Cobaan pasti berlalu
Di kota industri, aku memulai hidup baru. Menata hati, melangkahkan kaki. Mengukir kehidupan yang baru dengan sang suami tercinta.
Terbayang olehku, masa ketika aku masih sendiri meniti jalan terjal ini. Memperjuangkan setitik hidayah yang bagiku bagaikan gunung emas, bahkan lebih. Nilainya sangat berharga, tapi berat harus kubawa dengan tubuhku.
Tapi, berkat pertolongan Allah semata, gunung emas itu masih bisa ku jaga untuk ku miliki.
Perjuangan yang panjang bagiku...
Masa-masa SMA yang penuh warna. Terselip hal-hal yang baru dalam kehidupanku. Aku menjadi salah satu pengurus dari organisasi keagamaan di sekolahku. Berawal dari semangat untuk mencari ilmu agama, aku berusaha aktif mengikuti kegiatan. Meskipun ruang gerakku sangat terbatas karena tanggung jawab di keluargaku.
Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah, kemudian sebab berorganisasi itulah aku mengenal dakwah salafy yang begitu indah. Sejak itulah cara berpakaianku mulai berubah.
Aku mulai malu untuk memakai jilbab kecil, jilbab yang tidak menutup sempurna auratku. Sehingga ku mencoba memakai jilbab yang besar dan lebar.
Tapi ternyata orangtuaku menilai buruk perubahanku. Mereka pun menganggapnya aneh dan asing, melawan arus, tidak sebagaimana keumuman orang. Sehingga aku sering dimarahi karenanya. Allahul musta'an.
Waktu terus bergulir. Aku pun lulus SMA. Aku bingung melangkah hendak kemana setelah ini? Aku dulu tak paham, begitu bahaya ikhtilat, campur baur antara laki-laki dan perempuan.
Akhirnya aku mantapkan langkahku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Alhamdulillah 'ala kulli haal, aku diterima di salah satu universitas di kota pelajar.
Awal menginjakkan kaki di kota pelajar, aku bingung ke mana bisa menuntut ilmu agama. Hampir setengah tahun aku berada dalam kehampaan hati. Kering tanpa siraman ilmu agama. Alhamdulillah dengan pertolongan Allah, kemudian lewat kakak tingkat, aku mengetahui tempat ta'lim. Sebuah masjid di tengah keramaian kota dan hiruk pikuknya mahasiswa mencari gelar sarjana.
Tak selang lama, aku diajak kakak tingkat untuk berkunjung ke wisma akhwat salafy. Aku pun tertarik untuk tinggal disana. Hari-hari yng menyenangkan, hidup satu atap dengan akhwat yang berilmu dan berusaha mengamalkan ilmunya.
Darisanalah aku belajar memakai hijab yan syar'i. Kini, ke manapun pergi, aku kenakan pakaian muslimah ini. Ke kampus, atau ketika keluar dari wisma, dan kemana saja.
Pertama kali ke kampus memakai cadar, setelah itu, aku disuruh menghadap ke Penasehat Akademik. Rasa takut menyelimuti, ku pasrahkan semua pada Allah semata. Disana aku banyak di ceramahi. Pada intinya, aku dilarang menggunakan cadar di kampus.
Hari-hari yang tak mudah ketika memakai cadar di kampus. Banyak cercaan dari mahasiswa, teman-teman pun enggan untuk mendekat. Beberapa dosen juga menjadi tak ramah.
Meskipun demikian, masih kurasakan pertolongan Allah yang sangat dekat. Di beberapa mata kuliah, aku mendapatkan kemudahan mempertahankan cadarku.
Waktu terus berjalan, teman-teman mulai bisa menerima keadaanku. Bahkan, mereka malah dekat denganku dari sebelumnya.
Genap delapan bulan aku tinggal di wisma akhwat. Tiba suatu hari yang tak kusangka. Orangtuaku tahu bahwa di kota pelajar, aku memakai cadar.
