Asysyariah
Asysyariah

thalut vs jalut

11 tahun yang lalu
baca 17 menit
Thalut VS Jalut

Berbagai kenikmatan telah banyak dirasakan oleh bani Israil, sehingga sudah sepatutnya mereka bersyukur kepada Sang Pemberi Kenikmatan tersebut, yaitu Allah Subhanahu wata’ala. Ketika di Padang Tih, Allah Subhanahu wata’ala menurunkan kepada mereka Manna dan Salwa. Saat-saat mereka kehausan, lalu meminta Nabi Musa berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar memberi mereka minum.Allah Subhanahu wata’ala memerintah beliau memukulkan tongkatnya ke sebuah batu hingga memancarlah 12 lubang air untuk minum dua belas suku bani Israil. Kenikmatan lain yang tak kalah pentingnya, bahkan sangat mulia, yaitu diutusnya para nabi serta dibangkitkannya para raja yang memimpin dan membimbing mereka. Setiap kali seorang nabi meninggal dunia, datanglah nabi yang lain.

Begitu seterusnya selama berabadabad. Semakin lama waktu berjalan, sejak wafatnya Nabiyullah Musa ‘Alaihissalam, digantikan pula oleh Nabi Yusya’ bin Nun yang memimpin bani Israil. Beliau pun wafat dan digantikan oleh nabi lainnya. Keadaan bani Israil semakin lemah. Pada zaman itu ada dua asbath, yang satu melahirkan nabi-nabi, yaitu dari keturunan Lewi, sedangkan yang lain menurunkan para raja, yaitu keturunan Yahuda. Akan tetapi, yang menunjuk dan menentukan raja mereka adalah wewenang para nabi, sehingga yang mengatur dan membimbing mereka sebetulnya adalah para nabi . Sepeninggal Nabi Yusya’, setelah kemenangan demi kemenangan Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada mereka, bani Israil mulai menelantarkan ajaran dan wasiat yang pernah diberikan oleh nabi mereka, Yusya’ bin Nun.

Bahkan, sebagian mereka mulai ada yang menyembah berhala. Para hakim tidak lagi mampu menerapkan ajaran Taurat dalam memutuskan persoalan bani Israil. Tidak pula ada seorang nabi yang mengajak mereka kepada yang ma’ruf dan melarang kemungkaran. Akhirnya, Allah Subhanahu wata’ala menghukum mereka dengan memberikan kekuasaan kepada bangsa lain untuk menjajah dan merampas kekayaan mereka di negeri mereka sendiri. Sebagian mereka diusir dari kampung halaman serta dipisahkan dari istri dan anak-anak mereka. Sebagian lagi ada yang dijadikan tawanan dan budak. Dalam sebuah peperangan, Tabut dan Taurat dirampas dari tangan mereka.

Akibatnya, mereka semakin jauh dari agama mereka. Tidak pula ada yang menghafalnya kecuali segelintir orang. Karena banyaknya yang dibunuh oleh penjajah, terputuslah kenabian dari mereka. Tidak ada lagi keturunan Lewi yang melahirkan nabi-nabi, selain seorang wanita bernama Hubla. Begitu pula keturunan Yahuda yang melahirkan raja-raja, banyak pula di antara mereka yang terbunuh. Semua itu adalah buah kedurhakaan mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala dan meninggalkan syariat-Nya. Allah Subhanahu wata’ala tidak menzalimi siapa pun di antara hamba-Nya. Dalam keadaan terjepit seperti itu, mulailah mereka sadar dan kembali kepada Allah l. Mereka berdoa agar Allah Subhanahu wata’ala mengutus seorang nabi di tengah-tengah mereka. Padahal, saat itu keturunan Lewi sudah hampir punah, tinggal seorang wanita bernama Hubla yang sedang mengandung.

Mulanya, wanita ini mandul, hingga dia hampir putus asa untuk memiliki anak dari suaminya. Sementara itu, sang suami mempunyai istri lain dan melahirkan sepuluh anak laki-laki untuk suaminya. Akan tetapi,wanita itu melampaui batas terhadapnya karena merasa lebih banyak anaknya. Hubla mengadu kepada Allah l atas kekurangannya dan memohon diberi karunia seorang anak. Allah Maha Mendengar, Dia mengabulkan permintaan wanita tersebut.

