✍🏻 Al-Ustadz Ayip Syafruddin حفظه الله تعالى
Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang senantiasa bertaubat. Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى membentangkan tangan-Nya pada saat malam, untuk menerima taubat hamba-Nya yang berbuat kesalahan di kala siang hari. Allah pun membentangkan tangan-Nya kala siang hari untuk menerima taubat hamba-Nya yang berbuat kesalahan saat malam hari. Demikian seterusnya hingga mentari terbit dari arah barat. [H.R. Muslim dari shahabat Abu Musa AbduIIah bin Qais AI-Asy'ari رضي الله عنه].
Kisah berikut ini dituturkan oleh AbduIIah bin Ka'ab bin Malik. Dia
adalah putra dari seorang shahabat yang bernama Ka'ab bin Malik رضي الله عنه. AbduIIah pun berkisah, bahwa ia sering menuntun ayahnya, yaitu Ka'ab bin Malik, saat sang ayah telah mengalami kebutaan. la pernah mendengar ayahandanya berkisah tentang ketidakbersamaannya mengiringi Rasulullah ﷺ dalam peperangan Tabuk.
Ka'ab bin Malik رضي الله عنه pun memulai kisahnya, "Aku tidak pernah tertinggal dari peperangan bersama Rasulullah ﷺ sama sekali kecuali perang Tabuk dan perang Badar. Hanya saja dalam perang Badar, tak seorang pun dicela Iantaran tiada turut serta dalam perang tersebut. Sebab, kala itu beliau bersama kaum muslimin keluar untuk menghadang rombongan dagang Quraisy (yang tidak bersenjata, dari Syam yang dipimpin oleh Abu Sufyan sebelum masuk Islam). Tanpa diduga, Allah mempertemukan rombongan beliau dengan musuh (kaum musyrikin Quraisy siap tempur yang diminta Abu Sufyan untuk membantu, setelah ia mengetahui rencana Rasu|u|lah ﷺ untuk menghadangnya. Rombongan dagang Abu Sufyan sendiri selamat, karena menempuh jalan lain).
Sungguh, aku telah turut serta dalam pertemuan malam Aqabah bersama Rasulullah ﷺ, melakukan ikrar janji setia membela lslam. Dan aku tidak lebih senang mengikuti perang Badar tanpa mengikuti perjanjian Aqabah. Walaupun, perang Badar lebih masyhur di kalangan kaum muslimin dari pada malam Aqabah.
Keadaanku saat itu, ketika tertinggal dari perang Tabuk, saya dalam kondisi yang kuat dan lapang. Bahkan sebelumnya, saya sama sekali belum pernah merasa lebih kuat atau lebih mudah seperti waktu itu. Demi Allah, saat itu saya memiliki dua kendaraan, yang sebelumnya belum pernah memiliki dua sekaligus.
Adalah kebiasaan strategi Rasulullah ﷺ apabila hendak menyerang suatu daerah kafir, beliau mengesankan untuk menuju daerah Iain. Berbeda dengan perang Tabuk ini. Beliau ﷺ menjelaskan secara terang-terangan kepada kaum muslimin, dan menegaskan tentang niat beliau dalam peperangan ini (yaitu menyerang Romawi, negara adi daya saat itu). Tujuan beliau, agar kaum muslimin melakukan persiapan penuh.
Di mana dalam perang ini, Rasulullah ﷺ berangkat menuju medan perang Tabuk dalam cuaca yang sangat panas, menghadapi liku perjalanan yang jauh dan suIit, juga menghadapi musuh yang jumlahnya sangat besar. Karenanya, beliau merasa perlu memberitahukan kepada kaum muslimin kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi.
Waktu itu, jum|ah kaum muslimin yang ikut perang Tabuk sangat banyak. Sehingga buku daftar pasukan tidak muat mencatat nama-nama mereka. Sedikit sekali kaum muslimin yang absen tidak ikut perang. Saking banyaknya, orang yang ingin absen yakin bahwa Rasulullah tidak akan mengetahuinya, selama wahyu Allah tidak turun mengabarkan kepada beliau.
