HIDUP DI TENGAH KELUARGA YANG TIDAK ISTIQAMAH
[Hukum Berkeluh-kesah Menceritakan Kondisi Keluarga dan Cara Menghadapi Ayah yang Tidak Ridha Putrinya dinikahi Laki-laki yang Istiqamah]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
PERTANYAAN:
“Saya seorang pemudi yang multazimah (istiqamah) namun hidup di rumah yang penuh dengan kemungkaran. Televisi ditampilkan. Tidak diperdengarkan kecuali suara nyanyian. Tidak makan dan minum kecuali dengan tangan kiri. Dan ayahku tidak ridha dan tidak menerima lamaran dari seorang penuntut ilmu dan yang lainnya(yang semisalnya).
Jika saya mengeluhkan kondisiku kepada kerabat-kerabatku apakah itu teranggap bersandar kepada makhluk?
Dan apakah terhitung pembicaraanku kepada kerabat-kerabatku tentang ciri-ciri pemuda yang dikehendaki ayahku adalah perbuatan mempermalukannya?”
JAWABAN:
“Saya memohon kepada Allah untuk pemudi yang istiqamah ini agar Dia mengokohkannya di atas agamanya. Dan semoga Dia mempersiapkan baginya suami yang shalih yang dia(wanita) menolongnya dan dia(laki-laki) menolongnya di atas ketaatan kepada Allah.
Adapun keluarganya maka saya memohon kepada Allah untuk menganugerahkan hidayah kepada mereka, semoga mereka bertaubat kepada Allah Ta’ala, dan hendaknya mereka memahami bahwa dunia bukanlah surga(yang bebas berbuat apa saja, pent.). Bahkan negeri dunia adalah tempat cobaan dan ujian. Dan hendaknya mereka memaklumi bahwa mereka tidak lain tercipta untuk ibadah kepada Allah.
▪Bagi ayahnya apabila seseorang yang se_kufu_ dalam agama dan akhlaknya telah melamar puterinya, hendaknya ia menikahkannya. Apabila ia tidak mau, saudara laki-lakinya yang menikahkannya. Jika tidak berkenan maka pamannya. Dan jika enggan pula maka tuan qadhi (hakim wakil pemerintah) yang menikahkannya.
▪Dan si pemudi memiliki hak untuk mengangkat permasalahannya kepada hakim pengadilan, jika seorang yang sekufu telah melamarnya dan telah jelas rasa senangnya (si pemudi) kepadanya. Maka ia paparkan masalahnya kepada sang ayah. Jika ia tidak mau maka kepada saudara laki-lakinya. Andai juga enggan maka kepada pamannya. Apabila tidak mau maka anak pamannya.
Maka jikalau tidak berkenan juga –dan ini kebanyakan yang terjadi pada orang-orang, kita memohon perlindungan-Nya, jika mereka melihat ayahnya melarang maka mereka tidak mau menikahkannya. Ini kekeliruan mereka. Sebab hal ini adalah bentuk meremehkan kewajiban mereka.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ ، إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
Jika datang kepada kalian seorang yang kalian ridha terhadap agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia. Apabila kalia tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah(musibah) di muka bumi dan kerusakan yang luas. H.R. at-Tirmidziy
▪Dan keluhan si pemudi kepada saudari-saudarinya apabila dalam rangka bermusyawarah maka tidak mengapa.
Jika keluhan itu untuk mencela keluarganya maka tidak boleh, sebab tidak bermanfaat.
✒ Dan apabila keluh-kesah itu untuk meringankan apa yang ada di hatinya dari kesedihan dan kesempitan maka tidak mengapa pula.”
Fataawa ‘alath Thariq fi Masaail Mutanawwi’ah, Al-‘Utsaimin, hal. 732 – 733.
📑 Alih Bahasa:
Al-Ustadz Abu Yahya al-Maidany hafizhahullah
••••
📶 https://t.me/ForumBerbagiFaidah [FBF]
🌍 www.alfawaaid.net | www.ilmusyari.com