Untuk yang sedang terjadi, cukup jalani dan nikmati. Kepada yang belum terjadi, serahkan kepada Sang Ilahi. Namun yang telah terjadi, aku ingin mengenang..
“Ya udah kalau masih mau di sana”, ucap Ayah dari sebrang sana yang bertolak dari rencana.“Pulanglah ke rumah..”, ucap Ibu dengan nada yang terdengar memohon.
Aku yang mendengar perkataan mereka berdua yang bertolak belakang menjadi bimbang. Beberapa pertanyaan muncul di benakku.
“Akankah aku membatalkan kepulanganku? Apakah aku akan egois dengan mementingkan keinginanku untuk tetap bertahan di sini? Padahal tiket sudah dibeli dan perjuangan mencari jadwal pesawat pun bukan hanya sehari dua hari. Tidak! Aku tidak boleh egois, aku akan tetap pulang!”, gumamku.
Telepon ditutup setelah aku meyakinkan mereka bahwa aku akan tetap pulang.
“Aneh, berapa bulan lalu padahal Ayah yang ingin aku pulang, kenapa sekarang jadi Ibu yang mohon-mohon gini ya?”, batinku setelah telepon ditutup.
“Ah, mungkin Ayah berusaha merelakan saja, sedangkan Ibu sudah tak ingin lagi merasakan rindu berkepanjangan”, husnuzanku.
“Ibu, kenapa beda sendiri lauknya?”, tanyaku saat makan malam.
“Ah, biasalah orang sudah tua ada saja penyakitnya”, jawab beliau santai.
“Oh”, jawabku ringan.
“Tapi, sakit apa ya? Perasaan beliau selalu menjaga pola makannya. Ah, mungkin kolesterol. Biasakan orang tua punya sakit itu meski terlihat sehat-sehat saja?”, gumamku santai.
Tak ketinggalan pula setelah makan, beliau minum obat herbal.
Belum genap satu bulan di rumah, aku berangkat menuju tempat yang dilakukan kegiatan belajar-mengajar di dalamnya. Ya, pondok pesantren. Sama seperti saat aku merantau ke luar pulau. Hanya saja, di sini statusku bukan seperti di tempat sebelumnya.
Meski jarak keberadaanku dengan keluarga bisa dikatakan dekat, tapi menghubungi keluarga adalah hal rutin yang aku lakukan.
“Gimana Bu kabarnya? Sehat?”, begitulah pertanyaan yang selau aku lontarkan kala berbicara lewat jaringan seluler.
“Alhamdulillah, ya sehat-sehat begitulah, doakan saja biar Ibu selau sehat”, begitulah selalu jawaban beliau ketika aku bertanya keadaannya.
Beberapa bulan terlewati, hingga tiba libur semester satu. Aku pun kembali ke rumah. Beberapa hari terlewati seperti biasanya. Ya, membantu pekerjaan di rumah. Seperti biasa, malam itu, selepas shalat Maghrib aku berbincang ringan dengan Ibu.
Entah berawal dari apa perbincangan kami, tiba-tiba Ibu berkata, “Kamu tau, Nak, Ibu sakit apa selama ini?”, tanya Ibu yang membuatku mengerutkan dahi.
“Memang sakit apa, Bu? Kolestrol?”, tanyaku cukup penasaran.
Selama ini, aku hanya menerka-nerka saja. “Bukan, Nak!”, jawab beliau dengan raut wajah yang sulit aku artikan.
“Lalu?”, jawabku singkat.
“Ibu sakit tumor, Nak! Ketika pertama kali periksa, kata dokter sudah stadium tiga..”, jawab beliau cukup hati-hati.
Seketika mataku terasa panas dan mengalir air darinya tanpa lagi permisi. Meski tak terisak, tetapi serasa hatiku ada yang meremas.
“Beneran, Bu?”, tanyaku meyakinkan. “Ya!”, jawab beliau sambil mengangguk dan mengusap-usap punggungku.
