Atsar.id
Atsar.id oleh Abu Abdillah

sabar tidak berarti diam dari kemungkaran

9 tahun yang lalu
baca 17 menit

Sabar Tidak Berarti Diam Dari Kemungkaran


Sabar itu pahit, namun akibatnya lebih manis daripada madu. Ungkapan yang sangat indah dan memesona apabila dicermati dan dikaji. Sabar itu memang pahit, bagaikan menggenggam bara api dan seperti diiris sembilu. Bagaimana tidak, di saat kita dihadapkan pada sesuatu yang disenangi oleh hawa nafsu, kesempatan dan peluang terbuka lebar untuk melampiaskannya, kemampuan untuk melaksanakannya ada, tidak ada mata manusia yang melihatnya, gejolak nafsu membara, oleh Allah Subhanahu wata’ala kita diperintahkan untuk mengerem diri dan menahannya. Sungguh, betapa berat.

Di saat kita berada dalam amal saleh dan ketaatan, bisa jadi amal itu berisikopada hilangnya nyawa, harta benda, dan keturunan, kita diperintahkan untuk tegar di atasnya. Tidak boleh mundur dan goyah, menerima segala kemungkinan yang akan terjadi dalam pelaksanaannya. Lebih-lebih, ketaatan tersebut sangat tidak disenangi oleh hawa nafsu serta dibenci oleh iblis dan bala tentaranya dari kalangan manusia dan jin. Sungguh, betapa berat sabar di atasnya. Di saat kita mengerahkan segala kemampuan untuk mengejar sebuah cita-cita dalam hidup ini, pengorbanan yang tidak sedikit telah dikeluarkan, usaha dengan segala cara sudah ditempuh, segala yang dibutuhkan untuk mengejar cita-cita tersebut telah dikerahkan, keberhasilan sudah di ujung tanduk dan di pelupuk mata—menurut perkiraan—, teman teman dan saudara telah menyaksikan akan terjadinya sebuah keberhasilan, sanjungan dan pujian kerap kali menyapa dan menggiurkan seolah-olah dunia berada dalam genggaman, tiba-tiba tanpa diduga terjadi sebaliknya. Kegagalan yang sangat dalam. Luluh lantak segala usaha yang kita bangun. Setelah itu Allah Subhanahu wata’ala memerintah kita untuk bersabar dan menerimanya dengan lapang dada. 

Itulah sabar, betapa beratnya. Sungguh, pahit dan berat, namun akibatnya di kemudian hari akan manis nan indah. Sabar, Lentera Jiwa

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ

“Barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya petunjuk di dalam hatinya.” (at-Taghabun: 11)

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Abu Hatim dari Alqamah, ia berkata, “Yaitu seseorang yang ditimpa oleh sebuah musibah dan dia mengetahui bahwa semuanya datangnya dari Allah Subhanahu wata’ala, lalu dia ridha dan menerimanya.”

Saudaraku, adakah nikmat yang lebih besar daripada nikmat hidayah yang telah merasuk dalam sanubari? Adakah nikmat yang lebih besar daripada hati yang telah dilumuri hidayah Allah Subhanahu wata’ala? Tentu, tidak ada akhir dan akibat dari kesabaran selain kebahagiaan dan kelezatan. Allah Subhanahu wata’ala  akan menggantikan dunia yang telah luput darinya dengan petunjuk di dalam hati, keyakinan yang penuh kejujuran. Allah Subhanahu wata’ala pun akan mengganti apa yang telah diambil-Nya.

Al-Imam Ahmad rahimahumallah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala telah menyebutkan sabar dalam sembilan puluh tempat di dalam kitab-Nya.”

Sabar, Senjata yang Ampuh dan Berharga

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa (10/48), menjelaskan, “Musibah-musibah adalah nikmat. Sebab, ia akan menghapus dosa-dosa dan mendorong seseorang untuk bersabar sehingga mendapatkan ganjaran. Musibah akan mengajakseseorang untuk bertobat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan merendah diri di hadapan-Nya, berpaling dari makhluk (yang tidakmampu berbuat apa-apa, -pen.), dan  berbagai maslahat lain. Cobaan itu sendiri berfungsi menghapuskan segala dosa dan kesalahan, dan ini sendiri sudah termasuk nikmat yang sangat besar.”

