Hati-Hati Dari Sanjungan
Dalam bergaul dengan sesama memang tidak bisa lepas dari bumbu-bumbu penyedap.
Diantara penyedab dalam pergaulan adalah pujian dan sanjungan.
Bagaimana bimbingan Rosulullah Sholallahu alaihi wasallam dalam hal ini:
Dari Abu Bakrah radhiyallāhu ‘anhu:
Bahwasanya seseorang pernah disebut di depan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu seseorang memuji kebaikannya...
Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
وَيَحْكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ
“Celaka kamu! Kamu telah memotong leher temanmu.”
Beliau mengucapkannya berulang-ulang kali,
إِنْ كَانَ أَحَدُكُمْ مَادِحًا لَا مُحَالَةَ فَلْيَقُلْ أَحْسِبُ كَذَا وَ كَذَا إِنْ كَانَ يَرَى أَنَّهُ كَذلِكَ وَ اللهُ حَسِيْبُهُ وَلَا يُزَكِّيْ عَلَى اللهِ أَحَدًا
“Jika seorang dari kalian mau tidak mau harus memuji, maka sebaiknya dia berkata, ‘Saya mengira dia begini dan begini.’ Jika terlihat bahwasanya dia demikian, cukuplah Allah yang menghisabnya, dan janganlah dia merekomendasi seseorang atas nama Allah"
HR. Al-Bukhari (8/22), dan Muslim (3001)
Ibnu Baththal menyebutkan:
Bahwa larangan itu diperuntukkan bagi orang yang memuji orang lain secara berlebihan dengan pujian yang tidak layak dia terima. Dengan pujian ini orang yang dipuji tersebut, dikhawatirkan akan merasa bangga diri, karena orang yang dipuji mengira bahwa dia memang memiliki sifat atau kelebihan tersebut. Sehingga terkadang dia menyepelekan atau tidak bersemangat untuk menambah amal kebaikan karena dia sudah merasa yakin dengan pujian tersebut.
Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa makna hadits: ‘Taburkanlah debu ke muka orang yang memuji orang lain! adalah berlaku untuk orang yang memuji orang lain namun dengan cara yang berlebihan.
Fathul Baari (10/477).
Abu Sufyan Al Musy Ghofarohullah
25 Jumadil Akhir 1437
Daarul Hadits Al Bayyinah
Sidayu Gresik -Harrosahallah-
Bolehkah Memuji Orang?
Terkait dengan masalah memuji orang ada riwayat yang menunjukkan larangan ada juga riwayat yang menunjukkan kebolehannya...
Mari kita simak ulasannya bersama Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin Rohimahullah Ta'ala :
Kondisi pertama:
Jika pujian tersebut di dalamnya terdapat kebaikan dan dorongan motivasi untuk memiliki sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang mulia, maka pujian tersebut boleh, karena bertujuan untuk memotivasi saudaranya. Jika engkau melihat seseorang yang dermawan dan pemberani, dan ia mencurahkan dirinya dan berbuat baik kepada orang lain, maka engkau menyebut dirinya dengan apa yang ada pada dirinya dengan tujuan memotivasi dan mendorongnya agar ia senantiasa berada di dalam kebaikan. Ini adalah suatu hal yang baik, dan termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan” (QS. Al Maidah: 2)
Kondisi kedua
Jika memujinya untuk menjelasakan kepada orang lain tentang keutamaannya, menyebarkan dan memuliakannya di hadapan manusia, maka hal itu boleh. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Mengenai Abu Bakar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada suatu hari, “Siapa di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Abu Bakr menjawab, “Saya.” Nabi bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang mengiringi jenazah?” Abu Bakr menjawab, “Saya.” Nabi bertanya, “Siapa yang bersedakah?” Abu Bakr menjawab, “Saya” Nabi bertanya, “Siapa di antara kalian yang menjenguk orang yang sakit?” Abu Bakr menjawab, “Saya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Tidaklah semua hal itu terkumpul pada seseorang kecuali dia akan masuk surga.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata tentang ‘Umar, “Sesungguhnya setan tidak akan melewati suatu jalan kecuali jalan yang berlainan dengan jalanmu (‘Umar)”.
Dua riwayat di atas menunjukkan keutamaan Abu Bakar dan ‘Umarradhiyallahu ‘anhuma.
