Allah Subhanahu wata’ala adalah satu-satunya sesembahan kita yang berhak menerima berbagai peribadahan. Dia Subhanahu wata’ala adalah Zat yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, sehingga semua perbuatan-Nya senantiasa mengandung hikmah dan keadilan.
Di antara bukti yang menunjukkannya, Allah Subhanahu wata’ala menjadikan dunia yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan bagi seluruh hamba-Nya. Siapa di antara mereka yang taat dan siapa yang bermaksiat; siapa di antara mereka yang berhak mendapatkan rahmat-Nya dan siapa yang berhak mendapatkan kemurkaan-Nya. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan hal itu di dalam firman-Nya,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (al-Mulk: 2)
Allah Subhanahu wata’ala menjadikan sebagian kita sebagai ujian dan cobaan bagi sebagian yang lainnya, sebagaimana firman-Nya,
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami jadikan sebagiankamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha Melihat.” (al-Furqan: 20)
Termasuk ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu wata’ala yang diberitakan dalam ayat ini adalah para penguasa bagi rakyatnya. Tujuannya, menurut Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya, adalah “maukah kalian bersabar, sehingga kalian menegakkan kewajiban-kewajiban, yang dengan sebab itu Allah Subhanahu wata’ala akan memberi pahala, ataukah kalian justru tidak mau bersabar hingga mengakibatkan kalian mendapat siksa?”
Di antara kewajiban kaum muslimin terhadap para penguasanya berdasarkan syariat Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya adalah sebagai berikut.
Mencintai Mereka Karena Allah Subhanahu wata’ala
Allah Subhanahu wata’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk mencintai mereka karena-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan bahwa di antara sifat pemimpin yang baik adalah dicintai oleh rakyatnya, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
>خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَ يُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَ شِرَا رُ أَ ئِمَّتِكُمْ الَّذِ يْنَ تُبْغِضُو نَهُمْ وَ يُبْغِضُو نَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ : لَا ، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah para pemimpin yang kalian cintai dan yang mencintai kalian, mereka mendoakan kebaikan bagi kalian dan kalian mendoakan kebaikan bagi mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah para pemimpin yang kalian benci dan yang membenci kalian, kalian melaknati (mendoakan keburukan) bagi mereka dan mereka melaknati kalian.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,“Tidak, selama mereka menegakkan shalat di antara kalian.” (HR. Muslim dari Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
>Oleh karena itu, hendaknya kaum muslimin secara umum dan para dai secara khusus menebarkan dan menguatkan kecintaan mereka terhadap para penguasa karena Allah Subhanahu wata’ala, seperti kata al-‘Allamah Ibnu Jama’ah al-Kinani rahimahullah, “Di antara sepuluh hak penguasa adalah kembalinya hati yang sempat membencinya dan terkumpulnya kecintaan rakyat kepadanya. Sebab, kedua hal ini mengandung kemaslahatan dan kebaikan bagi umat, serta akan menjadikan teraturnya urusan agama.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 55)
Kecintaan kaum muslimin terhadap para penguasa karena Allah Subhanahu wata’ala akan terealisasi dengan :
Al-‘Allamah Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata, “Di antara hak-hak penguasa atas rakyatnya adalah memikul tanggung jawabnya terhadap umat dan menolongnya sesuai dengan kemampuannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
تَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan, janganlah tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
Yang paling berhak untuk dibantu dalam urusan tersebut adalah para penguasa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 55)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seluruh anak Adam, kepentingan-kepentingan mereka, baik yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat, tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan bersatu, saling membantu, dan juga saling menolong. Mereka saling membantu dalam upaya meraih hal yang bermanfaat bagi mereka dan saling menolong dalam upaya menepis berbagai macam perkara yang akan membahayakan mereka. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa manusia memiliki tabiat-tabiat yang berdekatan (antara satu dengan lainnya).
Apabila mereka berkumpul, pasti mereka memiliki kepentingan bersama yang harus mereka tunaikan untuk meraih hal yang bermanfaat bagi mereka dan juga memiliki urusan yang harus mereka hindari, karena perkara itu merugikan mereka sehingga mereka harus menaati pemimpinnya agar tercapai tujuannya.” (al-Hisbah, hlm. 2)
Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kedua nabi-Nya, Musa dan Harun ‘alaihimas salam untuk mendakwahi Fir’aun la’natullah dalam firman-Nya,
اذْهَبْ أَنتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي () اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ () فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku. Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 42-44)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam Tafsir-nya, “Ayat ini mengandung pelajaran yang agung. Fir’aun la’natullah berada pada puncak kezaliman dan kesombongan, sedangkan Musa ‘alaihis sallam adalah pilihan Allah Subhanahu wata’ala di antara para hamba-Nya. Meskipun demikian, Allah Subhanahu wata’ala memerintah Nabi-Nya untuk tidak berbicara dengan Fir’aun kecuali dengan lemah lembut sebagaimana yang dikatakan oleh Yazid ar-Raqasyi tatkala menjelaskan ayat tersebut.
Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah mengatakan, terdapat larangan mencela para penguasa secara khusus karena akan menyulut api fitnah dan membuka pintu kerusakan terhadap umat.
Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah berkata, “Senantiasa umat manusia berada dalam kebaikan selama mereka memuliakan sulthan (pemimpinnya) dan para ulama. Karena apabila mereka memuliakan keduanya, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan memperbaiki urusan dunia dan akhiratnya. Apabila mereka melecehkan keduanya, niscaya mereka akan mendatangkan kerusakan urusan dunia dan akhiratnya.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/260)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Untuk Allah Subhanahu wata’ala, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin seluruhnya.” (HR. Muslim dari Tamim ad-Dari)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Perbuatan menyebarkan kekurangan/aib para penguasa dan menyebutkannya melalui mimbar tidak termasuk manhaj salaf. Sebab, hal itu akan menimbulkan kekacauan, ketidaktaatan masyarakat dalam urusan yang baik serta pembicaraan yang membahayakan dan tidak ada manfaatnya (bagi mereka).”
Akan tetapi, cara yang tepat menurut salaf adalah menasihatinya dengan sembunyi-sembunyi (rahasia), dengan surat, atau dengan menghubungi para ulama yang akan mengarahkan mereka kepada kebaikan. Mengingkari kemungkaran seperti mengingkari zina, minum khamr, atau riba tanpa menyebutkan pelakunya. Cukup mengingkari macam-macam kemaksiatan dan memperingatkan umat darinya tanpa menyebutkan pelakunya, baik pelakunya dari kalangan penguasa atau selainnya.
Setelah mereka (ahlul fitnah) berhasil membuka pintu kejelekan itu pada zaman ‘Utsman dan mereka mengingkari ‘Utsman dengan terang-terangan. Lengkaplah fitnah, peperangan, dan kerusakan yang tidak akan berhenti karena dampak jelek yang ditimbulkannya sampai hari ini, sehingga muncullah fitnah antara Ali dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhuma, terbunuhnya ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma karenanya, serta terbunuhnya sekian banyak para sahabat radhiyallahu ‘anhum dengan sebab mengingkari kemungkaran dan membeberkan kekurangan dengan terangterangan.
Pada akhirnya, orang yang paling mereka benci adalah pemimpin mereka dan pada puncaknya mereka membunuh pemimpin itu. (Huququ ar-Ra’i wa ar-Ra’iyah karya Ibnu‘Utsaimin, hlm. 27-28)
Mendengar dan Taat dalam Perkara yang Bukan Maksiat
Mendengar dan taat terhadap para penguasa kaum muslimin dalam perkara yang bukan maksiat adalah perkara yang telah disepakati kewajibannya menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ini adalah salah satu prinsip yang membedakan mereka dengan ahlul bid’ah. Hampir tidak ada sebuah tulisan dalam permasalahan akidah Ahlus Sunnah kecuali di dalamnya dibahas dengan jelas tentang wajibnya mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun mereka sewenang-wenang, zalim, fasik, dan jahat. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 59)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
“Wahai orang-orang yangberiman, taatilah Allah, rasul, dan pemimpin kalian.” (an-Nisa’: 59)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada pemimpinnya) baik pada perkara yang disenangi maupun yang dibenci, kecuali kalau dia diperintah untuk berbuat maksiat. Apabila dia diperintah untuk berbuat maksiat, tidak boleh mendengar dan taat (pada perkara itu).” (Muttafaqun alaih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Dari ‘Alqamah bin Wa’il al-Hadhrami, dari ayahnya, beliau berkata, “Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Wahai Nabi Allah! Apa pendapatmu apabila yang memimpin kami adalah para penguasa yang meminta kami memenuhi hak mereka, tetapi mereka menghalangi hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling darinya, kemudian berulang dua atau tiga kali, sehingga al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu menariknya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,‘Dengar dan taatilah, hanyalah dibebankan kepada mereka segala sesuatu yang wajib mereka tunaikan dan kepada kalian segala sesuatu yang wajib kalian tunaikan’.” (HR. Muslim)
Maknanya, Allah Subhanahu wata’ala telah membebankan dan mewajibkan para penguasa untuk berbuat adil terhadap rakyatnya. Apabila mereka tidak melaksanakannya, maka mereka berdosa. Demikian pula Allah ‘azza wa jalla telah mewajibkan kepada rakyat untuk mendengar dan taat kepada mereka. Apabila mereka telah menunaikan kewajiban itu, maka mereka akan mendapatkan pahala. Kalau tidak melaksanakannya, maka mereka berdosa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 66)
Adapun perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak boleh mendengar dan taat” bermakna pada perkara yang diperintahkan dan perbuatan maksiat saja. Apabila dia memerintahkan untuk menjalankan perekonomian dengan cara riba, agar membunuh seorang muslim tanpa alasan yang benar, atau semisalnya, maka harus mendurhakai perintah tersebut dan tidak boleh melaksanakannya.
