Islam adalah agama yang mudah dan ringan. Salah satu bukti kemudahannya adalah syariat tayammum sebagai pengganti wudhu menggunakan air. Pembahasan tayammum dalam berbagai kitab fiqih sebenarnya cukup panjang, tetapi kami mencoba membahasnya dengan ringkas agar mudah dicernam tanpa menafikan patokan-patokan ilmiah sebuah ilmu. Meski demikian, ternyata pembahasan ini masih dirasa panjang sehingga kami memuatnya secara berseri dalam beberapa edisi. Melanjutkan pembahasan tayammum edisi yang lalu, berikut ini adalah pembahasan yang terakhir.
Mencari Air Untuk Wudhu
Seseorang yang tidak mendapatkan air, hendaknya berusaha mencari air terlebih dahulu. Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
“Jika kalian tidak mendapatkan air, bertayammumlah….”
Pernyataan “tidak mendapatkan air” menunjukkan telah dilakukan usaha pencarian air sebelum itu. (asy-Syarhul Mumti’, 1/324)
Demikian pendapat mazhab asy-Syafi’i, pendapat al-Imam Malik, Dawud, dan satu riwayat dari al-Imam Ahmad. Abu Hanifah berpendapat, apabila orang tersebut memperkirakan di tempat yang dekat dengannya ada air, dia harus mencarinya. Jika tidak ada di sekitarnya, ia tidak wajib mencari air. (al-Majmu’, 2/287)
Al-Imam asy-Syafi’i menyatakan, apabila masuk waktu shalat sementara tidak ada air di tempat tersebut, kemudian ia khawatir kendaraannya akan diambil orang, tertinggal dari rombongan, melewati jalan yang harus ditempuh untuk mendapatkan air, atau waktu shalat akan habis apabila ia mencari air, ia boleh bertayammum. Namun, apabila dirinya aman dari semua itu, dia wajib mencari air sebelum tayammum. (al-Umm, 1/63)
Ibnu Hazm juga menyatakan yang semakna dengan ucapan ini. (al-Muhalla, 1/350)
Dengan demikian, seseorang hendaknya mencari air sebelum bertayammum. Dengan catatan, pencarian air tersebut tidak menyulitkannya. Artinya, dia dengan mudah mendapatkan air di sekitarnya, dan diperkirakan dia bisa mendapatkan air. Demikian pula, pencariannya tidak menyebabkannya terluput dari waktu shalat. (as-Sailul Jarrar, 1/316)
Apakah Tayammum Menghilangkan Hadats?
Dalam masalah ini ahlul ilmi terbagi dalam tiga pendapat:
Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan satu riwayat dari al-Imam Ahmad. Mereka berdalil dengan hadits,
“Dijadikan bagi kita tanahnya untuk bersuci.” (HR. Muslim no. 522)
Jadi, hukum tanah/debu yang digunakan untuk tayammum sama dengan hukum air. Karena Allah ‘azza wa jalla menjadikannya sebagai pengganti air, hukum air diberikan pula kepada tanah/debu tersebut. Selain itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya menamakan tanah/debu itu sebagai thahur.
Berdasarkan pendapat ini, apabila orang yang junub mendapatkan air (setelah tayammum), ia tidak wajib mandi.
Demikian pendapat Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam pendapatnya yang masyhur.
Berdasarkan pendapat ini, seseorang wajib bertayammum setiap hendak mengerjakan shalat. Sebab, tayammum yang sebelumnya batal dengan masuknya waktu shalat yang berikutnya.
Mereka berdalil dengan hadits ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Amr yang shalat, bahkan mengimami manusia dengan tayammum tersebut,
“Wahai ‘Amr, apakah engkau shalat bersama teman-temanmu dalam keadaan junub?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya junub, padahal dia telah bersuci dengan tayammum. Namun, ketika ‘Amr menjelaskan sebab tayammumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa dan tidak mengatakan apa-apa.
Di antara dalilnya adalah hadits ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu tentang seorang laki-laki yang menyendiri, tidak shalat bersama orang-orang, karena sedang junub dan tidak mendapatkan air. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan kepadanya,
“Silakan engkau menggunakan tanah/debu (bertayammum), sungguh itu mencukupimu.”
Ketika didapatkan air, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan satu bejana air kepada orang yang junub tersebut seraya berkata,
“Pergilah engkau (untuk mandi) lalu tuangkan air ini ke atasmu.” (HR. al-Bukhari no. 344, 348 dan Muslim no. 682)
Hadits ini menunjukkan tayammum yang telah dilakukan batal bila didapatkan air. Jadi, apabila mendapatkan air, dia wajib berwudhu atau mandi bagi yang berhadats besar.
Pendapat yang terakhir ini merupakan mazhab ahlul hadits, sebagaimana dinukilkan oleh al-Khaththabi dan yang dirajihkan oleh Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan asy-Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi.
Pendapat inilah yang rajih (kuat) dan menenangkan menurut penulis karena bisa mengumpulkan perselisihan pendapat yang ada. (al-Muhalla, 1/351; Majmu’ul Fatawa, 21/352; Fathul Bari, 1/566; Subulus Salam, 1/150- 151; Adhwa’ul Bayan, 2/49—50; asy-Syarhul Mumti’, 1/314—316; Taudhihul Ahkam, 1/424)
Tayammum Berlaku untuk Beberapa Kali Shalat
Ahlul ilmi berselisih pendapat dalam masalah ini. Hal ini karena adanya perbedaan pendapat yang telah kita sebutkan di atas, apakah tayammum yang dilakukan dapat menghilangkan hadats atau tidak.
Yang rajih, tayammum mengangkat hadats, namun dibatasi sampai waktu didapatkannya air. Jadi, sebagaimana wudhu boleh digunakan untuk beberapa kali shalat selama belum batal, demikian pula halnya dengan tayammum[1].
Selama orang tersebut belum berhadats besar/kecil atau mendapatkan pembatal tayammum, ia bisa menggunakan tayammumnya untuk melaksanakan beberapa shalat yang dia kehendaki. Sama saja, baik ia tayammum untuk mengerjakan shalat sunnah, shalat sunnah dan shalat fardhu, maupun untuk shalat fardhu saja.
Ini adalah pendapat Sa’id ibnul Musayyib, al-Hasan, az-Zuhri, ats-Tsauri, Ashabur ra’yi, dan dinukilkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Ja’far. (al-Majmu’, 2/347; al-Mughni, 1/164; al-Muhalla, 1/355)
Adapun hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menyatakan,
“Termasuk sunnah, bila bertayammum, seseorang tidak mengerjakan kecuali satu shalat, kemudian bertayammum (lagi) saat hendak mengerjakan shalat yang lain.” (HR. ad-Daraquthni)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sanad hadits ini sangat lemah (dha’if jiddan).” (Bulughul Maram hlm. 52)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan bahwa dalam masalah ini ada riwayat dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, namun kedua riwayat ini lemah dan tidak bisa dijadikan hujah.
Alasan lainnya, Allah ‘azza wa jalla menjadikan tanah sebagai pengganti air, dan seseorang tidaklah wajib berwudhu dengan air ketika hendak shalat kecuali karena hadats yang menimpanya. Maka dari itu, demikian pula halnya dengan tayammum.
Ini adalah pendapat sekelompok imam ahlul hadits dan selain mereka. (Subulus Salam, 1/156)
Mendapatkan Air Setelah Shalat
Siapa yang shalat dengan bertayammum dan baru mendapatkan air setelah shalat, shalatnya tetap sah dan tidak wajib diulangi.
