Asysyariah
Asysyariah

tata cara sujud rasulullah (sifat shalat nabi bagian ke 20)

13 tahun yang lalu
baca 9 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq)

Telah kita lewati lima poin tata cara sujud dalam shalat yang dilakukan oleh Rasulullah n. Berikut ini poin selanjutnya.

6. Rasulullah n melarang orang yang sujud mengikat rambutnya ke belakang.
إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوْفٌ
“Permisalan orang yang demikian hanyalah seperti orang yang shalat dalam keadaan terikat kedua tangannya.”
Demikian yang ditunjukkan oleh hadits Abdullah ibnu Abbas c. Suatu ketika ia melihat Abdullah ibnul Harits shalat dalam keadaan rambut kepalanya terikat ke belakang. Ibnu Abbas bangkit melepaskan ikatan tersebut. Ketika Abdullah ibnul Harits selesai shalat, ia menghadap Ibnu Abbas seraya bertanya, “Ada apa Anda dengan rambutku?” Ibnu Abbas c pun menyampaikan hadits di atas yang pernah didengarnya dari Rasulullah n. (HR. Muslim no. 1101)
Rasulullah n juga menyatakan,
ذَلِكَ كِفْلُ الشَّيْطَانِ
“Ikatan rambut seperti itu (di saat shalat) adalah tempat duduk setan.” (HR. Abu Dawud no. 646 dan at-Tirmidzi no. 384, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)
At-Tirmidzi t mengatakan, “Yang diamalkan oleh ahlul ilmi adalah mereka membenci seseorang shalat dalam keadaan rambutnya terikat.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/238)
Ibnul Atsir t berkata, “Makna hadits ini adalah apabila orang yang shalat rambutnya digerai (tidak diikat) maka rambut tersebut akan jatuh ke tanah di saat sujud sehingga pemiliknya akan diberikan pahala sujud dengan rambutnya. Namun, apabila rambutnya terikat, jadilah ia termasuk dalam makna orang yang tidak sujud. Ia diserupakan dengan orang yang terikat kedua tangannya, karena kedua tangan tersebut tidak bisa menyentuh tanah di saat sujud (sebagaimana rambut yang diikat ke belakang tidak dapat menyentuh tanah saat sujud, -pent.).” (an-Nihayah fi Gharibil Hadits)

Mengikat Rambut Bagi Wanita dalam Shalat
Diperkenankan dan diizinkan bagi wanita untuk mengikat rambutnya dalam shalat. Al-Imam al-’Iraqi asy-Syafi’i t mengatakan, “Larangan mengikat rambut itu khusus bagi lelaki dan tidak berlaku bagi wanita karena rambut wanita adalah aurat yang wajib ditutup saat shalat. Apabila dilepas ikatan rambutnya, bisa jadi tergerai (sampai keluar dari kerudung shalatnya karena panjangnya rambut atau karena rambutnya terhambur sehingga ada yang keluar di sela-sela kerudung/mukenanya –pent.) dan tidak bisa ditutup sehingga bisa membatalkan shalatnya. Selain itu, melepaskan ikatan rambut untuk mengerjakan shalat akan menyulitkan mereka. Di saat mandi saja Rasulullah n memberikan keringanan bagi mereka untuk tidak melepas ikatan rambut, padahal ketika itu ada kebutuhan untuk membasahi seluruh rambut. (Nailul Authar, 2/228)
Selain larangan mengikat/mengumpulkan rambut, dilarang pula mengikat pakaian yang dikenakan sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu Abbas c,
وَنُهِيَ أَنْ يَكُفَّ شَعْرَهُ أَوْ ثِيَابَهُ
“Nabi n dilarang menahan rambut atau pakaiannya (di saat sujud).” (HR. Muslim no. 1095)
Dengan demikian, saat sujud pakaian dibiarkan jatuh/mengenai tempat sujud, tidak boleh ditahan dengan tangan atau diikat atau dikumpulkan. Termasuk pakaian di sini adalah lengan baju, tidak boleh digulung. Larangan ini hanya saat sedang shalat. Apabila seseorang mengikat rambutnya dan menggulung pakaiannya sebelum shalat lalu ia mengerjakan shalat dalam keadaan demikian, ia termasuk dalam larangan menurut jumhur ulama. Ini yang rajih (kuat). Yang memperkuat hal ini adalah tindakan Nabi n melarang seseorang yang hendak melakukan shalat dalam keadaan rambutnya terikat. Hal ini menyelisihi pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan tersebut hanya khusus saat shalat sebagaimana dinukil dari al-Imam Malik t. (al-Mudawwanah 1/186, al-Majmu’ 4/30)
Ulama berselisih pendapat tentang orang yang mengikat rambut atau menahan bajunya ketika shalat, apakah shalatnya sah (tidak batal) atau tidak.
Mayoritas mereka, di antaranya ‘Atha dan asy-Syafi’i mengatakan sah, dan ini adalah pendapat yang rajih (kuat), walaupun telah dinukilkan dari al-Imam Muhammad ibnu Ja’far ath-Thabari t adanya kesepakatan tentang sahnya shalat orang yang melakukan hal tersebut.
Pendapat yang mengatakan tidak sah dan shalatnya harus diulang. Hal ini dinukil dari al-Hasan al-Bashri t. (al-Isyraf ‘ala Madzahibil Ulama li Ibnil Mundzir 2/34, al-Majmu’ 4/30)
Dikatakan bahwa di antara hikmah pelarangan tersebut adalah ketika seseorang menahan baju dan rambutnya agar tidak menyentuh tanah berarti ia serupa dengan orang yang sombong.

7. Rasulullah n tidak meletakkan kedua lengan bawahnya di atas tanah di saat sujud, namun beliau mengangkatnya.
Hal ini disebutkan oleh hadits Abu Humaid z,
فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرُ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهُمَا
“Apabila sujud, Nabi n meletakkan kedua tangan beliau tanpa meletakkan (kedua lengan bawahnya) dan tidak pula mengepitnya/menempelkannya (ke rusuk).” (HR. al-Bukhari no. 828)
Selain itu, ada pula hadits yang menyatakan larangan berbuat demikian. Di antaranya adalah hadits Anas bin Malik z, Rasulullah n bersabda,
وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ
“Janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua lengan bawahnya sebagaimana anjing meletakkan (dua kaki depannya).” (HR. al-Bukhari no. 822 dan Muslim no. 1102)

8. Rasulullah n menjauhkan kedua lengan atasnya dari kedua rusuk1, sampai-sampai terlihat dari belakang putihnya kedua ketiak beliau2.
Cara ini dinukilkan secara mutawatir dari Rasulullah n. Sejumlah sahabat meriwayatkannya seperti Abdullah bin Malik ibnu Buhainah z, ia berkata,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ إِذَا صَلَّى فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
“Apabila Nabi n shalat, beliau menjauhkan kedua lengannya (dari rusuk) hingga tampak putihnya kedua ketiak beliau.” (HR. al-Bukhari no. 390 dan Muslim no. 1105)
Demikian pula riwayat Maimunah bintu al-Harits x, ia berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ n إِذَا سَجَدَ خَوَّى بِيَدَيْهِ حَتَّى يُرَى وَضَحُ إِبْطَيِهْ مِنْ وَرَائِهِ
“Apabila Rasulullah n sujud, beliau menjauhkan kedua lengannya hingga tampak dari belakang putihnya kedua ketiak beliau.” (HR. Muslim no. 1108)
Sahabat lain yang meriwayatkan tata cara seperti ini adalah Ibnu Abbas, al-Bara’ ibnu Azib, Abdullah ibnu Arqam al-Khuza’i, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id al-Khudri, ‘Adi bin Umairah, dan Abu Humaid as-Sa’idi g.
Karena tingginya Rasulullah n menegakkan kedua lengannya dari tanah dan menjauhkannya dari rusuknya sampai-sampai apabila ada seekor anak kambing ingin lewat di bagian bawah kedua lengan beliau yang diangkat tersebut niscaya bisa lewat. Maimunah bintu al-Harits x, istri beliau, yang menyampaikan hal ini. Katanya,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ n إِذَا سَجَدَ لَوْ شَاءَتْ بَهْمَةٌ أَنْ تَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ لَمَرَّتْ
“Apabila Nabi n sujud, beliau mengangkat dan menjauhkan kedua lengan beliau (dari perut/rusuk beliau) hingga jika ada seekor anak kambing ingin lewat di bagian bawah kedua lengan beliau yang diangkat tersebut niscaya bisa lewat.” (HR. Muslim no. 1107)
Rasulullah n bersungguh-sungguh melakukan hal ini sehingga sebagian sahabatnya mengatakan,
إِنْ كُنَّا لَنَأْوِي لِرَسُوْلِ اللهِ n مِمَّا يُجَافِي بِيَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ إِذَا سَجَدَ
“Sungguh, kami merasa iba melihat Rasulullah n karena beliau begitu menjauhkan kedua lengan beliau dari kedua rusuknya di saat sujud.” (HR. Abu Dawud no. 900 dan Ibnu Majah no. 886, hadits ini dinyatakan hasan sahih dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih Ibni Majah)
Rasulullah n memerintahkan orang yang shalat untuk berbuat demikian,
إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ
“Apabila engkau sujud, letakkanlah kedua telapak tanganmu (di tanah/tempat sujud) dan angkatlah kedua sikumu.” (HR. Muslim no. 1104 dari al-Bara’ ibnu Azib z)

Faedah
Fadhilatusy Syaikh Saleh bin Fauzan al-Fauzan t menyatakan, menjauhkan anggota-anggota sujud sebagaimana disebutkan di atas hukumnya sunnah. Oleh karena itu, apabila ada orang shalat melekatkan/merapatkan sebagian anggota sujudnya dengan yang lain, shalatnya sah. Hanya saja, ia telah meninggalkan salah satu sunnah shalat. Lebih-lebih lagi jika ia shalat bersama imam yang memperlama sujud, ia bisa melakukan seperti yang diajarkan oleh Rasulullah n kepada para sahabat beliau saat mereka mengadu pada beliau tentang lamanya sujud dalam shalat malam. Rasulullah n memberikan solusi,
اسْتَعِيْنُوْا بِالرُّكَبِ
“Jadikan lutut sebagai penolong kalian.”3
Maksudnya, orang yang sujud meletakkan dua sikunya di atas kedua lututnya. Apabila orang yang sujud melakukannya karena ada kebutuhan, hilanglah kemakruhan. Berbeda halnya apabila ia melakukannya tanpa sebab.4
Demikian pula ketika menjauhkan kedua tangan di saat sujud ternyata mempersempit orang yang ada di sampingnya, hendaknya ia tidak melakukannya. Ia hendaknya merapatkan anggota tubuhnya guna menghilangkan kesempitan orang yang di sampingnya. Ia boleh pula merapatkan kedua tangannya dengan tujuan merapatkan shaf.
Dengan demikian, menjauhkan anggota-anggota sujud hukumnya sunnah, diamalkan dengan syarat tidak berlebih-lebihan, tidak menyempitkan, tidak menyulitkan dan mengganggu orang lain. (Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram, 2/254)
Fadhilatusy Syaikh al-Imam Ibnu Utsaimin t menyatakan, ketika seseorang meninggalkan sunnah dalam rangka menolak mafsadah/kerusakan, hal ini akan dicatat sebagai pahala untuknya karena andai tidak ada mafsadah tentunya tidak ada yang menghalangi Anda menegakkan sunnah tersebut. Apabila seseorang meninggalkan sebuah amalan karena Allah l, Allah l akan menggantikan untuknya, bahkan sekalipun ia meninggalkan amalan tersebut bukan karena kehendaknya. Rasulullah n bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا
“Apabila seorang hamba sakit atau safar, akan dicatat baginya semisal apa yang biasa dia amalkan saat tidak safar dan saat sehat.” (HR. al-Bukhari no. 2996) (asy-Syarhul Mumti’, 3/120)
(insya Allah bersambung)

Catatan Kaki:

1 Maknanya, tidak ada anggota tubuh tersebut yang menempel dengan yang lain.
2 Hikmah cara seperti ini adalah meringankan tumpuan wajah, tidak menyakiti hidung dan dahi, serta tidak merasa sakit saat menempel ke bumi. Di samping itu, cara seperti ini lebih mendekati sikap tawadhu dan lebih kokoh saat menempelkan dahi dan hidung ke bumi serta berbeda dengan keadaan orang yang malas. Ada pula yang mengatakan bahwa dengan cara seperti ini, semua anggota sujud menjadi tempat bertumpu sehingga tumpuan tidak hanya dibebankan pada sebagian anggota. Adapun orang yang meletakkan lengannya ke bumi serupa dengan anjing, seakan-akan ia meremehkan shalat yang sedang dikerjakannya, kurang perhatian, dan tidak sepenuhnya berkonsentrasi pada amalan shalatnya. (Fathul Bari 2/380, Subulus Salam, 2/220)

3 HR. Abu Dawud no. 902 dan at-Tirmidzi no. 286, namun hadits ini dinyatakan lemah oleh al-Imam al-Albani t dalam Dha’if Abi Dawud dan Dha’if at-Tirmidzi.
4 Hal ini dilakukan apabila ia shalat bersama imam yang sujudnya lama, sementara itu ia kesulitan dengan sujud yang lama tersebut. Adapun apabila ia shalat sendirian, hendaknya ia tidak memaksakan diri. Ketika ia merasa lelah/kesulitan hendaknya ia bangkit, karena Allah l menginginkan kemudahan bagi para hamba-Nya. (asy-Syarhul Mumti’, 3/123)