Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

permisalan ilmu

5 tahun yang lalu
baca 12 menit

PERMISALAN ILMU

Al-Ustadz Abu Falih Yahya حفظه الله تعالى
Permisalan Ilmu
Ilmu adalah sebuah kata yang tidak butuh lagi kepada definisi. Sebab, penunjukan maknanya sudah begitu jelas. Ilmu adalah harta paling berharga yang menjaga pemiliknya. Ilmu adalah warisan nubuwah. Siapa yang mengambilnya, sungguh telah mengambil bagian yang sangat melimpah. Ilmu adalah sarana yang akan mengantarkan hamba menuju surga. Ilmu adalah hiasan terindah yang melekat pada manusia. la bisa mengangkat rakyat jelata pada kedudukan yang tinggi.

Dalam Kitab Shahih Muslim disebutkan, bahwa Nafi’ bin Abdul Harits, seorang gubernur Makkah yang diangkat oleh Amirul Mukminin Umar bin Al Kaththab رضي الله عنه kala itu, bertemu dengan Umar bin Al Kaththab di daerah Asfan. Amirul Mukminin Umar bin Al Khaththab bertanya, ”Siapa yang engkau tunjuk sebagai wakilmu di Makkah?” Dia menjawab, "Aku mengangkat Ibnu Abza, bekas budak kami.” ”Kamu angkat seorang bekas budak?" Sahut Amirul Mukminin. 

Dia menimpali, ”Sesungguhnya dia ahli Al Quran, dan berpengetahuan luas tentang ilmu waris.” Amirul Mukminin pun berkata, ”Sungguh, Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda (yang artinya), ‘Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan sebab Al Quran ini suatu kaum, dan merendahkan kaum yang lain’.”

lnilah salah satu bukti dari janji Allah سبحانه وتعالى dalam surat Al Mujadilah ayat 11. Bahwa Dia سبحانه وتعالى akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. lni berupa ketinggian derajat di dunia. Dan masih ada ketinggian derajat yang jauh lebih baik dan lebih kekal lagi, yaitu di surga kelak. Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma berkata, ”Para ulama memiliki kelebihan di atas kaum mukminin sebesar tujuh ratus derajat. Jarak antara dua derajatnya adalah perjalanan Iima ratus tahun.” [dinukil dari Waratsatul Anbiya‘, hal. 6]. 

Subhanallah..., betapa luas karunia-Mu ya Allah, semoga Allah سبحانه وتعالى menjadikan kita dari golongan mereka.

Cahaya ilmu begitu terang benderang menyingkap gelapnya setiap keraguan dan syubhat yang ditebarkan setan. Sehingga dengan ilmu, seorang bisa beribadah kepada Allah di atas bashirah, bukan sekedar meraba, mengira, dan ikut-ikutan. Tentu tidak sama antara orang yang menyembah Allah dalam keadaan sadar dan yakin bahwa ibadah itu diperintahkan Allah dan caranya sesuai dengan tuntutan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dengan orang yang hanya beribadah demi melihat orang tua dan masyarakat sekelilingnya melakukannya. 

Orang pertama itulah yang benar-benar merealisasikan ibadahnya kepada Allah. Karenanya, Dia سبحانه وتعالى berfirman: 

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ

”Katakanlah, ’Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” [Q.S. Az Zumar: 9].

Sungguh besar keutamaan iImu di sisi Allah, sampai-sampai Imam Muhammad bin Syihab Az Zuhri رحمه الله berkata, "Tidaklah Allah diibadahi dengan ibadah (yang lebih agung) semisal dengan ilmu.”

Pasalnya, dengan ilmu, ibadah- ibadahnya akan sah dan bernilai besar. Dengan seorang mengetahui syarat, rukun, dan kewajiban-kewajiban suatu ibadah, Ialu dia amalkan, maka ini menjadi kadar minimal ibadah itu menjadi sah.