Hubla akhirnya mengandung dan beberapa bulan kemudian melahirkan seorang anak. Dia menamai anak tersebut Samual; Allah l mendengar doanya. Setelah anak itu semakin besar, dia diserahkan kepada orang-orang saleh di Baitil Maqdis. Di rumah suci itulah Samual dididik dengan ajaran Taurat. Setelah Samual dewasa, Allah Subhanahu wata’ala memilih dan mengutusnya sebagai nabi agar memberi peringatan kepada bani Israil. Mulanya, bani Israil mendustakan dan mengingkari kenabiannya, tetapi kemudian mereka mengakui juga nubuwah Samual. Pada masa-masa itu, kekuasaan ‘Amaliqah (asal-usul penduduk Mesir) semakin kuat di bawah pimpinan raja mereka, Jalut (Goliat) yang berasal dari keturunan Kan’an. Seakan-akan tanpa perlawanan, mereka merajalela membantai dan menindas bani Israil.

Para pemuka bani Israil sudah tidak mampu menahan penderitaan dan kehinaan tersebut, maka mereka datang kepada Nabi Samual ‘Alaihissalam meminta beliau mengangkat seorang raja untuk mereka. Demikianlah kisahnya yang dipaparkan oleh sebagian ahli sejarah yang menukil dari cerita Israiliyat. Kisah mereka diceritakan pula di dalam al-Qur’anul Karim. Allah Subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya),

Apakah kamu tidak memerhatikan pemuka-pemuka bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab, “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.” Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?” Tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.

Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi raja kalian.”Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya, sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja ialah kembalinya tabut kepada kalian, di dalamnya terdapat ketenangan dari Rabbmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.” (al-Baqarah: 246—248)

Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wata’ala mengisahkan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang para pemuka bani Israil yang menemui nabi mereka saat itu, yaitu Samual ‘Alaihaissalam, lalu berkata kepadanya, “Tunjuklah seorang raja untuk kamiagar kami berperang di jalan Allah Subhanahu wata’ala bersamanya.”

Akan tetapi, karena sudah memahami watak bani Israil itu, Nabi Samual berkata (sebagaimana dalam ayat),

هَلْ عَسَيْتُمْ إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا

“Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.”

Seakan – akan Nabi Samual  meragukan, jangan-jangan kalau Allah Subhanahu wata’ala memilihkan seorang raja untuk mereka, mereka justru tidak menepati janji untuk berperang bersama raja tersebut. Jadi, beliau menawarkan kepada mereka agar mereka selamat. Akan tetapi, mereka tidak mau menerimanya, bahkan tetap berpegang kepada tekad dan niat mereka. Mendengar jawaban Nabi Samual ‘Alaihissalam ini, mereka berkata (sebagaimana dalam ayat),

“Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?” 

Seolah-olah mereka hendak mengatakan, “Apakah yang menghalangi kami berperang, sementara kami terpaksa memilihnya. Kami diusir dari negeri kami sendiri dan anak-anak kami ditawan.Itulah yang mendorong kami berperang walaupun tidak diwajibkan atas kami.”Ketika niat mereka ternyata bukan niat yang baik, tawakal mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala pun lemah. Tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling. Mereka takut memerangi musuh, tidak sanggup melawan, dan tekad mereka luntur. Bahkan, sebagian besar mereka dikuasai oleh sikap lemah dan pengecut, hingga meninggalkan perintah Allah Subhanahu wata’ala.

Akan tetapi, beberapa gelintir orang di antara mereka dilindungi oleh Allah Subhanahu wata’ala dan diteguhkan serta dikuatkan hati mereka, sehingga tetap menjalankan perintah Allah Subhanahu wata’ala dan mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuh-Nya. Mendengar tuntutan dan jawaban mereka, Nabi Samual berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala telah mengangkat Thalut menjadi raja kalian.” Para pembesar itu terkejut, bagaimana mungkin Thalut (dalam bahasa Suryani; Saul) menjadi raja bani Israil? Kata mereka kepada nabi mereka, “Bagaimana Thalut memerintah kami?Kami berasal dari keturunan Yahuda yang  melahirkan raja-raja, dan kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya. Dia juga miskin, tidak diberi kekayaan yang banyak untuk mendukung kekuasaannya.”

Demikianlah menurut mereka, sebuah kerajaan atau kekuasaan harus dipegangoleh orang yang mempunyai nasab mulia dan banyak hartanya. Nabi Samual ‘Alaihaissalam berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala telah memilihnya menjadi raja kalian, sehingga kalian wajib tunduk kepada keputusan tersebut. Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala menganugerahinya kelebihan di atas kalian berupa ilmu dan fisik, yaitu kekuatan akal pikiran dan jasmani. Dengan kedua hal inilah urusan sebuah kerajaan dapat terlaksana secara sempurna.”

