Oleh : Ustadz Abu Abdirrahman Huda
Sebelum kematian beliau, sebenarnya telah ada pengganti yang telah beliau tunjuk. Umar pernah berkata dalam suatu riwayat, “Jika ajal menemuiku sedang Abu Ubaidah ibnul Jaraah masih hidup maka akan aku jadikan dia sebagai penggantiku, dan jika Rabbku bertanya kepadaku maka aku akan menjawab, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya setiap Nabi memiliki orang kepercayaan dan orang kepercayaanku adalah Abu Ubaidah ibnul Jaraah.” Dan jika ajalku menjemputku dalam keadaan Abu Ubaidah sudah wafat maka aku jadikan Muadz bin Jabal sebagai pengganti. Jika Rabbku bertanya kepada diriku, maka aku menjawab, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya dia akan dikumpulkan pada hari kiamat di hadapan para ulama”. Namun saat beliau wafat keduanya juga telah mendahuluinya wafat.
Saat kematian mendatangi Umar, beliau telah merasa mendapat firasat. Beliaupun berkhutbah di hadapan manusia dan menyampaikan firasat dekatnya kematian tersebut. Beliau menceritakan mimpi yang beliau lihat dan mentakwilkannya dengan dekatnya ajal. Umar berkata dalam khutbahnya, “Aku melihat seakan-akan ada seekor ayam jantan sedang mematukku dengan sekali patukan atau dua kali patukan, dan sesungguhnya aku tidaklah melihat yang demikian itu melainkan sebagai kedatangan ajalku. Sungguh ada sekelompok kaum muslimin yang menyuruh aku untuk menunjuk pengganti, dan sungguh Allah tidaklah menyia-nyiakan agama-Nya tidak pula kekhilafahan-Nya. Apabila kematian segera mendatangi diriku, maka kekhilafahan akan dimusyawarahkan di antara enam orang, yang ketika Rasulullah wafat beliau ridha kepada mereka.”
Demikian Umar mewasiatkan kepada kaum muslimin apabila ajal beliau datang, masalah kekhilafahan akan diserahkan kepada enam orang. Tentulah enam orang yang beliau maksud bukan sembarang orang, tetapi orang yang terpilih, nampak keshalihannya dan manfaatnya bagi kaum muslimin dan diridhai oleh Rasulullah. Sebuah wasiat yang menenangkan kaum muslimin karena urusan mereka telah diwakilkan kepada orang-orang yang terbaik, orang-orang yang mengetahui maslahat kaum muslimin.
Maka saat kematian tersebut semakin dekat, seorang budak milik Mughirah bin Syu’bah yang dikenal dengan nama Abu Lu’lu’ah al Majusi yang memiliki keahlian dalam membuat alat penggilingan dikirim beliau ke Madinah. Beliau mengirimnya dengan tujuan memberikan manfaat buat kaum muslimin dengan keahliannya. Suatu ketika Abu Lu’lu’ah mengadukan kepada Umar bin Khaththab tentang apa yang dibebankan oleh Al Mughirah kepadanya. Dengan keahlian yang dimilikinya ia harus menghasilkan empat dirham perhari, budak tersebut mengatakan, “Wahai Amiril Mukminin sesungguhnya Al Mughirah telah memberatkan diriku maka berbicaralah dengannya.” Namun justru jawaban Umar tidak mendukungnya. Beliau berkata kepada budak tersebut, “Berbuatlah baik kepada tuanmu.” Sebenarnya jawaban tersebut beliau niatkan agar dapat mengajak bicara Al Mughirah berkaitan dangan pengaduan budaknya ini. Akan tetapi si budak marah dengan ucapan itu dan mengatakan, “Keadilan Umar bin Khaththab merata kepada seluruh manusia kecuali diriku.” Maka timbullah niatan si budak untuk membunuhnya. Dia ambil pisau yang besar dan menajamkannya. Demikianlah bila kemarahan dan dendam sudah menguasai diri seseorang. Seorang akan bertindak dengan dorongan nafsu tanpa disertai akal yang jernih.
