✍🏻 Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifa'i Ngawi حفظه الله تعالى
Hidup bermasyarakat berarti hidup bersama orang Iain dalam satu tatanan masyarakat. Berinteraksi dengan banyak sifat dan karakter manusia yang berbeda-beda, adalah konsekuensi dalam hidup bermasyarakat. Kadang kita mendapati orang yang di sekitar kita mempunyai perilaku dan akhlak yang baik terhadap sesamanya. Ada rasa saling menghormati, saling menolong, dan menjaga keharmonisan kehidupan bermasyarakat.
Tapi tidak jarang kita pun menjumpai ada karakter-karakter tertentu yang sering berbuat kerusuhan, ketidaknyamanan, gangguan serta kezaliman terhadap orang-orang di sekitarnya. Bahkan terkadang kita sendiri merasakan akibat perbuatan mereka. Mereka melakukan gangguan-gangguan tersebut bisa dikarenakan adanya rasa iri, hasad, tidak suka, benci kepada seseorang, sehingga akhirnya mereka berusaha menimpakan gangguan dan kezaliman kepada orang yang tidak mereka sukai.
Manusia berbeda-beda dalam menghadapi gangguan dan kezaliman orang lain kepada dirinya. Di antara mereka ada yang dapat bersabar dan menghadapinya dengan tenang. Akan tetapi, ada pula yang dikuasai oleh emosinya hingga membalas dengan membabi buta. Allah سبحانه وتعالى sebagai pencipta kita adalah Dzat Yang Maha Tahu tentang sifat dan tabiat asal ciptaan-Nya.
Karenanya, Allah haramkan kezaliman antara manusia. Allah سبحانه وتعالى pun mengharamkan kezaliman itu bagi diri-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah ﷺ meriwayatkan bahwa Allah سبحانه وتعالى berfirman:
يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا
"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu sebagai sesuatu yang haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi." (H.R. Muslim dari Abu Dzar Al Ghifari رضي الله عنه)
Allah سبحانه وتعالى pun telah mengatur perkara tersebut dengan jelas dalam surat Asy Syura 39-43
وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ (٣٩) وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (٤٠) وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَٰئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ (٤١) إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٤٢) وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (٤٣)
"Dan orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. Dan balasan kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosa pun terhadap mereka.
Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. Dan siapa yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan." [Q.S. Asy-Syura 39-43]
Dalam ayat lain, Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ ۖ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." (Q.S. An Nahl 126)
Di dalam ayat-ayat tersebut, Allah سبحانه وتعالى memberikan petunjuk bagaimana sikap seorang muslim dalam menghadapi kezaliman orang lain kepada dirinya. Syaikh Abdurrahman As Sa'di di dalam kitab tafsirnya Taisirul Karimir Rahman menjelaskan kepada kita bahwa dalam ayat-ayat ini (Asy Syura: 39-43) ada tiga cara dalam membalas kezaliman:
1. 'ADL (BERSIKAP ADIL)
Bersikap adil dalam membalas keburukan adalah dengan membalas satu keburukan dengan keburukan yang semisal dengannya, tidak menambahnya, dan tidak menguranginya. Ini dapat kita ambil dari firman Allah di atas:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ
"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa"
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ ۖ
“Dan Jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan apa yang ditimpakan kepadamu.”
Perbuatan yang seperti ini diperbolehkan, karena Allah سبحانه وتعالى mengerti bahwa sebagian manusia ada yang mempunyai tabiat tidak dapat melupakan kezaliman pada dirinya kecuali dengan membalasnya. Maka tidak ada dosa membalas keburukan dengan keburukan ketika pembalasan tersebut benar-benar semisal, tidak menambah dan mengurangi. Apalagi ketika di dalam pembalasan tersebut terdapat kemaslahatan yang banyak. Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى di atas:
وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَٰئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ
“Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosa pun terhadap mereka.”
Akan tetapi ketika seseorang hendak melakukan sikap yang pertama ini, dia harus berhati-hati agar tidak terjerumus pada perbuatan yang kedua yaitu bertindak melampaui batas dalam melakukan pembalasan. Karena pada dasarnya sifat manusia adalah teramat zalim dan bodoh.
