( 97 )
Mengamati kehidupan pesantren, membawa kita pada sebuah miniatur kehidupan manusia di dunia nyatanya.
Ciri khas pesantren yang diramaikan oleh remaja-remaja membuatnya terbumbui oleh letupan-letupan bahkan ledakan psikis.
Salah satunya egoistis; yakni hanya berpikir tentang kepentingan diri sendiri, tidak mempertimbangkan efek ke depan, dan tidak mau tahu apa dampaknya dalam realita kehidupan.
Di manapun, termasuk pesantren, selalu ditemukan remaja yang egois.
Maunya menangan, tidak terima jika diingatkan, merasa sudah serba bisa, padahal sehari-harinya pemalas, usil, bahkan suka berbuat nakal.
Oleh sebab itu, seorang remaja yang bersabar mengekang diri dan memasung nafsu, termasuk tujuh golongan yang memperoleh naungan di hari kiamat nanti.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda ;
وشابٌّ نَشَأَ في عبادة الله
" Dan remaja yang tumbuh kembangnya dalam ibadah kepada Allah " HR Bukhari Muslim dari sahabat Abu Hurairah
Ibnu Rajab dalam Syarah Sahih Bukhari menjelaskan, " Karena masa remaja mengajak jiwa untuk memenuhi syahwat dan kepuasan duniawi yang terlarang"
Dalam Faidhul Qadiir, al Munawi menerangkan kenapa remaja yang tumbuh kembangnya untuk beribadah diberi kekhususan pahala, " Karena masa remaja identik dengan syahwat yang mendominan dan dorongan kuat untuk memuaskan hawa nafsu"
Maka, remaja yang bersabar melalui badai syahwat dan gejolak nafsu dengan mengelola diri dalam ibadah, adalah remaja yang luar biasa.
Nah, cerita klasik di pesantren sangat banyak. Salah satunya cerita santri yang dijauhi oleh teman-temannya sendiri. Apa pasal?
Ia pemalas. Malas belajar, malas ibadah, malas piket masak, malas piket kebersihan, malas mandi, malas sikat gigi, dan malas-malas yang lain.
Sudah itu, ia perparah dengan kebiasaannya yang usil, suka mengganggu, iseng, senang buat masalah, badung, bahkan cenderung merugikan.
Apalagi jika ia suka mengambil barang teman, terbiasa meminjam namun tidak merawat bahkan tidak mengembalikan. Ghasab ( memakai tanpa ijin ) sudah kesehariannya. Sabun, shampo, pasta gigi milik teman seakan miliknya juga.
Maka, cerita berlanjut dengan ia yang dijauhi, ia yang dibenci, ia yang dikucilkan dan dipinggirkan. Bahkan tidak jarang berlanjut pada perkelahian; pukul-pukulan.
Terlepas dari akar masalah yang ia alami, entah broken home, reaksi protes, ketidakmampuan mengikuti akademik, sifat bawaan, atau benturan sosial, yang jelas secara realita ia akan diisolasi.
Kembali pada ceritanya... biasanya langkah yang diambil adalah memisahkan remaja di atas dengan remaja lain yang merasa terganggu.
Dua remaja yang sempat bertengkar itu akan dipisah. Kamarnya tidak disatukan. Piket-piketnya tidak dibersamakan.
Remaja "bermasalah" tadi diberi nasehat dan pengertian untuk mengubah diri, memperbaiki sifat, dan membenahi kebiasaan. Ia diharapkan semakin dewasa dan bertambah matang dalam berpikir.
Ia terus dibimbing dengan kesabaran, didampingi dengan kelembutan, sambil diawasi agar tidak mengulang kesalahan yang sama.
Kenapa harus dipisahkan?
Ibnu Abdil Barr menyampaikan ( at Tamhid 6/127 ) bahwa : " Ulama bersepakat bahwa seorang muslim tidak boleh mendiamkan saudaranya lebih dari 3 hari. Kecuali dikhawatirkan, karena berbicara dan berinteraksi dengannya, dapat merusak agamanya, atau menimbulkan madharat pada dirinya terkait agama atau dunianya. Jika demikian adanya, maka ada rukhsah untuknya menghindari dan menjauhinya. Bisa jadi berpisah baik-baik jauh lebih bagus daripada berbaur namun menyakiti"
Ia tetap santri. Tetap diberi kesempatan. Hak-haknya tidak dihilangkan. Barangkali dengan thalabul ilmi, terus belajar, ia semakin sadar.
Ibarat kata, keanekaragaman konflik di dunia, telah dikenal oleh remaja-remaja di pesantren. Tugas kita adalah mengawal dan mengarahkan, bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh jika terjadi konflik.
Sebab, dunia penuh dengan konflik dan intrik.
Selat Sunda, 05 Jumadal Akhir 1443 H /08 Januari 2022
t.me/anakmudadansalaf