Imam an-Nawawi berkata, “Ulama bersepakat tentang bahwa zikir setelah shalat hukumnya sunnah. Dalam hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dengan berbagai macam bentuk (bacaan)nya.” (al-Adzkar, hlm. 50 cetakan Ibnu Hazm)
Beliau juga berkata, “Zikir tersebut hukumnya sunnah bagi imam, makmum, yang shalat sendirian baik laki-laki maupun perempuan, musafir, dan selainnya.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 3/484)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Sebagaimana ucapan sahabat Aisyah radhiallahu anha, perumpamaan zikir setelah shalat adalah seperti menyeka cermin setelah jernihnya. Artinya, shalat adalah nur (cahaya) yang menjernihkan hati, sedangkan zikir setelah shalat ibarat menyeka cermin.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ ٧ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرۡغَب ٨
“Apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap.” (al-Insyirah: 7—8) (Majmu’ al-Fatawa 22/495)
Zikir setelah shalat adalah bentuk upaya menutupi kekurangan dan kesalahan ringan dalam shalat seseorang. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang jelas, membaca istigfar setelah salam memiliki keterkaitan yang besar (dengan shalat), yaitu menutupi kekurangan yang terjadi dalam shalat.” (asy-Syarhul Mumti’)
Selesai shalat setelah salam, sunnah hukumnya untuk membaca zikir-zikir berikut ini.
أَسْتَغْفِرُ اللهَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ
ASTAGHFIRULLAAH, ASTAGHFIRULLAAH, ASTAGHFIRULLAAH
“Aku memohon ampun kepada Allah, aku memohon ampun kepada Allah, aku memohon ampun kepada Allah.”
(HR. Muslim no. 591 dari Tsauban radhiallahu anhu)
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
ALLAAHUMMA ANTAS SALAAM, WA MINKAS SALAAM, TABAARAKTA YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM
“Ya Allah, Engkaulah as-Salam, dari-Mu lah keselamatan, Mahaberkah Engkau wahai Dzat pemilik keagungan dan kemuliaan.”
(HR. Muslim no. 591 dari Tsauban radhiallahu anhu)
Baca juga: Seri Asmaul Husna: As-Salam
لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ، وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدُّ
LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI`IN QADIIR,
ALLAAHUMMA LAA MAANI’A LIMAA A’THAITA WA LAA MU’THIYA LIMAA MANA’TA, WA LAA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADDU
“Tidak ada sembahan yang benar selain Allah satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya lah kerajaan dan milik-Nya pula segala pujian. Dan Dia Mahamampu atas segala sesuatu.”
Ya Allah, tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang mampu memberi terhadap apa yang Engkau halangi. Dan kekayaan tidaklah bermanfaat bagi pemiliknya dari (hukuman)-Mu.”
(HR. al-Bukhari no. 844 dan Muslim no. 593)
Baca juga: Alam Semesta di Bawah Kekuasaan Allah
Setelah shalat Subuh dan Magrib, disyariatkan membaca,
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI`IN QADIIR (10 kali)
“Tidak ada sembahan yang benar selain Allah satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya lah kerajaan dan milik-Nya pula segala pujian. Dan Dia Mahamampu atas segala sesuatu.”
(HR. Ahmad no. 23518 dari sahabat Abu Ayyub al-Anshri radhiallahu anhu; derajat haditsnya hasan lighairihi)
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ،
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ، وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ،
LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI`IN QADIIR, LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH;
LA ILAAHA ILLALLAAHU WA LAA NA’BUDU ILLAA IYYAAHU, LAHUN NI’MATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA`UL HASAN;
LAA ILAAHA ILLALLAAHU MUKHLISHIINA LAHUD DIIN WALAU KARIHAL KAFIRUUN
“Tidak ada sembahan yang benar selain Allah satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya lah kerajaan dan milik-Nya pula segal pujian. Dan Dia Mahamampu atas segala sesuatu.
Tidak ada sembahan yang benar selain Allah satu-satu-Nya, kami tidaklah beribadah selain kepada-Nya. Milik-Nya lah kenikmatan, milik-Nya lah keutamaan, dan milik-Nya lah pujian yang baik.
Tidak ada sembahan yang benar selain Allah satu-satu-Nya, dengan mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.”
(HR. Muslim no. 594)
سُبْحَانَ اللهِ 33×؛ الْحَمْدُ لِلهِ 33×؛ اللهُ أَكْبَرُ 33×
SUBHANALLAAH (33 kali); ALHAMDULILLAAH 33 kali; ALLAAHU AKBAR (33 kali)
Kemudian membaca,
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI`IN QADIIR
(HR. Muslim no. 597)
Ada beberapa cara membaca atau mengurutkan zikir ini, bisa Anda simak pada bagian KETERANGAN.
