Roda zaman berputar tiada henti, menorehkan sejarah dan meninggalkan cerita. Manusia selaku aktor, bergelut dan berkiprah pada setiap zamannya. Generasi demi generasi datang silih berganti, mengisi lembar kehidupan. Dengan takdir Ilahi, semuanya pasti meninggalkan dunia yang fana ini.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Setiap yang berjiwa akan merasakan kematian. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)
Betapa pun lamanya roda zaman berputar, dan betapa pun banyaknya manusia yang mengisi lembar kehidupan… namun substansinya tak akan pernah berubah. Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan seluruh hamba untuk memurnikan ibadah (bertauhid) hanya kepada-Nya, dengan berpijak di atas bimbingan para rasul yang diutus kepada mereka dan berpegang teguh dengan kitab suci yang diturunkan kepada mereka. Itulah sesungguhnya misi utama penciptaan jin dan manusia di muka bumi ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
“Sungguh Allah telah memberi anugerah kepada manusia-manusia yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka semanusia rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah, dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164)
Dengan demikian, manusia yang sukses hidupnya di muka bumi ini adalah yang terbaik dalam menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Bukan yang tertinggi dalam meraih jabatan dan popularitas duniawi. Bukan pula yang terbanyak dalam menimbun harta. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kesuksesan yang besar.” (an-Nisa’: 13)
Demikianlah sekelumit tentang sketsa kehidupan yang banyak dilupakan manusia. Sungguh mengkhawatirkan bila serpihan-serpihan syirik menerpa keimanan dan gulma-gulma bid’ah mengganggu keistiqamahan. Di antaranya adalah tabarruk dan yang berkaitan dengannya.
Ada Apa dengan Tabarruk?
Tabarruk ( التَّبَرُّك ), ditinjau dari bentuk katanya merupakan mashdar dari tabarraka-yatabarraku (تَبَرَّكَ – يَتَبَرَّكُ) yang artinya mencari barakah. Di kalangan masyarakat Indonesia (baca: Jawa), tabarruk lebih dikenal dengan sebutan “ngalap berkah”.
Di dalam kitab-kitab ulama ternama disebutkan bahwa barakah adalah kebaikan yang meliputi sesuatu dan senatiasa bertambah. Barakah hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala. Dari-Nya barakah itu bersumber dan dari-Nya pula diminta.
Asy-Syaikh al-Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Mencari kebaikan yang senantiasa ada dan bertambah itu (barakah, pen.) hanya-lah dari Dzat yang memilikinya dan mampu memberikannya, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, Dia-lah yang menurunkan barakah tersebut dan menetapkannya. Adapun makhluk, sungguh tidak mampu memberikan barakah dan mewujudkannya. Tidak pula dia mampu mengukuhkan dan mengekalkannya.” (al-Irsyad ila Shahihil I’tiqad, hlm. 335)
Dengan segala hikmah-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala meletakkan barakah pada sebagian makhluk yang dipilih dan dikehendaki-Nya. Adakalanya pada tempat, manusia, waktu, amalan, sifat dan sebagainya. Semua itu sebagai tanda dari tandatanda kekuasaan dan prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala atas seluruh makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.” (al- Qashash: 68)
Jadi, penentuan bahwa tempat, manusia, waktu, amalan, sifat dan sebagainya itu berbarakah, tak bisa dengan main kira-kira atau asal duga, apalagi direkayasa. Tak bisa pula berdasar pada wangsit, primpen, atau ramalan “orang pintar”. Semuanya harus merujuk kepada dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Lebih dari itu, dalam menyikapi barakah yang Allah subhanahu wa ta’ala letakkan pada tempat, manusia, waktu, amalan, sifat dan sebagainya tersebut harus dengan bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah, memperhatikan prinsip-prinsip tauhid dan berpijak di atas jejak para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Tidak dengan logika, akal-akalan, apalagi hawa nafsu. Untuk lebih rincinya, silakan membaca rubrik kajian utama pada edisi ini.
Melacak Akar Tabarruk
Fenomena tabarruk alias ngalap berkah bukan hal baru dalam kehidupan umat manusia. Salah kaprah dalam memahami dan menerapkannya benarbenar menjerumuskan pelakunya ke dalam kubangan syirik. Kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam, salah satu bukti sejarahnya.
Alkisah, kala itu umat Nabi Nuh ‘alaihissalam sangat mencintai orang-orang saleh yang hidup di tengah-tengah mereka; Wadd, Suwa’, Ya’uq, Yaguts, dan Nasr. Dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala, lima orang saleh tersebut meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan. Kepergian orang-orang mulia lagi terhormat yang selama ini membimbing dan mengarahkan mereka itu benar-benar menyisakan duka lara yang mendalam.