Rasulullah ﷺ berangkat dalam peperangan ini bertepatan ketika buah-buahan sedang dalam masa panen dan ranum, orang merasa nyaman saat berada di bawah naungannya. Karena itu, hati saya lebih condong kepadanya.
Tatkala Rasulullah dan kaum muslimin mempersiapkan segala sesuatunya, saya pun bergegas keluar guna mempersiapkan diri bersama beliau. Namun, saya kembali dengan tangan hampa, tanpa menghasilkan apa-apa. Dalam batin saya berkata, "Saya mampu mempersiapkannya, kapan saja saya menginginkannya.”
Hal demikian terus berlangsung. Saya selalu menunda mempersiapkan perlengkapan perang. Sampailah pada puncak persiapan kaum muslimin. Akhirnya, saat pagi hari Rasulullah dan kaum muslimin berangkat. Sedang saya belum mempersiapkan apapun. Lalu saya keluar (untuk mencari perlengkapan), tetapi saya kembali dengan tangan kosong. Hingga kaum muslimin bertambah jauh dan mereka telah benar-benar pergi. Saat itu, saya putuskan untuk segera berangkat dan menyusul mereka. Malang nian, seandainya saya bersungguh-sungguh segera melakukannya. Kemudian akhirnya, ternyata hal itu memang tidak ditakdirkan untukku.
Akhirnya saya sangat sedih, setiap ke luar rumah, setelah keberangkatan Rasulullah ﷺ, saya tidak mendapatkan panutan dalam hal ini. Kecuali orang-orang yang memang terkenal sebagai munafik. Atau orang-orang lemah yang mendapatkan udzur dari Allah untuk tidak ikut berperang.
Rasulullah ﷺ tidak pernah menyebut-nyebut namaku sebelum sampai di Tabuk. Saat tiba di Tabuk, beliau duduk-duduk bersama para shahabat, barulah beliau bertanya, ”Apa yang dilakukan Ka'ab bin Malik?" Salah seorang dari Bani Salimah menjawab, "Wahai Rasulullah, ia ditahan oleh pakaian, dan senang melihat-Iihat pakaiannya." Maka Mu’adz bin Jabal menimpali, ”Alangkah jeieknya apa yang engkau katakan itu. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui tentang dirinya kecuali kebaikan." Rasulullah pun diam.
Pada saat itulah, beliau melihat bayang-bayang seorang Iaki-laki berpakaian putih sedang berjalan di kejauhan. Timbul tenggelam oleh fatamorgana. Rasulullah ﷺ bersabda, "ltu Abu Khaitsamah." Ternyata benar, orang itu adalah Abu Khaitsamah Al-Anshari. Dialah orang yang bersedekah dengan segantang kurma, yang kemudian orang-orang munafik mengejeknya.
Tatkala sampai berita kepadaku bahwa Rasulullah ﷺ berada dalam perjalanan pulang dari Tabuk, maka kesusahan pun mulai menyelimutiku. Aku pun mulai mereka-reka alasan apa yang dapat menyelamatkanku dari beIiau. Aku juga meminta bantuan keluargaku mencari alasan dan jalan keluar yang terbaik. Namun, ketika mendengar bahwa Rasulullah sudah dekat, hilanglah segala kebohongan yang aku siapkan. Aku sangat yakin, bahwa tidak ada alasan apapun yang dapat menyelamatkanku dari beliau selamanya. Karena itu, aku akan mengatakan yang sebenarnya.
Keesokan harinya, Rasulullah ﷺ tiba. Biasanya, bila beliau pulang dari bepergian, beliau masuk ke masjid terlebih dahulu, lalu shalat dua rakaat. Kemudian beliau duduk bersama kaum muslimin yang menyambut beliau.
Saat itulah, orang-orang yang tidak mengikuti perang Tabuk datang menyampaikan alasan. Bahkan mereka bersumpah di hadapan beliau. Jumlah mereka lebih dari 80 orang. Rasulullah ﷺ pun menerima apa yang mereka kemukakan. Beliau ﷺ juga mengambil janji dari mereka, serta memintakan ampun untuk mereka. Sedangkan isi hati mereka yang sebenarnya, beliau serahkan kepada Allah.
