Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

renungan : hidup bernafas ketulusan

5 tahun yang lalu
baca 7 menit

"HIDUP BERNAFAS KETULUSAN"

Oleh Ustadz Mukhtar bin Rifa'i hafizhahullah

Ah... Dunia yang semakin lama bertambah tua. Dunia yang sesaat lagi berakhir dan berganti alam. Dunia yang penuh dengan dusta, kepalsuan dan kepura-puraan. Dunia yang terus diwarnai dengan penghianatan. Adakah setetes embun, penyejuk dari segala kepenatan itu? Tulus! Setulus apa?

Tulus artinya sebuah kesungguhan. Bersih hati dan benar-benar bersumber dari hati yang suci. Jujur dan tidak sekadar berpura-pura. Ikhlas, dalam bahasa keseharian beragama kita. Di hingar bingar, di hiruk pikuk dan di gemerlapnya dunia ini, ketulusan semakin sulit untuk kita temukan.

Ada banyak hal yang mestinya dilalui dan dijalani dengan ketulusan. Tanpa ketulusan, semua hal pasti dirasa berat dan susah. Memindahkan barang ringan dari sebuah tempat ke beberapa senti meter di sebelahnya pun akan menjadi beban berat, bila tanpa ketulusan.

Lihatlah, ada banyak pekerjaan berat di sana. Akan tetapi, masih ada juga sejumlah kecil hamba yang amat ringan untuk menjalaninya. Bahkan mereka mampu menikmatinya! Bukankah shalat lima waktu secara berjama'ah -dan tepat waktu-, dirasa berat oleh sebagian kalangan? Tetapi bagi kaum yang tulus? Bagi mereka yang bernafas dalam kekhusyu'-an? Apakah dirasa berat? Tidak!!!

Coba perhatikan firman Allah berikut ini!

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ

 "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'."[Q.S. Al Baqarah:45]

Iya, hidup bersabar dan teguh menegakkan shalat memang berat. Bagi siapa? Berat bagi mereka yang tak menjadikan ketulusan sebagai tempat kaki berpijak. Sementara, kaum yang tulus tidak mengenal istilah "berat" dalam kamus hidupnya.

Saya terhitung lambat untuk memahami dan meresapi kata-kata hikmah dari seorang ulama besar bernama Sufyan Ats Tsauri. Ternyata -baru-baru ini saya tersadar-, ucapan beliau itu memang amat berbobot. Tahukah Anda, seperti apakah ucapan beliau?

"Maa 'aalajtu syai'an asyadda 'alayya min niyyatii, liannahaa tanqalibu 'alayya". Kata beliau; "Tidak ada satu hal pun yang lebih sulit untuk aku hadapi selain niatku sendiri. Sebab, niat itu selalu berubah-ubah!"

Niat di hati memang selalu bergerak. Isi hati di pagi hari belum tentu masih sama saat petang datang menanti. Semalaman kedua mata terpejam, sebangunnya di kala fajar maksud hati telah berganti. Hanya karena satu dua kali bisikan di telinga dari orang, bisa jadi merubah sebuah tekad yang telah membulat. Itulah niat, yang mengatur ada tidaknya sebuah Ketulusan.

Dalam beribadah, sebagai bukti ketulusan, adalah tidak bergesernya semangat dalam kondisi apapun. Ia dipuja, dipuji, disanjung dan disebut-sebut orang, ibadahnya tidak lantas dibuat bertambah. Ketika ia di caci, dihinakan atau dibenci, tetap saja ibadahnya terjaga. Tiada berkurang.

Saat ia sendirian, tidak ada orang lain, semangatnya untuk beribadah tetap sama ketika ia sedang berbarengan dengan yang lain. Ah, inti dari ketulusan dalam berniat adalah semangat yang sama dalam kondisi apapun. Memang benar kata-kata Yahya bin Abi Katsir! Selalulah belajar tentang ketulusan niat, sebab hal itu lebih dalam berbobot dibanding amalan nyata.

Nah, hidup tulus dalam bersahabat juga bisa menjadi tetesan-tetesan penyegar dalam kegersangan dunia. Bersahabat dengan tulus bukanlah sebuah mimpi yang mudah diimpikan setiap orang. Bersahabat dengan tulus kini menjadi sumber mineral hati yang ditambang.

Seorang kenalan Nabi datang di tengah-tengah sahabat. Ternyata ia hendak menagih Rasulullah. Rupanya, Nabi pernah meminjam seekor hewan miliknya. Namun para sahabat marah besar bahkan hendak melakukan tindakan fisik. Kenapa? Orang itu berbicara dengan kasar di hadapan Nabi! Namun, Rasulullah dengan bijak menanggapi santai.

