Abu Ghalib berkata, “Ketika didatangkan kepala orang-orang Azariqah[1] dan dipancangkan di atas tangga Damaskus, datanglah Abu Umamah al-Bahili radhiallahu ‘anhu. Ketika melihat mereka, air matanya pun mengalir dari kedua pelupuknya.<p
كِلاَبُ النَّارِ، كِلاَبُ النَّارِ، كِلاَبُ النَّارِ. هَؤُلاَءِ شَرَّ قَتْلَى قُتِلُوْا تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمَاءِ وَخَيْرَ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمَاءِ الَّذِيْنَ قَتَلَهُمْ هَؤُلاَءِ.
“Anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka!” kata Abu Umamah. “Mereka ini sejelek-jelek orang yang dibunuh di bawah naungan langit ini. Dan sebaik-baik orang yang terbunuh di bawah naungan langit ini adalah orang-orang yang mereka bunuh,” lanjutnya.
Kata Abu Ghalib, “Ada apa denganmu hingga mengalir air matamu?”
“Karena kasihan terhadap mereka, dahulunya mereka itu termasuk ahlul Islam,” jawab Abu Umamah.
Abu Ghalib berkata, Kami bertanya, “Apakah engkau mengatakan ‘mereka itu anjing-anjing neraka’ dengan pendapatmu sendiri atau perkataan yang engkau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
“Kalau aku mengatakan dengan pendapatku sendiri, maka sungguh betapa beraninya aku. Tapi perkataan seperti itu aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya sekali, bahkan tidak hanya dua tiga kali,” jawab Abu Umamah.
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (5/253). Guru kami asy-Syaikh Muqbil rahimahullah setelah membawakan hadits ini, beliau berkata, “Hadits ini jayyid, Abu Ghalib adalah rawi yang hasanul hadits.” (al-Jami’ush Shahih, 1/201)
Dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah (Sunan at-Tirmidzi no. 4086), Abu Ghalib berkata, “Abu Umamah melihat kepala-kepala yang dipancangkan di atas tangga (masjid) Damaskus, ia pun berkata,
كِلاَبُ النَّارِ، شَرَّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيْم السَّمَاءِ وَخَيْرَ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوهُ
“Anjing-anjing neraka. Mereka ini sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah naungan langit ini. Dan sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang mereka bunuh.”
Kemudian Abu Umamah membaca ayat,
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ
“Pada hari yang di waktu itu ada wajah-wajah yang putih berseri dan ada pula wajah yang hitam muram.” Sampai akhir ayat.
Abu Ghalib berkata kepada Abu Umamah, “Apakah engkau mendengar perkataan seperti itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
“Kalau aku tidak mendengarnya dari beliau, tidak hanya sekali, dua kali, atau tiga, empat kali—Abu Umamah sampai menyebut tujuh kali—niscaya aku tidak akan menyampaikannya kepada kalian.”
Hadits ini dinyatakan hasan asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’us Shahih,1/201.
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
“Segala puji bagi Allah yang menjadikan adanya ulama pada setiap zaman fatrah[2] dari para rasul, yang mereka ini mengajak orang yang sesat kepada petunjuk dan bersabar atas gangguan yang mereka terima dari manusia.
Mereka menghidupkan kitabullah yang telah ditinggalkan manusia dan menjadikan orang yang buta (akan kebenaran) dapat melihat dengan cahaya Allah subhanahu wa ta’ala. Berapa banyak korban yang dibunuh oleh Iblis telah mereka hidupkan dan berapa banyak orang yang sesat lagi tidak mengerti jalan telah mereka bimbing. Alangkah bagusnya apa yang mereka perbuat terhadap manusia namun alangkah jeleknya apa yang diperbuat manusia terhadap mereka.
Mereka adalah orang-orang yang menolak penyimpangan orang-orang yang berbuat ghuluw terhadap kitabullah, demikian pula keyakinan orang-orang yang batil dan takwilnya orang-orang jahil, yang orang-orang sesat ini telah mengikat bendera bid’ah dan melepaskan tali kekang fitnah.