Musibah-musibah adalah rahmat dan nikmat bagi seluruh manusia, kecuali apabila musibah itu menyeretnya ke  dalam kubangan maksiat, tentu ini adalah musibah yang lebih besar lagi dibanding sebelumnya. Dari sisi inilah, yaitu akibat yang akan merusak agamanya, musibah itu menjadi kejelekan baginya. Di antara manusia ada yang ditimpa oleh kefakiran, penyakit, atau rasa sakit lalu timbullah pada dirinya kemunafikan, keluh kesah, penyakit di dalam hati, meninggalkan beberapa kewajiban, dan melaksanakan hal-hal yang diharamkan. Ini mengakibatkan kemudaratan bagi agamanya. Karena itu, sehat lebih baik baginya ditinjau dari musibah yang terjadi setelahnya, bukan ditinjau dari esensi musibah itu sendiri. Sebagaimana halnya jika musibah itu membuahkan kesabaran dan ketaatan, berarti di dalamnya terkandung nikmat agama.

Musibah itu merupakan perbuatan Allah Subhanahu wata’ala yang akan menjadi rahmat bagi si makhluk.

Allah Maha Terpuji atas semuanya. Barang siapa diuji oleh Allah Subhanahu wata’ala dengan musibah dan diberi kesabaran, kesabaran itu menjadi sebuah nikmat dalam agamanya. Setelah kesalahan-kesalahannya dihapuskan, niscaya dia akan mendapatkan taburan rahmat. Bila dia memuji Allah Subhanahu wata’ala atas ujian yang dia derita, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan memujinya. 

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ

“Mereka mendapatkan shalawat dan rahmat dari Rabb mereka.” (al- Baqarah: 157)

Dia akan memetik buahnya, yaitu diampuni kesalahan-kesalahannya dan diangkat derajatnya. Karena itu, barang siapa menerima musibah itu dengan kesabaran yang wajib, niscaya dia akan  memperoleh semuanya.

Sabar dan Cinta, Teman Sejoli?

Ibnul Qayyim rahimahumallah dalam kitab beliau Madarijus Salikin (2/162) menjelaskan, “Sesungguhnya kesabaran dalam menanggung beban derita untuk mengejar keinginan yang dicintai Allah Subhanahu wata’ala  adalah bukti kebenaran cinta kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dari sinilah, bisa dikatakan bahwa cinta mayoritas orang adalah dusta. Sebab, mereka mengaku cinta kepada Allah Subhanahu wata’ala, namun saat Allah Subhanahu wata’ala menguji mereka dengan sesuatu yang tidak mereka sukai, mereka lepas dari hakikat cinta dan tidak ada yang kokoh bersama-Nya, selain orang-orang yang bersabar. 

Kalaulah tidak sabar memikul segala beban berat dan yang tidak disukai, niscaya cinta mereka adalah dusta. Jelaslah bahwa orang yang paling tinggi tingkat cintanya adalah yang paling besar tingkat kesabarannya. Berdasarkan hal ini, Allah Subhanahu wata’ala memuji secara khusus para wali dan kekasih-Nya dengan kesabaran. 

Allah Subhanahu wata’ala berfirman, tentang kekasih-Nya Ayyub ‘Alaihissalam,

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا ۚ نِّعْمَ الْعَبْدُ ۖ إِنَّهُ أَوَّابٌ

“Sesungguhnya Kami dapati dia dalam keadaan bersabar, dia adalah sebaik-baik hamba dan sesungguhnya dia orang yang banyak bertobat.” (Shad: 44)

Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan hamba- Nya yang terbaik untuk bersabar terhadap segala hukum-Nya. Allah Subhanahu wata’ala memberitakan pula bahwa Dia yang telah menjadikan beliau bersabar. Allah Subhanahu wata’ala memuji orang-orang yang bersabar dengan sebaik-baik pujian dan telah menjamin dengan ganjaran yang besar. Allah Subhanahu wata’ala menjadikan ganjaran selain orang-orang yang bersabar terbilang, sedangkan ganjaran untuk mereka tidak terbatas. Allah Subhanahu wata’ala menggandengkan sabar dengan Islam, iman, dan ihsan. Allah menjadikan sabar sebagai saudara yakin, tawakal, iman, amalan-amalan, dan takwa.