Tidak boleh pula hadits itu dipahami bahwa jika seorang pemimpin memerintahkan perbuatan maksiat berarti tidak boleh ditaati secara mutlak pada seluruh perintahnya, tetap wajib untuk didengar dan ditaati, selain dalam urusan maksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat. (Tahdzibur Riyasah, hlm. 113-114)
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Para penguasa, walaupun binatang tunggangan itu bisa menari-nari dengan mereka dan rakyat berjalan di belakang mereka karena kemaksiatan itu dianggap ringan di dalam hati mereka, syariat tetap mengharuskan kita untuk menaatinya dan melarang kita untuk memberontaknya. Kita diperintahkan untuk menepis kejahatan mereka dengan tobat dan doa. Barang siapa yang menginginkan kebaikan, maka harus berpegang teguh dengan kebenaran dan mengamalkannya serta tidak menyelisihinya.” (Adab alhasanal-Bashri li Ibnil Jauzi, hlm. 121)
Sabar Menghadapi Kesewenangwenangan Mereka
Allah Subhanahu wata’ala dengan keadilan yang sempurna telah menakdirkan bahwa kemaksiatan dan kedurhakaan terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya adalah sumber kerusakan dan kehancuran di dunia serta kerugian dan kecelakaan di akhirat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
Dengan ayat ini kita yakin bahwa berbagai kezaliman dan kesewenangwenangan yang dilakukan oleh sebagian para penguasa itu semuanya terjadi dengan sebab dosa dan kesalahan kita.
Sungguh, al-Hasan al-Bashri menceritakan bahwa Malik bin Dinar memberitakan bahwa al-Hajjaj berkata, “Ketahuilah, tatkala kalian melakukan suatu dosa yang baru, Allah Subhanahu wata’ala akan mengadakan perkara yang baru pula pada penguasa sebagai balasan.” Sungguh telah sampai berita kepadaku bahwa ada seorang yang berkata kepada al-Hajjaj, ‘Sungguh engkau telah melakukan perbuatan demikian dan demikian kepada umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,’ lantas dia menjawab, ‘Tentu, hanya saja aku adalah balasan bagi penduduk Irak tatkala mereka mengada-adakan perkara yang baru dalam agama mereka dan meninggalkan sebagian syariat yang dibawa oleh Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wasallam.’
Beliau rahimahullah juga berkata, ‘Sungguh telah sampai kepadaku berita bahwa ada seorang yang menulis surat kepada sebagian orang-orang saleh mengadukan tentang kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat negara.’ Kemudian dia menjawab, ‘Wahai saudaraku, telah sampai suratmu kepadaku yang kamu sebutkan tentang kesewenang-wenangan yang menimpamu dan sebagian aparat negara. Sudah sepantasnya orang yang telah melakukan suatu perbuatan maksiat kemudian mengingkari balasan/hukumannya dan tidaklah aku meyakini tentang perkara yang menimpamu itu kecuali kejelekan yang ditimbulkan oleh dosa-dosa. Wassalam’.”(Adab al-Hasan al-Bashri li Ibnil Jauzi, hlm. 119—120)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kesewenang-wenangan dan kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa, yang bersumber dari takwil -yang dibolehkan ataupun yang tidak- tidak boleh (menjadi alasan) untuk mengadakan kudeta, karena sikap ini termasuk kezaliman dan kesewenangwenangan.
Seperti kebiasaan yang dilakukan oleh mayoritas jiwa -berusaha menghilangkan keburukan dengan cara yang lebih buruk dan berusaha menghilangkan permusuhan dengan cara permusuhan yang lebih buruk- memberontak kepada penguasa akan menimbulkan kezaliman dan kerusakan yang lebih besar daripada kezaliman yang mereka lakukan.
Sikapilah dengan sabar, sebagaimana harus sabar tatkala memerintahkan perkara yang ma’ruf dan melarang yang mungkar atas kezaliman yang dilakukan oleh orang diperintah dan dilarang pada banyak tempat, seperti pada ayat al-Qur’an. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpakamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17)
Perintahkan yang ma’ruf dan laranglah yang mungkar, sabarlah atas segala sesuatu yang menimpamu. (Majmu’ Fatawa, 28/179)
Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan nikmat yang dilimpahkan kepada bani Israil dengan sebab kesabaran mereka menghadapi Fir’aun dan tentaranya dengan bimbingan Nabi Musa ‘alaihis sallam,
وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا ۖ وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَىٰ عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا ۖ وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Rabbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.” (al-Araf: 137)
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala senantiasa melimpahkan hidayah taufik-Nya kepada kaum muslimin semuanya, sehingga termasuk orang-orang yang sabar. Amin.
