Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kajian tafsir surat al-ma'un

9 tahun yang lalu
baca 18 menit

KAJIAN TAFSIR SURAT AL-MAA’UUN 


Surat ini adalah Makkiyyah. Dinamakan dengan surat al-Maa’uun karena mengandung kata al-Maa’uun, yaitu di ayat terakhir. InsyaAllah di ayat yang terakhir akan dijelaskan makna al-Maa’uun.

Ayat Ke-1 Surat al-Maa’uun


أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ

Arti Kalimat: Tidakkah engkau melihat orang yang mendustakan (hari) pembalasan?

Ucapan aro-ayta artinya adalah : tidakkah engkau melihat. Bisa juga diartikan: kabarkan kepadaku, bagaimana pendapatmu tentang…

Makna ad-Diin dalam ayat ini artinya adalah ‘pembalasan’, sebagaimana firman Allah:

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Yang Menguasai hari pembalasan (Q.S al-Fatihah ayat 4)

يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ

Pada hari tersebut Allah menyempurnakan pembalasan untuk mereka secara haq (adil)…(Q.S anNuur ayat 25)

Orang-orang Kafir tidak meyakini bahwa mereka akan dibangkitkan pada hari kiamat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Para penentang dakwah Rasul bertanya dengan maksud mengejek: Apakah mungkin kami akan dibangkitkan?! Hal itu sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an:

أَيَعِدُكُمْ أَنَّكُمْ إِذَا مِتُّمْ وَكُنْتُمْ تُرَابًا وَعِظَامًا أَنَّكُمْ مُخْرَجُونَ (35) هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ لِمَا تُوعَدُونَ (36) إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ (37)

Apakah dia (Rasul) menjanjikan bahwa jika kalian mati berkalang tanah dan berupa tulang belulang, kalian akan dikeluarkan (dari kubur). Sungguh jauh hal yang dijanjikan kepada kalian itu. Tidaklah kehidupan kita kecuali dunia, kita mati dan hidup. Dan kita tidak akan dibangkitkan (Q.S al-Mu’minuun ayat 35-37)

قَالُوا أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَئِنَّا لَمَبْعُوثُونَ (82) لَقَدْ وُعِدْنَا نَحْنُ وَآَبَاؤُنَا هَذَا مِنْ قَبْلُ إِنْ هَذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ (83)

Mereka berkata: Apakah jika kita mati berupa tanah dan tulang belulang, kita akan dibangkitkan? Kami dan nenek moyang kami sudah dapat peringatan demikian sebelumnya (sudah sejak lama). Tidaklah itu kecuali hanyalah dongeng-dongeng orang terdahulu (Q.S al-Mu’minuun ayat 82-83)

Orang yang mendustakan hari pembalasan berarti ia tidak percaya akan adanya pahala dan dosa, Surga dan Neraka. Sehingga ia berbuat semaunya, tidak peduli dengan perintah dan larangan Allah, karena tidak yakin bahwa ia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Ayat Ke-2 Surat al-Maa’uun


فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ

Arti Kalimat: Itu adalah (orang) yang menghardik (mendorong dengan keras) anak Yatim

Kata yadu’-u maknanya adalah menolak atau mendorong dengan kasar dan keras. Bisa secara fisik dengan perbuatan, bisa juga dengan ucapan yang menyakitkan dan merendahkan. Ini adalah sikap orang-orang yang tidak percaya dengan hari pembalasan. Ia melihat anak Yatim –anak yang belum baligh dan ayahnya telah meninggal- adalah pihak yang tidak berdaya, tidak akan mungkin bisa membalas perbuatannya, karena itu ia bertindak sewenang-wenang.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa sikap ‘mendorong dengan kasar’ anak Yatim tersebut adalah karena kekerasan hatinya. Sungguh benar yang beliau nyatakan. Karena kedua sifat yang disebut dalam surat ini, yaitu menghardik anak Yatim dan tidak menganjurkan orang untuk memberi makan orang miskin adalah penyebab kerasnya hati. Sebaliknya, bersikap baik kepada anak Yatim dan memberi makan orang miskin adalah anjuran Nabi shollallahu alaihi wasallam bagi yang ingin melunakkan hatinya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا شَكَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu anhu- bahwa seorang laki-laki mengadukan kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam perihal kekerasan hatinya. Maka Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Usaplah kepala anak Yatim dan berikanlah makanan kepada orang miskin (H.R Ahmad, dinyatakan bahwa rijalnya adalah rijal as-Shahih oleh al-Mundziri dalam atTarghib wat Tarhiib dan dinyatakan shahih li ghoirihi oleh al-Albaniy)