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُۚ لَا تَأۡخُذُهُۥ سِنَةٌ وَلَا نَوۡمٌۚ لَّهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۗ مَن ذَا ٱلَّذِي يَشۡفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذۡنِهِۦۚ يَعۡلَمُ مَا بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَمَا خَلۡفَهُمۡۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيۡءٖ مِّنۡ عِلۡمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَۚ وَسِعَ كُرۡسِيُّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَۖ وَلَا ئَُودُهُۥ حِفۡظُهُمَاۚ وَهُوَ ٱلۡعَلِيُّ ٱلۡعَظِيمُ
“Allah, tidak ada sembahan (yang benar) melainkan Dia, Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (al-Baqarah: 255)
(HR. an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubra no. 9928; Syakh al-Albani menilainya sahih dalam as-Silsilah ash-Shahihah no 2916)
Baca juga: Wirid Rutin Harian Sebagai Perlindungan dari Penyakit
(HR. Abu Dawud no. 1523 dan at-Tirmidzi no. 2903)
a. Hikmah disunnahkan membaca istigfar setelah shalat sangatlah penting, yaitu untuk melengkapi kekurangan dan kesalahan yang terjadi dalam shalat.
Adapun keterkaitan dengan bacaan “Allahumma antas salam” ialah menyiratkan makna, “Selamatkanlah shalatku ini dari tertolak dan kekurangan, ya Allah!”
Demikian penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam kitab asy-Syarhul Mumti’.
Baca juga: Doa Memohon Ampunan dan Rahmat Sebelum Salam
b. Kedua zikir ini disunnahkan agar dibaca secara urut setelah salam.
Zikir-zikir selainnya tidak disunnahkan dibaca tertib secara urut. Artinya, tidak ada urutannya. Demikian penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin pada sumber yang sama.
Dalam kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, edisi kedua, fatwa no. 18147, disebutkan,
“Apakah seseorang disyariatkan membaca ‘ALLAAHU AKBAR’ setelah salam sebelum membaca tiga kali istigfar? Ini bersandarkan pada lafaz takbir dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma,
كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ
“Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan takbir.” (Muttafaqun alaihi, HR. al-Bukhari no. 842 dan Muslim no. 583)
Jika tidak boleh, lantas apa maksud takbir dalam hadits tersebut?”
“Setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam salam dari shalatnya, beliau mengawali dengan istigfar. Beliau membaca ‘astaghfirullah’ tiga kali, kemudian membaca ‘Allahumma antas salam, wa minkas salam tabaarakta yaa dzal jalali wal ikram. Setelah itu, barulah beliau membaca zikir-zikir yang lain.
Adapun takbir dalam hadits ini maksudnya adalah bacaan ‘subhanallah, walhamdulillah, wallaahu akbar’ sebanyak 33 kali di belakang setiap shalat. Dengan demikian, terkompromikan hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah ini.
Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.”
Al-Lajnah ad-Daimah, Bagian Kajian Ilmiah dan Fatwa
Anggota: Bakr Abu Zaid, Shalih al-Fauzan, Abdullah bin Ghudayyan; Wakil Ketua: Abdul Aziz Alu Syaikh; Ketua: Abdul Aziz bin Baz
Baca juga: Biografi Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Syaikh al-Albani rahimahullah menyimpulkan bahwa riwayat takbir dalam hadits Ibnu Abbas di atas adalah riwayat secara makna. Aslinya adalah riwayat dengan lafaz “zikir” (الذكر). Zikir-zikir yang diriwayatkan dalam dua kitab Shahih (al-Bukhari & Muslim) dan kitab hadits yang lainnya (sunan, musnad, dan mu’jam) jumlahnya begitu banyak, tetapi tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca takbir setelah salam pada shalat-shalat fardhu.
(Bertakbir setelah salam pada shalat fardhu) tidak ada dalam riwayat zikir-zikir setelah shalat yang hanya khusus bagi umatnya, kecuali satu hadits saja. Pun begitu, hadits tersebut mungkar sebagaimana yang beliau jelaskan dalam kitab adh-Dhaifah.
Demikian ringkasan penjelasan Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahihah (7/454) pada keterangan hadits no. 3160.
Meski demikian, kita tidak mengingkari apabila ada yang melakukan amalan tersebut. Sebab, di antara ulama salaf ada yang berpandangan demikian, di antaranya Umar bin Abdul Aziz, Ali bin Abdullah bin Abbas, dan yang lainnya. Demikian keterangan al-Hafizh Ibnu Rajab dalam kitab Fathul Bari (3/326).