Orang-orang yang sesat ini berbeda-beda dalam memahami Kitabullah, dan menyelisihi Kitabullah akan tetapi mereka bersepakat meninggalkan Kitabullah. Mereka ini berucap terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, tentang Allah subhanahu wa ta’ala dan tentang Kitabullah tanpa ilmu. Mereka berbicara dengan pembicaraan yang samar/rancu dan bermaksud menipu orang-orang yang bodoh dari kalangan manusia dengan apa yang mereka samarkan. Kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata kita berlindung dari fitnahnya orang-orang yang menyesatkan.” (ar-Raddu ‘ala az-Zanadiqah wal Jahmiyyah, hlm. 1)
Berkaitan dengan ucapan al-Imam Ahmad rahimahullah di atas, maka kita mengetahui bahwa ulama al-jarh wat ta’dil termasuk sisa ahlul ilmi yang Allah subhanahu wa ta’ala tempatkan di umat ini untuk menjaga dan membela agamanya (Aimmatul Jarhi wat Ta’dil Hum Hummatud Din min Kaidil Mulhidin, wa Dhalalil Mubtadi’in wa Ifkil Kadzdzabin, asy-Syaikh Rabi’ al-Madkhali hafizhahullah, hlm. 3)
Dengan keberadaan ulama ini, terbongkarlah kedok dan borok para penyesat umat, sehingga tidak tersisa satu tempat persembunyian pun bagi mereka melainkan telah diketahui dan telah diporakporandakan. Sehingga umat tidak lagi mudah ditipu oleh mereka bahkan mereka dapat tertangkap basah oleh umat, dilucuti, dan dibuka aib yang mereka miliki.
Demikianlah gambaran ahlul ahwa (para pengekor hawa nafsu) dan ahlul bid’ah yang telah dikritik pedas dan dibabat habis oleh ulama al-jarh watta’dil, sehingga tidak heran bila ahlul ahwa dan bid’ah ini sangat antipati dan benci sampai ke ulu hati terhadap ulama al-jarh wat-ta’dil yang ada di tengah umat ini. Berbagai tuduhan, ucapan kotor dan keji mereka lemparkan pada sang alim untuk menjatuhkan kehormatannya dan menjauhkan umat darinya.
Namun pada akhirnya mereka harus gigit jari melihat hasil perjuangan mereka. Karena Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memberikan penjagaan terhadap agama-Nya. Dan Dia terus melahirkan dan memunculkan di tengah-tengah umat ini ulama yang membela agamanya, Dia terus menampilkan dan memenangkan orang-orang yang mengawal agamanya, karena memang Dialah subhanahu wa ta’ala yang menghendaki agar ath-Thaifah al-Manshurah (kelompok yang ditolong) ini tetap ada sampai saat berembusnya angin sewangi misik yang tidak meninggalkan satu jiwa mukmin pun melainkan akan meninggal ketika menciumnya (hal ini terjadi menjelang datangnya hari kiamat[3]), sebagaimana disabdakan oleh Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan ada terus-menerus sekelompok dari umatku dalam keadaan dzahir/menang di atas al-haq, tidak memudaratkan mereka orang yang menyelisihi mereka. Demikian keadaan mereka sampai datangnya perkara Allah.” (HR. al-Bukhari no. 7311 dan Muslim no. 1920)
Dalam riwayat al-Bukhari (Shahih al-Bukhari no. 71) disebutkan dengan lafadz,
وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ اْلأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللهِ لاَ يَضُّرُهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ
“Umat ini terus-menerus akan menegakkan agama Allah subhanahu wa ta’ala[4], tidak memudaratkan mereka orang yang menyelisihi mereka hingga datang perkara Allah subhanahu wa ta’ala.”
Ath-Thaifah al-Manshurah, termasuk di dalamnya ulama al-jarh watta’dil tentunya, adalah orang yang masuk paling pertama karena mereka yang terdepan di dalam ilmu dan penjagaan/pembelaan terhadap agama ini.
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah mengatakan bahwa ath-Thaifah al-Manshurah adalah ahlul ilmi. Sehingga beliau membuat bab tersendiri dalam masalah ini dalam kitab Shahih-nya, dengan judul bab Qaulin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “La Tazalu Thaifatun min Ummati Zhahirina ‘alal-haq wa Hum Ahlul Ilmi” (bab Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan terus-menerus ada sekelompok dari umatku dalam keadaan zahir/menang di atas al-haq” mereka adalah ahlul ilmi).