Selebihnya, jika dia juga mengetahui sunnah-sunnahnya secara lengkap dan terperinci, kemudian ia amalkan, maka akan menjadikan ibadahnya semakin sempurna dan pahalanya bernilai besar. Adapun orang jahil, boleh jadi dia tidak mengetahui syarat, rukun, atau wajibnya, hingga ibadahnya akan batal. Atau dia jahil terhadap sunnah-sunnahnya, hingga ibadahnya menjadi kurang sempurna.

Alasan yang lain, karena ahli ilmu adalah orang yang paling takut kepada Allah سبحانه وتعالى. Bahkan, dia senantiasa dalam ibadah kepada Allah dalam setiap kondisinya. Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه berkata, "Seorang faqih senantiasa dalam keadaan shalat.” Orang-orang bertanya, ”Bagaimana dia shalat?"

Beliau menjawab, ”Berdzikir kepada Allah dengan qalbu dan Iisannya.” [Shahih Jami’ Bayan al 'Ilmi wa Fadhlihi, hal. 48]. 

Maha Besar Allah..
llmu adalah materi kehidupan qalbu. Dengan seizin Allah سبحانه وتعالى, ia bisa menghidupkan kembali qalbu yang telah mati, sebagaimana hujan menghidupkan negeri. la bisa mengusir kebutaan dari qalbu pemiliknya, sebagaimana cahaya bulan bisa menghilangkan pekatnya kegelapan malam. Karenanya, menuntut ilmu menjadi salah satu pendekatan diri kepada Allah yang paling utama, melebihi berbagai cara pendekatan diri lainnya.

lmam Sufyan Ats Tsauri رحمه الله mengatakan, "Tiada suatu amalan pun yang Iebih utama dibandingkan menuntut ilmu jika niatnya benar."

Imam Asy Syafi’i رحمه الله juga menjelaskan, ”Menuntut ilmu lebih utama dibandingkan dengan shalat- shalat sunnah."

Saudara seiman, apa yang penulis sebutkan dari awal ini tentunya terkait dengan ilmu agama. Yaitu memahami wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya, memahami Al Kitab dan As Sunnah, bukan selainnya. Sebab, ilmu itulah yang dipuji syari'at. Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan demikian. Di antaranya, yang terdapat dalam sebuah permisalan indah dari seorang nabi yang tiada berucap dari hawa nafsunya. 

Dari Abu Musa AI Asy’ari رضي الله عنه dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: 

مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ

”Permisalan petunjuk dan ilmu yang dengannya Allah mengutusku, bagai hujan lebat yang menyirami bumi. Sebagiannya berupa tanah yang baik (gembur), menyerap air lalu menumbuhkan rerumputan yang banyak. Sebagiannya berupa tanah cadas yang menahan air. Dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia. Darinya mereka minum, memberi minum (ternaknya), dan bercocok tanam. Hujan tersebut juga menyirami sebagian lain berupa hamparan pasir, tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan rerumputan.

Itulah pemisalan orang yang paham tentang agama Allah dan mendapat manfaat dari ilmu yang dengannya Allah mengutusku, hingga dia pun berilmu dan mengajarkan ilmunya. Dan (permisalan) orang yang tidak mau mengangkat kepala terhadapnya, dan tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus." [H.R. Al Bukhari no. 79 dan Muslim no. 2282]. 

Saudara seiman, dalam hadits ini Nabi shallallahu alaihi wasallam membuat permisalan tentang agama yang beliau bawa. Yaitu laksana siraman hujan Iebat yang menyeluruh, yang datang ketika kondisi manusia sangat membutuhkannya. Demikianlah keadaan manusia sebelum beliau diutus. Sebagaimana air hujan bisa menghidupkan kembali negeri yang mati, ilmu agama akan menghidupkan qalbu yang mati.