Sebab itu, seandainya seorang raja hanya kuat fisiknya, tetapi lemah akalnya, tentu di kerajaannya akan terjadi kerusakan, kekalahan dan penyimpangan terhadap syariat; dia memiliki kekuatan, tetapi tidak memiliki hikmah kebijaksanaan. Selain itu, seandainya seorang raja hanya mempunyai ilmu pengetahuan tentang berbagai masalah, tetapi tidak mempunyai kekuatan untuk menerapkannya, niscaya buah pikiran itu juga tidak berguna dan tidak dapat dilaksanakan.

Allah Subhanahu wata’ala menyerahkan kerajaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, sehingga tidak perlu mengingkari kekuasaan Thalut, meskipun dia bukan keturunan Yahuda ataupun Lewi. Selain itu, kerajaan itu sebetulnya bukan warisan, melainkan di tangan Allah Subhanahu wata’ala yang Dia berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Mahaluas karunia-Nya, sangat banyak sifat pemurah-Nya, tidak mengkhususkan rahmat dan kebaikan-Nya untuk orang tertentu, baik yang tinggi kedudukannya maupun yang rendah, tetapi Dia juga Maha Mengetahui siapa yang berhak menerima keutamaan lalu Dia melipatgandakannya. Dengan kalimat ini, keraguan yang tadi muncul, sirna dari hati mereka.

Sebab, keterangan Nabi Samual q ini menegaskan bahwa syarat untuk menjadi raja sudah lengkap pada diri Thalut. Allah Subhanahu wata’ala memberi karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya, tanpa ada  yang menolaknya, bahkan tidak ada pula yang menghalangi kebaikan-Nya. Jadi, kedudukan sebagai raja yang dipegang oleh Thalut adalah pemberian Allah Subhanahu wata’ala, dan tentu saja Dia Maha Mengetahui kemaslahatan hambahamba- Nya. Wallahu a’lam.

Kemudian, Nabi Samual menyebutkan tanda yang dapat mereka saksikan, yaitu datangnya tabut yang mereka cari cukup lama. Di dalam tabut itu terdapat sakinah yang menenangkan hati mereka dan menenteramkan pikiran mereka, serta sisa peninggalan keluarga Nabi Musa dan Harun e yang dibawa oleh malaikat.

Raja Thalut dan Pasukannya

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُم بِنَهَرٍ فَمَن شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَن لَّمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ ۚ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِّنْهُمْ ۚ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ ۚ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَاقُو اللَّهِ كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ () وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ () فَهَزَمُوهُم بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ () تِلْكَ آيَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ ۚ وَإِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ

Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orangorang yang telah minum berkata, “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Tatkala mereka tampak oleh Jalut dan tentaranya, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdoa, “Wahai Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orangorang kafir.” Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Dawud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Dawud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. Itu adalah ayat-ayat Allah. Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus.” (al-Baqarah: 249—252)

Setelah Thalut menjadi raja bani Israil, dan kekuasaannya semakin kuat, mereka bersiap-siap memerangi musuh mereka. Terkumpullah hampir delapan puluh ribu pasukan bani Israil. Ketika Thalut bertolak dengan pasukan bani Israil yang sangat besar, Allah Subhanahu wata’ala menguji mereka, agar jelas siapa yang kokoh dan tenang, siapa pula yang tidak, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala akan menguji kamu dengan suatu sungai, maka siapa di antara kamu meminum airnya, ia durhaka, sehingga janganlah dia mengikuti kami karena tidak ada kesabaran dan keteguhannya, karena kedurhakaannya. Dan siapa yang tidak meminum air itu, sesungguhnya dia pengikutku, kecuali menceduk dengan seceduk tangan, tidak ada dosa atasnya berbuat demikian. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala memberkahi lalu mencukupi.”

Ujian ini menampakkan hikmah Allah Subhanahu wata’ala memilih Thalut sebagai raja bani Israil. Allah Subhanahu wata’ala ingin menunjukkan kepada bani Israil bahwa Thalut memang ahli strategi perang. Beliau membawa pasukan yang sudah pernah kalah bahkan terjajah dalam sejarah peradaban mereka. Sekarang, dia mengerahkan mereka menghadapi tentara penjajah dengan kekuatan dan persenjataan lengkap. Sebab itu, tidak mungkin menghadapi tentara musuh kecuali dengan kekuatan yang melebihi lawan, dan itu hanya satu, yaitu kekuatan hati dan kemauan untuk menang. Kekuatan yang siap menundukkan keinginan syahwat dan mengalahkan desakan atau dorongan kebutuhan sesaat serta sanggup mengedepankan ketaatan terhadap pemimpin dalam semua keadaan.

