bohong disebarkan meski terang-terangan, marilah kita mengingat kembali sepotong cerita tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rumah tangganya. Cerita yang amat menyayat hati. Cerita yang menyadarkan bahwa kita bukanlah apa-apa.
Ujian di Bulan Sya’ban
Tahun tersebut menjadi tahun kelima Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bumi Madinah. Kisahnya bermula dari kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan undian untuk memilih, siapakah di antara istri-istri beliau yang akan menemani, melayani, dan berkhidmat selama perjalanan ke luar kota. Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha menjadi nama yang terpilih saat itu.
Dalam perjalanan pulang, rombongan berkemah untuk beristirahat di malam hari. Walaupun telah memberi izin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha untuk menunaikan hajat di penghujung malam saja. Benar saja, Ibunda Aisyah pun mencari lokasi sepi, meninggalkan letak perkemahan, sendirian dan di akhir malam.
Hampir bersamaan, Rasulullah radhiallahu ‘anha mengeluarkan perintah kepada rombongan untuk berangkat melanjutkan perjalanan.
Khusus untuk kaum wanita, ketika dalam perjalanan dibuatkan rumah-rumahan kecil semacam tandu untuk kemudian dipanggul. Tak terkecuali Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha saat itu. Rombongan berangkat. Mereka yang bertugas untuk mengangkat tandu, tidak merasa apabila Ibunda Aisyah tidak berada di dalamnya. Ringannya badan Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha ketika itu membuat mereka tidak dapat membedakan antara ada dan tidak adanya beliau di atas tandu. Mereka mengira, Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha ada di dalamnya. Perjalanan terus dilanjutkan.
Sungguh! Semua urusan di atas muka bumi ini telah diatur sedemikian sempurna. Ada Dzat yang Mahasempurna di atas sana. Dialah yang menentukan, memastikan, dan berkuasa atas seluruh peristiwa. Kita yakin ada sejuta hikmah di balik satu kisah atau sepotong musibah. Terutama untuk menyadarkan bahwa kita hanyalah makhluk yang lemah sehingga harus selalu berpulang, pasrah, dan menyerahkan segala-galanya kepada Allah ‘azza wa jalla.
Sekembalinya ke lokasi perkemahan, Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha terkejut karena tempat telah kosong dan sepi. Berbekal kecerdasan dan ketenangan, beliau memutuskan untuk menunggu di tempat itu saja, tanpa harus panik atau bingung. Katanya, “Tentu mereka akan merasa kehilangan dan akan kembali ke tempatku ini.”
Cukup lama Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha menunggu sampai akhirnya beliau tertidur. Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha terbangun saat mendengar istirja’ sahabat Shafwan bin Mu’aththal radhiallahu ‘anhu, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Ternyata Shafwan yang berkemah di bagian belakang rombongan pun tertidur pulas sehingga tertinggal. Shafwan yang melihat sosok seseorang lalu mendekati. Segera Shafwan mengenalinya sebagai Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha, apalagi dia pernah melihatnya sebelum ayat hijab diturunkan. Langsung saja Shafwan radhiallahu ‘anhu mengucapkan istirja’, memanggil dan menderumkan untanya, lalu mendekatkannya ke arah Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha.
Tidak ada satu patah kata pun yang terucap dari Shafwan radhiallahu ‘anhu. Jangankan satu patah kata, satu huruf pun tidak. Shafwan radhiallahu ‘anhu sangat mengerti adab dan etika. Tidak mungkin dia berbicara kepada keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada di sana. Shafwan radhiallahu ‘anhu begitu besar sikap hormatnya kepada Aisyah radhiallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah ‘azza wa jalla meridhainya.
Pun demikian Aisyah radhiallahu ‘anha. Tidak ada satu huruf pun yang terucap, apalagi sampai satu kata. Beliau adalah wanita suci lagi disucikan. Beliau adalah istri seorang hamba yang suci. Tidak mungkin Allah ‘azza wa jalla memilihkan seorang pendamping hidup untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali wanita yang terbaik. Itu pasti! Semoga Allah ‘azza wa jalla meridhainya.
Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha kemudian naik ke atas unta karena memahami maksud dari Shafwan radhiallahu ‘anhu. Mereka berjalan mengejar rombongan. Shafwan radhiallahu ‘anhu berjalan di depan unta dan menggiringnya, tanpa pernah sekali pun memandang atau menoleh ke belakang. Akhirnya mereka berhasil menyusul saat matahari beranjak naik, di waktu dhuha.
Kacamata Berita
Kesempatan. Ya, peristiwa itu digunakan oleh orang-orang munafik untuk menyebarkan isu, berita bohong, dan kabar palsu. Mereka menyebarkan bahwa seorang sahabat Nabi telah berselingkuh dengan salah seorang istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Digembar-gemborkan, digemparkan, dan di-blow-up sedemikian rupa.
Lihatlah! Jangankan berita yang murni bohong, jelas-jelas palsu, kaum munafikin juga memelintir, merekayasa, dan memotong-motong sebuah cerita sehingga tersebar tidak seperti aslinya. Peristiwa yang sebenarnya terjadi sebagaimana dipaparkan di atas, bukan semacam yang disebarluaskan oleh kaum munafikin!
Seperti itulah liciknya musuh-musuh Islam. Maka dari itu, janganlah heran atau terkejut apabila ada sekian banyak isu-isu murahan atau berita dusta yang disematkan pada Islam, dakwah tauhid, dakwah sunnah, terlebih lagi pada pribadi para pengampunya. Bukankah dakwah salaf sering dituduh sebagai dakwah keras, takfiri, teroris, jumud, tertutup, merasa benar sendiri, dan seabreg tuduhan lainnya?
Ada duka di kota Madinah. Orang-orang sama bertanya, “Ada apa ini? Mengapa bisa terjadi?”
Ketika kaum munafikin gembira dan tertawa, kaum mukminin bersedih. Mereka bersedih karena ikut merasakan kesedihan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat yang sama, kaum mukminin sangatlah yakin bahwa kabar itu adalah dusta semata. Mereka menyatakan dengan penuh keyakinan,
مَّا يَكُونُ لَنَآ أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبۡحَٰنَكَ هَٰذَا بُهۡتَٰنٌ عَظِيمٞ ١٦
“Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita untuk memperbincangkan hal ini. Mahasuci Engkau (wahai Rabb kami),ini adalah dusta yang besar.” (al-Nur: 16)
Di sinilah terletak pelajaran penting dalam hal menyikapi berita di seputar kita. Contohlah kaum mukminin di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berusaha untuk tidak terlarut dalam isu-isu yang diembuskan. Apalagi terkait dengan kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Bersikaplah teliti, bekali diri dengan filter untuk menyaring, dan bertanyalah kepada orang-orang tepercaya dalam hal menanggapi berita.
Orang mukmin tidaklah mudah menerima isu atau kabar burung. Berita yang tidak jelas sumbernya, referensinya entah dari mana, janganlah langsung diterima. Apalagi terkait dengan harga diri, kehormatan, dan nama baik seorang muslim. Haruslah lebih berhati-hati!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu,
إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الْاِسْتِطَالَةُ فِيْ عِرْضِ الْمُسْلِم بغَيْرِ حَقٍّ
“Sungguh, perbuatan riba yang paling besar adalah berbicara tentang kehormatan seorang muslim secara tidak benar.” (HR. Abu Dawud dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad 1/313)
Pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berisra’ dan mi’raj, diperlihatkan kepada beliau orang-orang yang berada di dalam neraka. Mereka memiliki kuku-kuku panjang terbuat dari tembaga. Mereka mencakar-cakar wajahnya sendiri. Saat ditanyakan, Malaikat Jibril menjawab,
هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
“Mereka adalah orang-orang yang memakan daging orang lain (berbuat ghibah) dan menjatuhkan kehormatan orang lain.” (HR. Abu Dawud dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad 1/508)
Demikianlah ajaran Islam! Berhati-hati dalam berbicara, bersikap teliti saat menukil berita.