Hukumnya sunnah bagi imam untuk membalikkan badan dan menghadap ke arah makmum setelah membaca istigfar dan allaahumma antas salaam.
Aisyah radhiallahu anha menjelaskan,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ إِلَّا مِقْدَارَ مَا يَقُولُ: للَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ—وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ نُمَيْرٍ: يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam sudah salam (dari shalat), tidaklah beliau duduk (menghadap kiblat) kecuali hanya seukuran membaca ‘Allaahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaali wal ikraam’—dalam riwayat Ibnu Numair: ‘ya dzal jalaali wal ikraam’.” (HR. Muslim no. 592)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Sebaiknya imam tetap menghadap kiblat seukuran membaca istigfar tiga kali dan ‘allahumma antas salam, wa minkas salam tabaarakta ya dzal jalali wal ikram.’ Setelah itu, barulah dia membalikkan badan, menghadap ke arah makmum.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 13/230)
Beliau juga berkata bahwa sebaiknya makmum tidak membubarkan diri sebelum imam memutar badan menghadap ke arah makmum, kecuali jika imam tetap menghadap ke arah kiblat lebih dari ukuran bacaan tersebut.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“Tasbih, tahmid, dan takbir, diriwayatkan dalam beberapa bentuk/cara. Berikut ini cara-caranya.
SUBHANALLAH, WALHAMDULILLAAH, WALLAAHU AKBAR. (dibaca sekaligus sebanyak 33 kali)
Kemudian ditutup dengan
LAA ILAAHAILALLAHU WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU, WA LAHUL HAMDU, WA HUWA ‘ALA KULI SYAI`IN QADIIR
sehingga menjadi genap seratus.
Cara ini diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim no. 595. Abu Shalih (tabiin yang meriwayatkan hadits ini dari sahabat Abu Hurairah) berkata kepada seorang muridnya yang bernama Sumay, “Bacalah subhanallah, walhamdulillah, wallaahu akbar, sampai semuanya berjumlah 33 kali.”
SUBHANALLAAH (33 kali); ALHAMDULILLAAH (33 kali); ALLAAHU AKBAR (33 kali)
Cara ini berdasarkan mayoritas riwayat.
SUBHANALLAAH (33 kali); ALHAMDULILLAAH (33 kali); ALLAAHU AKBAR (34 kali)
Cara ini berdasarkan hadits Ka’b bin Ujrah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مُعَقِّبَاتٌ لَا يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ – أَوْ فَاعِلُهُنَّ – ثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَسْبِيحَةً، وَثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَحْمِيدَةً، وَأَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ تَكْبِيرَةً، فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ
“Mu’aqibat (amalan-amalan pengikut) yang tidak mengecewakan pembacanya atau pengamalnya di belakang setiap shalat wajib: tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 34 kali.” (HR. Muslim no. 596)
SUBHANALLAAH (10 kali); ALHAMDULILLAAH (10 kali); ALLAAHU AKBAR 10 (kali)
sehingga jumlah semuanya 30 kali.
Cara ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
خَصْلَتَانِ، أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ، هُمَا يَسِيرٌ، وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ، يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا، وَيَحْمَدُ عَشْرًا، وَيُكَبِّرُ عَشْرًا، فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ، وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ، وَيُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ، وَيَحْمَدُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَيُسَبِّحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، فَذَلِكَ مِائَةٌ بِاللِّسَانِ، وَأَلْفٌ فِي الْمِيزَانِ
“Dua hal yang tidaklah seorang muslim menekuninya kecuali ia akan masuk surga. Kedua hal tersebut sangatlah mudah, tetapi sedikit yang mengamalkannya:
SUBHANALLAAH (25 kali); ALHAMDULILLAAH (25 kali); LAA ILAAHA ILLALLAAH (25 kali); ALLAAHU AKBAR (25 kali);
sehingga jumlah keseluruhannya seratus.
Cara ini berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu. (HR. at-Tirmidzi no 3413 dan an-Nasai no. 1351; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah)
Bisa juga seseorang membacanya sekaligus: ‘SUBHANALLAH, WALHAMDULILLAAH, WA LAA ILAAHA ILALLAH, WALLAAHU AKBAR’ sebanyak 25 lima kali.
Demikian penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam kitab asy-Syarhul Mumti’.