Sebagai bentuk penghormatan dan balas budi kepada mereka dibuatlah monumen berupa patung atau gambar mereka. Dipancanglah patung atau gambar mereka itu di tempat-tempat strategis, antara lain untuk mendobrak semangat ibadah dan kebaikan kala menyaksikan monumen para mendiang tersebut.
Kuburan mereka pun diistimewakan. Umat Nabi Nuh ‘alaihissalam ngalap berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala di sisi kuburan orang-orang saleh tersebut. Itulah awal penyimpangan mereka, dan dari situlah penyimpangan berikutnya yang lebih besar (syirik) bermula.
Roda zaman berputar, generasi punberganti, sementara ilmu agama memudar seiring dengan wafatnya para ulama. Di saat itulah setan datang menggoda menyesatkan mereka.
Apa gerangan yang terjadi? Akhirnya, kuburan orang-orang saleh yang tadinya diistimewakan “sebatas” untuk tempat beribadah, berdoa, memohon berkah, rezeki, dan sebagainya dari Allah subhanahu wa ta’ala, kini menjadi tempat yang lebih sakral dan dikeramatkan.
Segala bentuk ibadah di sisi kuburan orang-orang saleh tersebut yang tadinya ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kini ditujukan kepada para penghuni kubur. Doa yang tadinya dipanjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kinidipanjatkan kepada orang-orang saleh tersebut. Rezeki, keselamatan, kesehatan, dan sebagainya yang tadinya dimohon dari Allah subhanahu wa ta’ala, kini dimohon langsung dari orang-orang saleh tersebut. Tabarruk alias ngalap berkah yang tadinya dari Allah subhanahu wa ta’ala, kini langsung dari orang-orang saleh tersebut. Demikianlah seterusnya…
Dengan itu, terjadilah kesyirikan yang pertama kali di muka bumi ini. Kurang lebih tatkala perjalanan umat manusia baru berjalan 10 abad (seribu tahun) lamanya.[1]
Ketika menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Nuh ayat 23[2], Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Mereka (Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr, pen.) adalah nama orang-orang saleh dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam agar membuat patung atau gambar (dalam bentuk orang-orang saleh tersebut) di majelis-majelis yang dahulu mereka beribadah padanya. Lalu setan memerintah mereka agar memberi nama patung atau gambar tersebut dengan nama orang-orang saleh tadi.
Kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam pun melakukannya, namun (ketika itu) belum disembah. Manakala generasi para pembuat patung atau gambar tersebut berlalu dan ilmu menjadi sesuatu yang dilupakan (dihapus), maka dijadikanlah patung atau gambar itu sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala.” (Fathul Bari 8/535)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan bahwa tidak sedikit dari ulama salaf yang mengatakan, “Ketika orang-orang saleh tersebut wafat, kaumnya menetapi kuburan mereka sebagai tempat ibadah, kemudian dibuatlah patung-patung dalam bentuk mereka, hingga berlalu masa yang panjang dan akhirnya mereka menyembahnya. Mereka menggabungkan antara dua fitnah; fitnah kubur dan fitnah patung (berhala). ” (Ighatsatul Lahafan 1/203)
Dengan penuh kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Nuh ‘alaihissalam kepada mereka sebagai pemberi peringatan, mengajak mereka kepada tauhid dan memperingatkan mereka dari kesyirikan serta semua yang mengantarkan kepadanya. Sembilan ratus limapuluh tahun lamanya beliau berdakwah, namun tak menyambutnya kecuali hanya segelintir orang saja dari mereka.
Akhirnya, Allah subhanahu wa ta’ala pun murka. Dia mengirim air bah yang amat dahsyat. Orang-orang yang menyambut dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam selamat, sedangkan yang menentangnya mati binasa. Mereka ditenggelamkan dalam kondisi yang amat mengenaskan.
Peristiwa tragis ini Allah subhanahu wa ta’ala abadikan dalam al-Qur’anul Karim; surah Nuh dan beberapa surat lainnya sebagai pelajaran berharga bagi segenap umat manusia.
Apakah salah kaprah tabarruk tersebut berhenti sampai di situ? Jawabannya, tidak. Ternyata kaum Yahudi dan kaum Nasrani pun terjebak dalam tabarruk yang salah kaprah itu.
Di dalam Shahih al-Bukhari (no. 427) dan Shahih Muslim (no. 528) disebutkan bahwa Ummu Habibah radhiallahu ‘anha dan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bercerita tentang gereja yang pernah mereka lihat di negeri Habasyah (Ethiopia) dan di dalamnya terdapat gambar-gambar. Mereka berdua menyampaikannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Sesungguhnya mereka itu, jika ada orang saleh di tengah-tengah mereka dan meninggal dunia, mereka membangun tempat ibadah di atas kuburannya dan membuat gambar-gambar padanya. Mereka itu sejelek-jelek makhluk di sisi Allah pada hari kiamat.”