Beliau meminta sahabat untuk menyiapkan seekor hewan untuk menggantinya. Sesuai dengan umurnya! Namun, para sahabat tidak menemukan. Ketulusan seperti apakah yang diajarkan oleh Rasulullah saat itu? Beliau bersabda dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhari Muslim, "Berikan untuknya dengan umur yang lebih baik! Sungguh, salah satu orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik dalam melunasi."

Subhanallah! Seindah itulah Rasulullah mencontohkan! Walaupun orang tersebut berucap kasar, beliau tetap menanggapi dengan tenang. Bahkan beliau memberi ganti dengan yang lebih baik. Inilah salah satu bentuk ketulusan di dalam bersahabat! Walaupun disakiti, ia berusaha untuk tetap menjaga persahabatan.

Dalam pengertian beberapa ulama, sahabat itu adalah orang yang shadaqaka bukan yang shaddaqaka. Dengan huruf dal tanpa tasydid artinya selalu tulus dalam bersikap. Maksudnya? Ia tidak berharap dipuji saat mendukung kebaikan sahabatnya. Ia siap dibenci hanya karena menegur kesalahan sahabatnya. Ia tidak kecewa ketika dilupakan dan ia tetap merendah bila diingat.

Profil Sahabat yang Tulus

Shaddaqaka-dengan dal bertasydid- artinya selalu mengatakan iya kepadamu. Tanpa melihat benar salah, tidak mempertimbangkan untung rugi dan bukan memperhatikan baik buruk, orang itu selalu mendukung dan mengatakan iya. Apakah orang semacam ini pantas dianggap sebagai sahabat? Tidak! Jangan pernah dekat-dekat dengan orang semacam ini!

Mencari sahabat yang tulus bak menemukan jarum di tingginya tumpukan jerami. Susah. Berat. Tidak mudah. Hamdun Al-Qashar menyebut, "Orang mukmin itu selalu berusaha menemukan udzur (mencari alasan) untuk sahabatnya. Adapun orang munafik, selalu mencari-cari kesalahan sahabatnya.

Inilah salah satu profil sahabat tulus yang kita cari-cari selama ini, bukan? Kita memang banyak salah. Kita memang selalu khilaf. Namun, mencari orang yang bisa memahami kita adalah usaha yang sulit. Bukan berarti tidak ada. Ada! Namun, jarang ditemukan. Al-Imam Ibnul A'rabi berpesan, "Berusahalah untuk melupakan kesalahan sahabatmu! Cinta dan persahabatan itu pasti akan bertahan lama".

Kesalahan yang untuk dilupakan adalah kesalahan yang bersifat pribadi. Bukan terkait prinsip-prinsip beragama. Jika prinsip beragama yang dilanggar, tidak ada alasan bagi kita untuk mendiamkan dan membiarkannya. Inilah persahabatan yang tulus! Mencari sahabat yang tulus, mungkinkah? Mungkin, jawabannya.

Seorang sahabat yang dinyatakan oleh Abu Shalih Al Mizzi adalah, "Dia yang bergaul dengan baik bersamamu. Ia yang selalu mengarahkan dirimu untuk yang terbaik, dunia maupun akhiratmu". Ia tidak memerhatikan apa maumu. Ia tidak peduli dengan apa keinginanmu dan bagaimanakah caranya untuk meraih keinginan itu. Akan tetapi, ia selalu berpikir tentang kebaikanmu dan manakah yang terbaik untukmu. Untuk dunia dan akhiratmu.

Menurut Umar bin Khatthab, seperti apakah caranya untuk menjaga ketulusan di dalam bersahabat? Dengan mengucapkan salam untuknya, memberi tempat yang lapang untuk duduknya dan engkau panggil dia dengan sebutan yang ia senangi. Mudah dan simpel bukan? Mulai dari hal-hal yang sederhana semacam inilah kita mulai mencari sahabat yang tulus.

Toh, bukan sesuatu yang mustahil untuk menemukannya. Lagipula, tidak semua orang itu buruk. Masih ada banyak orang yang pantas untuk disebut sebagai sahabat sejati. Namun, sebelum menuntut dan meminta orang lain menjadi sahabat yang tulus, buatlah dirimu sebagai sahabat yang tulus terlebih dahulu. Akur, bukan? Baarakallaahu fiik

Sumber : Majalah Qudwah Edisi 21 Vol 02 2014 Halaman 45

Oleh:
Atsar ID