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Kalau mereka itu bukan ahlul hadits maka aku tidak tahu siapa lagi mereka[5].”
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Yang dimaksud al-Imam Ahmad adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan mereka yang meyakini mazhab ahlul hadits.” (Syarah Shahih Muslim, 13/66—67, Fathul Bari 1/206, 13/306).
Al-Hakim rahimahullah berkata, “Alangkah bagusnya penafsiran al-Imam Ahmad bin Hambal terhadap kabar ini bahwa ath-Thaifah al-Manshurah yang selalu diberikan pertolongan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sampai hari kiamat adalah ashabul hadits (ahlul hadits). Karena siapa lagi manusia yang paling berhak untuk dimasukkan ke dalam thaifah ini terkecuali suatu kaum yang menempuh jalannya orang-orang saleh dan mengikuti atsarnya salaf dari kalangan orang-orang terdahulu, mematahkan serta menghancurkan ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyelisihi sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Ma’rifah Ulumil Hadits, hlm. 2)
Al-Hakim juga berkata memuji ahlul hadits,“Akal-akal mereka digenangi kelezatan as-Sunnah, jantung-jantung mereka yang dipenuhi keridhaan terhadap ahwal (segala keadaan) mereka makmurkan, mempelajari sunnah-sunnah adalah kebahagiaan mereka, majelis ilmu adalah kegembiraan mereka. Ahlus sunnah seluruhnya adalah saudara-saudara mereka sementara ahlul ilhad (orang yang menyimpang) dan ahlul bid’ah seluruhnya adalah musuh mereka.” (Ma’rifah Ulumil Hadits, hlm. 3)
Guru kami ‘Allamatul Muhaddits asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah berkata, “Hadits ini walaupun tidak secara lafadz menunjukkan terhadap perkataan al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Ahmad, namun sesungguhnya Ahlul Haditslah yang seharusnya dimasukkan paling awal dalam thaifah ini karena kekokohan mereka di atas al-Haq, pengabdian mereka dan pembelaan mereka terhadap Islam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang banyak atas apa yang mereka sumbangkan terhadap Islam dan muslimin.” (al-Jami’us Shahih, 1/11)
Mereka pula yang dikatakan al-Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat) sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu, ketika ditanyakan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: هُمُ الْجَمَاعَةُ
“Siapa mereka wahai Rasulullah?” “Mereka adalah al-jamaah,” jawab beliau. (HR. Ahmad 4/102, Abu Dawud no. 3981, Ibnu Abi ‘Ashim no. 63, dan selainnya. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij as-Sunnah, hlm. 49)
Sejak terjadinya fitnah dan bercabangnya kelompok hawa nafsu di tengah umat hingga mereka mencapai jumlah yang disebutkan[6], thaifah ini terus-menerus menegakkan perkara Allah subhanahu wa ta’ala, mereka menyeru kepada al-haq, menyebarkan dan menjaga ilmu-ilmu nubuwwah, membelanya dan menolak tipu daya orang-orang yang melakukan tipu daya, menolak kepercayaan orang-orang yang batil dan tahrifnya orang-orang bodoh. Tidak menggoyahkan mereka sama sekali gangguan, tipu daya orang-orang yang membuat makar, dan rencana jahat orang-orang yang berkuasa.
Kesempitan, gangguan, dan ujian yang mereka terima tidak akan menambah penderitaan bagi mereka terkecuali membuat mereka semakin kokoh di atas al-haq dan akan membungkam kebatilan, sebagaimana ini terjadi pada masa al-Imam Ahmad, Abdul Ghani al-Maqdisi dan pada masa Ibnu Taimiyyah. (Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawaif, hlm. 18)
Sikap tegas terhadap ahlul bid’ah ini merupakan sikap yang diwarisi dari as-Salafush Saleh. Dan as-Salafush Saleh menganggap sikap keras terhadap ahlul ahwa dan bid’ah merupakan suatu kelebihan/keutamaan dan merupakan sikap terpuji, di mana seseorang akan dipuji karenanya.