Kondisi ketiga
Memujinya secara berlebihan dan mensifati dengan apa yang tidak ada pada dirinya, maka hal ini hukumnya haram dan sama dengan menipu. Contohnya mengatakan bahwa seseorang itu adalah seorang pemimpin, menteri, atau kata-kata semisalnya, berlebih-lebihan dan mensifatinya dengan pujian padahal hal itu tidak dijumpai pada dirinya . Hal ini jelas haram dan membahayakan bagi yang dipuji.
Kondisi keempat
Memuji realita yang sebenarnya ada di dalam dirinya, namun dikhawatirkan yang dipuji tertipu dengan dirinya sendiri, menjadi besar hati, dan merasa tinggi dibandingkan yang lainnya. Maka hal ini hukumnya juga haram dan tidak boleh dilakukan.
Sumber :http://www.albaidha.net
1 Rojab 1437
Daarul Hadits Al Bayyinah
Sidayu Gresik
Harrosahallah
Siramlah Pasir Dihadapan Orang Yang Memuji
Dari Abu Ma’mar, ia berkata, “Ada seorang pria berdiri memuji salah seorang gubernur. Miqdad [ibnul Aswad] lalu menyiramkan pasir ke wajahnya dan berkata,
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَحْثِىَ فِى وُجُوهِ الْمَدَّاحِينَ التُّرَابَ.
“Kami diperintahkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk menyiramkan pasir ke wajah orang-orang yang memuji.” (HR. Muslim no. 3002).
Terkait menyiramkan pasir ke wajah orang yang memuji ada beberapa penafsiran dikalangan ulama yang disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Rohimahullah Ta'ala sebagaimana dalam kitab Fathul Bari 17/225
Pendapat yang kuat adalah memaknakan hadits secara tekstual sebagaimana yang diamalkan oleh sahabat Miqdad bin Aswad dan yang lainnya.
Pendapat ini dikuatkan oleh iman An Nawawi dalam syarah Shohih Muslim 18/128
Adapun penerapannya yaitu:
"Engkau mengambil segenggam pasir lalu dilemparkan dihadapan orang yang memuji bukan kearah wajahnya."
Demikian yang dijelaskan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al 'Abbad
dalam penjelasan Sunan Abi Daud.✍
Abu Sufyan Al Musy Ghofarohullah
2 Rojab 1437
Daarul Hadits Al Bayyinah
Sidayu Gresik
Harrosahallah
Siapakah Yang Pantas Disiram Pasir Wajahnya
Tidak semua orang yang memuji harus kita siram dengan pasir namun Nabi kita Sholallahu alaihi wasallam telah memberikan aturan dan bimbingan kapan kita harus bersikap seperti itu.
Berikut ini penjelasannya :
Ibnu Baththol rahimahullah Ta'ala:
“Yang dimaksud hadits tersebut adalah bagi siapa yang memuji orang lain dan pujian itu tidak ada pada orang yang dipuji.
Pujian ini juga terlarang jika tidak aman dari ujub (menyombongkan diri) bahwa kedudukan orang yang dipuji memang seperti pujian itu. Maka pujian ini hanyalah menyia-nyiakan amalan dan terlalu membebani diri dengan sifat pujian yang diangkat. ‘Umar berkata, “Pujian bagaikan sembelihan”.
Adapun jika memuji orang yang benar-benar pujian ada pada dirinya, maka seperti itu tidak terlarang. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah dipuji dalam hal sya’ir dan khutbah beliau, namun beliau tidak menyiram pasir di hadapan orang yang memuji.” (Fathul Bari, 10/477)
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pujian yang terlarang adalah:
1. Pujian yang berlebihan.
2. Pujian yang mengandung sifat yang tidak ada pada diri orang yang dipuji.
3. Pujian yang menimbulkan fitnah (timbul ujub, menyombongkan diri) pada orang yang dipuji.✍
Wallahu Ta'ala A'lam Bishowab
Abu Sufyan Al Musy Ghofarohullah
2 Rojab 1437
Daarul Hadits Al Bayyinah
Sidayu Gresik
Harrosahallah
Channel Telegram UI
http://bit.ly/uimusy
Kunjungi Website Kami MUSY
[Muslim Salafy]
www.musy.salafymedia.com
PUJIAN TIDAK AKAN MENIPU ORANG YANG TAHU DIRI
Al-Imam Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata:
«لا يَغُرُّ المَدحُ مَن عَرَفَ نفسَهُ!»
"Pujian orang tidak akan menipu orang yang tahu diri."
Al-Jami' li Akhlaqil Rawy wa Adabis Sami', hlm. 140
Saluran telegram Abul Harits Ibrahim at-Tamimy
WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://bit.ly/ForumSalafy