Manusia adalah tempat salah dan lupa. Tak seorang pun yang berani menjamin dirinya akan tetap terjaga, tidak tercebur dalam kubang maksiat. Dan kini, bisa jadi ia hidup dalam ketaatan. Namun, apakah ia lantas berani menyatakan dirinya akan terus menerus dalam ketaatan itu? Qalbu manusia ada di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahman. Ketergelinciran, tak memandang bulu. Seorang alim pun bisa saja jatuh terpuruk. Dalam lintasan sejarah hidup manusia, tertoreh kisah keterpurukan itu.
Akan tapi, sebaik-baik manusia yang tenggelam dalam lumpur dosa adalah yang mau mengentaskan diri. Ia bangkit, berkemas meninggalkan maksiat. Ia sesali dosa-dosa yang melumuri dirinya. Ia berazam, berbulat tekad, tak akan mengulang kesalahan telah terjadi. Lembaran kelam dalam hidupnya ditutup. Lembaran baru nan putih bersih ia jejaki. Ia memulai hidup baru sebagai manusia yang bertaubat.
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian ia bertaubat dengan segera. Maka, mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Q.S. An-Nisa:17].
“Maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” [Q.S. An-Nashr:3].
Abu Musa, Abdullah bin Qais Al Asy ’ari radhiyallahu 'anhu menyampaikan pernyataan Nabi shallallahu 'alaih wasalam, sabda beliau yang artinya,
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk menerima taubat seseorang yang berbuat kesalahan kala siang hari. Allah pun membentangkan tangan-Nya pada waktu siang hari untuk menerima taubat seseorang yang berbuat kesalahan kala malam hari, hingga matahari terbit dari tempat tenggelamnya (arah barat).” [H.R. Muslim, no.2759].
Pintu taubat senantiasa terbuka luas. Allah subhanahu wa ta'ala Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya. Karenanya, bersegeralah memohon ampun kepada-Nya. Bertaubat kepada-Nya. Tak perlu menunggu waktu atau menunda-nunda. Sebab, tak seorang pun tahu kapan ajal menjemputnya.
Seorang shahabat bernama Ma’iz bin Malik radhiayallahu 'anhu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ia menyengaja menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasalam. Ia ingin mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan di dadanya.
Saat bertemu, kesempatan itu tak disia-siakan. Ma’iz berterus terang kepada Nabi atas apa yang telah dilakukannya. Dirinya
telah terjatuh kepada perbuatan dosa. Kata Ma’iz radhiyallahu 'anhu, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku.” Ma’iz memohon
kepada Rasulullah. “Ada apa dengan dirimu? Kembalilah engkau. Mintalah ampun kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya.” Kata Rasulullah memberi bimbingan kepada Ma’iz. Mendengar ucapan mulia dari lisan Khalilullah (Kekasih Allah), Ma’iz pun beranjak. Ia kembali ke tempat asalnya.
Namun selang berapa lama, Ma’iz berupaya lagi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam. Ma’iz pun meminta
kepada beliau agar membersihkan dirinya dari dosa. “Wahai Rasulullah, sucikanlah daku.” Pintanya penuh harap. Jawaban Rasulullah pun sama saat kali pertama ia menemui beliau. “Ada apa dengan dirimu? Kembalilah engkau. Beristighfarlah kepada Allah. Bertaubatlah kepada-Nya.” Demikian yang disampaikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam kepada Ma’iz radhiyallahu 'anhu. Setelah mendengar
itu, Ma’iz pun kembali. Apa yang dicitakan tak terkabulkan saat itu. Nabi ` menginginkan agar Ma’iz menutup masalahnya dengan
memohon ampun dan bertaubat kepada Allah Yang Maha Penyayang.
