Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْزِلُوْا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ
“Tempatkan manusia pada posisi mereka.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud rahimahullah dalam Sunannya no. 4842, dari hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha. Namun sayang sekali hadits ini dhaif, kata Abu Dawud sendiri, “Maimun Ibnu Abi Syubaib yang membawakan hadits ini dari Aisyah radhiallahu ‘anha, tidak bertemu dengan Aisyah.”
“Jadi, riwayat Maimun dari Aisyah radhiallahu ‘anha tidak muttashil (tidak bersambung sanadnya),” kata Ibnu Abi Hatim rahimahullah dalam al-Marasil (hlm. 214).
Karena hadits di atas lemah, kita tidak dapat berhujah dengannya. Namun, dalam nash-nash syariat yang lain, kita memang disyariatkan untuk bersikap hikmah, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memosisikan sesuatu pada posisinya. Bukankah Allah ‘azza wa jalla, Rabb kita, adalah Dzat yang Mahahakim (memiliki hikmah) dalam penciptaan dan takdir-Nya, Mahahakim dalam syariat-Nya, Hakim dalam perintah dan larangan-Nya?
Dia ‘azza wa jalla memerintah hamba-Nya untuk bersikap hikmah dan memerhatikan sikap ini dalam segala sesuatu. Demikian pula perintah dan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seluruhnya beredar di atas hikmah.
Kita juga diperintah untuk bersikap hikmah dalam menghadapi manusia, dalam seluruh muamalah.
Perlu kita ketahui, manusia itu terbagi dua:
Mereka ditempatkan pada kedudukannya, dengan menunaikan hak-hak mereka yang diakui oleh syariat dan kebiasaan manusia, yaitu berbuat baik, menyambung hubungan rahim, memuliakan, memberi kelapangan, dan hak lainnya. Mereka yang masuk bagian pertama ini memiliki keisitimewaan dari manusia yang lain dalam sisi hak mereka yang khusus.
Yang ada hanyalah hak Islam dan hak insaniyah (hak sebagai manusia). Mereka yang masuk ke dalam kelompok ini haknya sama atau berserikat. Mereka tidak diganggu dan tidak dimadarati; baik dengan ucapan maupun perbuatan, kita sukai untuk mereka apa yang kita sukai untuk diri kita, dan sebaliknya membenci untuk mereka apa yang kita benci untuk diri kita.
Termasuk sikap hikmah adalah bergaul dengan manusia sesuai dengan kedudukan dan posisi mereka. Orang yang lebih tua dihormati, yang lebih muda dikasihi.
Berbicara kepada para pemimpin, apakah raja atau orang yang memegang tampuk kekuasaan, haruslah dengan ucapan yang lembut sesuai dengan martabat mereka. Karena itulah, Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam saat diperintah untuk mendakwahi Fir’aun, raja yang durjana,
“Pergilah kalian berdua (Musa bersama Harun) kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.” (Thaha: 43—44)
Adapun kepada ulama, orang-orang yang berilmu tentang syariat ini, muamalah dengan mereka dalam bentuk memuliakan mereka, bersikap tawadhu kepada mereka, menampakkan kebutuhan kita terhadap ilmu mereka yang bermanfaat, dan mendoakan kebaikan untuk mereka; terlebih lagi saat mereka sedang memberikan taklim dan fatwa.
Termasuk sikap hikmah adalah memerintah anak kecil kepada kebaikan dan melarangnya dari keburukan dengan cara yang lembut. Di samping itu, kita melakukan cara-cara yang diperkenankan guna mendorong mereka kepada kebaikan. Kita menjauhi cara kasar dan keras, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ
“Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (apabila tidak mengerjakan shalat) saat usia mereka sepuluh tahun.” (HR Abu Dawud dan Ahmad 2/187, dari riwayat ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya dan sanad ini hasan. Hadits ini memiliki syawahid/pendukung. Lihat Irwa’ul Ghalil no. 247)
Ketika bergaul dengan mualaf, orang yang dibujuk hatinya kepada Islam agar senang dengan Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan sifat hikmah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan kepada mereka harta yang banyak. Dengan itu, diharapkan mereka bertambah senang dalam berislam sehingga akan diperoleh kemaslahatan. Sementara itu, untuk para sahabat beliau yang sudah dikenal kejujuran imannya justru tidak beliau berikan.
Hal ini dikisahkan dalam hadits Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu. Disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi-bagikan harta untuk beberapa orang, sementara saat itu Sa’d sedang duduk di majelis tersebut. Ada seseorang yang lebih baik dari mereka yang mendapat bagian, ternyata tidak diberi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bertanyalah Sa’d karena heran, “Mengapa Anda tidak memberi si Fulan? Padahal demi Allah, saya memandangnya adalah seorang mukmin.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah seharusnya engkau mengatakan bahwa dia seorang muslim[1]?”
Sa’d pun terdiam sejenak. Akan tetapi, apa yang diketahuinya tentang orang yang tidak diberi tersebut mendorongnya untuk mengulangi ucapannya, “Mengapa Anda tidak memberi si Fulan? Padahal demi Allah, saya memandangnya adalah seorang mukmin.”
Tiga kali Sa’d mengulanginya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memberikan jawaban yang sama, “Tidakkah seharusnya engkau mengatakan bahwa dia seorang muslim?”
Setelah itu, baru beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
يَا سَعْدُ، إِنِّي لَأُعْطِي الرَّجُلَ، وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ، خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللهُ فِي النَّارِ
“Wahai Sa’’d! Aku memberi seseorang padahal orang yang selainnya lebih aku cintai, karena khawatir (apabila orang tersebut tidak aku beri) Allah akan menelungkupkannya dalam api neraka.” (HR. al-Bukhari no. 27 dan Muslim no. 150)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melapangkan pemberiannya kepada orang yang menampakkan keislaman dalam rangka membujuk hatinya. Suatu ketika, saat memberikan harta kepada mualaf, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan bagian kepada seorang lelaki dari kalangan Muhajirin. Sa’d mengajak bicara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang urusan orang tersebut karena Sa’d memandang justru orang itu lebih berhak mendapat bagian daripada yang lain. Karena yakin akan apa yang dipandangnya, Sa’d sampai mengulang-ulangi pernyataannya.
Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing Sa’d kepada dua hal:
Kembali kepada masalah hikmah. Ketika mengajak bicara istri dan anak-anak yang masih kecil, gunakanlah hikmah, yaitu ucapan yang layak untuk mereka dan bisa menyisipkan kebahagiaan pada diri mereka.
Di antara sikap hikmah dalam hal sedekah dan hadiah ialah tidak menyamakan pemberian kepada pengemis yang berkeliling meminta-minta kepada manusia dan cukup diberi satu-dua butir kurma atau satu-dua suapan, dengan pemberian kepada seorang fakir yang menjaga diri dari meminta-minta.
Termasuk sikap hikmah pula, membedakan pemberian kepada seseorang yang berjasa bagi kaum muslimin dan sering memberi kemanfaatan kepada orang banyak, dengan orang yang keadaannya tidak seperti itu.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Faedah dari Bahjah Qulub al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun al-Akhyar fi Syarhi Jawami’ al-Akhbar, karya al-Allamah as-Sa’di, hlm. 40—43)
[1] Bukan memastikan dia seorang mukmin, karena kalimat demikian merupakan tazkiyah yang memastikan bahwa iman telah benar-benar menghujam dalam kalbu orang tersebut, yang dengan itu dia pasti masuk surga. Padahal, urusan kalbu siapa yang tahu selain Allah ‘azza wa jalla ?