Ringkas cerita ketika Umar bin khaththab mengimami shalat subuh, beliau katakan kepada manusia di waktu shalat shubuh, “Luruskanlah shaf-shaf kalian.” Sesaat sebelum beliau bertakbir, datanglah Abu Lu’lu’ah berdiri di belakang beliau, maka dengan penuh kemarahan dia tusukkan pisau tersebut ke pundak Umar bin Khaththab dan menusukkan pula pada pinggangnya (Inilah tafsiran yang beliau lihat dalam mimpinya). Hal tersebut membuat Umar bin Khaththab tersungkur jatuh. Ternyata bukan hanya Umar, akan tetapi budak tersebut juga menikam sekitar 12 atau 13 orang yang berada disekitarnya. Enam di antara mereka meninggal dengan sebab tusukan pisaunya. Adapun si budak, ia membunuh dirinya sendiri di saat tertangkap oleh kaum muslimin. Sesaat kemudian Umar bin Khaththab dibawa menuju keluarganya. Abdurrahman bin Auf mengimami manusia menggantikan beliau dengan rakaat yang ringan. Kondisi beliau amatlah kritis. Apabila beliau diberi minum, maka minuman tersebut keluar dari tempat luka tusuknya. Hal ini menunjukkan bahwa saluran pencernaan beliau telah terputus, sehingga tak mampu lagi menampung makanan atau minuman.
Saat seperti inilah Umar tahu akan dekatnya ajal. Maka beliau menyerahkan kekhilafahan setelahnya untuk dimusyawarahkan kepada beberapa shahabat yang Rasulullah telah ridha kepada mereka. Nama-nama yang disebut Umar adalah Utsman bin A ffann, Ali bin Abi Thalib, Thalhah ibnu Ubaidillah, Zubair bin al Awwam, Abdurrahman bin Auf dan Saad bin Malik yang lebih di kenal dengan Saad bin Abi Waqqash.
Abu Lu’lu’ah sebenarnya merupakan seorang yang masih menyembah api (majusi). Ketika Umar mengetahui yang menikamnya adalah seorang budak majusi maka beliau pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan seorang yang muslim.” Maka Umar bin Khaththab pun meminta izin kepada Ummul Mukminin Aisyah agar diperkenankan dikubur didekat kedua shahabat beliau, yakni Rasulullah dan Abu Bakr. Dengan mengutus putranya Abdullah bin Umar beliau meminta izin tersebut. Maka Ummul Mukminin mengizinkan beliau untuk dimakamkan di dekat makam Rasulullah dan Abu Bakr.
Sebelum kematian, beliau berwasiat kepada khalifah yang akan ditunjuk. Beliau mengatakan, “Aku wasiatkan kepada khalifah setelahku agar bertaqwa kepada Allah dan aku wasiatkan pula kepada para shahabat Muhajirin dan Al Anshar dan aku wasiatkan pula kepada penduduk di semua penjuru untuk berbuat kebaikan.”
Setelah dikuburkannya Umar bin Khaththab di sisi kedua shahabatnya yaitu Nabi Muhammad dan Abu Bakr Ash Shidiiq, berkumpullah para shababat yang ditunjuk Umar bin Khaththab untuk bermusyawarah di antara mereka. Abdurrahman bin Auf mengatakan saat itu, “Jadikanlah urusan kalian kepada tiga orang di antara kalian.” Demikian Abdurrahman bin Auf memulai supaya dikerucutkan urusan khilafah kepada tiga dari enam shahabat tersebut.
Maka Zubair bin Awwam pun menyambut apa yang dilontarkan Abdurrahman bin Auf dengan mengatakan, “Aku serahkan urusanku kepada Ali bin Abi Thalib.”Demikian ijtihad Zubair bin Awwam menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai pilihan untuk menjadi khalifah.
Dan Sa’ad pun berkata, “Aku jadikan urusanku kepada Abdurahman bin Auf.” Adapun Thalhah mengatakan, “Aku jadikan urusanku kepada Utsman.”