Meledaklah kemarahan mereka. Melalui telepon aku langsung disuruh pulang. Dengan ditemani sepeda motor kesayanganku, kutelusuri jalan sambil menangis menuju kampung halamanku.
Kepulanganku disambut kemarahan dan tangis dari kedua orangtuaku. Tak sedikitpun mereka mau mendengar penjelasanku. Aku divonis bersalah, ikut aliran sesat.
Kala itu, aku hanya diberikan dua pilihan. Tetap kuliah di kota pelajar, dengan menanggalkan hijabku dan harus pindah dari wisma akhwat ke kos umum, atau pindah kuliah di kampung halamanku. Tentunya dengan menanggalkan hijabku.
Banyak air mata tertumpah mewarnai hari-hariku. Aku bingung. Aku tak mau menanggalkan hijabku, apalagi kehilangan hidayah ini. Ku lantunkan doa di setiap waktu. Memohon petunjuk dan kekuatan pada Dzat Yang Menguasai qalbu.
Akhirnya, kuberanikan diri untuk memilih tetap kuliah di kota pelajar, dengan menerima persyaratan pindah ke kos umum. Tapi masalah hijab, aku hanya mengatakan, "... Akan ku coba wahai ayah ibuku..." Sungguh pertolongan Allah sangat dekat.
Allah menuntunku untuk tinggal di kos umum, yang di situ diadakan kajian sehari minimal 2 kali. Hatiku riang tak terkira. Dengan segala upaya, aku meminta pada orang tuaku agar aku bisa tinggal di situ.
Alhamdulillah, orangtuaku mengizinkan. Mereka tidak tahu bahwa di situ aku lebih bisa intensif menuntut ilmu agama. Kira-kira sebulan berlalu, setiap pekan aku harus pulang. Setiap saat orang tua mengecek keberadaanku via telpon.
Bulan berikutnya, Ibuku beserta kakak-kakakku datang menjengukku. Mereka mengetahui bahwa aku tak berubah. Bahwa aku masih memakai hijab ku. Ibuku marah. Ibuku mengambil seluruh hijabku dan menggantinya dengan pakaian yang tak sesuai syar'i.
Lagi-lagi aku hanya bisa menangis, tak bisa berbuat apa-apa. Ibuku dan kakakku kembali ke rumah. Aku masih menangis dalam kamarku. Aku buka lemari pakaianku. Alhamdulillah, ta henti-hentinya aku bersyukur pada Allah, dengan pertolongan-Nya, masih tersisa sepasang hijabku yang tak terbawa oleh ibuku.
Pekan berikutnya aku pulang kerumah. Terpancar kemarahan yang mendalam dari orangtuaku. kepulanganku disambut dengan sikap yang dingin. Seakan-akan aku bukan anak mereka lagi. Ibuku marah. Di depan mataku hijab-hijabku dibakar. Laa haula wala quwwata illa billah...
Aku terdiam membisu. Orangtuaku memaksaku untuk berjanji menanggalkan hijab. Aku bingung. Aku tak bisa berjanji. Hari itu, kuputuskan untuk tidak menuruti perintah mereka. Juga berhenti kuliah, dan memilih tinggal di rumah. Orangtuaku marah besar. Akupun didiamkan, tak dianggap sebagai anak.
Baru berlalu 2 hari, orang tuaku angkat bicara. Ayahku berkata, "Aku tidak bisa melihatmu hanya di rumah. Silakan tinggal di rumah kakakmu!"
Jika tinggal di tempat kakak, di sana ada mas ipar. Aku pun memberanikan diri untuk meminta kembali kuliah. Masalah hijab, aku hanya bisa mengucapkan, "...Aku coba..." Aku pun kembali kuliah di kota pelajar.
Sejak saat itu, orang tua dan keluargaku bersikap dingin kepadaku. Aku merasa seperti anak tiri di rumahku sendiri. Tak kurasakan lagi kehangatan kasih sayang dari mereka.
Aku mencoba tetap bertahan dalam kondisi seperti itu. Aku tetap menunjukkan baktiku kepada orang tuaku, dan menjaga muamalah dengan keluargaku.