Selanjutnya beliau ibaratkan manusia sebagai tanah dengan beragam jenisnya. Sebagian mereka ada orang yang berilmu, beramal, dan mengajarkan ilmunya. Orang seperti ini ibarat tanah yang baik, yang bisa menyerap air dan mengambil manfaat darinya, kemudian menumbuhkan tanaman. Sehingga memberi manfaat bagi selainnya.

Sebagian Iain ada orang yang mengumpulkan ilmu. Hanya saja dia tidak mengamalkan yang sunnah-sunnahnya, atau kurang mendalami makna-makna ilmu yang dihafalnya. Namun demikian, dia tetap menyampaikannya kepada orang lain. Orang seperti ini ibarat tanah keras yang mampu menahan air, lalu manusia mengambil manfaat darinya.

Sebagian lagi ada orang yang mendengar ilmu, namun tidak dia hafal, tidak diamalkan, dan tidak pula disampaikan kepada yang Iain. Orang seperti ini ibarat hamparan pasir yang tidak bisa menahan air, tidak pula menumbuhkan tanaman. [ringkasan dari penjelasan Al Qurthubi yang dinukil dalam Fathul Bari 1/258-259]. 

Beberapa faedah yang bisa diambil dari hadits tersebut, di antaranya: 
1. Bagusnya pengajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam. Salah satu metode pengajaran beliau adalah membuat permisalan agar Iebih mudah dicerna dan dipahami. 

2. Keutamaan ilmu syar'i, serta motivasi yang besar untuk belajar agama dan mengajarkannya. 

3. Tercelanya berpaling dari ilmu. 

Saudara seiman, betapa agung dan berharganya ilmu. Sungguh, ilmu adalah sesuatu yang paling layak untuk dikorbankan waktu, harta, dan segalanya demi mendapatkannya.

Orang-orang cerdas dari dulu hingga sekarang telah menyingsingkan lengan bajunya, menghadapkan diri dan mengerahkan seluruh usahanya demi ilmu. Banyak kisah indah dan teladan menakjubkan dari orang-orang pilihan tersebut.

Shahabat mulia Jabir bin Abdillah radhiallahu 'anhuma yang tinggal di Madinah rela menempuh perjalanan jauh menemui shahabat Abdullah bin Unais رضي الله عنه yang tinggal di Syam (sekarang mencakup Palestina, Yordania, Suria, dan Libanon, red) demi mendengarkan satu hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Jabir رضي الله عنه mengisahkan, "Sampai berita kepadaku tentang sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang belum aku dengar. Aku pun membeli seekor unta, lalu aku ikatkan pelana di atasnya dan menempuh perjalanan selama sebulan hingga di Syam. Setelah sampai di rumah Abdullah bin Unais, aku katakan kepada penjaga pintu, 'Katakan padanya, 'Jabir ada di depan pintu.' 

Penjaga itu pun menyampaikannya. Abdullah bertanya, "Jabir bin Abdillah?" Selanjutnya pedagang itu datang lagi dan bertanya kepadaku. Aku menjawab, "Iya." Penjaga itu kembali dan mengabarkannya. Maka segera bangkitlah Abdullah sambil menyeret pakaiannya, hingga bertemu denganku. Ia memelukku dan akupun memeluknya.

"Ada sebuah hadits yang sampai kepadaku dari jalanmu. Engkau mendengarnya dari Rasulullah tentang qishash. Sementara aku belum pernah mendengarnya. Aku khawatir sekiranya engkau meninggal atau aku yang meninggal terlebih dahulu sebelum aku mendengarnya." Kata Jabir bin Abdullah رضي الله عنه menyampaikan hajatnya. 

Abdullah bin Unais رضي الله عنه lalu menyebutkan hadits. [Tadribu Ar Rawi 2/142, dinukil dari Waratsatul anbiyya‘, hal.53]. 

Shahabat ‘Uqbah bin Al Harits رضي الله عنه melakukan safar dari Makkah ke Madinah untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang satu permasalahan. 