Sahabat Abdullah bin Amr bin al-‘Ash radhiallahu anhuma berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ
“Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menghitung bacaan tasbihnya dengan jari.” (HR. at-Tirmidzi no. 3411 dan an-Nasai no. 1355; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani)
Sahabat Yusairah radhiallahu anha berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada kami,
عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ، وَاعْقِدْنَ بِالأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ، وَلاَ تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَةَ
“Hendaknya kalian bertasbih, bertahlil dan bertaqdis. Hitunglah dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya ruas-ruas jari tersebut akan ditanya dan diminta berbicara. Janganlah kalian lalai sehingga kalian lupa akan rahmat-Nya.” (HR. at-Tirmidzi no. 3583 dan Abu Dawud no. 1345; Syaikh al-Albani menilai hadits ini hasan)
Sebagian ulama berpendapat bahwa zikir ini hendaknya dibaca langsung setelah salam dari setiap shalat wajib. Mereka berdalil dengan beberapa alasan berikut.
a. Penyebutan kata dubur دُبُر (bagian paling belakang dari sesuatu)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ … الحديث
“Barang siapa membaca SUBHANALLAAH di dubur (belakang) setiap shalat…. (sampai akhir hadits).” (HR. Muslim no. 597)
b. Penyebutan kata mu’aqibat مُعَقِّبَات (yang mengikuti langsung)
Dalam hadits Ka’b bin Ujrah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مُعَقِّبَاتٌ لَا يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ – أَوْ فَاعِلُهُنَّ – ثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَسْبِيحَةً، وَثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَحْمِيدَةً، وَأَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ تَكْبِيرَةً، فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ
“Mu’aqibat yang tidak akan mengecewakan pembacanya atau pengamalnya, yaitu 33 kali tasbih, 33 kali tahmid, dan 34 kali takbir, di belakang setiap shalat.” (HR. Muslim no. 596)
Syaikh al-Albani berkata, “Hadits tersebut dengan jelas menunjukkan bacaan zikir ini hanya dibaca setelah shalat langsung.” (ash-Shahihah, keterangan hadits no. 102)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum menggunakan tasbih dalam berzikir.
Beliau menjawab sebagai berikut.
“Yang lebih utama seseorang bertasbih menggunakan jari-jemarinya. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada kaum wanita yang ketika itu bertasbih menggunakan batu-batu (kerikil), ‘Hitunglah dengan ruas-ruas jari karena mereka akan diminta berbicara.’
Jadi, tidak sepantasnya seseorang bertasbih (berzikir) menggunakan tasbih, baik saat zikir setelah shalat maupun zikir secara umum. Bertasbihlah menggunakan jari-jemari.” (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb 2/24)
Baca juga: Fatwa-Fatwa Seputar Shalat Berjamaah
Dalam kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, fatwa no. 19897 disebutkan,
“Menghitung tasbih dengan jari tangan kanan lebih utama. Namun, menghitungnya dengan jari tangan kiri tetap dibolehkan.”
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan tentang hukum membaca zikir setelah shalat secara berjamaah sebagai berikut.
“Ini termasuk amalan bid’ah, tidak ada riwayatnya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Riwayat yang ada hanyalah menyebutkan bahwa setiap orang beristigfar dan berzikir sendiri-sendiri.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 13/260)
Baca juga: Mengikuti Sunnah Rasulullah dan Menjauhi Bid’ah
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“Menjaharkan zikir setelah shalat fardhu hukumnya sunnah. Dalilnya ialah hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma,
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ، بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.ٍ
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Mengeraskan suara ketika berzikir setelah orang-orang selesai (salam) dari shalat fardhu ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui mereka sudah selesai (salam) ketika aku mendengarnya.” (HR. al-Bukhari no. 841 & 842, Muslim no. 583, Ahmad [1/367], dan Abu Dawud no. 1003)
Hadits ini termasuk hadits-hadits dalam kitab ‘Umdatul Ahkam.
Dalam Shahih al-Bukhari (no. 6473) dan Shahih Muslim (no. 593), dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu anhu, beliau berkata,
إِنِّي سَمِعْتُهُ يَقُولُ عِنْدَ انْصِرَافِهِ مِنَ الصَّلاَةِ: «لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ …
“Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam selesai dari shalat, aku mendengar beliau membaca, Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu… dst.”
Tentunya, tidaklah akan terdengar olehnya jika yang membacanya tidak mengeraskannya. (Mengeraskan bacaan zikir) ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan sejumlah ulama generasi salaf dan khalaf. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiallahu anhuma tersebut di atas.
