Bahkan, bagi beberapa pihak, bola sudah dianggap sebagai sebuah agama. Bola menjadi tolak ukur benci dan cinta.
Di daratan Eropa, istilah football is religion - sepakbola adalah keyakinan religi/agama -, bukanlah satu hal yang asing.
Para supporter garis keras ibarat para penganut sebuah agama. Sejarah klub adalah sejarah suci. Legenda-legendanya adalah para nabinya. Kisah-kisah heroik dan epik bagai mukjizatnya, terutama si kuda hitam yang di akhir kompetisi menjadi juara.
Fenomena di atas sungguh menyayat hati, karena juga melanda bahkan membanjiri pola pikir remaja muslim. Kaum santri pun tak luput menjadi korban.
Jika sebatas olahraga biasa, olahbadan sewajarnya, tentu tak jadi soal.
Namun, jika telah melampaui batas bahkan cenderung bersifat ekstrim, nah di sini kita mesti bersikap.
Apa contohnya?
Saat senang sedihnya telah dikendalikan oleh senang sedihnya klub bola yang ia jadikan favorit. Jika klubnya menang, ia sangat senang. Bila klubnya kalah, ia terpukul sedih atau marah.
Bahkan ada yang depresi, ada yang bunuh diri, ada yang siap membunuh, ada yang berbuat rusuh, dan ada lagi, lalu ada lagi yang siap berbuat apapun demi "loyalitas" kepada klub pujaannya. Loyalitas tanpa batas, katanya.
Saya teringat pesan guru saya semasa di Yaman. Beliau yang sudah sepuh namun tetap semangat mengajarkan disiplin. Kami yang harus berjalan naik turun bukit batu sekira 3 km. Setengah jam sebelum Subuh harus berangkat, sebab peraturan beliau, " Salat Subuh sudah harus tiba di masjid ini"
Abu Hamzah Abdurrahman ad Dailami nama beliau. Seorang syaikh di bidang Al Quran, tajwid, dan qira'ah. Sanad beliau termasuk tinggi.
Beliau pernah berpesan ;
حب القرآن لا يجتمع في قلب مع حب كرة القدم
" Cinta kepada Al Quran tidak mungkin disatukan dengan cinta sepakbola di dalam satu hati "
Adz Dzahabi (Siyar A'lam Nubala 12/614) menyebutkan biografi singkat Muhammad bin Auf bin Sufyan.
Beliau seorang imam, hafizh, ahli tajwid, dan pakar hadis negeri Himsh.
Imam Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i, Abu Zur'ah, dan Abu Hatim termasuk deretan murid-murid beliau. Hal ini menjadi bukti ketokohan dan kedudukan beliau yang tinggi di kalangan ahli hadis.
Muhammad bin Auf bercerita tentang masa kecilnya yang senang bermain bola.
Suatu saat, bola mereka masuk masjid. Muhammad masuk untuk mengambilnya. Rupanya bola itu menggelinding sampai di dekat seorang ulama yang ada di dalam masjid.
Al Mua'fa bin Imran al Himshi, nama ulama tersebut.
" Engkau anaknya siapa? ", tanya beliau.
Muhammad menjawab, " Saya putranya Auf bin Sufyan "
Al Mua'afa lantas berkata, " Tahukah engkau bahwa mendiang ayahmu termasuk teman seperjuangan kami dalam thalabul ilmi. Ayahmu dahulu sangat rajin menulis hadis dan ilmu. Sebaiknya, engkau ikuti perjuangan ayahmu!"
Muhammad langsung pulang menemui ibunya dan menanyakan kebenaran cerita tentang ayahnya. Sang ibu membenarkan cerita Al Mua'fa.
Ibunya lalu mempersiapkan segala sesuatu, termasuk perlengkapan alat tulis untuk Muhammad bin Auf. Disuruhnya untuk belajar kepada Al Mua'fa bin Imran.
Sambil membawa kertas dan tinta, Muhammad bin Auf memperoleh pelajaran pertama dari Al Mua'fa, yaitu pernyataan sahabat wanita Ummu Darda' :
اطلبوا العلم صغارا ، تعملوا به كبارا ، فإن لكل حاصد ما زرع
" Belajarlah agama di saat engkau masih kecil agar dapat engkau amalkan saat sudah besar. Sungguh, setiap orang akan memanen sesuai yang ia tanam "
Masya Allah!
Seorang anak remaja yang semula gemar bermain bola, di kemudian hari menjadi ulama ahli hadis terkemuka.
Motivasi dari seorang alim tentu membekas. Dorongan dan support dari orangtua merupakan energi istimewa.
Oleh sebab itu, jangan remehkan kata-kata singkat jika penuh makna. Bisa jadi, karena sebab satu dua patah kata, menjadi pintu kebaikan untuk seseorang.
Muhammad bin Auf wafat di tahun 272 H. Beliau dipuji Imam Ahmad bin Hanbal, " Sejak 40 tahun yang lalu, tidak ada yang bisa menyamai derajat Muhammad bin Auf di negeri Syam "
Maka, untukmu yang gila bola, cukup dan sudahi saja gilamu itu. Bermainlah sewajarnya. Jangan mengganggu ibadahmu! Jangan mengacaukan thalabul ilmi mu! Jangan membuatmu durhaka kepada orangtua!
Lendah, 18 Rajab 1443 H/18 Februari 2022
t.me/anakmudadansalaf