Tidak ada gunanya kekuatan perlengkapan dan fisik sehebat apa pun, kalau yang memilikinya adalah orangorang yang bermental pengecut dan lemah. Lemah keinginan dan kemauannya untuk menang. Dalam ujian ini jelaslah bahwa mereka sedang kekurangan air, sehingga air yang segar itu sangat menggoda orang-orang yang kehausan. Pasir sahara yang panas, bekal yang sekadarnya, harus menghadapi musuh yang tak terkalahkan, benar-benar menambah berat ujian bani Israil ketika itu. Ujian itu menjadi saringan bagi bani Israil. Dari 80.000 prajurit, sebagian besar mereka melanggar, dan meminum air sungai sepuas-puasnya, padahal sudah dilarang. Akhirnya, mereka berbalik mundur, tidak jadi memerangi musuh mereka. Ketidaksabaran mereka menahan haus satu jam saja adalah bukti terbesar tidak adanya kesabaran mereka untuk berperang yang pasti memakan waktu lama dengan kesulitan lebih besar.

Mundurnya orang-orang tersebut dari pasukan induk, meningkatkan tawakal kepada Allah Subhanahu wata’ala, orang-orang yang tabah, semakin menambah sikap merendahkan diri, merasa hina, dan berlepas diri dari daya dan kekuatan mereka sendiri. Bahkan, berkurangnya jumlah mereka dan banyaknya musuh, semakin meningkatkan kesabaran mereka. Akan tetapi, ujian itu seakan belum berakhir. Orang-orang mukmin yang ikut bersama Thalut menyadari bahwa musuh yang akan mereka hadapi sebetulnya sangat kuat dan belum pernah kalah.

Mereka tidak melanggar janji mereka yang pernah terucap di hadapan Nabi mereka, bahwa mereka siap berperang. Akan tetapi kini, setelah menyadari bahwa musuh mereka memiliki kekuatan lebih besar dan hebat, mereka menyerah sebelum bertempur. Dari delapan puluh ribu pasukan itu, yang tersisa dan masih bertahan bersama Thalut ketika menyeberangi sungai itu, hanya sekitar 313 orang. Mereka inilah yang benar-benar memiliki kekuatan tawakal dan keimanan yang besar kepada Allah Subhanahu wata’ala

Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah Subhanahu wata’ala, yaitu orang-orang yang memiliki iman yang teguh dan keyakinan yang kuat, mereka meneguhkan yang lain, menenangkan pikiran mereka, dan memerintahkan agar bersabar, kata mereka (sebagaimana dalam ayat),

كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ

“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah,”

dengan keinginan dan kehendak-Nya. Dengan kata lain, urusan itu di Tangan Allah Subhanahu wata’ala. Orang yang mulia adalah yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wata’ala, dan orang yang hina adalah yang dihinakan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Karena itu, jumlah yang banyak tidaklah berguna sedikit pun bilam dihinakan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Sebaliknya, jumlah yang sedikit, tidak akan hancur atau kalah bila ditolong oleh Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala bersama orang-orang yang sabar. Dia menolong dan memberi taufik kepada mereka. Akan tetapi, sebab yang paling utama menyebabkan turunnya pertolongan Allah Subhanahu wata’ala  adalah kesabaran hamba itu sendiri.

Akhirnya, nasihat itu masuk ke dalam hati mereka dan memberi pengaruh yang sangat besar. Itulah sebabnya, ketika mereka menghadapi Jalut dan pasukannya, Thalut dan pasukannya berdoa,

“Wahai Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami.”

Maksudnya, peliharalah hati kami, curahkanlah kesabaran untuk kami, kokohkanlah kaki kami, agar tidak goncang dan melarikan diri, serta tolonglah kami menghadapi orangorang kafir. Dari doa ini pula kita mengetahui bahwa Jalut dan tentaranya adalah orang-orang kafir. Allah Subhanahu wata’ala mengabulkan doa orangorang beriman itu, karena mereka telah menjalankan sebab-sebabnya. Allah Subhanahu wata’ala menolong mereka mengalahkan orangorang kafir itu. Dawud A’laihaissalam yang ikut dalam pasukan Thalut adalah anak bungsu Isya yang semuanya dua belas orang. Tubuhnya kecil, belum tampak layak untuk bertempur seperti prajurit lainnya.