Untuk kali ketiga, Ma’iz berusaha lagi menghadap Rasulullah. “Wahai Rasulullah, sucikanlah diriku.” Pintanya. Nabi menimpali dengan jawaban yang sama ketika dirinya datang pada kali pertama dan kedua. Hingga, untuk kali keempat Ma’iz tetap menemui kembali Rasulullah. Yang ia pinta sama, “Wahai Rasulullah, sucikanlah diriku.” Rasulullah pun bertanya balik, “Lantaran perbuatan apa (sehingga) engkau harus disucikan?” Ma’iz radiyallahu 'anhun menjawab, ”Lantaran perbuatan zina.”
Untuk masalah ini, Rasulullah pun menanyakan perihal Ma’iz kepada kaumnya. “Apakah Ma’iz memiliki penyakit gila?” .
Maka kaumnya mengabarkan kepada Rasulullah, bahwa Ma’iz tidak mengidap sakit jiwa.
Lantas Nabi bertanya kepada seseorang, “Apakah dia dalam keadaan telah minum khamer (mabuk)?”
Mendengar pertanyaan Nabi ` semacam itu, seorang laki-laki lalu membaui Ma’iz . Orang tersebut tak mendapati bau khamer (minuman keras) pada diri Ma’iz.
Lantas Rasulullah bertanya kepada Ma’iz, “Apakah dirimu telah berbuat zina?” “Ya.” Jawab Ma’iz z singkat.
“Apakah engkau memahami apakah zina itu?” Tanya Rasulullah lebih menukik.
Ma’iz menjawab, “Ya. Zina, yaitu ketika seorang laki-laki mendatangi wanita yang diharamkan baginya sebagaimana seorang suami
mendatangi istrinya.”
Rasulullah pun lantas bertanya kembali, “Apakah engkau melakukan terhadap wanita itu?” “Ya.” Jawab Ma’iz.
"Hingga keadaannya sebagaimana jarum celak masuk ke dalam botolnya, atau tali timba masuk ke dalam sumur?” Tanya Rasulullah lebih mendalam. Ma’iz pun memberi jawaban singkat, “Ya.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam lantas memerintahkan untuk merajam Ma’iz . Tanah pun digali guna menanam tubuh Ma’iz. Saat itu, orang-orang terpilah dua. Sekelompok orang mengatakan tentang dia, “Sungguh ia telah celaka. Telah dibalas kesalahannya
dengan hukuman rajam itu.” Sebagian orang lagi mengatakan, “Tiada taubat yang lebih utama dari taubatnya Ma’iz. Sungguh, ia telah datang kepada Nabi, lantas ia letakkan tangannya pada tangan beliau seraya berucap, ‘Bunuhlah aku dengan batu’.”
Hukum rajam pun dilaksanakan.
Ma’iz bin Malik radhiyallahu 'anhu akhirnya meninggal dunia melalui hukuman tersebut. Kemudian Rasulullah mendatangi para shahabat, tatkala mereka tengah duduk-duduk. Rasulullah pun memberi salam, lantas duduk bersama mereka. “Mohonkanlah ampunan
bagi Ma’iz bin Malik.” Kata Rasulullah memerintahkan kepada para shahabat. Kemudian para shahabat pun mendoakan Ma’iz bin Malik. “Semoga Allah mengampuni Ma’iz bin Malik.” Demikian doa itu terucap dari para shahabat. Rasulullah bersabda,
“Sungguh ia telah bertaubat dengan sebuah taubat, yang apabila dibagikan kepada umat, benar-benar taubat itu mencukupi mereka.”
Di antara faedah dari kisah Ma’iz bin Malik, bahwa hukuman had (pidana berdasar hukum Islam) bisa memupus dosa kemaksiatan yang melekat pada seseorang. Demikian pula dosa maksiat yang masuk kategori dosa-dosa yang besar (kaba’ir), bisa gugur dengan cara bertaubat kepada Allah .
Wallahu a’lam.
[Sumber rujukan kisah ini lihat Shahih Muslim, no.1694-1695, Syarhu Riyadhi Ash-Shalihin, Kitabu Al-Adab, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitabu Al-Hudud, karya An-Nawawi].
Dikutip dari Majalah Qudwah Edisi 2