Ada satu dari sekian banyak bimbingan ilmu nubuwwah yang tidak sepantasnya dilewatkan oleh setiap muslim dan muslimah, terkhusus bagi mereka yang telah berumah tangga. Bimbingan ini diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat pertanyaan seorang wanita yang rasa malu tidak menghalanginya untuk tafaqquh fid din.
Sahabiyah yang mulia, ibunda dari sahabat yang mulia Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, istri dari sahabat yang mulia Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu, Ummu Sulaim al-Anshariyah radhiallahu ‘anha, menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang sebuah masalah.
يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، هَل عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ؟
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari al-haq. Apakah wanita diwajibkan mandi apabila dia ihtilam?”
Perhatikanlah adab yang tinggi dari sang sahabiyah. Dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mendahulukan ucapan yang menunjukkan alasannya, “Sesungguhnya Allah tidak malu dari al-haq.”
Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha mengawali pertanyaannya dengan pernyataan demikian karena urusan yang hendak dia tanyakan mengundang rasa malu. Namun, karena dibutuhkan ilmu dan bimbingan, yang malu-maluin pun harus ditanyakan. lhtilam, yang menjadi masalah Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha, atau biasa kita sebut mimpi basah adalah seseorang bermimpi jima’. (Fathul Bari, 1/504)
Nah, adakah kewajiban mandi ketika bangun tidur bagi wanita yang mengalaminya, sebagaimana halnya seseorang yang mengalami janabah secara nyata (bukan mimpi)?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Ya, apabila si wanita melihat air.” (HR. al-Bukhari (no. 282) dan Muslim (no. 710))
Air yang dimaksud adalah mani. Wanita harus mandi janabah setelah ihtilam apabila saat bangun tidur dia mendapati dirinya basah (keluar mani). Apabila si wanita tidak mendapati apa-apa saat bangun tidur, walaupun dia melihat ‘apa yang dia lihat dalam mimpinya’, mandi tidaklah wajib baginya. (al-Minhaj, 3/211)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa wanita mengalami ihtilam dan mengeluarkan mani sebagaimana halnya lelaki, bertanyalah salah seorang istri beliau, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha dengan heran,
يَا رَسُوْلَ اللهِ وَتِحْتَلِمُ الْمَرْاَةُ؟ فَقَالَ: تَرِبَتْ يَدَاكِ، فَبِمَا يُشْبِهُهَا وَلَدُهَا؟
“Wahai Rasulullah, apakah wanita juga ihtilam?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Taribat yadak, lalu dari mana anaknya bisa mirip dengan ibunya?” (Lafadz tambahan dalam riwayat Muslim no. 710)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَعَمْ، فَمِنْ أَيْنَ يَكُوْنُ الشِّبْهُ؟ إِنَّ مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيْطٌ أَبْيَضُ وَمَاءَ الْمَرْأَةِ رَقِيْقٌ أَصْفَرُ، فَمَنْ أَيُّهُمَا عَلاَ أَوْ سَبَقَ، يَكُوْنُ مِنْهُ الشِّبْهُ
“Ya, (jika tidak demikian,) dari mana adanya kemiripan? Mani lelaki itu kental berwarna putih, sedangkan mani wanita itu encer dan kuning. Mana di antara keduanya yang lebih dominan/banyak atau lebih dahulu keluar (dari yang lain), terjadilah kemiripan (anak) dengannya.”(HR. Muslim no. 708)
Anak yang lahir dari hubungan sepasang suami istri terbentuk dengan izin Allah ‘azza wa jalla dari pertemuan mani ayah dan ibunya. Seandainya bukan karena mani ayah bercampur dengan mani ibu, tidak akan terjadi kemiripan anak yang lahir dengan ibunya. Justru karena ada percampuran, terjadilah kemiripan tersebut.
Kemiripan anak dengan ayah atau ibunya terkait dengan mana mani yang dominan, lebih banyak atau lebih dahulu keluarnya. Sebab, sebagaimana tersebut dalam hadits di atas, kemiripan dikaitkan dengan ‘ala atau sabq’[1]. (al-Minhaj, 3/213)
Dari hadits tentang pertanyaan Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha di atas, banyak pelajaran yang dapat dipetik. Di antaranya:
Hal ini tampak dari ucapan Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha, “Sesungguhnya Allah tidak malu dari al-haq.”
Demikianlah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Allah ‘azza wa jalla tidaklah bersifat kecuali dengan sifat kesempurnaan. Malu itu sendiri adalah sifat kesempurnaan. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإيْمَانِ
“Malu itu cabang dari keimanan.” (HR. al-Bukhari no. 9 dan Muslim no. 151)
Sementara itu, iman adalah kesempurnaan.
Apabila ada pertanyaan, “Apakah termasuk sifat malu ketika seseorang diam dan tidak mau bertanya tentang sesuatu dari agama Allah yang tidak diketahuinya?”