Lalu saya datang. Ketika saya ucapkan salam, beliau tersenyum marah. Lalu berkata, "Kemarilah." Saya mendekat hingga berada di hadapan beliau. "Apa yang membuatmu tidak ikut? Bukankah kamu telah membeli kendaraan?” “Ya Rasulullah, seandainya saya berhadapan dengan selain engkau, saya mampu beralasan dan selamat dari kemarahannya. Karena saya orang yang pandai berdebat. Akan tetapi, saya sekarang berhadapan dengan engkau. Jika saat ini saya memberikan alasan palsu agar engkau tidak marah, saya khawatir setelah itu Allah menjadikan engkau marah pada saya. Jika saya berkata jujur, engkau pasti marah kepada saya.
Namun, saya berharap mendapatkan ampunan dari Allah. Demi Allah, saya tidak mempunyai alasan apapun untuk tidak ikut berperang. Saat itu, kondisi ekonomi dan fisik yang ada pada saya sangat baik.” Rasulullah ﷺ bersabda, "Adapun orang ini, ia telah berkata jujur. Pergilah wahai Ka'ab, tunggulah keputusan Allah."
Beberapa lelaki dari Bani Salamah berjalan mengikuti saya. Mereka berkata, "Demi Allah, kami belum pernah melihatmu berbuat dosa sebelum ini. Mengapa kamu tidak mengajukan alasan kepada Rasulullah ﷺ, sebagaimana orang-orang yang tidak ikut berperang itu mengemukakan alasannya. Sungguh, istighfar Rasulullah ﷺ sudah cukup mengampuni dosamu." Mereka terus menyalahkan tindakan saya sampai timbuI keinginan dalam diri untuk kembali kepada Rasulullah ﷺ dan berkata bohong kepada beliau. Saya bertanya kepada mereka, "Adakah orang lain yang mengalami hal seperti saya?"
Mereka menjawab, "Ada, dua orang yang menyampaikan kepada Rasulullah ﷺ seperti apa yang engkau sampaikan kepada beliau. Beliau ﷺ pun berkata kepada mereka seperti yang dikatakan kepadamu.’
”Siapakah mereka?"
“Murarah bin Rabi’ah Al Umari dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.’ Mereka menyebutkan dua orang shalih yang ikut perang Badar. Merekalah teladan. Saya pun lantas bergegas pergi dari hadapan mereka.
Lalu, Rasulullah ﷺ melarang para shahabat untuk berbicara dengan kami bertiga. Orang-orang pun menghindari kami. Sikap mereka berubah terhadap kami. Sampai-sampai, saya merasakan bumi berubah. Bukan lagi bumi yang sebelumnya saya kenal. Keadaan seperti ini berlangsung selama lima puluh hari. Dua teman saya, Murarah dan Hilal, hanya menetap di rumah masing-masing dan terus menerus menangis. Sementara saya, orang yang berusia paling muda dan paling kuat di antara kami bertiga, masih menghadiri shalat berjamaah bersama kaum muslimin dan pergi ke pasar. Saya tetap melakukan itu, meski tidak ada seorang pun yang mau berbicara dengan saya.
Saya juga mendatangi Rasulullah ﷺ. Saya ucapkan saIam kepadanya ketika beliau masih di tempat duduk sesaat selepas shalat. Saya berkata dalam hati, "Apakah beliau menggerakkan bibirnya untuk menjawab salam atau tidak?” Kemudian saya mengerjakan shalat di dekat beliau sambil melirik kepada beliau. Saat saya tidak menoleh ke arah beliau, beliau memandang saya. Namun, jika saya memandang beliau, beliau berpaling.
Perlakuan keras ini saya rasakan cukup lama. Pernah saya berjalan gontai menuju kebun Abu Qatadah dan saya panjat pagarnya. Dia adalah sepupu saya, orang yang paling saya cintai. Saya mengucapkan salam kepadanya. Akan tetapi, ia sama sekali tidak menjawab salam saya. Saya pun berkata kepadanya, "Abu Qatadah, saya bertanya kepadamu, dengan bersumpah atas Nama Allah, apakah engkau mengetahui bahwa saya mencintai Allah dan RasuI-Nya?" Dia hanya diam. Saya mengulangi pertanyaan itu padanya. Dia menjawab, "Allah dan Rasul-Nya Iebih mengetahui." Air mataku langsung jatuh bercucuran, aku pun pergi dengan memanjat pagar.