Berapa banyak para imam Ahlus Sunnah, ketika disebutkan biografinya, ia dipuji karena sikap kerasnya terhadap ahlul ahwa dan bid’ah dan betapa kokohnya dia dalam memegang as-Sunnah. Tidak ada yang mendorong mereka untuk bersikap yang demikian kecuali karena kecemburuan terhadap agama Allah subhanahu wa ta’ala ini dan dalam rangkaian nasihat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin serta orang awamnya.
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata tentang al-Imam Ahmad rahimahullah, “al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hambal, karena sangat kuatnya beliau memegangi as-Sunnah dan melarang/mencegah dari kebid’ahan, beliau tidak segan membicarakan tentang sekelompok orang-orang yang baik apabila tampak di hadapannya bahwa mereka menyelisihi as-Sunnah. Ucapan beliau yang demikian itu disampaikan kepada mereka tentunya dalam rangka nasihat untuk agama Allah subhanahu wa ta’ala ini.” (Ijma’ul Ulama ‘alal Hajri wat Tahdzir min Ahlil Ahwa’, hlm. 42)
Ulama al-jarh wat-ta’dil adalah ulama ahlul hadits yang mengilmui dan memahami hadits, mengagungkan, dan menjaganya. Mereka adalah orang yang mengikuti para sahabat dan tabi’in dalam berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka menggigitnya dengan gigi geraham mereka. Mereka kedepankan keduanya di atas setiap ucapan dan petunjuk, sama saja apakah hal itu dalam masalah akidah, ibadah, muamalah, akhlak ataupun dalam masalah politik dan kemasyarakatan.
Mereka sangat kokoh di dalam pokok-pokok agama dan cabangcabangnya sesuai dengan apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala dan diwahyukan-Nya kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka menegakkan dakwah dengan segala kesungguhan, kejujuran, dan ketegaran. Merekalah pembawa ilmu nubuwwah. Dengan ilmu tersebut, mereka sangat menentang tahrif orang-orang yang ghuluw, kepercayaan orang-orang yang batil, dan takwil orang-orang jahil.
Merekalah orang-orang yang selalu berdiri mengintai setiap kelompok/golongan yang menentang manhaj islami seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rawafidh, Murji’ah, Qadariyyah, dan setiap yang menyimpang dari manhaj Allah subhanahu wa ta’ala dan mengikuti hawa nafsunya pada setiap zaman dan tempat.
Celaan orang-orang mencerca, sama sekali tidak menyurutkan langkah mereka dalam membela agama Allah ‘azza wa jalla.” (Aimmatul Jarhi wat Ta’dil, hlm. 4)
Merekalah yang meletakkan firman Allah subhanahu wa ta’ala ini di hadapan mata mereka,
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ
“Berpegangteguhlah kalian semuanya dengan tali Allah dan janganlah kalian berpecah-belah.” (Ali ‘Imran: 103)
Firman-Nya,
فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣
“Maka hendaklah berhati-hati orang-orang yang menyelisihi perkara/ perintah Rasulullah untuk ditimpakan kepada mereka fitnah atau ditimpakan pada mereka azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Sehingga mereka adalah orang yang paling jauh dari menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling jauh dari fitnah. Merekalah yang menjadikan firman Allah subhanahu wa ta’ala sebagai dustur mereka,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا
“Maka sekali-kali tidak demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam pertikaian yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak dapatkan di dalam jiwa mereka rasa berat terhadap apa yang engkau putuskan dan mereka tunduk dengan setunduk-tunduknya.” (An-Nisa’: 65)
Mereka memuliakan nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dengan sebenar-benar pemuliaan, mengagung-agungkannya dengan sebesar-besar pengagungan dan mengedepankannya di atas ucapan manusia seluruhnya.
Mereka berhukum kepada nashnash tersebut dalam segala sesuatu dengan rasa ridha yang sempurna dan dada yang lapang, tanpa rasa sempit dan berat.
Mereka tunduk kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya dengan ketundukan yang sempurna dalam akidah mereka, ibadah dan muamalah mereka. Kepada merekalah pantas ditujukan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
“Hanyalah ucapan kaum mukminin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar diputuskan perkara di antara mereka, mereka pun menyatakan ‘kami mendengar dan kami taat, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 51) [ Aimmatul Jarhi wat Ta’dil, hlm. 5]
Mereka memiliki banyak sekali karya tulis—dengan jumlah yang tak terhitung—yang berisi bantahan terhadap ahlul bid’ah wa ahwa dan kitab-kitab aljarh wat-ta’dil serta kitab al-jarh secara khusus yang penuh dengan keterangan tentang keadaan ahlul bid’ah seperti
Mereka juga memiliki banyak karya tulis ilmiah dalam perkara akidah/manhaj seperti
Masih banyak kitab lainnya yang tidak bisa kami sebutkan semuanya di sini.