Menjadi Obyek Berita?
Apabila menjadi obyek sebuah isu, apa yang harus dilakukan? Contohlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Tirulah Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha! Hayatilah secara saksama sikap-sikap beliau saat menghadapi gencarnya isu sesat yang disebarkan oleh kaum munafikin. Beliau berdua tidak terburu-buru, tidak pula tergesa-gesa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , hamba yang memperoleh petunjuk ilahi dari atas langit ketujuh, tidaklah mengambil keputusan sendiri. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diam dan tidak berbicara. Yang beliau lakukan adalah menunggu dan menanti turunnya wahyu dari Allah ‘azza wa jalla. Biarlah Allah ‘azza wa jalla yang memutuskan.
Nah, inilah yang mesti kita lakukan saat menjadi obyek isu. Kembalilah kepada Allah dengan memperbanyak tobat, istighfar, dan zikir. Mengeluh dan mengadulah kepada-Nya. Mohonlah petunjuk dan kesabaran dari-Nya. Bacalah kalam Allah ‘azza wa jalla agar hati menjadi sejuk, jiwa bertambah tenang. Seperti itu pula yang dilakukan oleh Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha.
Dalam salah satu perbincangan kecil dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha mengakui dirinya adalah seorang perempuan muda yang tidak banyak menghafal al-Qur’an. Akan tetapi, beliau menyatakan, “Demi Allah! Tidak ada permisalan yang dapat aku sampaikan kepada kalian kecuali ucapan ayah Nabi Yusuf,
فَصَبۡرٞ جَمِيلٞۖ وَٱللَّهُ ٱلۡمُسۡتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ ١٨
“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (Yusuf: 18)
Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha! Kembali kepada Allah ‘azza wa jalla saat isu dan berita dusta tiba menyapa. Berikutnya adalah memohon masukan dan saran dari orang-orang dekat dan dapat dipercaya.
Selama masa penantian wahyu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu. Subhaanallah! Kepada yang jauh lebih muda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta saran. Berapakah usia Usamah saat itu? Masih sangat belia, muda sekali. Hanya beberapa belas tahun umurnya. Bayangkan, tentang urusan rumah tangga yang bersifat privasi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap meminta saran dari orang lain.
Lantas bagaimana halnya dengan kita? Mestinya tidak perlu sungkan atau malu hati untuk meminta saran dan masukan dari orang lain saat menghadapi isu atau berita tidak mengenakkan. Asalkan orang itu dapat dipercaya dan bersifat amanah. Tirulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!
Seperti itu juga yang dilakukan oleh Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha. Saat pertama kali mendengar berita dusta tersebut, Ibunda Aisyah meminta izin kepada Rasulullah radhiallahu ‘anha agar diperbolehkan menemui kedua orangtuanya.Kepada kedua orangtuanya, Abu Bakr ash-Shiddiq dan Ummu Ruman istrinya, Aisyah radhiallahu ‘anha meminta masukan. Sang ibu menyatakan, “Wahai putriku, anggap ringan saja masalah ini bagimu!”
Ingat-ingatlah pula bahwa tentu ada yang terpengaruh akibat isu atau berita dusta yang beredar. Jika sungguh-sungguh bertobat dan meminta maaf, berikanlah maaf untuknya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq yang memaafkan Misthah radhiallahu ‘anhu, padahal ia pun terlibat dalam berita dusta yang disebarkan oleh kaum munafikin.
Ringkasnya, hidup di dunia ini tentu tidak akan lepas dan terbebas dari isu miring atau berita dusta. Alhamdulillah, Islam telah mengatur dan membimbing langkah terbaik untuk menghadapinya.
Dengan membaca kisah haditsul ifki, semoga Allah ‘azza wa jalla meringankan beban pikiran kita. Amin.
Wallahul Muwaffiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar