Istilah tauhid memang telah menjadi istilah yang sangat populer di tengah masyarakat muslim. Namun tak sedikit yang memahaminya dengan pemahaman yang salah.
Makna tauhid yang sebenarnya adalah mengesakan Allah pada sesuatu yang menjadi kekhususan-Nya baik Rububiyah, Uluhiyah, atau Asma serta Sifat-sifat-Nya.
Rububiyah artinya penciptaan alam, kepemilikan serta pengaturannya. Uluhiyah artinya ibadah, sementara Asma dan Sifat artinya nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala serta sifat-sifat-Nya yang sangat baik dan agung sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan dalam kitab-Nya atau yang Rasul-Nya tetapkan dalam haditsnya (lihat al-Qaulul Mufid 1/hal 9,14,16 oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
Inilah tauhid hakiki yang dibawa oleh para Rasul Allah subhanahu wa ta’ala. Namun banyak orang yang menyelewengkan dari makna yang hakiki ini, sebagai contoh:
- Orang-orang ahli filsafat menamakan ilmu kalam atau filsafat dan mantiq Yunani yang dipakai untuk mempelajari permasalahan-permasalahan aqidah sebagai tauhid (lihat al Haqiqatus Syariyyah, oleh Bazmuul hal: 73)
- Orang-orang Mu’tazilah mendefinisikan kata tauhid dengan pembahasan seputar sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, apa yang wajib untuk-Nya, dan apa yang tidak. Walaupun pada akhirnya mereka mengingkari semua sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang kemudian hal ini menjadi salah satu dari 5 prinsip mereka (lihat Firaq Mu’asirah 2/1032).
- Orang-orang penganut tarekat Tasawuf khususnya ekstrim mereka, justru meyakini tauhid sebagai “wihdatul wujud”, yakni bersatunya Allah subhanahu wa ta’ala dengan makhluk. Menurut mereka, tauhid ada 3 tingkatan:
- Tauhid orang awam, yaitu hanya beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak mempersekutukan-Nya.
- Tauhidnya orang-orang khusus, hakekatnya adalah tenggelam dalam tauhid Rububiyah yakni meyakini Rububiyah Allah subhanahu wa ta’ala dan meniadakan sebab atau hikmah (penciptaan mahkluk) sebagaimana keyakinan orang-orang Jabriyah. (Minhajus Sunnah Nabawiyah, 5/3588 355)
- Tauhidnya Khashshatul Khashshah (orang khususnya orang-orang khusus), yaitu wihdatul wujud. (lihat Madhahir Inhirafat Aqadiyah, 1/ 228-230)
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.