Lemas. Itulah yang aku rasakan setelah mendengar pengakuan beliau. Ku usap-usap mataku yang basah. Namun percuma, air yang keluar tak kunjung surut. Pikiranku pun mulai melayang. Aku cemas.
“Apakah hidup beliau tak lagi lama? Realitanya, banyak orang yang mengidap penyakit tersebut berakhir ajal. Tidak! Tidak mungkin Allah membebaniku diluar kemampuanku. Aku yakin, Allah tidak akan membebani seorang hamba diluar kemampuannya”, kata hatiku menghibur diriku sendiri.
“Sebenarnya sudah lama Ayah dan kakak-kakakmu menyuruh Ibu memberi tau kepadamu tentang ini, tapi Ibu tak sampai hati untuk mengungkapkan ke kamu, Nak!”.
“Mereka bilang, ‘Kasih tau saja, biar yang lain juga ikut mendoakan’, tetapi Ibu tak ingin kamu kepikiran, Ibu ingin mengatakannya pada waktu yang tepat, karena Ibu tauperempuan itu terlalu perasa”, ucap Ibu sambil mengusap punggungku.
“Allah memberi sakit ini ke Ibu karena Allah tau Ibu pasti mampu menghadapinya. Dia yang tau segala sesuatu. Dia yang memberi sakit ini ke Ibu, Dia pula yang akan menyembuhkannya. Allah ingin menguji Ibu, bagaimana sikap Ibu ketika diberi ujian. Selama ini kan Ibu selalu sehat, dalam hal rezeki pun alhamdulilah selalu cukup. Iya kan?”, ucap Ibu panjang lebar sambil mengusap-usap punggungku.
Aku masih mengelap-ngelap air mata yang tak kunjung reda.
Mata beliau pun berkaca-kaca. Dirangkulnya tubuhku ke dalam dekapnya. Bermaksud menenangkan hatiku yang beliau tau pasti kalut.
“Sudahlah, Nak! InsyaAllah Ibu bisa melewati ujian ini..”, ucap beliau lirih.
“Alhamdulillah, ini juga sudah ada perubahannya”, sambung beliau.
Semenjak mengetahui sakit yang sebenarnya beliau alami, hari-hariku seakan mendung.
“Bu, apa Ibu tidak merasakan sakit?”, tanyaku di sela-sela perbincangan kami ketika aku masih di rumah.
Karena nyatanya beliau terlihat sehat-sehat saja tanpa ada sakit yang menimpanya.
“Alhamdulillah Ibu masih bisa mengerjakan pekerjaan Ibu seperti biasa, sakitnya ketika mau pecah saja. Kalau lagi sakit Ibu bawa zikir..”, terang beliau.
Libur usai. Aku kembali lagi ke ma’had (pesantren). Aku jalani hari-hariku tanpa terlihat bahwa senyumku tak semanis apa yang tersimpan di benakku.
Akhir bulan, aku kembali lagi ke rumah.
Kebetulan, kakak pertamaku dengan keluarga kecilnya juga menginap.
Tepatlah pada suatu malam, kami sekeluarga sedang berbincang-bincang, “Sekarang kondisi Ibu menurun. Gimana kalau kalian pulang ke rumahnya gantian; Senin sampai Kamis Abang yang disini, Kamis sampai Senin Z*** yang di rumah?”, saran Ayah kepada aku dan kakakku kerena memang keadaan Ibu sekarang mudah lelah.
“Ya, nanti diatur lagi jadwal mengajarnya”, jawab kakakku.
Hari pertama masuk setelah libur, aku dan kakakku kembali ke ma’had, untuk bermusyawarah dengan para pengajar lain terkait jadwal pelajaran yang kami pegang karena kami tidak bisa hadir satu pekan penuh.
Baru beberapa hari, aku kembali pulang, tepatnya hari Kamis siang.
Sampai di rumah, Ibu terlihat lesu. Tenyata beliau belum makan. Lauk untuk beliau sendiri pun belum beliau masak. Akhirnya, aku yang baru datang pun memasakkan makanan untuk beliau.
Semakin hari kondisi beliau semakin tidak baik. Nafsu makan yang turun drastis dan badan beliau pun semakin kurus.