Pada suatu hari, ketika saya berjalan di pasar Madinah, seorang petani dari penduduk Syam berkata, ”Siapakah yang bisa menunjukkan saya kepada Ka’ab bin Malik?" Orang-orang menunjuk kepada saya. Lalu, ia mendatangi saya. Disodorkannya surat dari Raja Ghassan. Saya baca isinya yang berbunyi sebagai berikut, "Kami telah mendengar bahwa temanmu (Muhammad) telah bersikap keras kepadamu, padahal Allah tidak menjadikanmu untuk dihina atau ditelantarkan. Oleh karena itu, bergabunglah dengan kami, kami akan menolongmu." Selesai saya baca, dalam hati saya berkata, "Surat ini juga bagian dari cobaan." Saya pun pergi ke tempat pembakaran. Surat itu saya bakar.
Keadaan seperti ini sudah berlangsung selama empat puluh hari, dan wahyu belum juga turun.
Tak berapa lama, utusan Rasulullah ﷺ mendatangi saya dan berkata, ”Rasulullah memerintahkan kepadamu untuk menjauhi istrimu." ”Apakah saya harus menceraikannya, atau apa yang harus saya perbuat terhadapnya?" Ia menjawab, ”Tidak, tapi jauhilah dia." Rasulullah ﷺ juga mengutus kepada dua temanku, dengan perintah yang sama. Aku pun berkata kepada istriku, "Pergilah kepada keluargamu. Tetaplah bersama mereka hingga Allah memberikan keputusan tentang masalah itu."
Sementara istri Hilal bin Umayah menemui Rasulullah ﷺ meminta keringanan, "Ya RasuIuIIah, Hilal bin Umayah adalah orang yang sudah lanjut usia dan tidak mempunyai pelayan. Apakah engkau tidak suka bila saya membantunya?" Rasulullah ﷺ menjawab, ”Boleh, tapi jangan sampai dia mendekatimu." Istri Hilal berkata, "Demi Allah, ia sudah tidak memikirkan apa-apa lagi. Sejak peristiwa itu sampai saat ini, ia tidak berhenti menangis."
Beberapa keluarga saya berkata kepada saya, "Sebaiknya kamu meminta izin kepada Rasulullah, karena beliau telah memberikan izin kepada istri Hilal untuk membantunya." Saya jawab, "Saya tidak akan meminta izin kepada Rasullah untuk istri saya. Entahlah, saya tak tahu, apa yang akan dikatakan oleh Rasulullah jika saya meminta izin kepada beliau untuk istri saya, sementara saya masih muda begini.”
Keadaan seperti ini berlangsung selama sepuluh hari, sehingga genap lima puluh hari sejak sanksi tersebut diberlakukan. Pada hari kelima puluh, ketika saya melakukan shalat Shubuh di loteng rumah kami, saya merasakan kesedihan nan mendalam. Bumi nan membentang luas pun terasa sempit menghimpit. Kondisi hati saya sebagaimana Allah gambarkan dalam Al-Qur'an.
Saat itu, saya mendengar suara orang yang berteriak dari atas gunung Sal'in. "Wahai Ka'ab bin Malik, bergembiralah!" katanya. Mendengar suara itu, saya langsung bersujud. Saya tahu bahwa berita gembira telah datang. Selesai shalat Shubuh, Rasulullah ﷺ menyampaikan kepada kaum muslimin bahwa Allah سبحانه وتعالى telah menerima taubat kami. Orang-orang pun berhamburan memberitahukannya kepada kami. Ada yang datang dengan memacu kudanya. Ada pula seorang dari Bani Adam datang berlari melewati gunung sambil berteriak. Dan suara lebih cepat dari pada kuda.
Ketika orang yang memberikan kabar gembira sampai ke rumah saya, saya pun langsung melepas dua pakaian yang saya pakai, lalu saya kenakan kepadanya. Padahal saat itu, saya tidak mempunyai pakaian yang lain. Lalu saya meminjam pakaian dan berangkat untuk menemui Rasulullah ﷺ. Kaum muslimin mengucapkan selamat kepada saya secara bergantian. Mereka berkata, "Bergembiralah dengan penerimaan taubat dari Allah." Saya masuk ke masjid.