Apa yang dilakukan oleh ulama al-jarh wat-ta’dil berupa kritikan dan bantahan kepada ahlul bid’ah dan ahwa bukanlah perkara yang mereka adaadakan atau mereka buat-buat sendiri tanpa pendahulu yang saleh.
Tidak pula menunjukkan kotor dan jahatnya hati, maksud dan lisan mereka, sebagaimana hal ini banyak disebarkan dan diserukan oleh du’atul makirin wal ahdzabul hizbiyyin (para penyeru dan pembuat makar serta para da’i hizbiyyun) yang sangat khawatir dan takut dengan kritikan karena akan mematikan mereka dan membinasakan langkah dan keinginan mereka yang busuk.
Akan tetapi apa yang mereka serukan sama sekali tidak demikian, wallahi. Bahkan jauh sebelum ulama aljarh wat-ta’dil, hal ini telah dilakukan oleh sebaik-baik manusia setelah para nabi dan rasul, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ash-shadiqinash shalihin, dan di antara mereka adalah Abu Umamah al-Bahili radhiallahu ‘anhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits dan riwayat di atas. Ketika Abu Umamah melihat kepala orang-orang yang terbunuh dari kelompok ahlul bid’ah yang bernama Khawarij yang dipancangkan di atas tangga masjid Damaskus, ia pun mengatakan, “Anjing-anjing neraka!” (Tuhfatul Ahwadzi, 8/279)
Ketika melemparkan gelaran jelek kepada pemilik kepala-kepala yang telah terpenggal tersebut, beliau tidak mencukupkan sekali, bahkan beliau mengulangnya sampai tiga kali.
Kemudian, apabila ini adalah perkara yang mereka ada-adakan atau mereka buat-buat sendiri tanpa pendahulu yang saleh dan menunjukkan kotor dan jahatnya hati, maksud dan lisan mereka, apakah boleh dan diperkenankan bagi kita untuk mengatakan sahabat ini mulutnya kotor, jahat hati, maksud, dan lisannya? Na’udzubillah min dzalik, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjaga hati, lisan dan perbuatan kita dari mencerca sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!
Apa yang dilakukan oleh Abu Umamah al-Bahili radhiallahu ‘anhu ini telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam murabbina wa mu’allimuna. Beliaulah yang menggelari Khawarij dengan anjin-ganjing neraka, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Umamah, “Perkataan seperti itu aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya sekali, bahkan tidak hanya dua, tiga kali!” Dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan sampai tujuh kali.
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi orang-orang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Bila demikian adanya, berarti apa yang dilakukan oleh ulama al-jarh wat-ta’dil ini telah dicontohkan oleh sebaik-baik hamba Allah subhanahu wa ta’ala yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjarh, mengkritik, dan mentahdzir orang yang pantas mendapatkannya.
Demikian pula halnya dengan anak paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang didoakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kefakihan di dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala dan ahli di dalam menafsirkan al-Qur’an, imam para mufassirin, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma ketika menjarh kelompok bid’ah yang bernama Qadariyyah.
‘Atha rahimahullah berkata, “Aku mendatangi Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang sedang berada di sumur Zam-zam dalam keadaan bagian bawah pakaiannya basah terkena air.”
“Telah muncul orang-orang yang membicarakan (yakni mengingkari –ed.) takdir (Qadariyah –pen.),” kataku kepada Ibnu Abbas.
“Apakah mereka benar telah melakukannya?” tanya Ibnu ‘Abbas.
“Iya,” jawabku.
“Demi Allah, tidaklah turun ayat:
يَوۡمَ يُسۡحَبُونَ فِي ٱلنَّارِ عَلَىٰ وُجُوهِهِمۡ ذُوقُواْ مَسَّ سَقَرَ ٤٨ إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَرٖ ٤٩
“Rasakanlah oleh kalian azab neraka Saqar. Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan ketetapan takdir.” (Al-Qamar: 48—49) melainkan ditujukan kepada mereka. Mereka itu adalah sejelek-jelek umat ini, jangan kalian jenguk orang yang sakit dari kalangan mereka, jangan kalian shalati orang yang mati dari kalangan mereka. Bila aku melihat salah seorang dari mereka, niscaya aku akan mencungkil kedua matanya dengan dua jariku ini.” (Syarhus Sunnah, al-Lalikai 4/712, as-Sunanul Kubra, al-Baihaqi 10/205, sebagaimana dinukil dalam Ijma’ul Ulama ‘alal Hajri wat Tahdzir min Ahlil Ahwa’, hlm. 23)
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata, “Membantah ahlul bid’ah, men-jarh mereka dan memperingatkan (tahdzir) manusia dari mereka merupakan perkara pokok dalam Islam, karena hal ini termasuk bab amar ma’ruf nahi mungkar yang paling penting dan juga termasuk bab nasihat yang terpenting kepada Islam dan muslimin. Orang yang pertama kali men-jarh dan men-tahdzir mereka yang menyimpang adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau mentahdzir Khawarij dalam beberapa hadits dan menyifati mereka sebagai sejelek-sejelek makhluk, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela Dzul Khuwaishirah (nenek moyangnya Khawarij) dan dalil-dalil yang menunjukkan tentang perkara ini banyak sekali.” (Aimmatul Hadits wa Man Sara ‘ala Nahjihim Hum A’lamun Nasi bi Ahlil Ahwa wal Bida’ wa Masyru’iyyatul Jarh wat Ta’dil Minal Akfa’ Lam Tanqathi’, hlm. 2)
Lebih dari itu, mencela dan memberi gelaran buruk kepada orang yang menyimpang dari kebenaran telah pula dinyatakan oleh Dzat yang Mahatinggi dan Mahasuci keberadaan-Nya dari segala makhluk-Nya, seperti dalam ayat-ayat berikut ini.
وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱلَّذِيٓ ءَاتَيۡنَٰهُ ءَايَٰتِنَا فَٱنسَلَخَ مِنۡهَا فَأَتۡبَعَهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡغَاوِينَ ١٧٥ وَلَوۡ شِئۡنَالَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بَِٔايَٰتِنَاۚ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab). Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh setan sampai dia tergoda. Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka permisalan dirinya seperti anjing, bila engkau menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan bila engkau membiarkannya, anjing itu tetap menjulurkan lidahnya. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 175—176)
وَلَقَدۡ ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ ١٧٩
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami. Dan mereka memiliki mata namun tidak dipergunakannya untuk melihat. Dan mereka punya telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak bahkan mereka lebih bodoh lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179)
أَمۡ تَحۡسَبُ أَنَّ أَكۡثَرَهُمۡ يَسۡمَعُونَ أَوۡ يَعۡقِلُونَۚ إِنۡ هُمۡ إِلَّا كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّ سَبِيلًا ٤٤
“Apakah engkau (Muhammad) mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat jalannya daripada binatang ternak itu.” (Al-Furqan: 44)
Kita katakan, orang-orang yang mengingkari perkara ini adalah orang yang tidak paham sama sekali apa yang dia baca di dalam al-Qur’an yang dia baca setiap harinya dan di dalam hadits-hadits yang sahih atau memang dia tidak pernah membacanya sehingga dengan kejahilannya menjadikannya jahil murakkab? Wallahul musta’an.
Para imam al-jarh wat-ta’dil tidak hanya memberikan jarh kepada ahlul bid’ah namun mereka juga menjaga agama ini dengan menjaga hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemalsuan dan kedustaan, membicarakan perawi-perawi hadits dan menjelaskan keadaan mereka, sehingga bila perawi itu lemah lebihlebih seorang pendusta, maka mereka membicarakannya, mengkritiknya dan menolak haditsnya.
Namun apabila dipelajari dan diteliti, para perawi keadaannya tidak demikian, bahkan merupakan rawi yang pantas diterima periwayatannya, maka diterima haditsnya dan periwayatannya.