Alhamdulillah, kakak pertamaku menawarkan kepada Ayah agar Ibu meminum air rebusan benalu pohon jeruk. Agar tumornya cepat mengering.
Kedua kakakku pun berusaha mencarinya. Ibuku sendiri pun juga berusaha mencarinya. Meski kondisi beliau yang sudah menurun, tetapi beliau masih berusaha untuk bisa mengendarai motor sendiri.
Meski keadaan beliau yang tak lagi sekuat dulu, beliau masih tetap mengerjakan pekerjaan rumahnya semampu beliau. Beliau tidak ingin terlalu merasakan penyakitnya. Beliau tidak ingin sampai merepotkan orang lain.
Beberapa hari setelahnya, alhamdulilah obat yang dimaksud pun didapat. Di samping minum obat herbal, beliau juga minum rebusan benalu tersebut.
Hari Senin, kakakku datang, dan aku pun kembali ke ma’had.
Para santriwati pun bertanya-tanya kepadaku, “Kholah, kenapa pulang?”, “Mau nikah ya, Kholah?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang jauh dari apa yang sebenarnya terjadi.
Sampai-sampai diantara mereka ada yang bertanya kepada musyrifah (pengasuh santri di pesantren) yang lain perihal kepulanganku yang sering. “Birrul walidain, membantu orang tua”, begitulah jawabannya jika ada yang bertanya perihalku.
Ya memang, tentang sakit yang menimpa beliau, beliau menutupnya dengan rapat. Beliau ingin terlihat selalu baik-baik saja. Beliau tak ingin orang lain merasa iba.
Kamis hadir kembali, aku kembali lagi ke rumah. Sampai di rumah, kulihat Ibu yang semakin terlihat lemah.
Malam Sabtunya, kakakku mampir sendirian ke rumahku, melihat keadaan Ibu dan berbincang-bincang dengan Ayah.
“Gimana kalo Z*** gak usah ke ma’had lagi, biar dia aja yang bantuin Ibu? Jadi Abang gak perlu bolak-balik ke sini lagi. Kasihan juga anak-anakmu kalo sering bolak-balik lagi covid begini. Ibu juga susah istirahat kalo ada mereka”, terang Ayah kepada kakakku.
“Ya nggak papa. Nanti jadwal Z*** biar digantikan yang lain”, jawab kakakku. Diputuskanlah, aku tidak akan ke Pondok lagi.
Hampir sepekan minum rebusan benalu itu, nafas Ibu seakan berat. Dan tangan kanan beliau terlihat membengkak. Akhirnya, Ibu berhenti minum rebusan benalu tersebut. Barangkali tubuh beliau tidak bisa menerima obat tersebut.
Tepat hari Senin, ketika bangun tidur Ibu sesak. Ayah pun memberi pertolongan pertama.
Di hari Senin itu pun aku sendiri yang menyiapkan sarapan untuk Ayah.
Ibu tak lagi kuat tuk berdiri lama-lama, meski napasnya sudah cukup teratur setelah mendapat pertolongan pertama. Dan di pagi itu aku membuatkan bubur untuk Ibu.
Air mataku terus mengucur sejak aku membuat sarapan untuk Ayah. Hingga Ayah telah berangkat kerja pun masih saja air mataku tak mau reda.
Ibu yang tengah makan melihat air mataku yang tak henti pun bertanya, “Kenapa sayang? Kamu capek?”.
Aku hanya menggeleng kepala sambil mengusap air mata.
“Duduklah sini..”, lanjut beliau sambil menunjuk sofa lawas di samping beliau. Aku pun duduk di samping beliau.
“Kenapa, Nak? Tak usah sedih, serahkan semuanya kepada Allah”, ucap beliau sambil megusap puncak kepalaku.
Aku hanya diam memandangi beliau makan.
“Ya Allah, apakah hidup beliau sebentar lagi? Sesingkat inikah pertemuanku dengan beliau”, batinku. “Kamu nggak makan? Jangan sampai sakit, kalo kamu juga sakit, siapa ntar yang bantuin Ibu?”, tanya beliau di sela-sela makannya. Aku hanya menggeleng. Nafsu makanku hilang. Tangisku telah menyambut hariku kali ini.
Usai makan Ibu minta berbaring di kamar. Tak lama setelah itu dua kakak kandung Ibu datang. Lama kami tak jumpa. Tak menyangka, bertemu kembali dalam keadaan pilu.
Dua bibiku itu memang baru mendapat kabar perihal sakit yang menimpa Ibu. Karena Ibu memang tidak mengabari saudara-saudaranya kecuali satu.
Tangis haru pun tejadi di kamarku itu. Kata maaf pun terucap dari dua bibiku itu. Seakan pertemuan ini akan menjadi pertemuan terakhir.
Esoknya, Ayah menawari Ibu untuk dirawat di Rumah Sakit. Namun, Ibu menolak.
Sejak beberapa bulan lalu pun Ayah sudah menawari Ibu untuk kemoterapi. Namun, Ibu menolak. Karena tak ingin merasakan efek dari kemoterapi dan karena keadaan yang yang masih diliputi wabah. Lagi pula untuk kemoterapi harus ke luar pulau.
Hari berikutnya, Ayah membawa resep dari dokter. Ayah pun mulai cuti hingga beberapa hari kedepannya.
“Bu, coba pegang bagian tumornya, apakah bergerak ketika digerakkan?”, tanya Ayah.
“Enggak”, jawab Ibu.
“Ya sudah, Bu, pasrah aja..”, jawab Ayah dengan wajah pasrah.
Mata Ibu pun berkaca-kaca. Tak tega melihat wajah lemas beliau. Mataku pun ikut berkaca-kaca. Aku menutup mulutku agar tangisku tak pecah. Didekapnya diriku. Beliau masih meyakinkanku, kalau beliau insyaallah masih bisa sembuh.
Kondisi beliau semakin memburuk. Setelah ke kamar kecil yang ada di kamar pun nafas beliau terengah-engah.
Hawa badan beliau pun selalu terasa gerah.
Hingga hari Jum’at pagi, beliau akhirnya memakai oksigen guna membantu pernapasan beliau. Sendu. Itulah suasana rumahku hari itu.
Akhirnya, di hari itu pula menjelang sholat Ashar beliau dibawa ke rumah sakit dengan mobil ambulance ditemani Ayah.
Selepas shalat Ashar, aku dan kakak kedua bersiap ke rumah sakit.
Setelah diperiksa, ternyata di paru-paru Ibu banyak cairan yang menyebabkan sulit bernapas. Sehingga, besok beliau akan menjalani operasi untuk menyedot cairannya.
Malamnya, Ayah pulang. Aku dan kakak yang menjaga Ibu.
Paginya, Ayah datang kembali. Aku dan kakak pulang ke rumah. Operasi Ibu akan dilakukan sebelum waktu zhuhur. Doa keselamatan pun kurapal. Semoga Allah memberi umur panjang kepada Ibu.
Setelah sholat zhuhur, aku dan kakak kembali lagi ke rumah sakit. Tenyata operasinya belum selesai. Di ruang rawat inap Ibu aku menunggu. Tak berselang lama, datanglah Ayah dan beberapa perawat mendorong ranjang Ibu.
Senyum terukir di wajah Ibu. Beliau memang tak pernah menangisi sakitnya. Tak pula mengeluh. Tapi, wajahnya kali ini menunjukkan bahwa beliau berharap besar untuk masih bisa menemani hari-hari kami lebih lama lagi.
Alhamdulillah, Allah masih mengizinkan beliau tuk menghirup udara dunia. Nafsu makan beliau pun muncul kembali. Nafas juga kembali normal. Alhamdulillah.
Di tubuh beliau masih terpasang selang untuk mengeluarkan cairan dari paru-paru. Setelah cairan tak ada yang keluar, Ibu baru diizinkan pulang. Kurang lebih empat malam Ibu offname.