Dalam ayat yang lain Allah melarang sikap sewenang-sewenang, kasar, dan dzhalim kepada anak Yatim:

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ

Adapun terhadap anak Yatim, maka janganlah engkau bersikap sewenang-wenang (Q.S ad-Dhuha ayat 9)

Ayat Ke-3 Surat al-Maa’uun


وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ

Arti Kalimat: dan dia tidak menganjurkan (orang lain) untuk memberi makan kepada kaum miskin

Sikap buruk orang yang disebut dalam surat ini tidak sekedar menghardik anak Yatim, namun juga tidak mau menganjurkan orang lain untuk memberi makan orang miskin. Jika sekedar menganjurkan orang lain saja ia tidak mau, terlebih lagi dia sendiri tidak akan mau untuk memberi makan kepada orang miskin (Tafsir as-Sa’di).

Dua perbuatan buruk yang disebut di ayat 2 dan 3 surat al-Maa’uun ini adalah sepasang perbuatan yang juga dicela oleh Allah dalam ayat yang lain:

كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ (17) وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (18)

Sekali-kali tidak. Bahkan kalian tidak memuliakan anak Yatim. Dan kalian benar-benar tidak menganjurkan (orang lain) untuk memberi makan orang miskin (Q.S al-Fajr ayat 18-19)

Demikianlah sikap orang-orang yang tidak beriman akan datangnya hari kiamat.

Sangat jauh berbeda dengan kaum beriman, mereka suka memberi makan kepada orang miskin dengan ikhlas karena takut akan datangnya hari kiamat:

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا (8) إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا (9) إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا (10)

Dan mereka memberikan makanan yang dicintainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. (Ia berkata dalam hati) Sesungguhnya kami memberi makan kepada kalian untuk mengharapkan Wajah Allah (ikhlas). Kami tidak mengharapkan balasan (dari manusia) dan tidak pula ucapan terima kasih. Sesungguhnya kami takut kepada Rabb kami, akan datangnya suatu hari ketika) orang-orang berwajah muram penuh kesulitan (Q.S al-Insaan ayat 8-9)
(faidah penjelasan Syaikh Muhammad Athiyyah Salim yang melanjutkan penulisan Tafsir Adhwaa-ul Bayaan)

Undangan makan-makan (Walimah pernikahan) adalah tercela jika mengkhususkan hanya untuk orang kaya, sedangkan orang miskin dihalangi dari menghadirinya.

Nabi shollalahu alaihi wasallam bersabda:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا

Seburuk-buruk makanan adalah makanan saat walimah yang dilarang hadir orang yang mendatanginya (orang miskin), dan diundang orang yang enggan hadir (orang kaya) (H.R Muslim dari Abu Hurairah)

Abu Hurairah radhiyallahu anhu menyatakan:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ

Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, yang diundang (hanya) orang-orang kaya dan kaum fakir ditinggalkan (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Penyebutan sikap menghardik anak Yatim dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin itu adalah sekedar penyebutan contoh terhadap 2 hal, yaitu: mengerjakan hal yang tercela (menghardik anak Yatim) dan meninggalkan perbuatan baik (menganjurkan memberi makan orang miskin).

