Asysyariah
Asysyariah

tangan atau lutut dahulu ketika hendak sujud? sifat shalat nabi (bagian ke 19)

13 tahun yang lalu
baca 11 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq)

Kedua Telapak Tangan Terlebih dahulu Menyentuh Lantai Saat Sujud
Rasulullah n meletakkan kedua telapak tangan beliau ke atas tanah mendahului kedua lutut beliau sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu Umar c yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 627), ad-Daraquthni (no. 1288), ath-Thahawi dalam Syarhul Ma’ani (1/329, no. 1476), dan al-Hakim (1/226). Al-Hakim berkata, “Sahih menurut syarat Muslim,” dan hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi. Al-Imam al-Albani t berkata, “Hadits ini sebagaimana yang dikatakan keduanya (al-Hakim dan adz-Dzahabi).” (al-Ashl, 2/714)
Dalam hadits Abu Hurairah z disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda,
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ، وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian sujud maka janganlah ia turun sujud sebagaimana menderumnya unta, dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR. Abu Dawud no. 840 dengan sanad yang sahih)
Secara lahiriah, perintah dalam hadits Abu Hurairah z di atas memberikan faedah wajibnya meletakkan kedua tangan (telapak tangan) terlebih dahulu sebelum kedua lutut ketika hendak sujud, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh al-Imam Ibnu Hazm t dalam al-Muhalla (3/44). Wallahu a’lam.
Namun, terdapat beberapa hadits yang menyelisihi redaksi hadits di atas. Hadits-hadits itu menyebutkan bahwa kedua lutut mendahului kedua telapak tangan saat menyentuh lantai/tanah, di antaranya adalah:
– Dari Wail ibnu Hujr z, ia berkata,
رَأَيْتُ النَّبِيَّ n إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Aku pernah melihat Nabi n ketika sujud meletakkan kedua lutut beliau sebelum kedua tangannya. Saat bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR. Abu Dawud no. 838, an-Nasa’i no. 1089, Ibnu Majah no. 882, at-Tirmidzi no. 268, dan beliau menyatakannya hasan)
Namun, sanad hadits ini dhaif (lemah) karena ada perawi yang bernama Syarik ibnu Abdillah an-Nakha’i1. Ad-Daraquthni berkata, “Syarik tidaklah kuat apabila dia bersendiri dalam meriwayatkan.”2
Sementara itu, hadits di atas termasuk riwayat yang Syarik bersendiri dalam periwayatannya (diistilahkan dengan tafarrada bihi)3.
Bersendirinya Syarik dalam riwayat ini dari Ashim ibnu Kulaib juga dinyatakan oleh at-Tirmidzi dan al-Baihaqi. (at-Talkhish, 1/413)

– Dari Anas bin Malik z, ia berkata,
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n انْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ فَسَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ
“Aku pernah melihat Nabi n turun (untuk sujud dari posisi berdiri) dengan mengucapkan takbir, maka kedua lutut beliau mendahului kedua tangannya.” (HR. ad-Daraquthni no. 1293, al-Hakim 1/226, dll)
Dalam sanadnya ada seorang perawi bernama al-‘Ala’ ibnu Ismail yang bersendiri dalam periwayatannya, sedangkan dia adalah rawi yang majhul sebagaimana disebutkan dalam at-Talkhish (1/414).
Menurut Abu Hatim ar-Razi t sebagaimana termuat dalam ‘Ilal ibni Abi Hatim (1/188), hadits ini mungkar.
Al-Hafizh t dalam biografi al-‘Ala’ pada kitabnya, Lisanul Mizan (5/183), menyatakan, “Umar bin Hafsh ibn Ghiyats menyelisihi riwayat al-‘Ala’ ini, padahal Umar adalah atsbatun nas (orang yang paling kuat) dalam hal pengambilan riwayat dari ayahnya4. Umar meriwayatkan hadits ini dari ayahnya, dari al-A’masy, dari Ibrahim, dari Alqamah dan selainnya, dari Umar ibnul Khaththab z secara mauquf. Riwayat yang mauquf inilah yang mahfuzh (benar/terjaga).”