Jawabannya, tidak. Hal itu sama sekali tidak termasuk sifat malu. Hal itu justru menunjukkan kelemahan kepribadian dan penakut. Seharusnya, seseorang bertanya tentang segala sesuatu yang dibutuhkannya terkait dengan agamanya. Jangan merasa malu untuk bertanya.
Apabila hal yang akan ditanyakan tersebut membuat malu, pakailah kalimat kiasan.
Apabila tidak memungkinkan memakai kalimat kiasan dan harus disebutkan terang-terangan, tidak apa-apa pertanyaan ditunda hingga memungkinkan dia bertanya sendirian, tidak ada orang lain.
Apabila tidak ada alasan seperti ini, namun dia tidak mau bertanya padahal butuh, ini bukanlah malu yang terpuji.
Apabila tidak disertai inzal (keluarnya mani), ihtilam tersebut tidaklah mewajibkan mandi. Walaupun seorang yang mengalaminya merasakan kenikmatan, namun saat terjaga tidak tampak ada mani yang keluar, tidak ada kewajiban mandi. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkaitkan mandi dengan adanya mani.
Artinya, apabila terbangun dari tidur dan dia melihat ada ‘basahbasah’, namun tidak bisa memastikan, apakah itu keringat, air seni, madzi, cairan lain, ataukah mani. Dia ragu, tanpa ada keyakinan. Ketika demikian, ia tidak wajib mandi. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan mandi bagi seseorang yang yakin melihat mani, tidak hanya sangkaan bahwa yang dilihatnya adalah mani.
Apakah dia wajib mencuci bagian tubuh dan pakaiannya yang terkena ‘basah-basah’ tersebut?
Jawabannya, ya, dicuci dalam rangka kehati-hatian. Tidak dibedakan dalam hal ini antara orang yang sebelum tidur memikirkan sesuatu yang membangkitkan syahwatnya dan yang tidak. Selama dia dalam keraguan, hukum asalnya bara’ah adz-dzimmah (dia terlepas dari tuntutan/hukum).
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Dia bertanya lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَهَلْ يَكُوْنُ ذَلكَ؟
“Apakah hal itu bisa terjadi?”
Padahal Ummu Salamah radhiallahu ‘anha telah mendengar sendiri penetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa wanita pun bisa ihtilam dan keluar mani. Hanya saja dia heran bagaimana hal itu bisa terjadi. Adapun urusan yang tidak mungkin disingkap hakikatnya, tidak boleh ditanyakan. Misalnya, Allah ‘azza wa jalla memberitakan dalam banyak ayat al-Qur’an bahwa Dia beristiwa’ (tinggi) di atas Arsy-Nya. Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan cara istiwa’ tersebut dan bagaimana hakikatnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh bertanya lebih lanjut, “Bagaimana istiwa’ Allah ‘azza wa jalla di atas Arsy-Nya?”
Pertanyaan tentang hakikat sifat Allah ‘azza wa jalla adalah bid’ah.
Istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, meminta keterangan lebih lanjut dan beliau melayaninya dengan memberikan penjelasan yang memuaskan. Padahal para suami selain beliau, mungkin akan menghardik istrinya tatkala istrinya bertanya, “Mengapa bisa begini?”, “Apa sebabnya?”, “Apakah hal itu mungkin terjadi?”
Kira-kira, apa jawaban sang suami? Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pemilik akhlak yang agung, mencontohkan perangai yang mulia terhadap istri beliau.
Terkadang, si anak lebih mirip dengan salah satunya, ayah atau ibunya. Terkadang pula seimbang, 50% mirip ayah dan 50% mirip ibu. Terkadang pula, si anak tidak mirip siapa-siapa, tidak mirip ayah dan ibunya. Namun, yang terakhir ini jarang terjadi.
Terkadang seorang anak mirip dengan kerabat di atas orang tuanya. Bisa jadi, dia mirip dengan kakek-kakeknya atau nenek-neneknya di tingkat sekian. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu tentang seorang badui yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, istriku melahirkan seorang anak laki-laki yang berkulit hitam.”
Si badui merasa heran dengan warna kulit anaknya padahal dia terlahir dari kedua orang tua yang berkulit putih. Mengapa si anak bisa berkulit hitam? Mirip siapa?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada si badui,
هَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: مَا أَلْوَانُهَا؟ قَالَ: حُمْرٌ. قَالَ: هَلْ فيْهَا مِنْ أَوْرَقٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قال: فَأَنَّى ذَلِكَ؟. قَالَ: لَعَلَّ نَزَعَهُ عِرْقٌ. قَالَ: فَلَعَلَّ ابْنَكَ هَذَا نَزَعَهُ
“Apakah kamu punya unta?”
Si badui menjawab, “Ya.”
“Apa warnanya?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi.
“Merah,” jawabnya.
“Apakah ada di antara unta-untamu yang berwarna abu-abu?” tanya sang Rasul.
“Ya, ada.”
“Bagaimana bisa berwarna demikian?”
“Bisa jadi, dia ditarik oleh asal nasabnya (mengikuti nenek moyangnya),” jawab si badui.