Jika disebutkan pada ayat ini 2 obyek yang jadi sasaran adalah anak Yatim dan orang miskin, karena kedua pihak itu adalah pihak yang lemah tak berdaya. Jika mereka diberi bantuan atau kebaikan, mereka tidak akan bisa membalas secara langsung dalam bentuk yang terlihat di dunia karena kelemahan mereka, dan jika mereka disikapi dengan perbuatan buruk, mereka tidak punya kemampuan membalas perbuatan buruk itu. Sikap berbuat baik kepada pihak-pihak yang lemah ini atau menjaga diri untuk tidak menyakiti mereka, sebenarnya didasari oleh keimanan bahwa setiap perbuatan baik atau buruk kepada pihak manapun Allahlah yang akan membalasnya. Maka bagi orang yang tidak beriman terhadap balasan dari Allah itu, mereka akan bertindak sewenang-wenang (disarikan dari faidah penjelasan Syaikh Muhammad Athiyyah Salim dalam Tatimmah Adhwaail Bayaan)

(Sumber referensi: Tafsir Juz Amma libni Utsaimin, Tafsir as-Sa’di, Tatimmah Adhwaa-il Bayaan, Tafsir Ibn Katsir)

<< Materi Kajian Ta’lim Ummahat Majelis Ta’lim al-I’tishom bissunnah Probolinggo bulan Dzulhijjah 1436 H >>

(Abu Utsman Kharisman)

WA al-I'tishom

Senin, 29 Dzulhijjah 1436 H/ 12 Oktober 2015 jam 10.48 WIB

Ayat Ke-4 dan Ke-5 Surat al-Maa’uun


فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ..4 الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ..5

Arti Kalimat: Maka celakalah bagi orang sholat. Yaitu orang yang lalai terhadap sholatnya

Allah mencela orang yang lalai terhadap sholatnya. Beberapa bentuk sikap lalai terhadap sholat yang dijelaskan para Ulama di antaranya: mengakhirkan waktunya, tidak menegakkan syarat-syarat dan rukun sholat dengan sempurna, misalkan terlalu cepat dalam sholatnya, tidak benar dalam ruku’ dan sujudnya. Mayoritas pikirannya tidak perhatian dengan sholat, ingat Allah hanya sedikit saja.

Kebiasaan orang-orang munafik adalah mengakhirkan sholat. Kemudian, setelah dekat masa berakhirnya waktu sholat itu, ia segera bangkit sholat, mengerjakannya dengan tergesa-gesa tidak thuma’ninah.

تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا

Itu adalah sholat Munafiq, (yaitu) duduk menunggu matahari hingga (menjelang tenggelam) di antara dua tanduk syaithan, ia mematuk 4 kali, tidaklah mengingat Allah kecuali hanya sedikit (H.R Muslim dari Anas bin Malik)

Seharusnya bagi yang tidak memiliki udzur, sholat Ashar dikerjakan sebelum matahari berubah warna. Kalau sudah mulai berubah warna, meski belum tenggelam, sesungguhnya itu adalah waktu sholat Ashar yang darurat. Bagi yang sholat di waktu itu tanpa udzur, dia berdosa menurut sebagian Ulama’.

وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ

Dan waktu sholat Ashar selama matahari belum menguning (H.R Muslim dari Abdullah bin Amr)

ثُمَّ أَخَّرَ الْعَصْرَ حَتَّى انْصَرَفَ مِنْهَا وَالْقَائِلُ يَقُولُ قَدْ احْمَرَّتْ الشَّمْسُ

Kemudian Nabi mengakhirkan sholat Ashar hingga pada saat selesai sholat ada Sahabat yang berkata: Matahari telah memerah (H.R Muslim dari Abu Musa al-Asy’ariy)

Saat matahari sudah mulai berubah warna, sinarnya tidak lagi garang dan enak dilihat, saat itu sebenarnya sudah berakhir waktu Ashar yang normal. Kalau di Indonesia mungkin berkisar antara 30-45 menit atau mungkin 1 jam menjelang terbenam matahari, sebagai bentuk kehati-hatian. Jika waktu Maghrib adalah pukul 17.30, janganlah melakukan sholat Ashar lebih dari jam 16.30 bagi yg tidak memiliki udzur. Terutama para ibu-ibu yang tidak wajib harus ke masjid untuk melaksanakan sholat saat berkumandang adzan.