2. ZHULM (ZALIM)
Dia membalas dengan melampaui batas. Yakni, membalas kejelekan yang dilakukan orang lain kepadanya dengan sesuatu yang lebih besar atau lebih merugikan. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa asal sifat manusia adalah teramat bodoh dan zalim.
Sehingga mayoritas manusia apabila nafsu amarah serta emosi menguasai dirinya, maka nafsu amarah menguasai dirinya sehingga bertindak melampaui batas. Membalas kezaliman dengan seperti ini menyebabkan pelakunya mendapat dosa. Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى:
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih."
3. FADHL (SIKAP YANG UTAMA)
Pada derajat yang ketiga ini, seseorang membalas kejahatan orang lain dengan memaafkan dan bahkan berbuat baik kepadanya. Dan pada sikap yang seperti ini terdapat balasan yang besar dari Allah سبحانه وتعالى dan pahala yang banyak. Hal ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang mempunyai tekad yang kuat, ilmu yang luas, dan kesabaran yang banyak.
Karena tidak membela diri baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan ketika disakiti adalah suatu perkara yang berat. Terlebih lagi bersabar terhadap gangguan serta membalas keburukan dengan kebaikan, itu adalah perkara yang lebih berat lagi. Akan tetapi, Allah ringankan bagi siapa yang la Allah سبحانه وتعالى kehendaki.
Mereka adalah orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempunyai sifat tersebut untuk mencari ridha Allah, serta senantiasa memohon pertolongan Allah agar dapat mengamalkannya. Sesungguhnya tidak ada daya dan upaya kecuali atas pertolongan-Nya. Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
"Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan."
Dalam ayat lain Allah berfirman yang artinya, "Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)" (Q.S. Ar Ra'du 22)
Demikianlah ragam sikap seorang dalam membalas kezaliman. Dan telah jelas bagi kita bahwa diperbolehkan membalas secukupnya saja. Sekali pun demikian, memaafkan dan bahkan membalasnya dengan kebaikan adalah perkara yang mulia dan menghasilkan banyak keutamaan dan kemuliaan bagi pelakunya.
Seorang muslim yang baik selalu mempertimbangkan maslahat dan mudharat yang mungkin terjadi dalam segala tindakannya. Begitu pula ketika mengambil sikap dalam perkara ini. Apabila dia melihat ada kemaslahatan ketika perbuatan zalim itu dibalas, maka lakukanlah sikap tersebut dengan mengharap keridhaan Allah سبحانه وتعالى. Apalagi maslahat yang ada merupakan maslahat umum yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Contohnya, membalas pelaku kejahatan profesional agar tidak ada lagi orang lain yang merasakan kejahatannya di kemudian hari. Itu sebabnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad رحمه الله mewajibkan membunuh seorang pembunuh yang ahli dan tidak boleh wali dari orang yang terbunuh memberikan maaf ataupun meminta diyat (ganti rugi)¹).
Meskipun mereka membutuhkan harta tersebut. Hal itu dikarenakan membebaskan pelaku pembunuhan yang seperti itu akan menimbulkan kemudaratan yang banyak dan memungkinkan baginya untuk mengulangi perbuatan tersebut di kemudian hari. Sedangkan menghukumnya dengan hukuman yang setimpal terdapat kemaslahatan berupa terjaganya keamanan masyarakat umum dan agar tindakannya tidak diikuti oleh yang lainnya.
Dan apabila dia mengambil sikap ini dengan menimbang maslahat dan mencegah kemudaratan yang akan terjadi, dia akan mendapat pahala mengamalkan perintah Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadits:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Janganlah kamu berbuat kemudharatan yang disengaja, dan jangan pula kemudaratan yang tidak disengaja.” [H.R. Ibnu Majah dan Daruquthni, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani رحمه الله di dalam Silsilah Ash-Shahihah]
Maka demikianlah, hendaknya dipertimbangkan maslahat dan mudharat yang ada. Hal yang kemaslahatannya lebih banyak, itulah yang dipilih untuk diamalkan.
والله أعلم بااصواب, والله الموفق.
Sumber || Majalah Qudwah Edisi 015 | t.me/majalah_qudwah