Saat akan pulang, Ibu mencoba turun dari ranjang sendirian. Ternyata beliau masih lemah, kaki beliau belum bisa menapak tanpa bantuan. Akhirnya beliau memakai kursi roda untuk menuju mobil.
Di rumah, ternyata keadaan beliau semakin hari tidak semakin baik. Ya, kadang memang beliau merasa badannya enakan. Namun, tangannya masih bengkak, dan nafas beliau sesekali kembali sesak. Ya memang, kata dokter, cairan itu akan muncul lagi meski telah disedot.
Kamarku pun serasa seperti ruang rawat inap. Ada tabung oksigen dan infus. Ya, selama sakit beliau tidur di kamarku bersamaku.
Setelah Ibu datang dari rumah sakit, para tetangga dan saudara serta ummahat salafiyyat datang menjenguk. Mereka memberi semangat kepada Ibu untuk sembuh dan memberi saran obat yang dan makanan yang dikonsumsi guna mempercepat penyembuhan tumor.
Kurang lebih dua pekan ibu dirawat di rumah, akhirnya Ibu harus kembali lagi ke rumah sakit untuk sedot cairan lagi.
Tepatnya hari Ahad, Ibu kembali lagi opname. Hanya saja kali ini tidak dilakukan operasi. Dokter hanya masang jarum suntik dengan selang untuk mengalirkan cairannya.
Kurang lebih sehari, selang sudah dilepas, karena cairannya sudah tidak keluar lagi. Namun, Ibu belum bisa pulang karena akan sedot cairannya lagi beberapa hari kedepan.
Hari itu, tepatnya hari Jum’at. Sore itu, kakak keduaku terburu-buru.
“Abang disuruh ke Rumah Sakit, Ibu sesak”, ucapnya sambil berjalan tanpa menoleh. Harusnya balik lagi ke sana pada malam hari bersamaku.
Aku yang sedang memasak hanya terdiam melihatnya terburu-buru.
“Ya Allah, semoga Ibu masih selamat”, lirihku. Khawatir. Itulah yang aku dan kakak iparku rasakan.
Mendekati Maghrib, kakak pertamaku yang datang. Setiap sore dia memang mengantar lauk untuk Ibu karena lauk yang disediakan dari Rumah Sakit seringnya lauk yang harus Ibu hindari.
“Bagaimana keadaan Ibu?”, tanyaku.
“Pakai oksigen tekanan tinggi”, jawabannya.
“Padahal siangnya beliau masih terlihat baik-baik saja”, batinku.
Setelah shalat isya aku diantar kakak pertama ke Rumah Sakit.
“Adek mana?”, tanya beliau kepada kakakku yang mengantarku ketika kami telah sampai di ruangan. Adek yang beliau maksud adalah anak perempuan kakak pertamaku yang baru berumur satu tahun. Ntah mengapa tiba-tiba beliau bertanya cucunya.
Padahal dari kemarin-kemarin tak pernah bertanya tentang cucunya.
“Ada di rumah sama umminya”, jawabnya. Tak lama di sana, kakakku pulang.
Malam itu, aku tidur duluan di sofa ruang rawat inap Ibu. Bergantian dengan kakakku yang kedua yang memang mendapat jadwal jaga malam sejak Ibu dirawat di Rumah Sakit.
Saat terjaga dari lelap, kulihat ternyata Ayah masih duduk di samping ranjang Ibu.
“Ya Allah, ternyata Ayah tidak pulang”, batinku. Ingin kudekati, tapi ragaku menolak tuk bangkit.
Mendekati waktu subuh, aku terhenyak dari lelapku. Terdengar suara berat yang mengucapkan lafaz-lafaz zikir.
Pandanganku langsung tertuju kepada sumber suara.
Ternyata, itu suara Ibu! Dengan mata berkaca-kaca kudekati beliau yang sendiri. Aku duduk di kursi di samping ranjang beliau. Sepertinya Ayahku meninggalkan Ibu saat dirasa Ibu telah terlelap, dan tanpa membangunkan kami.
“Ayah kemana?”, tanya beliau saat menyadari kehadiranku.
