Atsar.id
Atsar.id oleh Abu Abdillah

meneladani rasulullah... obat dari penyimpangan

8 tahun yang lalu
baca 13 menit
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc.)



Merebaknya tindak kejahatan serta perbuatan asusila dengan berbagai macam ragamnya semestinya membuat kita tidak sekadar mengelus dada. Sudah saatnya kita kembali kepada ajaran agama yang benar.
Melihat dari kacamata adab Islami, banyak sekali perilaku masyarakat yang menyimpang dari jalan yang benar. Disadari atau tidak, pergeseran dari nilai-nilai agama itu sebagai akibat dari menjauhnya umat dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Sehingga mereka tidak memiliki filter untuk membedakan mana yang dari Islam dan mana yang bukan. Hal ini diperparah dengan jarangnya orang yang memiliki perhatian untuk merombak situasi yang semrawut ini. Bahkan didapati orang yang justru berkampanye untuk melestarikannya dengan berbagai dalih, di antaranya kebebasan berekspresi.
Seorang tua manakala melihat perilaku anaknya yang menyimpang, terkadang hanya menanggapi dengan bahasa dingin: “Lumrah,” atau “Dulu kita waktu masih muda juga seperti itu,” atau kalimat yang semisal. Padahal dari sinilah masa depan suatu bangsa ditentukan. Sehingga pembangunan di berbagai bidang tidak akan banyak berguna manakala mentalitas dan moralitas umat tidak dibangun. Ini merupakan tugas berat yang dipikul oleh pemerintah dan ahlul ilmi, yang menuntut langkah cepat dan tepat sebelum segala sesuatunya terlambat.
Kejahatan moral tidak bisa dianggap enteng karena akan bisa menggoncang stabilitas bangsa dan salah satu jembatan menuju masa depan di akhirat yang suram. Tidak heran jika sekarang ada orang yang mengeluhkan perilaku jelek tetangganya, seorang istri mengeluh karena dimaki suaminya, seorang ayah diperlakukan yang tidak sewajarnya oleh anaknya dan segudang keluhan. Akankah kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut sehingga jumlah korban semakin bertambah?!! Atau akan ada langkah perbaikan, yang tidak akan terwujud kecuali dengan kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah? Demikian pula dengan meneladani Rasulullah n dalam bergaul di tengah-tengah masyarakatnya sehingga tercapai kehidupan yang harmonis. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.” (Al-Ahzab: 21)
Kita akan dapatkan pada diri Rasulullah n keteladanan pada berbagai sisi. Beliau n bisa mendudukkan orang pada tempatnya masing-masing. Dari sisi hubungan dengan masyarakat, Nabi n adalah seorang yang rendah hati. Tidak membedakan yang kaya dan yang miskin. Terhadap anak kecil, Nabi n menyayangi, sedangkan terhadap orang tua beliau n menghormati. Beliau n sangat sayang kepada manusia dan sangat sedih akan perkara yang menyusahkan mereka. Beliau n ikut berbahagia bersama kebahagiaan mereka dan ikut mengentaskan derita yang dialami mereka. Beliau n sangat penyabar dan tidak membalas kejahatan orang terhadap dirinya, bahkan beliau n memaafkan.
Di tengah-tengah keluarga, beliau n seorang yang terbaik terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Nabi n mendidik keluarganya untuk cinta kebaikan dan amal ketaatan, sekaligus mengingkari serta menasihati berbagai perilaku yang keliru. Beliau n tidak menyia-nyiakan hak anak dan istrinya, sangat bertanggung jawab akan kewajibannya. Sehingga beliau n berpesan agar memerhatikan hak mereka serta memperingatkan dengan sabdanya:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
“Cukup seseorang berbuat dosa manakala menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad dll, Asy-Syaikh Al-Albani t menghasankannya dalam Shahih Al-Jami’)