– Dari Abu Hurairah z,
أَنَّ النَّبِيَّ n كاَنَ إِذَا سَجَدَ بَدَأَ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ
“Apabila bersujud, Nabi n memulai dengan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi (1/330, no. 1479) dengan sanad yang sangat dhaif karena ada perawi yang bernama Abdullah ibnu Sa’id al-Maqburi. Dalam at-Taqrib (hlm. 320, no. 3356) disebutkan bahwa dia matruk (haditsnya ditinggalkan).
Ada lagi beberapa hadits yang semakna, namun semuanya bermasalah karena lemahnya hadits-hadits tersebut dan tidak lepas dari pembicaraan.
Ahlul ilmi berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut lebih utama. Demikian pendapat al-Imam Malik dan al-Auza’i. Al-Auza’i menyatakan, “Aku dapatkan orang-orang meletakkan tangan-tangan mereka sebelum lutut mereka.”5
Adapun ulama yang lainnya menyelisihi mereka dengan berpandangan bahwa meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan lebih utama. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas), di antara mereka adalah Umar ibnul Khaththab z dari kalangan sahabat, Ibrahim ibnu Yazid an-Nakha’i, Muslim ibnu Yasar, Sufyan at-Tsauri, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, dan pengikutnya, semoga Allah l merahmati mereka semuanya. (al-Isyraf ‘ala Madzahibil Ulama lil Imam Ibnul Mundzir, 2/30—31, salinan manuskrip al-I’tibar fin Nasikh wal Mansukh lil Imam Abi Bakr Muhammad ibni Musa al-Hazimi, hlm. 36)
Al-Imam Albani t berkata, “Argumen mereka (yang berpandangan kedua lutut diletakkan sebelum kedua tangan) adalah hadits-hadits yang telah disebutkan6. Seandainya hadits-hadits itu sahih niscaya kita katakan kedua cara tersebut boleh (kedua lutut yang lebih dahulu atau kedua tangan), sebagaimana riwayat dari Malik dan Ahmad dalam Fathul Bari. Jika tidak sahih, yang jadi sandaran adalah pendapat yang dipegangi kelompok yang pertama. Ini adalah pendapat ashabul hadits, sebagaimana kata Ibnu Abi Dawud dan yang dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad. Argumen mereka adalah hadits ini (hadits Ibnu Umar di atas).” (al-Ashl, 2/719)

Cara Unta Menderum
Unta menderum dengan meletakkan kedua kaki depannya terlebih dahulu yang kita anggap sebagai dua tangannya sebelum kedua kaki belakangnya. Apabila demikian, samakah dengan cara sujud yang Nabi n perintahkan; hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya?
Jawabannya, tidak sama, karena kedua lutut unta ada pada kedua tangannya. Ibnu Hazm t mengatakan, “Dua lutut unta ada pada kedua lengan bawahnya.” (al-Muhalla, 3/45)
Demikian dalam Lisanul ‘Arab (4/227) dan dinyatakan bahwa unta meletakkan terlebih dahulu kedua lututnya yang ada pada kedua tangannya.
Al-Imam ath-Thahawi t mengatakan dalam kitab beliau, Syarhu Musykilul Atsar (1/168—169), dan yang semakna dengan itu di kitabnya, Syarhu Ma’anil Atsar (1/330), “Ada orang yang berkata bahwa ini adalah ucapan yang mustahil karena Nabi n melarang seseorang saat sujud untuk menurunkan tubuhnya ke tanah/lantai sebagaimana unta menderum, padahal unta menurunkan kedua tangannya (kaki depan) terlebih dahulu (saat menderum). Setelah melarang menyerupai unta, Nabi n mengatakan, ‘Akan tetapi, hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.’
Artinya, dalam hadits ini ada sesuatu yang pada awalnya dilarang oleh Nabi n, namun di akhirnya beliau memerintahkannya. Kami pun merenungkan apa yang diucapkan oleh Nabi n. Ternyata kami dapatkan tidak ada yang mustahil. Kami dapati hadits tersebut lurus, tidak ada kemustahilan. Dua lutut unta ada pada kedua tangannya (kaki depan), demikian pula setiap hewan berkaki empat. Berbeda halnya dengan anak Adam yang lutut mereka ada pada kaki, bukan pada tangan.
Dalam hadits ini, Rasulullah n melarang orang yang shalat untuk turun sujud di atas kedua lututnya yang ada pada kedua kakinya, dan ia semestinya turun sujud dengan cara yang menyelisihi hal tersebut, yaitu turun sujud di atas kedua tangannya yang tidak ada lututnya (karena lutut manusia ada pada kakinya). Berbeda halnya dengan unta yang turun menderum dengan menjatuhkan kedua tangannya terlebih dahulu, yang di situlah letak kedua lututnya. Jadi, jelaslah—dengan pujian kepada Allah l dan berkat nikmat-Nya—bahwa apa yang ada dalam hadits ini dari Rasulullah n adalah ucapan yang sahih, tidak ada kontradiksi dan kemustahilan.”

Hikmah Larangan Menyerupai Unta Menderum
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t dalam Majmu’ Fatawa-nya (13/170—171) mengatakan, “Rasulullah n melarang seseorang turun ke sujud seperti halnya unta menderum karena Allah l melebihkan Bani Adam di atas seluruh makhluk hidup, lebih-lebih dalam hal ibadah yang paling mulia, yaitu shalat. Dengan demikian, apabila seorang manusia menyerupai hewan, berarti ia menyelisihi maksud/tujuan shalat serta menyelisihi hakikat kemuliaan manusia dibandingkan dengan hewan dan makhluk hidup lainnya.
Oleh karena itu, Allah l tidak menyebutkan penyerupaan manusia dengan hewan selain dalam bentuk celaan, seperti dalam firman-Nya,
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepada mereka Taurat kemudian mereka tidak memikulnya (mengamalkan isinya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal….” (al-Jumu’ah: 5)
“Maka perumpamaannya seperti anjing, jika engkau menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya juga….” (al-A’raf: 176)
Demikian juga sabda Nabi n,
مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا
“Siapa yang berbicara pada hari Jum’at di saat imam sedang berkhutbah maka ia semisal keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (HR. Ahmad 3/475)
Sabda beliau n,
الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُوْدُ فِي قَيْئِهِ
“Orang yang meminta kembali hadiahnya (yang telah diberikan kepada orang lain) seperti anjing yang muntah kemudian menjilati kembali muntahnya.” (HR. al-Bukhari no. 2621 dan Muslim no. 4146)

