Seorang teman memiliki pengaruh yang sangat besar bagi agama seseorang. Lihatlah Abu Thalib yang enggan menerima dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan akhirnya mati di atas kesyirikan. Hal itu disebabkan teman yang mendampinginya, yakni Abu Jahal yang terus memengaruhinya agar tidak menerima dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Musayib radhiallahu anhu bercerita,
“Ketika sakaratul maut menghampiri Abu Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang dalam keadaan di sisi Abu Thalib ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, ‘Wahai paman, ucapkanlah ‘Laa ilaha illallah’, satu kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah.’
Keduanya berkata, ‘Apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?’
Nabi shallallahu alaihi wa sallam terus mengulang ucapannya. Akan tetapi, keduanya juga mengulang ucapan mereka. Jadilah akhir kehidupan Abu Thalib adalah di atas agama Abdul Muththalib (yakni di atas kesyirikan).” (HR. al-Bukhari no. 4772 dan Muslim no. 24)
Baca juga:
Ketahuilah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Anda….
Tidak semua orang bisa dijadikan sahabat. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu berada di atas agama (perangai) temannya. Maka dari itu, hendaklah seseorang memperhatikan siapa yang ia jadikan sebagai teman dekatnya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud; dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 127)
Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِناً، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ
“Janganlah kamu berteman kecuali dengan seorang mukmin; dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Abu Dawud no. 4832, dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 7341)
Sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Permisalan antara teman yang baik dan teman yang jelek, bagaikan penjual misik dan pandai besi. Adapun penjual misik, bisa jadi engkau akan diberi olehnya, membeli darinya, atau minimalnya engkau akan mencium bau wangi darinya. Adapun pandai besi, bisa jadi pakaianmu akan terbakar atau engkau akan mencium bau tidak sedap darinya.” (HR. al-Bukhari no. 5534 dan Muslim no. 2628)
Baca juga:
Seseorang yang akan dijadikan sebagai teman hendaknya memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan oleh para ulama, di antaranya:
Ini adalah modal utama dalam persahabatan, setelah iman. Tidak ada kebaikan ketika berteman dengan orang yang dungu. Sebab, bisa jadi dia ingin berbuat baik kepadamu, tetapi hal tersebut justru bermudarat bagimu.
Yang dimaksud berakal di sini adalah mampu memahami keadaan yang sebenarnya, baik memahaminya sendiri maupun memahami ketika diberi pengertian.
Betapa banyak orang yang berakal, tetapi ketika sedang marah atau dikuasai syahwat, dia akan mengikuti hawa nafsunya. Oleh karena itu, tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang seperti ini.
Lantas, bagaimana cara mengetahui akhlak seseorang? Ada beberapa cara untuk mengetahui akhlak seseorang, di antaranya:
الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu berada di atas agama (perangai) temannya. Maka dari itu, hendaknya seseorang memperhatikan siapa yang dia jadikan sebagai teman dekatnya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 127)
Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata, “Nilailah (kenalilah) manusia dengan menilai (mengenal) teman-temannya.”
Baca juga:
Pepatah Arab menyatakan, “Katakan kepadaku siapa temanmu, maka aku akan sampaikan siapa sebenarnya kamu.”
Sebagian ahli hikmah berkata, “Kenali temanmu dengan mengenali temannya sebelummu.”
Perjalanan jauh disebut safar (yang dalam bahasa Arab bermakna ‘menyingkap’) karena akan menyingkap hakikat jati diri seseorang. Dalam safar, akan terlihat banyak akhlak dan tabiatnya. Oleh karena itu, orang Arab menyatakan, “Safar adalah mizan (timbangan) bagi satu kaum.”
Seorang yang fasik tidak akan merasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Seseorang yang tidak takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak bisa dipercaya. Selain itu, kita tidak akan merasa aman dari pengkhianatannya.
Sebab, dikhawatirkan dia akan menebarkan kebid’ahannya kepada orang lain.
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Tidak mungkin seorang Ahlus Sunnah berteman (condong) dengan ahlul bid’ah, kecuali karena adanya kemunafikan (dalam hatinya).”
Beliau rahimahullah berkata juga, “Hati-hatilah! Janganlah engkau duduk bersama orang yang akan merusak hatimu. Jangan pula engkau duduk bersama pengikut hawa nafsu karena aku khawatir murka Allah subhanahu wa ta’ala akan menimpamu.”
(Lihat Mukhtashar Minhajul Qasidhin, hlm. 99; Ni’matul Ukhuwwah, hlm. 19—25)
Baca juga: