Dalam menghadapi banyaknya kemungkaran di tengah masyarakat, syariat memberikan bimbingan kepada seorang muslim. Di antaranya:
Mengingkari dengan hati hukumnya adalah fardu ain atas individu muslim dan muslimah. Ia merupakan kadar keimanan yang paling rendah. Kewajiban ini tidak akan pernah gugur dalam kondisi apapun.
Hal ini masuk dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ
“Tinggalkanlah sesuatu yang aku larang kalian darinya.” (HR. al-Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Baca juga: Apa Itu Kemungkaran?
Tidak ada rukhsah (keringanan) bagi siapa pun dalam hal ini. Semua pihak harus menjauhi larangan dan kemungkaran. Masalah ini juga tidak dikaitkan dengan kemampuan seorang hamba.
Berbeda halnya dengan melaksanakan perintah dan hal yang makruf yang terkait dengan kadar kemampuan seorang hamba. Kewajiban ini bisa gugur dalam keadaan darurat dan sangat terpaksa. Namun, hati kita masih dipenuhi dan diliputi rasa iman.
Kondisi inilah yang disepakati oleh para ulama sebagai amalan fardhu kifayah. Apabila ada pihak yang dianggap cukup secara syariat telah melaksanakannya, gugur kewajiban atas yang lainnya. Namun, apabila tidak ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban ini, semua pihak berdosa.
Di antara ulama yang menukilkan ijmak (kesepakatan ulama) ini adalah an-Nawawi rahimahullah, Abu Bakr al-Jashshash rahimahullah, dan Ibnu Hazm rahimahullah.
Baca juga: Mengubah Kemungkaran dengan Kekuatan
Hukum ini bisa berubah menjadi fardhu ain dalam dua keadaan:
Cukup banyak dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah yang menjelaskan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar, urgensi, keutamaan, serta manfaatnya. Berikut ini rangkuman yang disertai dalil dan penjelasannya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.” (an-Nahl: 36)
Dakwah kepada tauhid adalah amar makruf yang paling pokok lagi agung. Sebab, tauhid adalah kemakrufan yang paling pokok dan paling agung. Menjauhi thaghut adalah nahi mungkar yang sangat mendasar dan utama karena kesyirikan dan kekufuran adalah kemungkaran terbesar.
Baca juga: Syirik
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyebutkan sifat Nabi-Nya,
يَأۡمُرُهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَىٰهُمۡ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡخَبَٰٓئِثَ
“… yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…” (al-A’raf: 157)
Asy-Syaikh al-Mufassir Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menegaskan bahwa amar makruf nahi mungkar adalah sifat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang paling agung dan paling utama. (Tafsir as-Sa’di surah al-A’raf: 157)
Baca juga: Amar Makruf Nahi Mungkar, Simbol Keimanan dan Kepedulian Umat
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa semua hal yang “thayyib” (baik) masuk dalam kategori amar makruf, sedangkan semua perkara yang “khabits” (buruk) masuk dalam kategori nahi mungkar. (Ithaf Ulil Bashar hlm. 9 dan 12)
Menjalaninya merupakan sebab meraih keberuntungan dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٌ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Baca juga: Kewajiban Amar Makruf Nahi Mungkar
Dengan amar makruf nahi mungkar, kaum muslimin akan mendapatkan curahan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan amar makruf nahi mungkar, seseorang akan terbebas dari sifat kaum munafik karena dalam ayat di atas sifat tersebut menjadi pembeda antara mukmin dan munafik. (Tafsir al-Qurthubi)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam risalah Amar Ma’ruf Nahi Munkar,
“(Dalam ayat ini), Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa umat ini adalah umat terbaik dari semua umat yang dilahirkan untuk manusia. Umat ini paling bermanfaat dan paling agung kebaikannya bagi manusia. Sebab, umat ini telah menyempurnakan keadaan manusia dengan amar makruf nahi mungkar dari sisi sifat dan kedudukannya. Umat ini telah memerintahkan segenap yang makruf dan mencegah dari semua yang mungkar. Mereka menegakkannya dengan jihad fi sabilillah, mengorbankan jiwa dan harta. Inilah kemanfaatan yang sempurna bagi segenap makhluk.” (Ithaf Ulil Bashar hlm. 16)
Baca juga: Meluruskan Cara Pandang Terhadap Jihad
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya menjelaskan bahwa siapa saja dari umat ini yang memiliki sifat di atas, dia termasuk golongan yang dipuji dan disanjung oleh ayat ini.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ ٤٠ ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّٰهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ أَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُواْ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَنَهَوۡاْ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۗ وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلۡأُمُورِ ٤١
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (al-Hajj: 40—41)
Baca juga: Mengapa Tidak Mendapat Pertolongan Allah?
Ayat di atas menjelaskan sifat para pembela Allah subhanahu wa ta’ala dan pembela agama-Nya. Salah satunya adalah amar makruf nahi mungkar. Siapa saja yang mengaku membela agama Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi tidak memiliki sifat yang disebutkan oleh ayat ini, berarti dia pendusta. (Tafsir as-Sa’di, surah al-Hajj: 40—41)
Di antaranya adalah:
Baca juga: Al-Bara, Konsekuensi Akidah dan Tauhid
Dari an-Nu’man bin Basyir radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا. فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang mengingkari/mencegah larangan Allah subhanahu wa ta’ala dan orang yang terjatuh dalam larangan tersebut seperti sebuah kaum yang berundi pada sebuah kapal. Sebagian mereka mendapatkan bagian atas dan yang lainnya di bagian bawah. Saat orang-orang yang di bagian bawah ingin meminum air, mereka harus melewati orang yang berada di atas. Mereka pun berkata, ‘Alangkah baiknya kalau kita membuat lubang di tempat kita agar tidak mengganggu orang-orang yang ada di atas.’
“Apabila mereka membiarkan orang-orang tersebut melakukan keinginan mereka, mereka semua pasti binasa. Namun, apabila mereka mencegah orang-orang tersebut, orang-orang itu pasti selamat. Mereka semua juga pasti selamat.” (HR. al-Bukhari no. 2443)
Baca juga: Ketika Tahdzir Dipersoalkan
Kemungkaran membawa malapetaka. Yang sengsara tidak hanya sang pelaku, tetapi siapa saja yang berada di sekitarnya. Nahi mungkar dengan menjauhi, melarang, mencegah, dan mengubah kemungkaran adalah solusi yang benar dan akan menyelamatkan umat manusia dari kehancuran, lalu menuntun mereka menuju kebahagiaan, kesuksesan di bawah naungan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahu a’lam bish-shawab.