Ku jawab bahwa aku juga tak mengerti kemana perginya Ayah.
Setelah waktu subuh, Ayah datang.
“Bacakan Al-Qur’an kepada Ibu!”, perintah Ayah.
“Dari setelah sesak kemarin, agak beda soalnya”, lanjut Ayah.
Akhirnya aku membacakan Al-Qur’an kepada Ibu.
Jam terus berputar. Ibu meminta untuk diganti dengan oksigen yang biasa.
Akhirnya Ayah mengganti dengan oksigen yang biasa. Baru beberapa detik diganti, tekanan oksigen di paru-paru Ibu menurun dan nafasnya terasa berat.
Terpaksa Ayah mengganti dengan oksigen yang sebelumnya lagi.
Sejak kemarin sore, nafas Ibu tidak nyaman. Dibuka sebenar saja sungkup oksigennya, kadar oksigen di paru-paru beliau menurun. Beliau juga merasa tak nyaman menggunakan sungkup oksigen.
Ayah pun tampak kalut melihat kondisi Ibu yang bernafas tak nyaman. Dokter yang berjanji akan menyedot cairan hari itu pun tak kunjung datang.
Hari itu, sejak usai sarapan, Ibu beberapa kali bertanya “Kapan sholat zhuhur?”. Padahal sudah dijawab masih lama. Ayah juga menyuruh untuk sesekali menalqin Ibu.
Menjelang zhuhur, dokter datang. Mengetahui dokter akan tiba, aku segera menarik gorden yang membatasi tempat tidur Ibu dengan sofa-sofa pengunjung. Sedangkan kakakku memilih ke lantai bawah. Adapun Ayah menemani Dokter.
Di balik gorden aku mendengar Dokter bertanya keadaan Ibu. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara Ibu yang cukup keras menyebut kalimat syahadat. Kurapal doa kebaikan. Semoga Ibu masih selamat.
Terdengar suara dokter samar-samar. Namun, aku tak dapat mendengar jelas apa yang dokter bicarakan dengan Ayah.
Tak lama kemudian, dokter keluar lalu memanggil Ayah untuk juga ikut keluar. Kusingkap gorden yang menghijabi antara aku dan Ibu. Dan ku dekati beliau.
Ternyata, penyedotan cairannya batal. Entah apa alasannya, aku tak mengerti.
Aku memandangi wajah Ibu yang lemas.
Beliau juga menatap wajahku. “Alhamdulillah Ibu masih bernafas”, batinku.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara engsel pintu, aku segera kembali ke tempatku semula.
“Oh ternyata Ayah dan dokter“, batinku.
Setelah itu ntah apa yang dokter lakukan. Yang pasti bukan untuk melakukan penyedotan cairan.
Setelah usai pemeriksaan yang dilakukan dokter, aku menghubungi kakakku. Tak lama setelah kakakku masuk ruang rawat inap Ibu, kami pamit untuk pulang dulu.
Sorenya, kakakku pergi duluan ke rumah sakit.
Setelah Isya’ kakak pertamaku mengantarku ke rumah sakit.
Sesampai di ruang rawat Ibu, terdengar suara murattal dari handphone kakak keduaku.
Sejak Ibu sesak hebat, tepatnya hari Jum’at sore itu, Ibu sering dibacakan Al-Qur’an. Kadang, beliau sendiri yang memintanya. Ya memang, sejak hari itu, keadaan beliau tak meyakinkan.
Kakak pertamaku pulang. Ayah juga menyusul pulang. Malam itu aku kembali memilih untuk tidur duluan. Udara ruangan yang dingin membuatku tak mampu melawan kantuk.
Malam itu, awalnya Ibu akan diuap. Beberapa perawat pun telah membawa peralatannya. Namun, Ibu menolak.
Aku yang telah berbaring di sofa, hanya melihat samar-samar apa yang terjadi karena aku menutup bagian tempat sofa dengan menarik sebagian gorden.