Di kota pelajar, aku tak mau menyia-nyiakan waktu. Kugunakan kesempatan itu untuk meraup ilmu agama sebanyak-banyaknya, semampuku. Meskipun aku merasa baru sedikit yang ku dapatkan, karena waktu masih terbagi dengan kuliah.
kuliah..., secara lahir aku datang ke kampus. Tapi aku hampir tak pernah belajar. Sebenarnya, aku sudah tak sanggup menginjakkan kaki di kampus.
Tapi kuliahlah satu-satunya alasan, agar aku bisa tetap tinggal di kota pelajar. Di mana di kota ini, aku bisa menuntut ilmu agama dan menghindar sejenak dari pertentangan dengan orang tuaku.
Waktu pun terus berlalu. Tibalah masa studiku hampir selesai. Dengan kepayahan yang sangat, aku berusaha menyelesaikan skripsi. Tugas akhir yang banyak hambatan di dalamnya. Kesabaranku terus diuji.
Dosenku susah sekali untuk ditemui. Hampir 1 tahun waktuku menyelesaikan skripsi. Alhamdulillah, kelulusan pun berhasil kuraih. Sejenak lega, ibarat sebuah batu besar yang menyesakkan dada telah ku singkirkan.
Mengetahui sudah lulus, aku pun segera disuruh pulang. Pergolakan dimulai kembali. Karena aku tidak mau untuk mengikuti wisuda.
Suatu malam, aku disidang oleh keluargaku. Tragedi 3 tahun silam terulang kembali. Hijabku di bakar malam itu, setelah semua keluarga memojokkan aku di sudut yang gelap, yang kulihat hanyalah kehinaan di sana.
Berbagai ancaman dilontarkan. Entah, malam itu lidahku terasa kelu. Aku tak mampu menjawab, membela agama yang mereka permainkan. Hatiku sakit mendengar syariat ini dihinakan. Tapi Ya Rabb..., saat itu aku tak kuasa membela syariat-Mu.
Malam itu, wajahku hanya tertunduk memendam kekhawatiran terhadap keselamatan jiwaku. Aku tahu orang tuaku sangat sayang padaku. Tapi ketika mereka terbawa emosi, terkadang tangan pun ikut berbicara.
Malam yang menakutkan. Air mata pun tak kuasa kutahan. Aku tak sanggup untuk mengungkapkan rasa hatiku. Yang pasti, ada takut, kecewa, benci, dan sayang pada keluargaku.
Masalah semakin rumit. Aku dikurung di rumah. HP, laptop sebagai sarana mendengarkan ta'lim, dan sepeda motor disita orang tuaku.
Aku pun bertahan di rumah. Aku laksanakan tugas-tugasku sebagai anak sebagaimana mestinya. Hampir sepekan berlalu, orangtuaku mulai melunak. Fasilitas-fasilitas tersebut dikembalikan kepadaku. Mereka berharap, aku mau menuruti mereka.
Ketegangan mulai mereda. Orang tuaku bertambah linal kepadaku. Terpikir dalam benakku untuk menikah. Kuberanikan diri untuk mengutarakan keinginan tersebut kepada mereka. Namun, mereka melarangku menikah jika aku tidak mau bekerja sesuai keinginan mereka.
Aku tak mau menyerah begitu saja. Aku tetap berusaha, dengan senantiasa memohon pertolongan kepada Allah. Aku mantapkan untuk proses dengan seorang ikhwan. Tapi, qaddarallahu wama sya'a faal... apa-apa yang Allah takdirkan tidak untuk kumiliki, tidak akan pernah kumiliki. Ketika ikhwan tersebut datang ke rumah, orang tua ku menolak itikad baiknya.
Setelah ikhwan tersebut pulang, aku didiamkan. Orang tuaku marah besar. Setelah kejadian itu, bapak jatuh sakit. Qaddarallah, gara-gara keinginanku menikah dengan ikhwan salafy.
Lalu bapak angkat bicara. Bapak mengatakan, "Aku tak kan pernah menikahkanmu dengan seorang salafy." Aku diam terpaku. Dalam hatiku selalu memohon pada Allah, semoga Allah menguatkan hatiku menghadapi semua ini.
Aku bertahan dengan kondisi seperti itu. Meskipun terkadang aku merasa tidak kuat. Tapi itu semua harus ku hadapi. Sebulan berlalu, orang tuaku kembali menyuruhku untuk kerja di tempat ikhtilat. Kali ini mereka lebih gencar menyuruhku. Meskipun dengan rasa takut, ku beranikan diri untuk menolak. Ibuku mogok makan karenanya.
Alhamdulillah, hanya karena pertolongan Allah, hal itu cuma berlangsung sehari. Mereka mendiamkanku kembali. Beberapa kali orang tuaku menyuruhku untuk meninggalkan rumah, jika aku tetap tak mau menuruti mereka. Meski demikian aku tetap di rumah.
Aku mencoba mengambil hati kedua orang tuaku dengan ikut membantu menjadi pengajar di sebuah TK Salafy di kotaku. Meskipun ibuku tidak suka, aku tetap bertahan disitu. Perjalanan kehidupan yang penuh warna.
Aku tak bosan selalu berdoa kepada Allah, agar selalu ditolong dan dijaga agamaku. Dengan sarana laptop, aku mencoba memenuhi kebutuhan hatiku akan ilmu agama. Dengan mendengarkan rekaman ta'lim yang dulu kuperoleh dari kota pelajar.
Aku pun selalu meminta nasihat dari orang-orang yang ku anggap berilmu. Untuk memberikan bimbingan dalam menghadapi rumitnya permasalahan dengan kedua orang tuaku.
Baca juga :
Perjalanan Ketua LDK Mengenal Manhaj Salaf
Sebulan berlalu, aku kembali mendapatkan tawaran untuk berproses kembali dengan seorang ikhwan. Pengalaman yang dulu, mengajarkan kepadaku untuk lebih berhati-hati mengutarakan perihal pernikahan kepada kedua orang tua.
Doa tak henti-hentinya ku panjatkan kepada Rabb semesta alam. Lalu, kami pun menempuh sebab-sebab syar'i agar orang tuaku setuju. Jika memang jodoh, pasti Allah mudahkan. Jika bukan jodohku, semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik.
Itulah yang senantiasa aku tanamkan dalam hatiku. Berusaha menyandarkan semua pada Allah, karena kusadar lemahnya diriku. Tibalah hari yang kami rencanakan. Waktu lamaran yang menegangkan.
Dengan pertolongan Allah, datang lah ikhwan salafy-insyaAllah- bersama kedua orang tuanya ke rumahku. Sungguh Allah Maha mampu atas segala sesuatu. Orang tuaku menerima lamaran tersebut.
Dan sebulan setelah itu, aku menikah dengan ikhwan yang sekarang menjadi suamiku.
Segala puji hanya bagi Allah semata. Kehidupan ini tidak tetap dalam satu keadaan. Setelah tangis akan berganti dengan tawa. Setelah kesedihan, akan berganti dengan kegembiraan.
Selalu ada kemudahan dalam setiap kesukaran. Roda Kehidupan terus berputar. Allah Maha hikmah dalam menetapkan segala sesuatunya.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengisahkan, "Suatu saat, Syaikhul Islam rahimahullah berkata kepadaku,
"Rintangan dan cobaan ibarat cuaca panas dan dingin. Maka jika seorang hamba mengetahui bahwa ia pasti mengalami keduanya, niscaya ia tidak akan marah saat didatanginya, tidak akan gelisah karenanya maupun bersedih hati." [Madarijus Salikin 3/389]
Baca juga :
Kisahku : "Secercah Suka, Tertimpa Duka"
Sumber : Majalah Qudwah edisi 6/2013 hal.56
|
Kisah Ujian Ketika Awal Mengenal Salafy |