Allah Subhanahu wata’ala memberitakan bahwa orang yang bersabarlah yang akan mengambil manfaat dari ayat-ayat-Nya. Da memberitakan juga bahwa kesabaran itu benar-benar sebuah keberuntungan bagi pemiliknya, dan para malaikat mengucapkan salam kepada mereka di dalam surga karena kesabaran mereka.

Kesabaran Sebagian Ulul ‘Azmi

Allah Subhanahu wata’ala  berfirman,

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِل لَّهُمْ ۚ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِّن نَّهَارٍ ۚ بَلَاغٌ ۚ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul. Janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (al-Ahqaf: 35)

As-Sa’di rahimahumallah menjelaskan, “Kemudian Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk bersabar dari gangguan para pendusta dan penentang agar beliau terus mendakwahi mereka ke jalan Allah Subhanahu wata’ala dan mengambil ibrah dengan kesabaran ulul azmi dari para rasul—para pemimpin makhluk ini. Mereka adalah orang-orang yang memiliki azam dan keinginan yang tinggi, kesabaran yang mendalam, keyakinan yang sempurna. Mereka paling berhak untuk diteladani, diikuti langkahlangkahnya dan diterima bimbingan mereka. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam melaksanakan perintah Rabbnya, lalu bersabar dengan kesabaran yang tidak pernah terwujud pada nabi dan rasul sebelum beliau.

Para musuhnya melemparkan panahnya dari satu busur. Mereka bangkit untuk menghadapi beliau dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu wata’ala. Mereka berbuat apa saja yang bisa mereka lakukan sebagai bentuk permusuhan dan peperangan. Namun, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa tabah melaksanakan perintah Allah Subhanahu wata’ala, terus maju menghalau musuh-musuh Allah Subhanahu wata’ala, bersabar menanggung beban gangguan hingga Allah Subhanahu wata’ala mengokohkan beliau di muka bumi, memenangkan agamanya atas seluruh agama, dan memenangkan umatnya atas seluruh umat. Shalawat dan salam atas beliau. Jangan engkau tergesa-gesa terhadap para pendusta yang menantang azab Allah Subhanahu wata’ala disegerakan.

Ini merupakan bukti kejahilan dan ketololan mereka. Jangan pula sekali-kali engkau berputus asa karena kejahilan mereka. Jangan pula permintaan mereka untuk disegerakannya azab Allah Subhanahu wata’ala menyebabkanmu mendoakan kebinasaan mereka. Sesungguhnya apa yang pasti datang itu adalah dekat.
Di saat mereka melihat apa yang telah dijanjikan, mereka merasa tinggal di dunia ini hanyalah sesaat. Janganlah engkau sedih karena bernikmat-nikmatnya mereka di dunia, padahal mereka sedang berjalan menuju azab yang sangat pedih. Sementara itu, dunia ini, kenikmatan di dalamnya, syahwat-syahwatnya, hanya sementara dan penghilang dahaga yang berkamuflase. Kami telah jelaskan al-Qur’an yang agung ini dengan terang dan gamblang sebagai bekal kalian (di dunia) serta sebagai bekal untuk ke negeri akhirat. Sebaik-baik bekal adalah bekal yang akan menyampaikan ke negeri kenikmatan dan yang menjaga dari azab yang pedih.

Sungguh, al-Qur’an merupakan sebaik-baik bekal bagi setiap makhluk dan nikmat teragung yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada mereka. Tidaklah akan binasa dengan azab dan hukuman kecuali orang-orang fasik, yaitu orang-orang yang tidak memiliki kebaikan. Mereka telah keluar dari ketaatan kepada Rabb mereka dan tidak mau menerima kebenaran yang dibawa oleh para rasul. Allah Subhanahu wata’ala telah memberikan uzur kepada mereka dan memberikan peringatan, namun setelah itu mereka terus-menerus berada dalam pendustaan dan kekafiran. Kita meminta dari Allah Subhanahu wata’ala perlindungan.” (Lihat Tafsir as-Sa’di hlm. 729)