Doa yang Mulia bagi Penguasa
Kebaikan dan keadilan para penguasa adalah harapan setiap muslim yang cemburu terhadap agamanya. Sebab, kebaikan dan keadilan mereka berarti kebaikan bagi para hamba dan negerinegerinya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala menjelang meninggalnya beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ketahuilah, bahwa umat manusia itu akan senantiasa berada dalam kebaikan selama para penguasa dan para pemberi petunjuknya (ulama) istiqamah memerhatikan mereka.”
Atsar di atas diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam Sunan-nya kitab Ahlul Baqi pada bab “Fadhlul Imamul ‘Adil” dengan sanad yang sahih.
Di dalam Sunan itu pula, ada atsar dari al-Qasim bin Mukhaimirah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kebaikan dan kerusakan zaman kalian tergantung pada penguasa kalian. Apabila penguasa kalian baik, akan baik zaman kalian. Apabila penguasa kalian rusak, rusak pula zaman kalian.”
Kebaikan para penguasa itu kembali kepada Allah Subhanahu wata’ala semata. Allah Subhanahu wata’ala yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. Maka dari itu, setiap mukmin yang beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan hari akhir wajib mendoakan kebaikan bagi para penguasa agar mendapatkan hidayah, taat kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan berjalan di jalan yang diridhai, karena manfaatnya akan kembali kepada seluruh orang yang beriman di dunia dan di akhirat. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 131)
Beliau rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya saya mendoakan kebaikan bagi pemimpin itu agar senantiasa lurus, mendapatkan hidayah, taufik, dan pertolongan pada waktu malam dan siang. Aku berkeyakinan hal itu wajib bagiku.” (as-Sunnah lil Khallal, 14)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Kalau saja aku memiliki satu doa yang mustajab, maka aku tidak akan panjatkan kecuali untuk kebaikan imam (pemimpin).”
Beliau rahimahullah ditanya, “Bagaimana hal itu, wahai Abu Ali?” Beliau rahimahullah menjawab, “Apabila aku panjatkan doa itu untuk diriku, kebaikannya hanya untukku. Namun, apabila aku panjatkan doa itu untuk kebaikan imam, kebaikan imam akan mengakibatkan kebaikan hamba dan negara.” (Hilyatul Auliya’, 8/91)
Setelah meriwayatkan hadits Tamim ad-Dari radhiyallahu ‘anhu yang marfu’, “Agama itu nasihat,” Abu ‘Utsman Sa’id bin Ismail rahimahullah berkata, “Nasihatilah penguasa, perbanyaklah doa kebaikan, dan bimbingan dalam ucapan, perbuatan, dan keputusan hukum baginya. Sebab, apabila mereka baik, menjadi baiklah hamba-hamba dengan sebab kebaikan mereka. Takutlah kamu untuk mendoakan kejelekan bagi mereka dengan laknat. Itu hanya akan menambah kejelekan dan musibah bagi kaum muslimin. Akan tetapi, doakan kebaikan bagi mereka, agar bertobat sehingga mereka akan meninggalkan keburukan. Akhirnya, terangkatlah musibah itu dari kaum muslimin.” (Riwayat al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, 13/99)
Perhatian ulama terhadap masalah ini terbukti dengan :
1. Memasukkan anjuran doa kebaikan bagi para penguasa dalam kitab-kitab akidah salaf yang ringkas, seorang muslim dituntut untuk meyakininya. Sebab, hal itu dibangun di atas hujah-hujah yang syar’i dari al-Kitab, as-Sunnah, dan ijma’ para imam muslimin.
2. Sebagian ulama menulis dalam kitab khusus membahas hal itu, seperti al-Imam al-‘Allamah Yahya bin Manshur al-Harrani al-Hanbali, yang terkenal dengan sebutan Ibnul Hubasyi rahimahullah, mengarang kitab yang berjudul “Da’aimul Islam fi Wujubi ad-Du’ailil Imam”.
3. Sebagian ulama ahli tahqiq menjadikan doa kebaikan bagi para penguasa sebagai salah satu ciri seorang sunni salafi. Sebaliknya, mendoakan keburukan atas nama para penguasa menjadi salah satu ciri ahlul bid’ah yang sesat.
Al-Imam al-Barbahari rahimahullah di dalam kitab SyarhusSunnah berkata,“Apabila engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan bagi penguasa, ketahuilah bahwa dia pengekor hawa nafsu. Apabila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasa, ketahuilah bahwa dia pengikut sunnah, insya Allah.” Wallahu a’lam.
Oleh : al Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan