(103)
Madasta adalah singkatan untuk Ma'had Darul Atsar Tasikmalaya.
Letaknya di Kawalu membuat Madasta ikonik dengan view alam yang menakjubkan. Tepat di tengah hamparan sawah bersanding sungai cukup besar di arah bawah, apalagi ditambah dengan tampaknya gunung Galunggung yang gagah.
Subhanallah!
Undangan Ustadz Abu Hamzah Yusuf tak kuasa ditolak. Akhirnya 2 hari 1 malam, bisa juga menikmati suasana komplek Madasta yang mengguratkan cerita indah di hati.
Satu hal yang cerlang cemerlang di hati adalah rerata santri Madasta yang memiliki minat dan bakat menulis.
Saya ditunjukkan setumpuk kertas berisikan puisi-puisi dan artikel karya mereka.
" Apakah santri yang menulis puisi ini sedang berkisah tentang dirinya yang pernah jenuh belajar atau ia menceritakan orang lain ", tanya saya sambil memegang selembar kertas puisi.
Seorang pengurus menerangkan bahwa santri tersebut memang pernah futur; berhenti belajar dari pondok.
" Pantas saja kata-katanya berbobot ", saya menilai.
Begini puisinya yang diberi lukisan pena di sampingnya:
Pena yang pernah usang
Pena ini...
Sempat tak lagi berisi tinta
Sempat menetes padanya air mata
Sebab hilangnya pada hatiku cinta
Yang membuatku jatuh kepada jurang yang gelap gulita
Kukira hidupku akan berakhir seperti ini
Hilang arah dan sendiri dalam sepi
Namun nyatanya hidayah datang sekali lagi
Tak ada lagi ragu dan bimbang di dalam hati
Hatiku...
Kembali tertuju kepada ilmu
Seperti dulu
Kalbu ini penuh dengan rasa rindu
Pena ini kuisi kembali
Kutemui teman-temanku lagi
Hingga aku tak lagi merasa sendiri
Semoga Ar Rahman menjadikanku seperti ini
Sampai akhir hayat menghampiri
* * * *
Santri-santri Madasta - dan tentu santri pesantren-pesantren lainnya- , perlu didorong dan disupport untuk menulis.
Orangtua harus siap menyediakan fasilitas dan sarana. Jangan eman-eman untuk membelikan alat-alat tulis. Tidak usah merasa rugi jika anak-anak kita meminta diadakan sarana menulis. Berilah jalan untuk mereka!
Menulis banyak manfaatnya. Minimalnya sebagai satu saluran yang mengalirkan isi hati dan pikiran mereka. Supaya tidak tersumbat. Agar tidak mampat.
Sebab, terkadang isi hati tak dapat disampaikan dengan lisan namun terwakilkan dalam tulisan. Bukan dengan suara mereka berbicara, tetapi dengan tinta mereka berkata-kata.
Sejak kapan anak-anak kita menulis?
Sejak dini, dan jangan sampai terlambat, kenalkan dan buatlah mereka cinta menulis.
Mengenai kualitas, penulis manapun perlu jam terbang. Jika sejak kecil telah mulai belajar terbang, bukankah anak-anak kita kelak akan menjadi elang-elang yang mengitari dunia?
Maka, tulisan berikut saya tujukan untukmu, Santri Pejuang bukan Pecundang...
Tulisan berjudul : Menulis Sejak Muda.
Sebenarnya tulisan berikut adalah tulisan yang diminta redaksi majalah Al Uswah; majalah anak-anak muda terbitan Ma'had Darul Atsar Temanggung. Namun, pastilah tak mengapa jika tulisan yang sama saya tujukan kepada setiap remaja...
Cirebon, 28 Rajab 1443 H/28 Februari 2022
=====
https://t.me/salafytitasik/6646