Demikian juga waktu Isya’. Janganlah seseorang menyengaja melakukan sholat Isya’ setelah melewati tengah malam tanpa udzur. Karena waktu Isya’ yang normal bagi orang yang tidak memiliki udzur adalah hingga tengah malam, sesuai hadits:

وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ

Waktu sholat Isya hingga tengah malam (H.R Muslim)

Sebagai contoh, jika Maghrib adalah jam 18.00 WIB dan Subuh pada 04.00 WIB, maka rentang waktu malam adalah 10 jam. Jadi, waktu Isya berakhir pada 5 jam setelah Maghrib, yaitu jam 23.00 WIB.

Termasuk lalai terhadap sholat yang diancam mendapatkan kecelakaan dalam ayat ini adalah sholat dengan gerakan yang tergesa-gesa, terburu-buru (tidak thuma’ninah).

Seseorang yang sholat tidak thuma’ninah, tidak sah sholatnya. Orang yang sholatnya sangat cepat, terburu-buru dan tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya tidak sah sholatnya, dan terhitung sebagai pencuri sholat.

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِيْ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ قَالَ لاَ يَتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا

“ Seburuk-buruk pencuri adalah seseorang yang mencuri dari sholatnya. (Para Sahabat bertanya) : Bagaimana seseorang bisa mencuri dari sholatnya? (Rasul menjawab) : ‘ Ia tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya “ (H.R Ahmad dan At-Thobrony, al-Haitsamy menyatakan bahwa para perawi hadits ini adalah perawi-perawi hadits shohih, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Haakim)

Selain orang yang sholat sendirian, para Imam juga sebagian ada yang tidak thuma’ninah dalam sholatnya. Makmum belum selesai baca al-Fatihah, Imam sudah ruku’. Makmum belum selesai membaca bacaan ruku’ yang wajib, Imam sudah bangkit dari ruku’, dan seterusnya. Ini adalah musibah. Semoga Allah memperbaiki keadaan seluruh kaum muslimin.

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ اْلأَشْعَرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  رَأَى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ يَنْقُرُ فِي سُجُوْدِهِ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ يَنْقُرُ صَلاَتَهُ كَمَا يَنْقُرُ الْغُرَابُ الدَّمَ مَثَلُ الَّذِيْ لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَيَنْقُرُ فِيْ سُجُوْدِهِ مِثْلُ اْلجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَانِ لاَ يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا

Dari Abu Abdillah al-Asy’ari radliyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’nya, dan waktu sujud (dilakukan cepat seakan-akan) mematuk dalam keadaan dia sholat. Maka Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti itu, ia mati di luar agama Muhammad. Ia sujud seperti burung gagak mematuk makanan. Perumpamaan orang ruku’ tidak sempurna dan sujudnya cepat seperti orang kelaparan makan sebiji atau dua biji kurma yang tidak mengenyangkannya “(H.R Abu Ya’la,al-Baihaqy, at-Thobrony, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dan dihasankan oleh Syaikh AlAlbaany)

Di dalam ayat ini Allah mencela orang yang ‘lalai dari sholatnya’ (‘an sholaatihim saahun), Allah tidak mencela orang yang ‘lalai di dalam sholatnya’ (‘fii sholaatihim saahun’). Kalau orang yang ‘lalai dari sholat’, ia tidak perhatian sejak awal, tidak berusaha mempersembahkan ibadah yang terbaik, ini perbuatan orang munafikin. Sedangkan ‘lalai di dalam sholat’, bisa terjadi pada orang-orang beriman. Misalkan lupa jumlah rokaat yang telah dikerjakan dan berapa yang tersisa. Atau lupa saat membaca ayat al-Quran. Hal ini tidaklah termasuk yang dicela dalam ayat ini. Bahkan Nabi kita shollallahu alaihi wasallam sebagai manusia paling beriman, paling bertakwa, beliau juga pernah lupa di dalam sholatnya.

Nabi shollallahu alaihi wasallam pernah sholat Dzhuhur 5 rokaat yang semestinya 4 rokaat (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud). Beliau juga pernah sholat hanya 2 rokaat yang semestinya 4 rokaat. Setelah diingatkan, beliau menambah 2 rokaat dan sujud sahwi setelah salam (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Beliau juga pernah sholat Ashar 3 rokaat, yang seharusnya 4 rokaat (hadits riwayat Muslim dari Imron bin Hushain). Beliau juga pernah lupa tidak melakukan tasyahhud awal di sholat Dzhuhur (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Buhainah). Semua itu salah satu hikmahnya adalah untuk pengajaran kepada umat, apa yang harus dilakukan jika lupa dalam sholat, yaitu dengan melakukan sujud sahwi.