Malam itu, Ibu tidak tidur dengan nyaman. Sesekali minta dilepas sungkup oksigennya. Sikap beliau pun seakan seperti anak kecil yang memaksa untuk dituruti permintaannya.
Aku dan kakakku berusaha menenangkan beliau dan menyabari beliau. “Ya Allah, akankah kami menghadapi beliau yang pikun?”, batinku.
Esoknya, saat hari masih gelap, Ayah dan kakak pertamaku datang. Sepertinya, selepas shalat Subuh mereka langsung berangkat ke Rumah Sakit.
Pagi itu, aku sangat mengantuk. Kutahan-tahan, tetap saja terpejam meski dalam keadaan duduk. Padahal tidurku tadi malam cukup nyenyak meski sering terbangun.
Entah mengapa, jaga dua malam terakhir ini, mataku begitu berat. Hingga aku merasa hampir semalam penuh kakakku yang menjaga.
Jam menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit. Dalam keadaan yang masih menahan kantuk, Ayah mengajakku pulang.
“Yuk pulang, Ayah sarapan di rumah aja”, ajak Ayah. Aku pun berpamitan dengan Ibu dan dua kakakku. Ingin kucium Ibuku, tapi aku tak ingin tangisku pecah, lagi.
Sampai di rumah, aku dan kakak iparku menyiapkan sarapan untuk Ayah.
Setelah sarapan dan menyiapkan yang lainnya, Ayah kembali ke rumah sakit.
Aku dan kakak iparku di rumah bersama dua anaknya. Hari ini aku di rumah saja. Biasanya aku baru pulang ke rumah sekitar jam sembilan pagi. Namun hari ini, masih pagi aku sudah disuruh pulang dan tidak ke Rumah Sakit lagi.
Mengingat hari-hari Ibu yang tak berdaya. Hampir sebulan Ibu tak berjalan.
Hanya berbaring di atas tempat tidur. Selama itu pula, tak pernah ada air mata yang beliau tumpahkan karena sakit yang beliau rasakan.
Tak pula keluh kesah yang keluar dari lisan beliau. Beliau serahkan dan pasrahkan semuanya kepada Yang Kuasa dengan menempuh sebab kesembuhan. Aku bangga padamu, Ibu!
“Kenapa barang-barangnya udah dibawa pulang, Bang?”, tanyaku keheranan ketika kakak pertamaku sampai di rumah setelah mengantar makan malam.
“Yah, keadaan Ibu aja sudah seperti itu“, jawab kakakku.
“Ya, mana tau besok Ibu segar kembali”, sambungku.
Sebelumnya, aku memang sudah mendapat kabar bahwa Ibu sudah tidak sadar sejak siang. Aku hanya berusaha meyakinkan diriku sendiri, bahwa tidak mungkin Allah membebaniku diluar batas kemampuanku.
Aku masih merasa belum mampu melayani Ayah tanpa bantuan dari Ibu. Aku khawatir tak sempurna dalam melayani Ayah.
“Nanti aku nggak ikut ke rumah sakit, ya, Bang!”, pintaku ke kakak pertamaku.
“Kenapa?”, tanyanya.
“Badanku agak engegak enak, entar khawatir tambah kedinginan di sana”, jawabku.
Khawatir mau ke Rumah Sakit sedang tidak enak badan, karena di sana juga ada ruang isolasi covid-19.
“Gimana kabar Ibumu, Z*?”, tanya adik Ibu via telepon.
Mengetahui keadaan Ibu yang kritis aku menjawab, “Do’akan saja yang terbaik, Bi..”.
“Kami pasti mendo’akan yang terbaik untuk Ibumu, Z*”, “Katanya dari tadi siang gak sadar ya?”, tanya Bibi.
“Siapa yang mengabari ya?”, batinku. “Iya, Bi. Do’akan saja Ibu, Bi. Semoga Allah memberi yang terbaik untuk beliau”, ucapku menjawab pertanyaan Bibi.
Aku masih berbicara dengan temanku via telepon. Hingga kakak pertamaku berangkat ke rumah sakit. Ingin rasanya aku memutus telepon saat kakak mulai menyalakan motor dan ikut ke rumah sakit. Namun, aku urungkan. Khawatir kakak malas menungguku.