Sedangkan hubungan dengan dunia luar, Nabi n sangat menjaga perjanjian yang diikat bersama mereka. Tidak berkhianat dan tetap menjunjung tinggi etika. Hal seperti ini yang menjadikan musuh salut, lalu tidak sedikit dari mereka yang akhirnya tertarik dengan Islam. Inilah pelajaran yang berharga dari kehidupan Rasulullah n. Dengan akhlak beliau n, orang yang sudah masuk Islam semakin cinta dengan keislamannya, dan yang kafir tertarik untuk masuk Islam. Sudahkah kita mencontoh Rasulullah n? Tentu jawabannya ada pada diri kita masing-masing.
Suatu hal yang sangat disayangkan, jika ada sebagian orang yang mengaku mengikuti Rasulullah n dan Salaf Shalih, namun belum tercermin dalam perilaku di tengah masyarakatnya. Bukan tidak ada, orang yang setelah mengenal kebaikan (ngaji) justru sikapnya terhadap orangtuanya berubah. Yang tadinya santun, menjadi kaku pergaulannya. Tidak mau mengucapkan salam dan menyapa kepada orang lain. Acuh tak acuh dengan lingkungannya. Sungguh sikap-sikap tersebut dan semisalnya sangat jauh dari tuntunan Nabi n, sekaligus menjadikan manusia fobi dengan syariat ini.
Kalau ada yang berdalih bahwa mereka itu orang awam dan ahli maksiat sehingga kita sikapi seperti itu, jawabannya bahwa justru karena mereka awam maka seharusnya kita bimbing mereka kepada kebaikan dengan nasihat dan perilaku kita yang baik. Bukan malah menjadikan mereka buta bahkan antipati dengan agama ini. Kalau kita mau mengaca diri, kita juga mendapatkan diri kita seperti mereka yang awam sebelum mendapat petunjuk. Apakah kita tidak ingin kalau orang lain mendapat petunjuk seperti kita?! Sungguh kalau seseorang diberi hidayah oleh Allah l melalui kita, lebih baik bagi kita daripada mendapat onta merah (di masa Rasulullah n, ini merupakan harta yang demikian berharga). Bukankah Allah l dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk berbakti kepada orangtua? Bukankah Rasulullah n memerintahkan kita untuk menebarkan salam yang akan mendatangkan sikap saling cinta?! Bukankah Nabi n memerintahkan kita dalam haditsnya:
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Dan bergaullah dengan manusia dengan budi pekerti yang baik.” (HR. At-Tirmidzi dll, lihat Shahih Al-Jami’ no. 97)
Janganlah keterasingan yang ada pada kita tatkala menjalankan agama Allah l ditambah dengan berbagai sikap kita, justru tidak mengundang simpati masyarakat. Nabi n dahulu telah menyebutkan (yang artinya): “Sesungguhnya ada dari kalian yang membuat orang lari dari Islam.” (HR. Al-Bukhari no. 702)
Namun hal ini bukan berarti bahwa kita larut dalam pergaulan yang batil dan sia-sia. Karena bisa dibedakan antara adab-adab syar’i dengan adat istiadat yang menyelisihi. Islam telah memberikan batasan-batasan yang jelas dalam hal ini. Kemudian hal yang penting juga, kita tidak mempertajam perbedaan pendapat di tengah masyarakat dalam perkara yang tidak menyelisihi nash Al-Qur`an dan As-Sunnah serta ijma’ ulama, yaitu perkara yang terdapat ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam perkara ini. Jika kondisi menuntut adanya diskusi, bisa dilakukan tanpa harus memaksakan pendapat. Hal ini penting untuk diketahui, karena perbedaan seperti ini bukan tidak mungkin akan dijadikan alat untuk membenturkan umat satu dengan lainnya. Yang ujung-ujungnya adalah runtuhnya sendi-sendi kehidupan masyarakat. Satu dengan lainnya tidak tegur sapa, memikirkan diri sendiri, dan masa bodoh dengan yang lain. Jika seperti ini, umat sangat dirugikan dan keindahan Islam tercoreng oleh pemeluknya sendiri.
Sungguh kita semua mendambakan kehidupan yang bahagia seperti yang dijalani Nabi n dan sahabatnya. Suatu masyarakat yang masing-masing individunya tahu tanggung jawab dan tugas yang dipikulnya. Tahu peran masing-masing untuk terwujudnya kemuliaan Islam dan muslimin. Mungkinkah harapan ini menjadi kenyataan? Semoga…

Sumber :
Oleh:
Abu Abdillah