Akan tetapi, keimanan dan keberanian Dawud jauh melebihi manusia lain. Pada waktu kedua pasukan bertemu, seperti biasa, Jalut menantang duel satu lawan satu. Pasukan Thalut tidak ada yang berani menghadapinya, padahal ketika itu Thalut telah mengumumkan bahwa siapa yang dapat membunuh Jalut akan dinikahkannya dengan putrinya dan diberinya separuh kerajaan. Bukan itu yang dicari oleh Dawud ‘Alaihissalam melainkan ridha Allah Subhanahu wata’ala. Beliau meminta izin untuk maju, tetapi dicegah oleh Thalut. Akhirnya Dawud ‘Alaihissalam maju sendiri dan menyambut tantangan Jalut dan membunuh raja kafir itu dengan keberanian, kekuatan, dan kesabarannya. Thalut dan tentaranya dimenangkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.

Mereka kembali ke negeri mereka dan Thalut menepati janjinya, menikahkan Dawud dengan putrinya dan membagi dua kerajaan bani Israil. Kemudian, Allah Subhanahu wata’ala memberi karunia kepada Dawud untuk menguasai bani Israil dengan hikmah, yaitu nubuwah yang meliputi syariat yang mulia dan jalan yang lurus. Setelah Allah Subhanahu wata’ala menolong mereka, tenanglah mereka di negeri-negeri mereka menyembah Allah Subhanahu wata’ala dalam keadaan aman sentosa, karena musuh mereka menjadi hina dan mereka pun berkuasa di muka bumi. Wallahu a’lam.

Beberapa Faedah

Allah Subhanahu wata’ala menggabungkan antara kerajaan dan kenabian untuk Nabi Dawud. Padahal, sebelum beliau, sudah ada nabi tetapi yang menjadi raja adalah orang lain. Sebagaimana disebutkan, bahwa asbath di kalangan bani Israil terbagi dua, yang satu menurunkan raja-raja, yang lain melahirkan para nabi. Kisah ini adalah salah satu bukti kebenaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Andaikata bukan berita yang disampaikan Allah Subhanahu wata’ala kepada beliau, tentulah beliau tidak mempunyai ilmu tentang peristiwa itu. Bahkan, tidak ada seorang pun di antara kaumnya yang mempunyai pengetahuan tentang hal ini. Di dalam kisah ini terdapat tandatanda (kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala) dan pelajaran yang dapat dipetik oleh orang-orang yang berakal sehat (Ulul Albab), antara lain sebagai berikut.

1. Kata sepakat ahlul hill wal aqdi, pembahasan dan pemahaman mereka terhadap cara agar sempurnanya urusan mereka lalu mengamalkannya, merupakan sebab utama bertambahnya kemuliaan mereka dan tercapainya tujuan mereka. Sebagaimana dialami para pembesar ini, mereka merujuk kepada nabi mereka dalam menentukan raja mereka sehingga mereka bersatu dan taat di bawah pimpinan raja tersebut.

2. Kebenaran itu, semakin dihalangi atau ditolak oleh berbagai syubhat, semakin terlihat kejelasan dan keistimewaannya. Demikian pula keyakinan terhadapnya, sebagaimana dialami oleh mereka. Ketika mereka mengingkari keberhakan Thalut menjadi raja, mereka diberi jawaban yang memuaskan dan menghilangkan keraguan serta kerancuan.

3. Ilmu dan buah pikiran, disertai kekuatan akan menyempurnakan kedudukan seorang wali (penguasa). Kehilangan salah satunya atau keduaduanya mengakibatkan kurangnya kekuasaan dan kerugian.

4. Terlalu percaya diri menyebabkan kegagalan dan kehinaan, sedangkan meminta pertolongan kepada Allah l dengan kesabaran dan bersandar kepada-Nya adalah sebab kemenangan. Yang pertama adalah seperti perkataan mereka kepada sang nabi,

“Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?” Jadi, seolah-olah hasilnya ialah ketika diwajibkan mereka berperang, mereka justru berbalik. Adapun yang kedua adalah dalam perkataan mereka (sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala),

وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Tatkala mereka tampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa, “Wahai Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orangorang kafir.” Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu). (al- Baqarah: 250)

5. Di antara hikmah Allah Subhanahu wata’ala adalah memisahkan yang buruk dari yang baik, yang jujur dari yang dusta, dan memisahkan yang tabah dari yang takut. Allah Subhanahu wata’ala tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya sebagaimana keadaan mereka yang bercampur tanpa ada yang membedakan.

6. Di antara rahmat dan sunnah- Nya yang berlaku adalah menjauhkan bahaya orang-orang kafir dan munafik dengan kaum mukminin yang berjihad. Kalau tidak demikian, tentulah bumi akan rusak dikuasai oleh orang-orang kafir dengan syiar kekafiran mereka padanya.

Wallahul muwaffiq.

Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Sumber Tulisan:
Thalut VS Jalut