Aneh. Entah mengapa malam itu aku tak mau ikut ke rumah sakit.
Padahal, bagaimana pun keadaannya, aku tetap harus menjaga Ibu di waktu malam. Karena itu bagian tugasku.
“Biarlah, Bang F*** jaga sendiri aja, daripada aku ikut jaga, ntar tambah gak enak badan”, batinku.
Aku masih dengan ponselku.
Tak lama setelah kakak pertamaku berangkat, kurang lebih dua puluh menit, istrinya yang memang ditinggal di rumah bersama dua anaknya, mendatangiku.
“Dek, Ibu udah gak ada!”, ucapnya pelan dengan wajah muram dan mata berkaca-kaca.
“Beneran, kak? Ibu udah meninggal?”, tanyaku kaget.
“Ya, Abang baru saja memberi tau”, jawab kakak iparku.
“Innaa lillahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Allahumma’ jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa._ Alhamdulillah ‘alaa kulli haal”, ucapku lirih.
Aku langsung mencari kontak kakak pertamaku, lalu menelponnya. Telepon langsung diangkat.
“Bang, beneran Ibu sudah meninggal?”, tanyaku setelah ucapan salamku dijawab.
“Ya”, jawabnya singkat. Setelah mengucapkan salam, telepon ku tutup.
Aku tidak menangis. Apakah hatiku batu? Tidak! Aku telah menyiapkan hatiku jauh-jauh hari.
Aku meyakinkan diriku bahwa apa yang Allah takdirkan pasti yang terbaik, Allah tidak akan membebani hamba diluar kemampuannya, dan akan ada hikmah dari setiap kejadian.
Tak berselang lama, kakak pertamaku datang. Dia langsung menyuruh menyiapkan kasur untuk jenazah Ibu.
Sesaat kemudian kakak keduaku datang. Setelah dia masuk kamar, aku juga ikut masuk ke kamarnya, karena ada yang ingin aku sampaikan.
Dengan air mata yang mengalir, dia memelukku. “Sabar, Bang. Namanya hidup, pasti ada perpisahan”, ucapku sambil mengusap punggungnya.
Dengan mobil ambulance dan ditemani Ayah, jenazah Ibu sampai di rumah satu jam lebih setelah kabar kematiannya kudengar. Tenang dan damai. Itulah yang terlihat di wajah Ibu. Senyuman tergambar di bibir beliau. Rahimahallah. Semoga Allah merahmatimu, Ibu.
Malam itu juga jenazah beliau dimandikan. Selepas sholat shubuh baru dikafani. Para tetangga, teman-teman Ayah dan Ibu, juga sanak saudara datang melayat.
Sekitar pukul delapan, kami menyolatkan jenazah beliau. Setelah jam setengah sembilan, jenazah beliau dibawa ke masjid. untuk disholatkan di sana juga.
Dari sebuah bilik, aku memandangi keranda yang membawa jenazah beliau hingga hilang dari pandanganku. Selamat jalan, Ibu. Semoga engkau bahagia di sana!
“Tees!”. Air mataku tumpah. Lalu, aku berjongkok di atas kasur dan bersandar ke dinding.
“Ya Allah, tak menyangka, ternyata pertemuan kami singkat!”, lirihku
***
Kini, tak ada lagi sosok itu..
Sosok yang mencintaiku dan aku juga mencintainya..
Sosok tegar dan tak pernah berkeluh-kesah..
Sosok pejuang keras tak pula kenal putus asa..
Sosok tegas namun penuh kelembutan..
Sosok sabar lagi penuh kasih sayang..
Sosok periang lagi ramah..
Dan sosok yang suka menyambung silaturahmi lagi dermawan..
Ya, sosok itu adalah sosok Ibuku!
Sosok yang aku banggakan!
(Ditulis oleh Az****, Sahabat Portal Buku dari Belitung)
Sumber: https://portalbuku.com/bikin-air-mata-tumpah-ibu-yang-aku-banggakan/