Al-Hakim rahimahullah berkata, “Mazhabnya jelek, mungkarul hadits.” (al-Madkhal, 1/174)
Beliau berkata pula tentang al-Hasan ibnu Dzakwan, “Hadits-haditsnya batil.” (Bahrud Dam hlm. 114)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Satu kelompok dari Khawarij yang dinisbatkan kepada Nafi’ bin al-Azraq, salah seorang tokoh Khawarij.
[2] Zaman terputusnya wahyu dan tidak adanya rasul yang diutus di tengah umat.
[3] Kiamat tidak akan ditimpakan kecuali pada sejelek-jelek makhluk. Adapun orang yang memiliki iman semuanya telah meninggal ketika mencium angin sewangi misik yang berembus menjelang datangnya hari kiamat (Fathul Bari, 1/206).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ شِرَارِ النَّاسِ مَنْ تُدْرِكُهُم السَّاعَةُ وَهُمْ أَحْيَاءُ
“Termasuk sejelek-jelek manusia adalah orang yang hari kiamat menemui mereka dalam keadaan mereka masih hidup.” (HR. al-Bukhari no. 7067)
Dalam riwayat Muslim (no. 2949) disebutkan dengan lafadz,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ إلاَّ عَلىَ شِرَارِ النَّاسِ
“Tidak akan datang hari kiamat kecuali (menimpa) atas sejelek-sejelek manusia.”
[4] Sebagian umat ini akan tetap di atas al-haq selama-lamanya (Fathul Bari, 1/206)
[5] Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Imam-imam Islam seperti Ibnul Mubarak, Yazid bin Harun, Ibnul Madini, Ahmad bin Hambal, al-Bukhari, dan para imam yang lain di antaranya al-Khathib al- Baghdadi, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Rajab telah menafsirkan al-Firqatun Najiyah dan ath-Thaifah al-Manshurah ini adalah ahlul hadits dan orang yang bermazhab ahlul hadits.” (Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawa’if, hlm. 18)
[6] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَفَرَّقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتْ أُمَّتِي عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً
“Yahudi akan terpecah menjadi 71 atau 72 golongan dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, dinyatakan hasan sanadnya oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij as-Sunnah, hlm. 50)
[7] Dan kami tambahkan ulama ahlul hadits dan para imam al-jarh wat-ta’dil pada zaman ini baik itu yang masih hidup –mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala mengokohkan mereka dan diberikan umur yang panjang di dalam pembelaan agama-Nya– ataupun yang telah Allah subhanahu wa ta’ala panggil di sisi-Nya, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati mereka semuanya dengan rahmat-Nya yang lapang– sesuai yang kami ketahui dan penyebutan kami di sini bukan sebagai pembatasan, di antaranya: Asy-Syaikh al-Muhaddits Abdurahman al-Mu’allimi al-Yamani, asy-Syaikh al-Muhaddits Ahmad Syakir, Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh, al-‘Allamatusy Syaikh Abdullah Ibnu Humaid, asy Syaikh al-Muhaddits wal Mufassir Muhammad Amin asy-Syinqithi, asy-Syaikh al-‘Allamatu Abdurrahman as-Sa’di, Syaikhul Islam Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, asy-Syaikh Imamul Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani, asy-Syaikh al-Mujahid as-Salafi Hamud Tuwaijiri, ‘Allamatud Dunya asy-Syaikh Muhammad bin Saleh al-Utsaimin, al-‘Allamatusy Syaikh Muhammad Aman al-Jami, Guru kami al-Muhaddits Imam Ahlis Sunnah fil Yaman asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, al-‘Allamah Shahibul Manhaj asy-Syaikh Saleh al-Fauzan, asy-Syaikh al-Muhadditsul Faqih Ahmad bin Yahya an-Najmi, al-‘Allamah asy-Syaikh al-Mujahid Zaid bin Muhammad al-Madkhali, Imam al-jarh wat-ta’dil Syaikhul Muhaddits Rabi’ Ibnu Hadi al-Madkhali, al-‘Allamah asy-Syaikh al-Muhaddits Abdul Muhsin al-‘Abbad, Mufti Mamlakah as-Su’udiyah ‘Allamatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alusy Syaikh, al-Ma’ali al-‘Allamah asy-Syaikh Saleh bin Abdul Aziz Alusy Syaikh, Shahibul Manhajis Salim al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri, dan ulama ahlil hadits lainnya.