ASMA' BINTU 'UMAIS
Ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran
Sebuah kehidupan yang dilingkupi kemuliaan. Bersaudara dengan para shahabiyah yang mulia, bersanding dengan suami-suami yang mulia, lahir dari rahimnya anak-anak yang mulia. Dia adalah salah satu ahlus safinah yang mengarungi lautan untuk menggapai kemuliaan dua hijrah, menuju bumi Habasyah dan menuju Rasul-Nya yang mulia.
Dialah Asma` bintu Umais bin Ma’d bin Taim bin Al-Harits bin Ka’b bin Malik bin Quhafah bin ‘Amir bin Rabi’ah bin ‘Amir bin Mu’awiyah bin Zaid bin Malik bin Nasr bin Wahbillah bin Syahran bin ‘Afras bin Aftal Al-Khats’amiyah radhiyallahu 'anhu. Berkunyah dengan Ummu ‘Abdillah. Ibunya bernama Hind bintu ‘Auf bin Zuhair bin Al-Harits bin Kinanah. Saudari-saudari seibunya adalah wanita-wanita yang mulia, Maimunah bintu Al-Harits, istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Lubabah Ummul Fadhl, istri Al-’Abbas bin ‘Abdil Muththalib, Lubabah Ash-Shughra, ibu Khalid ibnul Walid.
Asma’ bintu Umais termasuk deretan para shahabat yang bersegera menyambut sinar Islam. Dia masuk Islam sebelum Rasulullah n memasuki rumah Al-Arqam bin Abil Arqam di Makkah. Dia pun berbai’at kepada beliau.
Saat para shahabat bertolak ke negeri Habasyah dengan membawa keimanan mereka, Asma’ bintu Umais bersama suaminya, Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, pun berangkat. Di negeri inilah lahir putra-putra Ja’far bin Abi Thalib: ‘Abdullah, Muhammad, dan ‘Aun.
Berbilang tahun mereka tinggal di Habasyah, memenuhi perintah Rasulullah. Tahun ketujuh hijriyah, para shahabat yang berada di Habasyah menyusul para shahabat yang lain hijrah ke Madinah, berdampingan dengan Rasulullah n. Mereka tiba bertepatan dengan hari-hari kemenangan kaum muslimin atas benteng Khaibar milik Yahudi.
Rasulullah sangat gembira menyambut kedatangan mereka. Ketika bertemu dengan Ja’far bin Abi Thalib, beliau pun mencium keningnya sembari berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakanku, kemenangan Khaibar atau kedatangan Ja’far.”
Setelah kedatangannya di Madinah, Asma` berkunjung pada Hafshah bintu ‘Umar radhiyallahu 'anha, istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Saat itu ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu masuk, sementara Asma` tengah berada di sisi Hafshah. Ketika melihatnya, ‘Umar pun bertanya pada putrinya, “Siapa ini?” Hafshah menjawab, “Asma` bintu Umais.” ”Inikah wanita yang datang dari Habasyah? Inikah wanita yang mengarungi lautan?” tanya ‘Umar lagi. “Ya,” jawab Asma`. “Kami telah mendahului kalian berhijrah. Kami lebih berhak atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,” kata ‘Umar.
Asma` pun marah mendengar perkataan ‘Umar. “Tidak, demi Allah, wahai ‘Umar!” sahutnya, “Dulu kalian berdampingan dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi makan orang-orang yang lapar di antara kalian, dan memberi nasihat pada orang-orang yang bodoh, sementara kami jauh di negeri asing, di Habasyah. Itu semua kami lakukan karena Allah dan karena Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak akan makan sesuap pun dan tidak akan minum seteguk pun sampai kuceritakan ucapanmu kepada Rasulullah”
Di hadapan Rasulullah, Asma` mengadukan ucapan ‘Umar ibnul Khaththab. Beliau berkata, “Tidak ada yang lebih berhak atasku daripada kalian. Dia dan shahabat-shahabatku yang lain memiliki satu kali hijrah, sementara kalian memiliki dua hijrah.”
Selang beberapa waktu mereka menetap di Madinah. Tahun ke-8 setelah hijrah, seruan perang Mu`tah bergema. Ja’far bin Abi Thalib memimpin kaum muslimin menggantikan Zaid bin Haritsah yang gugur dalam pertempuran itu. Namun Allah subhanahu wa ta'ala berkehendak, Ja’far gugur pula dalam peperangan itu. Di bagian depan jasadnya didapati lebih dari empat puluh tikaman.