“Anakmu pun bisa jadi demikian,” tegas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. al-Bukhari no. 5305 dan Muslim no. 3745)
Jadi apabila ada anak yang tidak mirip ayah dan ibunya, jangan dahulu berpikir dan berprasangka macam-macam.
Dia betul anak si Fulan karena mirip dengan si Fulan, misalnya. Dalilnya adalah ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَمِنْ أَيْنَ يَكُوْنُ الشِّبْهُ؟
“Ya, (jika tidak demikian,) dari mana adanya kemiripan?”
Yang lebih menguatkan hal ini adalah kisah Utbah ibnu Abi Waqqash ketika berzina dengan budak perempuan milik Zam’ah. Si budak kemudian melahirkan seorang anak lelaki dari hasil perzinaan tersebut.
Ketika Utbah wafat, Sa’d ibnu Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu, saudaranya, dan ‘Abd ibnu Zam’ah radhiallahu ‘anhu, putra Zam`ah, memperebutkan anak lelaki tersebut. ‘Abd ibnu Zam’ah berkata , “Wahai Rasulullah, Anak ini adalah saudaraku karena dia dilahirkan di atas firasy/ranjang ayahku, dari budak perempuannya[2].”
Sa’d berkata, “Wahai Rasulullah, anak ini keponakanku, putra dari saudaraku, Utbah. Dia berpesan kepadaku bahwa anak ini adalah anaknya.”
Sa’d berkata lagi, “Wahai Rasulullah, coba Anda lihat kemiripan anak ini dengan Utbah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memandang anak tersebut, beliau pun mendapati anak tersebut sangat mirip dengan Utbah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kemiripan itu sebagai pegangan, tidak beliau abaikan.
Akan tetapi, beliau mengalihkan hukum kepada sebab yang lebih kuat, yaitu firasy. Maksudnya, anak itu dilahirkan oleh budak perempuan milik Zam’ah, berarti anak itu milik Zam’ah.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ، الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak ini milikmu wahai ‘Abd, karena anak itu untuk firasy. Adapun orang yang berzina mendapat batu/rajam[3].”
Dengan demikian, anak lelaki tersebut adalah saudara Ummul Mukminin Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kemiripan anak itu dengan Utbah demikian nyata, beliau pun bertitah kepada Saudah,
وَاحْتَجِبْي منْهُ يَا سَوْدَةُ
“Berhijablah engkau darinya, wahai Saudah.” (HR. al-Bukhari no. 2218, 6765 dan Muslim no. 3598)
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengabaikan kemiripan. Secara syariat, anak tersebut adalah anak Zam’ah. Dia menjadi pewaris saudara-saudaranya dan mereka menjadi pewarisnya. Terjalin pula kemahraman di antara mereka.
Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kemiripan si anak (dengan Utbah) sebagai alasan bagi Saudah, istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri Zam’ah, untuk berhijab dari si anak dalam rangka kehati-hatian (alihtiyath). Ini menjadi bukti bahwa kemiripan dipertimbangkan dalam hukum terkait dengan masalah-masalah ihtiyathiyah. (Fathu Dzil Jalali wal lkram bi Syarhi Bulughil Maram, Fadhilatusy Syaikh lbnu Utsaimin, 1/566—574)
Wallahu ta’ala bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] ‘Ala, kata ulama sebagaimana dinukil oleh an-Nawawi rahimahullah, bisa jadi yang dimaksud adalah sabq/lebih dahulu keluar, bisa jadi pula yang dimaksud ‘ala adalah banyak dan kuat sesuai dengan besarnya syahwat. (al-Minhaj, 3/214)
Ada hadits lain yang menunjukkan bahwa ‘ala dikaitkan dengan jenis kelamin bukan dengan kemiripan. Tsauban radhiallahu ‘anhu maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang beberapa pertanyaan yang diajukan oleh pendeta Yahudi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya pertanyaan tentang anak. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
مَاءُ الرَّجُلِ أَبْيَضُ وَمَاءَ الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ، فَإذَا اجْتَمَعَا فَعَلاَ مَنِيُّ الرَّجُلِ مَنِيَّ الْمَرْأَةِ، أَذْكَرَا بِإِذْنِ اللهِ، وَإذَا عَ مَنِيُّ الْمَرْأَةِ مَنِيَّ الرَّجُلِ، أَنَثَا بِإِذْنِ اللهِ
“Mani lelaki itu berwarna putih dan mani wanita berwarna kuning. Apabila kedua mani ini bertemu, dan mani lelaki lebih banyak daripada mani wanita, niscaya anak yang akan lahir itu lelaki, dengan izin Allah ‘azza wa jalla. Jika mani wanita lebih dominan daripada mani lelaki, anak yang akan lahir perempuan, dengan izin Allah.” (HR. Muslim no. 714)
[2] Istri dan budak perempuan seseorang dikatakan sebagai firasy baginya. (al-Minhaj, 9/279)
[3] Atau dia merugi karena tidak punya hak terhadap anak yang terlahir dari hubungan zina tersebut. (al-Minhaj, 9/279)