Nabi shollallahu alaihi wasallam juga pernah lupa dalam membaca al-Quran saat menjadi Imam.

عَنِ الْمُسَوَّرِ بْنِ يَزِيدَ الْأَسَدِيِّ الْمَالِكِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الصَّلَاةِ فَتَرَكَ شَيْئًا لَمْ يَقْرَأْهُ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَرَكْتَ آيَةَ كَذَا وَكَذَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلَّا أَذْكَرْتَنِيهَا

Dari al-Musawwar bin Yazid al-Asadiy al-Malikiy bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam membaca dalam sholat kemudian beliau meninggalkan (ayat) yang tidak beliau baca. Maka seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, anda meninggalkan (tidak membaca) ayat ini dan ini. Maka Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Tidakkah engkau mengingatkan aku dengan (ayat itu)? (H.R Abu Dawud, dishahihkan Ibnu Hibban, dihasankan al-Albaniy)

Pada penjelasan perawi hadits itu (Sulaiman bin Abdirrohman ad-Dimasyqi) dinyatakan bahwa Sahabat itu tidak mengingatkan Nabi dalam sholat karena mengira ayat tersebut telah dimansukh (dihapus).

Dalam kesempatan lain Nabi juga sempat lupa saat membaca ayat al-Quran:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلَاةً فَقَرَأَ فِيهَا فَلُبِسَ عَلَيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِأُبَيٍّ أَصَلَّيْتَ مَعَنَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَا مَنَعَكَ

Dari Abdullah bin Umar –radhiyallahu anhu- bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam pernah sholat kemudian beliau membaca (ayat) kemudian tersamarkan oleh beliau bacaan itu. Ketika selesai sholat, beliau berkata kepada Ubay (bin Ka’ab): Apakah engkau sholat bersama kami? Ubay menjawab : Ya. Nabi menyatakan: Apa yang menghalangimu (untuk mengingatkan ketika bacaan Imam salah)(H.R Abu Dawud, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan ad-Dhiyaa’ al-Maqdisiy)

Intinya, lupa dalam sholat bukanlah hal yang tercela dalam ayat ini. Namun, hendaknya seseorang mukmin mayoritas isi sholatnya adalah ingat kepada Allah. Kalaupun terlupa dan lalai mengingat hal yang lain, mestinya itu adalah bagian yang sedikit dalam sholatnya. Jangan seperti orang munafik yang mayoritas isi sholatnya lupa kepada Allah, hanya ingat Allah sedikit saja:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

Sesungguhnya kaum munafik menipu Allah dan Dia (Allah) membalas tipuan mereka. Jika mereka bangkit untuk sholat, mereka bangkit dengan malas, bersikap riya’ (memperlihatkan sholat ingin dipuji), dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali hanya sedikit (Q.S anNisaa’ ayat 142)

Sesungguhnya besarnya pahala yang didapat dalam sholat seseorang adalah tergantung seberapa banyak ia mengingat Allah (dzikir) dalam sholatnya.

Sahabat Nabi Ammar bin Yasir radhiyallahu anhu menyatakan:

لاَ يُكْتَبُ لِلرَّجُلِ مِنْ صَلاَتِهِ مَا سَهَا عَنْهُ

Tidaklah dicatat (sebagai pahala) dalam sholat seseorang ketika ia lalai (diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhud)

Referensi: Tafsir Juz Amma libni Utsaimin, Tafsir as-Sa’di, Tafsir Ibn Katsir, Buku Fiqh Bersuci dan Sholat, Buku Memahami Makna Bacaan Sholat.

<< dikaji dalam Ta’lim Ummahat Dzulhijjah 1436 H Majelis Ta’lim al-I’tishom Kraksaan Probolinggo >>

(Abu Utsman Kharisman)

WA al-I'tishom
Oleh:
Atsar ID