Pagi itu, Asma` tengah melakukan peker-jaan rumahnya seperti biasa, menyamak kulit, membuat adonan makanan. Asma` pun me-manggil anak-anaknya lalu membasuh wajah mereka dan meminyaki rambut mereka. Ketika itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang menemuinya sambil berkata, “Wahai Asma`, bawa kemari anak-anak Ja’far!” Asma` pun membawa mereka menemui Rasulullah. Beliau segera memeluk dan mengecup mereka, lalu mengalirlah air mata beliau. Beliau menangis.
Asma` menerka akan terjadinya sesuatu, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis ? Apakah telah sampai padamu suatu berita tentang Ja’far dan teman-temannya?” “Ya,” jawab beliau, “Dia telah gugur hari ini.” Mendengar itu, Asma` bangkit sambil menjerit. Para wanita pun berkumpul di sekeliling Asma`. Kemudian Rasulullah beranjak pergi untuk menemui putrinya, Fathimah, agar membuatkan makanan untuk keluarga Ja’far yang tengah tenggelam dalam kedukaan.
Sepeninggal Ja’far, Asma` bintu Umais menikah dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq. Lahir dari pernikahan ini Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq di Dzul Hulaifah, ketika Asma` bersama suaminya menunaikan haji wada’.
Asma` tetap mendampingi Abu Bakr Ash-Shiddiq hingga akhir hayat suaminya. Sebelum wafat, Abu Bakr berpesan agar jasadnya dimandikan oleh Asma` bintu Umais, dan bila dia merasa berat, hendaklah dibantu oleh putranya, ‘Abdurrahman bin Abi Bakr. Demikianlah, Asma` menunaikan pesan suaminya dengan baik. Dia memandikan jasad Abu Bakr di pagi yang teramat dingin. Saat itu, dia sedang berpuasa. Asma` pun bertanya kepada orang-orang yang hadir kala itu dari kalangan Muhajirin, “Aku sedang berpuasa, sementara ini hari yang teramat dingin. Apakah aku harus mandi?” “Tidak,” jawab mereka.1
Ketika ‘Umar ibnul Khaththab memegang khilafah sepeninggal Abu Bakr, dia menetapkan pemberian untuk Asma` bintu ‘Umais sebesar seribu dirham.
Tak lama Asma`menyendiri, karena seorang shahabat yang mulia, ‘Ali bin Abi Thalib, datang meminang dirinya. Menikahlah Asma` dengan ‘Ali bin Abi Thalib, dan Allah I anugerahkan putra bernama Yahya dan ‘Aun.
Suatu hari, kedua putra Asma` dari sua-minya yang terdahulu, Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abi Bakr, saling bertikai. Masing-masing mengatakan, “Aku lebih mulia darimu! Ayahku pun lebih baik dari ayahmu!” ‘Ali bin Abi Thalib yang melihat pertikaian itu berkata kepada istrinya, “Leraikanlah pertikaian mereka, wahai Asma`!” Asma` pun melerai keduanya dengan mengatakan, “Aku tidak pernah melihat pemuda Arab yang lebih baik daripada Ja’far, dan aku pun tidak pernah melihat seorang tua yang lebih baik daripada Abu Bakr.” Berhentilah perselisihan mereka.
Mendengar perkataan Asma`, ‘Ali memandang Asma` sambil berkata, “Engkau tidak menyisakan sedikit pun untukku….”
Sepanjang kehidupannya bersama Rasulullah, dia meriwayatkan ilmu dari beliau. Sepeninggal beliau, berbilang banyaknya orang yang mengambil riwayat darinya. Kehidupan yang berkilau dengan kemuliaan dari sisi Rabbnya.
Asma` bintu Umais, semoga Allah I meridhainya….
Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (7/489-490)
Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1784-1787)
Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/280-284)
Siyar A’lamin Nubala`, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/282-287), (27/82-83,126,129-130)
Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (3/126-127)
Kisah Abu Bakr berpesan kepada Asma` untuk memandikan jenazahnya ini, didhaifkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (5/113) dan juga oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 121) serta Al-Irwa` (no. 696). -ed
Sumber: Asy Syari'ah, edisi.020
Wa Mar'atus Shalihah
@LilHuda
Join Channel:
https://tlgrm.me/LilHuda