Dari Abu Mulaikah, dari 'Uqbah bin AI Harits رضي الله عنه bahwa dia menikahi putri Abu Ihab bin Aziz. Lalu datang seorang perempuan dan berkata, "Sesungguhnya aku telah menyusui 'Uqbah dan wanita yang dinikahinya." ‘Uqbah pun berkata kepadanya, "Aku tidak pernah tahu bahwa engkau pernah menyusuiku. 

Engkau pun tidak pula pernah mengabarkannya kepadaku." Lalu ‘Uqbah berkendara menuju Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di Madinah dan bertanya kepada beliau. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun bersabda, ”Bagaimana lagi, sedangkan hal itu sudah dikatakan.” Akhirnya 'Uqbah menceraikannya dan wanita itu menikah dengan orang lain. 
[H.R. Al Bukhari].

Sebagian mereka sampai menghabiskan masa yang sangat lama dalam safarnya menuntut ilmu. 

Imam Abu Abdillah Muhammad bin Imam bin Mandah رحمه الله melakukan safar untuk menuntut ilmu ketika usianya baru 20 tahun. Beliau kembali ke negerinya ketika usianya sudah mencapai 65 tahun. Sehingga lama pengembaraannya dalam belajar ilmu adalah 45 tahun. Selama itu beliau menuntut ilmu dari 1700 guru. Setelah pulang ke negerinya, beliau menikah dalam usia 65 tahun dan dikaruniai beberapa anak. Beliau menyampaikan hadits kepada manusia dan mengajari mereka. 

Padahal, perjalanan safar ketika itu sangatlah berat dan penuh rintangan. Melintasi padang pasir yang panjang, panas, dingin, lapar, dan dahaga. Belum lagi bahaya selama perjalanan yang senantiasa mengancam.

Sehingga safar panjang tersebut terkadang berpengaruh terhadap kondisi jasmani.

Imam Al Hafizh Muhammad bin Thahir Al Maqdisi رحمه الله mengisahkan, ”Aku sampai kencing darah 2 kali ketika mencari hadits. Sekali di Baghdad dan sekali di Makkah. Sebabnya aku biasa berjalan tanpa alas kaki dalam perjalananku menuntut ilmu ketika panas yang sangat menyengat di atas kerikiI-kerikil yang membakar. Hingga hal itu berpengaruh pada jasmaniku. Aku pun kencing darah. Aku sama sekali tidak pernah naik kendaraan ketika mencari hadits, kecuali hanya sekali. 

Aku selalu membawa kitab-kitabku di atas punggung selama perjalanan, hingga menetap di berbagai negeri. Ketika mencari ilmu, aku tidak pernah meminta harta kepada siapa pun. Aku bertahan hidup atas rezeki yang Allah berikan kepadaku tanpa meminta-minta.” 

Perjalanan panjang yang sungguh melelahkan dengan bekal seadanya. Ketika bekal itu habis, hingga ada yang minum dari air kencingnya sendiri karena terpaksa, untuk bertahan hidup. Hal ini bahkan sampai 5 kali. Seperti yang dialami oleh Abdurrahman bin Khirasy Al Marwazi رحمه الله. Ada juga yang sampai makan rumput seperti yang dialami oleh Muhammad bin Abi Hatim رحمه الله. 

Pembaca, yang dimuliakan Allah.

Masih banyak potret indah dan kisah menakjubkan tentang perjuangan dan pengorbanan para ahli ilmu dan hadits dalam menjaga sunnah dan syari’at nabi-Nya. Sehingga, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa mereka adalah para penjaga Islam, dengan izin Allah. Ini juga menjadi bukti firman Allah سبحانه وتعالى: 

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ

”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar yang akan menjaganya.” [Q.S. Al Hijr: 9]. 

Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber || Majalah Qudwah Edisi 07
Oleh:
Atsar ID
Sumber Tulisan:
Permisalan Ilmu