Akan tetapi Abdurrahman bin Auf tidak menghendaki untuk menjadi khalifah, beliaupun mengatakan kepada kedua shahabatnya Ali dan Utsman, “Aku tidaklah menginginkannya, maka siapa diantara kalian berdua yang berlepas diri dari perkara ini, dan kita jadikan urusan padanya? Demi Allah, demi baiknya urusan ini dan Islam, hendaknya kalian melihat yang paling utama diantara mereka dan bersemangat untuk kemaslahatan umat.” Maka setelah mendengarkan apa yang diucapkan Abdurrahman, keduanya diam tidak berkata sepatahpun. Maka Abdurrahman bin Auf pun berduaan dengan Ali bin Abi Thalib, dan berkata kepada beliau, “Engkau memiliki (keutamaan) dengan lebih dahulu masuk Islam, dan memiliki kekerabatan dari Rasulullah.” Demikian mukadimah yang di sampaikan kepada Ali sebelum menyebutkan perkara yang besar lagi penting dan agung kemaslahatannya bagi kaum muslimin, kemudian beliau mengatakan, “Jika aku menjadikan engkau khalifah engkau benar-benar akan berbuat adil, dan jika engkau menjadi yang dipimpin apakah engkau benar-benar mendengar dan taat?”
Maka Ali bin Abi Thalib sebagai seorang shahabat yang mulia lagi memiliki keutamaan yang besar, mengetahui jawaban yang harus beliau jawab, dan tidak akan terbayang dengan besarnya keutamaan yang beliau miliki melainkan hanya dengan jawaban “ya”, Ali akan berbuat seadil-adilnya ketika nanti menjadi khalifah dan akan mendengar dan taat ketika beliau tidak menjadi khalifah atau menjadi orang yang dipimpin. Keadaan yang serupa juga dilakukan kepada Utsman bin A ffan dan tidaklah terdengar jawaban dari seorang shahabat yang mulia yang bergelar si pemilik dua cahaya melainkan jawaban serupa dengan jawaban yang di kemukakan Ali bin Abi Thalib.
Maka Abdurrahman bin Auf z benar-benar bersungguh-sungguh menentukan siapakah di antara keduanya yang akan memikul tampuk kekhilafahan. Maka selama tiga hari tiga malam berkeliling sampai disebutkan beliau mendatangi anak-anak kecil di tempat belajarnya, dan bertanya kepada para shahabat dan yang ada di Madinah dari orang-orang mulianya, maka tidaklah didapati jawaban dari mereka kecuali pilihan kepada Utsman bin A ffan.
Demikian kesungguhan Abdurrahman bin Auf. Demi maslahat yang sangat besar ini, dan demi mencari bahan pertimbangan bagi beliau untuk menentukan siapa diantara dua shahabat yang mulia ini yang akan menjadi khalifah.
Maka Utsman bin A ffan di baiat untuk menjadi khalifah bagi kaum muslimin setelah tiga hari dari wafatnya Umar bin Khaththab Pada saat Utsman bin A ffan akan dibaiat,
Abdurrahman bin Auf berbicara di hadapan kaum muslimin, “Setelah membaca hamdalah dan memuji Allah beliau berkata, ‘Aku melihat manusia enggan melainkan kepada Utsman bin A ffan.” Pada riwayat lain beliau berkata, “Wahai Ali sesungguhnya aku melihat pada manusia, maka aku tidaklah melihat mereka keluar dari Utsman, maka janganlah engkau menjadikan dirimu menyelisihinya.”
Sebagaimana sebelumnya Abdurrahman telah berkata kepada Ali jika menjadi khalifah akan berbuat adil dan apabila dipimpin akan mendengar dan taat.
Setelah mendengar ucapan Abdurrahman bin Auf, tidaklah berubah prinsip Ali bin Abi Thalib, maka Ali mulai membaiat Utsman bin A ffan dengan mengatakan, “Aku membaiatmu di atas sunatullah dan sunah Nabi-Nya dan sunah kedua khalifah sesudahnya. Setelah itu Abdurrahman bin Auf, Muhajirin dan Anshar berbondong-bondong membaiat Utsman bin A ffan, segala puji bagi Allah yang telah menyatukan urusan kaum muslimin. Dengan demikian Utsman di baiat menjadi khalifah bagi kaum muslimin.
Waallahu a’lam bish shaww ab
Dikutip dari Majalah Qudwah Edisi 16