Saat itu Rasulullah ﷺ sedang duduk dikelilingi para shahabat. Melihat saya datang, Thalhah bin Ubaidilah berdiri berjalan cepat untuk menyambut. la menyalami dan mengucapkan selamat kepada saya. Selain dia, tidak ada orang Muhajirin yang berdiri untuk menyambut saya. Saya akan selalu mengingatnya, karena kebaikan yang ia perbuat tersebut.
Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ beliau menjawab dengan muka berseri-seri, "Bergembiralah dengan hari yang terbaik sejak ibumu melahirkanmu." Saya bertanya, ”Ya Rasulullah, dari engkau atau dari Allah?" Beliau ﷺ menjawab, "Bukan dari saya, tapi dari Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung."
Apabila bergembira, wajah Rasulullah Shalallahu 'Alahi Wa Salam bersinar bagaikan rembulan. Kami bisa mengetahui hal itu melalui wajah beliau. Ketika saya duduk di depan beliau, saya berkata, "Ya Rasulullah, di antara taubat saya (sebagai rasa syukur), saya sedekahkan harta saya untuk AIIah dan Rasul-Nya." Rasulullah Shalallahu 'Alahi Wa Salam bersabda, "Biarkan sebagian hartamu tetap menjadi milikmu. Itu akan lebih baik bagimu." Saya berkata, "Saya masih punya bagian di Khaibar wahai Rasulullah. Sungguh, Allah Yang Maha Tinggi telah menyelamatkan saya lantaran berkata jujur. Diantara bentuk taubat saya, bahwa saya berjanji untuk selalu berkata jujur selama hayat masih dikandung badan. Selama saya hidup."
Demi Allah, saya tidak mengetahui, bahwa ada seorang saja dari kaum muslimin yang dikaruniai nikmat oleh Allah lebih baik karena kejujuran daripada yang diberikan kepadaku, semenjak saya berjanji untuk selalu berkata jujur kepada Rasulullah ﷺ. Demi Allah, saya tidak pernah berbohong sejak mengatakan hal itu kepada Rasulullah hingga hari ini. Semoga Allah memelihara saya pada masa mendatang.
Lalu Allah سبحانه وتعالى menurunkan firman-Nya, yang artinya, "Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang berlaku jujur.” [Q.S. At-Taubah: 117-119].
Demi Allah, tidak ada nikmat Allah yang lebih besar bagi saya, setelah Allah memberikan petunjuk Islam kepada saya, selain sikap jujur saya kepada Rasulullah ﷺ. Sehingga saya tidak binasa, sebagaimana yang dialami oleh mereka yang membohongi beliau. Allah berfirman tentang mereka dengan nada yang sangat menghinakan.
Artinya, ”Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” [QS. At-Taubah: 95-96].
Kami bertiga berbeda dengan mereka yang alasannya diterima oleh Rasulullah ﷺ ketika mereka bersumpah. Rasulullah ﷺ mengambil janji mereka dan memintakan ampunan kepada Allah untuk mereka. Sementara itu, urusan kami bertiga ditangguhkan, hingga AIlah memberikan keputusan-Nya." [Muttafaqun ‘alaihi].
Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Nabi ﷺ keluar pada waktu perang Tabuk pada hari Kamis, dan memang sudah menjadi kesukaan beliau untuk bepergian pada hari Kamis.” Dalam sebuah riwayat lain disebutkan, "Biasanya beliau datang dari bepergian pada waktu Dhuha. Bila beliau datang, biasanya langsung ke masjid dan shalat dua rakaat kemudian duduk."
Rujukan :
- Shahih AI-Bukhari, Kitab Al-Ahkam Bab 3787/ 6684
- Shahih AI-Bukhari, Kitab Tafsir Al-Quran Bab 2369/4309
- Shahih AI-Bukhari, Kitab Tafsir Al-Quran Bab 2370/4310
- Riyadh Ash-Shalihin, Bab At-Taubah.
Sumber || Majalah Qudwah Edisi 01
t.me/majalah_qudwah