Baca juga: Zikir Pagi dan Petang
Bacaan yang dikeraskan bersifat umum, mencakup semua zikir yang disyariatkan setelah shalat, baik itu tahlil (bacaan laa ilaaha illallah), tasbih (subhanallah), takbir, maupun tahmid (alhamdulillah). Hal ini berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas di atas. Tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang membedakan antara tahlil dan zikir yang lainnya. Bahkan, hadits Ibnu Abbas menyebutkan bahwa mereka mengetahui selesainya shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan (mendengar) takbir. Dengan demikian, terbantahlah pendapat yang mengatakan bahwa bacaan tasbih, tahmid, dan takbir tidak dikeraskan.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 13/247)
Di sisi lain, dalam masalah ini jumhur ulama berpendapat bahwa lebih utama tidak menjaharkan bacaan zikir. Mereka berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَٱذۡكُر رَّبَّكَ فِي نَفۡسِكَ تَضَرُّعٗا وَخِيفَةً وَدُونَ ٱلۡجَهۡرِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.” (al-A’raf: 205)
Demikian juga firman-Nya,
ٱدۡعُواْ رَبَّكُمۡ تَضَرُّعًا وَخُفۡيَةًۚ
“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (al-A’raf: 55)
Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendengar para sahabat menjaharkan (mengeraskan) bacaan zikir, beliau berkata,
إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا
“Sesungguhnya yang kalian seru tidaklah tuli dan tidaklah jauh.”
Ada juga ulama yang berpendapat, yang dijaharkan hanya sebagian zikir, bukan semuanya. Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Ini yang lebih tampak (kebenarannya).” (Fathul Bari, 3/235 dan setelahnya)
Baca juga: Berdoa dalam Shalat dengan Bahasa Sendiri
Semakna dengan ini ialah penjelasan Syaikh al-Albani rahimahullah. Beliau mengatakan bahwa pada asalnya zikir-zikir dibaca dengan merendahkan suara, sebagaimana nas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, selain yang ada pengecualiannya. Apalagi ketika mengeraskan suara akan mengganggu orang yang sedang shalat atau berzikir….
Kemudian beliau menyebutkan hadits,
أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ، فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا، وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ—أَوْ قَالَ: فِي الصَّلَاةِ
“Wahai manusia, sungguh setiap kalian menyeru Rabbnya. Janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, janganlah kalian saling mengeraskan dalam hal bacaan (Al-Qur’an)—atau beliau bersabda: dalam hal shalat.” (Shahih Sunan Abi Dawud no. 1203. Lihat kitab ash-Shahihah 7/454—455)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Mengeraskan suara ketika berzikir setelah orang-orang selesai shalat wajib memliki banyak faedah. Di antaranya:
Semoga Allah memberikan taufik. (Kitab ath-Thaharah wa ash-Shalah, Fatawa wa Maqalat Ibnu Baz, 1/370, terbitan Darul Bashirah)
Berdoa setelah shalat fardhu secara berjamaah merupakan amalan yang tidak ada tuntunannya. Artinya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu anhum tidak pernah melakukannya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Apabila imam berdoa, lantas para makmum mengangkat tangan mereka dan mengaminkannya, yang seperti ini tidak ada dasar tuntunannya. Bahkan, ini termasuk amalan bid’ah.” (Kitab ath-Thaharah wash Shalah, Fatawa wa Maqalat Ibnu Baz, 1/353)
Baca juga: Keburukan Bid’ah
Adapun hukum berdoa sendiri-sendiri setelah shalat yang, ada perbedaan pendapat di antara para ulama.
Ada yang berpendapat berdoa setelah shalat hukumnya sunnah. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat ada yang bertanya, “Doa apakah yang paling didengar (oleh Allah)?”
Beliau menjawab,
جَوْفَ اللَّيْلِ الْآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِِ
“(Doa) di tengah malam bagian akhir dan di dubur (belakang) shalat wajib.” (HR. at-Tirmidzi no. 3499 dari sahabat Abu Umamah radhiallahu anhu)
Namun, hadits di atas ada cacatnya, tidak sahih. Demikian penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Nataijul Afkar (2/232).
Seandainya pun hadits tersebut sahih, sisi pendalilannya tidak begitu jelas. Sebab, penggunaan kata “dubur” (belakang) berlaku juga untuk yang sebelum salam. Misalnya, pada hadits-hadits yang menyebutkan doa-doa yang dibaca setelah tasyahud atau sebelum salam, sebagiannya menggunakan kata “dubur” (belakang).
Baca juga: Bacaan-Bacaan Tasyahud
Oleh karena itu, wallahu a’lam bish-shawab, sebatas kesimpulan kami sementara ini, pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah doa hanya disyariatkan sebelum salam. Adapun setelah salam, yang sunnah ialah membaca zikir-zikir dan wirid setelah shalat. Demikian pendapat yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallah.
Lihat pembahasan ini dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah (22/512—518) dan Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (13/276—279).