Kesabaran Nabi Nuh ‘Alaihissalam

Allah Subhanahu wata’ala banyak bercerita di dalam al-Qur’an tentang kepribadian Nabi Nuh’Alaihissalam sebagai rasul pertama kali di muka bumi ini. Ayat-ayat tersebut menggambarkan kepribadian yang tangguh, kesabaran yang tinggi, semangat yang kuat, dan tawakal kepada Allah Subhanahu wata’ala. Umur panjang yang dianugerahkan oleh Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam, 950 tahun, dipergunakan untuk melaksanakan tugas-tugas yang suci, siang dan malam tanpa rasa lelah dan bosan.

Di sisi lain, keluarga beliau, yaitu istri dan anak, bangkit melakukan manuver-manuver penentangan dan pembangkangan terhadap segala yang dibawanya. Begitu pula mayoritas kaum beliau, menentang seruan beliau. Yang ada hanya kesedihan dan pasrah atas semuanya itu. Sebab, apa yang bisa diperbuat tatkala keputusan Allah Subhanahu wata’ala  berbeda dengan keinginan diri. Beban derita yang didapatinya dalam mengemban amanat Allah Subhanahu wata’ala tidak menyebabkan beliau putus asa dalam tugas yang berat itu. Justru sebaliknya, hal itu menambah keyakinan dan semangat beliau akan datangnya pertolongan Allah Subhanahu wata’ala. Beragam ejekan, olokan, dan cemoohan kaumnya datang silih berganti, namun tidak menggoyahkan beliau sedikit pun. Kegigihan beliau berdakwah kepada Allah Subhanahu wata’ala dan kesabaran menanggung beban derita di jalan dakwah tidak menjadi penghalang beliau untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.

Kesabaran Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam

Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam adalah sosok nabi yang tabah dan sabar. Hal itu tergambar dalam sirah (sejarah) hidupnya yang diceritakan oleh Allah Subhanahu wata’ala di dalam al-Qur’an. Tatkala bertambah umur dan belum dikaruniai keturunan, beliau bermunajat kepada Allah Subhanahu wata’ala  agar mendapatkan keturunan. Allah Subhanahu wata’ala mendengar dan mengabulkan permintaannya. Tatkala si buah hati tumbuh berkembang hingga menjadi dewasa, Allah Subhanahu wata’ala menguji beliau. Allah perintahkan si buah hati yang diidam-idamkannya disembelih. Bagaimanakah beliau menyikapi perintah tersebut?

Ternyata, perintah itu sedikit pun tidak menggoyahkan keimanan beliau kepada Allah Subhanahu wata’ala, tidak melemahkan dan menodai cintanya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Perintah itu beliau junjung tinggi dan laksanakan tanpa keraguan sedikit pun. Sungguh, sangat berat ujian menimpa beliau. Beliau lulus dan berhasil menjalani ujian tersebut. Itulah akhir bagi orang-orang yang bertakwa.
Allah Subhanahu wata’ala menguji beliau dengan kekafiran sang bapak dan penentangan kaumnya yang sangat besar. Beliau menghadapi semuanya dengan penuh keberanian, kesabaran, ketabahan, dan tawakal yang tinggi kepada Allah Subhanahu wata’ala. Sang bapak mengancam untuk merajam dan mengusirnya jika tidak berhenti dari seruannya. Kaumnya sendiri dengan angkara murka mengobarkan api menggunung untuk membakarnya. Semua itu tidak menjadikan beliau berhenti mengingkari kemungkaran dan menyeru kepada kebaikan.

Kesabaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam

Beliau adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus oleh Allah Subhanahu wata’ala. Beliau adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelah beliau. Allah Subhanahu wata’ala menyempurnakan agama-Nya dengan pengutusan beliau sekaligus sebagai penyempurna atas agama yang lain. Nasib beliau dalam dakwah tidaklah berbeda dengan para rasul sebelumnya. Bahkan, beliau mendapatkan ujian yang lebih berat dibandingkan dengan para nabi dan rasul sebelum beliau. Orang yang pernah membaca sirah beliau pasti mengetahuinya.