Perselisihan yang Terjadi adalah Perselisihan Ijtihad
Kami, penulis, memilih pendapat ahlul hadits, kedua tangan didahulukan menyentuh lantai di saat sujud daripada kedua lutut. Hanya saja, karena masalah ini adalah masalah ijtihad, kita tidak dapat mengingkari atau membatilkan yang lainnya serta tidak bisa saling menganggap sesat atau bid’ah. Wallahu a’lam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Shalat dengan mendahulukan dua lutut terlebih dahulu atau dua telapak tangan (ketika turun sujud), semuanya boleh menurut kesepakatan ulama. Jika orang yang shalat mau, ia bisa meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya. Jika mau pula, ia bisa meletakkan kedua telapak tangannya, baru kedua lututnya. Shalatnya teranggap benar dalam dua keadaan yang disebutkan menurut kesepakatan ulama. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama/afdal. Ada yang mengatakan bahwa yang pertama lebih afdal (lutut terlebih dahulu sebelum tangan), sebagaimana mazhab Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya. Ada pula yang mengatakan bahwa yang kedua lebih afdal, sebagaimana mazhab Malik dan Ahmad dalam riwayat yang lain. Masing-masing pendapat mendasarkannya kepada riwayat hadits dalam kitab as-Sunan dari Nabi n. Dalam kitab as-Sunan tersebut dinyatakan bahwa apabila Nabi n shalat, (saat sujud) beliau meletakkan kedua lutut, kemudian kedua tangan beliau. Saat bangkit dari sujud, beliau mengangkat kedua tangan beliau, lalu kedua lutut7. Dalam Sunan Abi Dawud dan selainnya disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda, ‘Apabila salah seorang dari kalian sujud, janganlah ia turun sujud sebagaimana menderumnya unta, dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.’ Telah diriwayatkan kebalikan riwayat ini (dengan mendahulukan kedua lutut baru telapak tangan), ada juga yang menyatakan riwayat ini mansukh (telah dihapus hukumnya), wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa, 11/618)
Samahatusy Syaikh al-Imam Ibnu Baz t dalam Majmu’ Fatawa-nya (11/151) memandang bahwa dalam masalah ini urusannya mudah, baik mendahulukan kedua lutut maupun kedua tangan, sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Hanya saja, yang afdal (menurut beliau) adalah mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan. Namun, tidak ada masalah apabila ada orang yang shalat menyelisihinya karena tidak memengaruhi keabsahan shalat.
Asy-Syaikh al-Imam Ibnu Utsaimin t berpandangan bahwa yang benar lutut terlebih dahulu dan kedua tangan dilarang mendahului lutut. Namun, beliau menyatakan tidak suka apabila masalah seperti ini menjadi ajang perdebatan, permusuhan, kebencian, menyesatkan pihak lain, dan yang semisalnya, karena ini adalah masalah ijtihad yang seseorang diberi uzur dengannya. Berbeda halnya apabila pada satu masalah tidak diperkenankan adanya ijtihad, maka tidak boleh didiamkan, harus ditegaskan antara yang benar dan yang batil. Dahulu para sahabat g berbeda pendapat dalam banyak masalah ijtihad yang lebih besar dari masalah ‘lutut atau tangan dahulu’, namun bersamaan dengan itu hati mereka tetap satu, tujuan mereka satu, dan kedekatan di antara mereka tetap terwujud. (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 13/179)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Di sini saya memandang perlu untuk mengingatkan bahwa masalah semacam ini adalah masalah khilafiyah, yang tidak semestinya menjadi sumber perpecahan dan permusuhan. Lebih-lebih bagi kalangan penuntut ilmu yang pemula. Masalah yang semisal ini termasuk dalam urusan yang mustahab dan makruh, bukan urusan yang wajib dan haram. Masing-masing memiliki dalil. Masing-masing memiliki ijtihad. Yang terpenting, setiap pihak memiliki sandaran syar’i. Oleh karena itu, sepantasnya penuntut ilmu bersikap saling mencintai dan saling memberikan uzur satu sama lain meskipun ijtihad mereka berbeda, selama semuanya menginginkan al-haq (kebenaran) dalam agama Allah l ini dan selama perkaranya bukan dalam masalah akidah.” (Tashilul Ilmam, 2/270)

Catatan Kaki:

1 Yang membawakan riwayat ini dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Wail.
2 Menurut jumhur ahlul hadits, Syarik sayyi’ul hifzh (hafalannya jelek). Sebagian yang lain mengatakan bahwa hafalannya tercampur. Oleh karena itu, dia tidak bisa dijadikan hujah apabila bersendiri dalam membawakan sebuah riwayat, lebih-lebih lagi apabila dia menyelisihi para perawi yang tsiqah lagi penghafal hadits/huffazh. (Kasyif adz-Dzahabi, al-Kawakibun Nayyirat, Syarhu ‘Ilal ibnu Rajab)

3 Berbeda halnya dengan periwayatan yang dibawakan oleh murid-murid Ashim yang lainnya, semua membawakan hadits ini dari Ashim—dengan sanad yang sama dari Wail—tentang tata cara shalat Nabi n, tanpa ada penyebutan lafadz seperti yang disebutkan oleh Syarik.
4 Hadits ini diambil oleh al-‘Ala dari ayah Umar, yaitu Hafsh bin Ghiyats, dari Ashim al-Ahwal, dari Anas z.
5 Diriwayatkan oleh al-Marwazi dalam Masailnya (1/147/1) dengan sanad yang sahih dari al-Auza’i.

6  Di antaranya adalah tiga hadits di atas.

7 Derajat hadits ini sudah dijelaskan di atas.