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Para pendahulu mereka berbuat demikian semata-mata untuk meneladani dan mengenang berbagai keteladanan mulia yang ada pada orang-orang saleh tersebut, terkhusus ketika melihat gambar-gambar mereka. Supaya lebih bersungguh-sungguh layaknya kesungguhan yang ada pada mereka. Aktivitas ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala pun mereka lakukan di sisi kuburan orang-orang saleh tersebut.
Keadaan seperti ini berjalan dalam masa yang cukup lama. Hingga datanglah generasi berikutnya yang tidak tahumenahu faktor utama yang melatarbelakangi perbuatan para pendahulu mereka itu.
Setan pun membisikkan kepada mereka bahwa dahulu ayah-ayah dan kakek-kakek mereka menyembah gambar-gambar tersebut. Akhirnya mereka menyembahnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya dari perbuatan semacam itu, mengecam keras orang yang melakukannya, dan menutup segala sebab yang mengantarkan kepadanya.” (Tafsir al-Qurthubi 2/5)
Subhanallah, proses penyimpangan mereka tak jauh berbeda dengan yang terjadi pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Lagi-lagi fitnah gambar atau patung dan fitnah kubur yang menjerumuskan mereka ke dalam kubangan syirik.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkumpul pengagungan terhadap patung (gambar) dan kubur. Karena itulah, berhala Laata diibadahi. Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanadnya dari Sufyan, dari Manshur, dari Mujahid, bahwa Laata adalah seorang yang membuat makanan dari adonan gandum untuk para jamaah haji. Ketika dia meninggal dunia, orang-orang menetapi (bertirakat) di atas kuburannya’.” (Ighatsatul Lahafan 1/184)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan kaum Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat khawatir bila umat Islam berbuat seperti mereka, menjadikan kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tempat ibadah. Diriwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang berujung kematian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah.”
Aisyah berkata, “Kalau bukan karena itu, niscaya akan ditampakkan kuburan beliau (di pekuburan umum). Hanya saja dikhawatirkan kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan tempat ibadah.” (HR. al-Bukhari no. 1390 dan Muslim no. 529)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Alasan inilah yang menyebabkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pembangunan tempat ibadah di atas kuburan. Karena perbuatan itulah yang menjerumuskan mayoritas umat manusia, adakalanya ke dalam syirik besar atau ke dalam syirik yang di bawahnya…
Adapun jika seseorang memaksudkan shalat di sisi kuburan untuk ngalap berkah di tempat tersebut, ini jelas-jelas penentangan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, penyelisihan terhadap agamanya, dan mengadakan hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sungguh, kaum muslimin telah sepakat berdasarkan ilmu yang mendasar dari agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa shalat di sisi kuburan di larang dalam agama dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.
Jadi, di antara bid’ah dan sebab kesyirikan terbesar adalah shalat di sisi kuburan, menjadikan kuburan tersebut tempat ibadah, dan membangun masjid di atasnya. Sungguh, telah mutawatir riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan keras.” (Iqtidha’ash-Shirathil Mustaqim 2/192)
Fitnah Tabarruk Menimpa Umat
Di antara ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap umat Islam, adanya orangorang yang gemar mengikuti kaum Yahudi dan kaum Nasrani dalam berbagai aspek
kehidupan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti cara/jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal dengan sejengkal, sehasta dengan sehasta. Sampai-sampai apabila mereka masuk ke liang dhabb (sejenis biawak yang hidup di padang pasir), niscaya kalian akan mengikuti mereka.”
Kami berkata, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?”
Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu. Lihat al-Lu’lu wal Marjan no. 1708)
Tak luput pula dalam permasalahan tabarruk alias ngalap berkah. Diriwayatkan dalam Sunan at-Tirmidzi (4/475) dari sahabat Abu Waqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju perang Hunain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah pohon besar milik kaum musyrikin yang terkenal dengan sebutan Dzatu Anwath. Mereka selalu menggantungkan peralatan perang padanya (untuk ngalap berkah).
Berkatalah orang-orang (yang baru masuk Islam), ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana Dzatu Anwath mereka!’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Subhanallah! Ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa ‘alaihissalam {Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana sesembahan mereka} [al-A’raf: 138], Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti cara/jalan orang-orang sebelum kalian!”[3]
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullah berkata, “Pada hadits ini terdapat penjelasan bahwa bentuk ibadah mereka (kaum musyrikin) terhadap Dzatu Anwath tersebut dengan pengagungan, i’tikaf/tirakat, dan ngalap berkah. Dengan tiga hal inilah pepohonan dan semisalnya diibadahi.” (Fathul Majid, hlm. 138)
Beliau rahimahullah juga berkata, “Jangan merasa aneh akan terjadinya kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala di tengah umat ini. Jika sebagian sahabat menganggap baik perbuatan tabarruk terhadap Dzatu Anwath dan memintanya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga dijelaskanlah kepada mereka bahwa itu seperti ucapan Bani Israil, “Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana sesembahan mereka”; maka bagaimana mungkin itu tidak terjadi pada orang-orang yang lebih rendah ilmu dan keutamaannya berlipat-lipat kali, bersamaan dengan kuatnya kebodohan dan jauhnya dari masa kenabian?!” (Fathul Majid, hlm. 139)
Tak mengherankan apabila al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi rahimahullah membuat bab khusus dalam Kitabut Tauhid bahwa sebagian umat ini menyembah berhala, Bab Ma Jaa Anna Ba’dha Hadzihil Ummah Ya’budhul Autsan. Dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah seputar permasalahan itu pun beliau sebutkan dengan amat gamblang.
Ketika Tabarruk Menjadi Komoditi Bisnis
Dewasa ini, aktivitas tabarruk kian hari kian meningkat. Grafiknya pun naik signifikan. Tak heran, bila aktivitas tersebut banyak dilirik oleh para spekulan untuk komersial atau komoditi bisnis. Tidak hanya di Indonesia tanah air kita, di belahan bumi yang lainnya pun kurang lebih demikian adanya.
Mungkin dalam pemikiran mereka, mengomersialkan aktivitas ngalap berkah tersebut mempunyai potensi emas untuk meraup keuntungan dunia dan akhirat, terkhusus manakala objeknya “bernuansa agama”, seperti kuburan orang-orang saleh atau yang dianggap wali, situs-situs sejarah perjuangan Islam, para alim ulama yang dipercaya ampuh alias waskita, dan sebagainya. Padahal sejatinya tidaklah demikian menurut pandangan Islam yang hanif (lurus). Kasus dan latar belakangnya tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam, Yahudi, dan Nasrani.
Untuk lebih menarik pangsa pasar, label-label religi pun selalu disematkan pada setiap aktivitas tabarruk yang “bernuansa agama”. Tak heran, bila label semisal “Wisata Religi” meruak di seantero negeri. Apalagi di era globalisasi dan industrialisasi ini, tatkala dunia telah mengglobal bak sebuah kampung yang mudah untuk berinteraksi dan berkomunikasi.
Tak kalah ramainya ngalap berkah pada tempat-tempat yang diduga keramat atau sakral; gunung, gua, petilasan (peninggalan bersejarah), sendang (danau kecil), pohon keramat, dan sebagainya. Demikian pula ngalap berkah pada bendabenda pusaka yang dipercaya ampuh dan memiliki kekuatan supernatural; keris, besi kuning, batu ajaib, sabuk sakti, dan sebagainya. Kasus dan latar belakangnya tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada kaum musyrikin dan pohon Dzatu Anwath mereka.
Tabarruk alias ngalap berkah sebagaimana paparan di atas merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama. Serpihan-serpihan syirik sangat kental menyelimutinya, baik syirik besar maupun syirik kecil. Jika demikian, sangat naif sekali menjadikan momen ramainya aktivitas tabarruk sebagai lahan komersial atau komoditi bisnis. Apalah artinya harta yang berlimpah apabila dihasilkan dari jalan yang tidak diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala?!
Tabarruk alias ngalap berkah sebagaimana paparan di atas bertentangan dengan misi utama dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berjuang mati-matian mengajak umat kepada tauhid, memberantas kesyirikan, dan menutup segala pintu yang mengantarkan kepada kesyirikan, termasuk tabarruk.
Mungkinkah seorang muslim sejati memfasilitasi kesyirikan demi meraih dunia, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberantasnya?! Mungkinkah seorang muslim sejati membuka pintu-pintu yang mengantarkan kepada kesyirikan termasuk tabarruk demi meraup harta, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupnya?!
Jiwa yang bertauhid dan bersih dari noda syirik pasti berkata, “Tidak mungkin!”
Seberapakah nilai dunia apabila dibandingkan dengan al-Jannah (surga) yang mahal tak terhingga?! Seberapakah nilai harta jika dibandingkan dengan keagungan syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari kiamat?! Ingat, syafaat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diberikan kepada pelaku kesyirikan atau yang memfasitasi kesyirikan!
Wallahul Musta’an.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi
[1] Lihat Ighatsatul Lahafan karya al-Imam Ibnul Qayyim 2/102 dan Kitabut Tauhid karya asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, hlm. 6.
[2] Yaitu firman-Nya,
وَقَالُواْ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّٗا وَلَا سُوَاعٗا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسۡرٗا
“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan terhadap, pen.) tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’.” (Nuh: 23)
[3] Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 2180.