Siang dan malam, tanpa rasa lelah dan bosan beliau menyeru umatnya untuk menyembah Allah Subhanahu wata’ala semata. Keluarga terdekat beliau bangkit menghadang dakwahnya. Celaan dan caci makian bertubi-tubi datang dengan berbagai bentuk. Bahkan, tindak kekerasan dan ancaman kerap menimpa beliau. Sekali lagi, kemenangan bagi hamba-Nya yang bertakwa. Semuanya tidak menjadikan beliau takut untuk menyuarakan wahyu dari Allah Subhanahu wata’ala.

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasululah, siapakah orang yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka dari kalangan manusia. Seseorang akan diuji sesuai dengan agamanya. Jika agamanya kokoh, bertambahlah ujian itu. Jika pada agamanya kelemahan, dikurangi ujiannya. Terus-menerus ujian itu menyertai seorang hamba sampai dia berjalan di muka bumi ini tanpa membawa kesalahan.” ( HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selain mereka, dinyatakan sahih oleh asy- Syaikh al-Albani di dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 143)

Contoh Ujian yang Menimpa Ulama

Umat Rasulullah adalah umat terbaik di tengah umat-umat yang ada. Mereka umat terakhir, namun menjadi umat yang pertama kelak di akhirat, sebagaimana halnya nabi dan rasul mereka adalah yang terbaik dan imam para rasul. Kemurnian dan kesempurnaan agama yang dibawa oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dijaga dan dipelihara oleh Allah Subhanahu wata’ala sampai akhir zaman. Allah Subhanahu wata’ala membangkitkan tokoh umat ini sebagai tentara-Nya untuk mengawal dan menjaga kesempurnaan serta kemurnian agama-Nya. Dia membangkitkan para mujaddid yang akan melakukan pembaruan terhadap syariat Allah Subhanahu wata’ala yang telah dirusak, dinodai, dikotori, dan dimatikan.

Tepatnya pada abad ke-3 H, Allah Subhanahu wata’ala memunculkan sederetan mujaddid dan mujtahid, di antaranya al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Abu Abdillah. Beliau harus berhadapan dengan tiga penguasa bani Abbasiah yang telah terperosok ke jurang kesesatan, yaitu pemahaman bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Tiga pengausa itu adalah al- Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq. Al-Baihaqi berkata, “Tidak ada khalifah sebelumnya (al-Ma’mun) kecuali berada di atas mazhab dan manhaj salaf.” Hidup di bawah kekuasaan mereka, al-Imam Ahmad rahimahumallah mendapatkan teror, ancaman, dan penyiksaan.

Mereka memaksa agar al-Imam Ahmad mau mengikrarkan, “Al-Qur’an itu makhluk.” Al-Imam Ahmad rahimahumallah kokoh dalam prinsip, “Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk.” Beliau tampil menghadapi ancaman tanpa rasa gentar dan takut, bagaikan kokohnya gunung batu yang menjulang tinggi. Bak pohon yang akarnya kokoh menancap di bumi, tidak diombang-ambingkan oleh badai. Bagaikan karang menggunung di lautan, tidak tergoyahkan oleh ombak yang dahsyat.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahumallah dalam kitab beliau al-Bidayah wa an-Nihayah (14/396—399) menceritakan perjalanan pahit hidup al-Imam Ahmad di bawah tekanan tiga penguasa bani Abbasiah tersebut. Semuanya menunjukkan tanda kebesaran Allah Subhanahu wata’ala  di umat ini dan akhir yang baik bersama orang-orang yang bertakwa. Allah Subhanahu wata’ala menjadi saksi. Ulama-ulama di masa al-Imam Ahmad rahimahumallah, serta umat ini turut menyaksikan kekokohan, kekuatan, kesabaran, keberanian, kecerdasan, keilmuan, kezuhudan, ketakwaan, ketawadhuan, serta berbagai sifat agung dan mulia lainnya. Kesabaran beliau menanggung beban hidup dalam memperjuangkan kebenaran tidak menghalangi beliau untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.
Wallahu a’lam.

Al-Ustadz Abdurrahman Abu Usamah

Sumber : 
keutamaan-sabar
Oleh:
Abu Abdillah