Demikian pendapat yang dipegangi oleh Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Malik, Ahmad, Ishaq, Yahya, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, Abu Salamah bin Abdirrahman, ats-Tsauri, al-Auza’i, al-Muzani, Ibnul Mundzir, jumhur salaf dan khalaf.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
Dua orang laki-laki keluar untuk safar. Waktu shalat tiba dan mereka berdua tidak memiliki air. Keduanya bertayammum dengan debu yang bersih lalu shalat. Setelah shalat, keduanya mendapatkan air dan waktu shalat belum habis. Salah seorang dari keduanya lalu berwudhu dan mengulangi shalatnya, sementara yang lainnya tidak. Lalu keduanya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut kepada beliau.
Beliau berkata kepada yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah mencocoki as-Sunnah dan shalatmu (yang dikerjakan dengan tayammum) mencukupi (sah).”
Beliau berkata kepada yang lain, “Engkau mendapatkan pahala dua kali.” (HR. Abu Dawud no. 338 dan an-Nasa’i no. 433, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud dan Shahih Sunan an-Nasa’i)
Pendapat inilah yang rajih (kuat) menurut penulis. Dalilnya ialah penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya,
“Engkau telah mencocoki as-Sunnah dan shalatmu (yang dikerjakan dengan tayammum) telah mencukupi (sah).”
Shalat orang yang tayammum tersebut sah karena dilakukan ketika tidak ada air. Ketika ia mendapatkan air setelah shalatnya, ia tidak wajib mengulanginya. (Subulus Salam, 1/152)
Sementara itu, kalangan ahlul ilmi yang lainnya, seperti Thawus, ‘Atha, al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Makhul, Ibnu Sirin, az-Zuhri, dan ar-Rabi’ah—sebagaimana dihikayatkan oleh al-Mundziri dan selainnya—berpendapat shalatnya wajib diulang apabila waktu shalat tersebut masih ada. (al-Majmu’, 2/353; Nailul Authar, 1/371)
Apabila seseorang sedang shalat dan didapatkan air pada waktu itu, shalat tersebut dibatalkan untuk melakukan wudhu. Sebab, tayammum berlaku ketika tidak ada air dan tidak ada halangan untuk menunaikannya. Ketika ada air atau ketika hilang hambatan tersebut, maka tayammum batal dan dia harus berwudhu.
Ini adalah pendapat al-Auza’i, ats- Tsauri, Abu Hanifah, al-Muzani, Ibnu Syuraih, Ibnu Hazm, dan yang lainnya. Inilah yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Dalil mereka ialah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Apabila mendapatkan air, hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan mengusapkan air itu ke kulit badannya. Sebab, hal itu lebih baik.” ( HR. at-Tirmidzi no.124, Abu Dawud no. 332, Ahmad 5/155, dari hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu; dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no.153 dan ash-Shahihah no. 3029; dinyatakan sahih pula oleh Abu Hatim, ad-Daraquthni, adz-Dzahabi, sebagaimana dinukil dalam Irwa’ul Ghalil no. 153)
Adapun Al-Imam asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, dan Malik berpendapat lain. Al-Imam Malik dan Dawud berkata, “Dia tidak wajib membatalkan shalatnya. Justru, haram dia membatalkan shalat tersebut, dan shalat yang dikerjakan (dengan tayammum tersebut -pen.) sah.” (al-Muhalla, 1/353; Nailul Authar, 1/371)
Pembatal Tayammum
Tayammum merupakan pengganti wudhu sehingga yang membatalkan wudhu juga menjadi pembatal tayammum, seperti berhadats dan yang lainnya. Hanya saja, pembatal tayammum ditambah dengan didapatkannya air dan hilangnya kemudaratan bagi seseorang dalam menggunakan air. (al-Muhalla, 1/351; al-Mughni, 1/169; as-Sailul Jarrar, 1/334; asy-Syarhul Mumti’, 1/341)
Pemahaman ini diambil dari ayat dalam surat al-Maidah yang telah disebutkan. Demikian pula dipahami dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Apabila aku perintahkan satu perkara kepada kalian, laksanakanlah semampu kalian.” (HR. al-Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
[1] Karena tanah/debu yang digunakan untuk tayammum adalah pengganti air, sehingga diberikan padanya hukum yang berlaku pada air.