Aktivis pembela LGBT selalu mencari-cari alasan pembenar untuk mendukung LGBT. Terkadang mereka menyerukan bahwa LGBT adalah “HAM”. Pada kesempatan yang lain, mereka membahasnya dari sisi medis bahwa LGBT bukanlah gangguan atau penyakit, alias LGBT itu normal. Sebagian lagi memaksakan dengan kamus ‘othak-athik gathuk’ (memutarbalikkan kata-kata) demi melindungi LGBT. Dari jalur hukum pun mereka berusaha dengan gigih supaya LGBT terus-menerus legal.
Sungguh, tak disangka, perbuatan yang jelas-jelas keji dan mungkar, ternyata masih saja banyak yang membelanya. Tentu saja, hal ini harus menyadarkan kita dari “tidur” kita. Jika kita hanya terus-menerus diam dan tidak bersungguh-sungguh melawan arus ini, bagaimana nasib generasi penerus kita? Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melindungi anak dan keturunan kita dari penyakit LGBT.
Lebih disayangkan lagi, sebagian pihak yang memiliki latar belakang pendidikan agama justru memaksakan diri mencari dalil dari al-Qur’an. Mereka mencari ayat-ayat yang dapat mereka gunakan sebagai dalil (baca: dalih) untuk melegalkan LGBT.
Sungguh, pihak-pihak yang seperti ini kondisinya justru lebih kejam dan lebih berbahaya bagi umat. Sebab, sebenarnya dalam hati nurani terdalam para pelaku LGBT, mereka mengingkari apa yang mereka perbuat. Namun, gara-gara “dalil-dalil” yang dibawakan para aktivis LGBT, akhirnya membuat mereka justru “nyaman”. Demikian pula keterangan yang mereka propagandakan, berpotensi menjadi kerancuan di tengah kaum muslimin. Ya Allah, hanya kepada-Mu lah kami mengadu.
Semua syubhat[1] dan kerancuan berpikir di atas, bisa dibantah dan disanggah; dengan dua jenis bantahan.
Dalam al-Qur’an dan hadits terdapat dalil-dalil yang jelas dan tegas melarang dan mengecam perbuatan homoseks dan lesbian. Dalil-dalil tersebut bersifat jelas, tegas, gamblang, dan muhkam. Dalil-dalil yang seperti ini keadaannya tidak mungkin bisa diragukan, apalagi disandingkan dengan alasan-alasan yang dibawakan oleh aktivis LGBT, yang masih memiliki celah dan kesamaran (mutasyabih).
Jika ada dalil yang menurut kita samar (mutasyabih), tentu harus dikompromikan dan dikembalikan kepada dalil-dalil yang tegas dan muhkam. Silakan simak dan ulang kembali uraian dari awal pembahasan yang menerangkan kepada kita dengan begitu jelas dan gamblang tentang larangan LGBT.
Baca pula:
LGBT, Sebab Kehancuran & Disegerakannya Azab
Homoseksual Menurut Ulama Empat Mazhab
Data dan Fakta LGBT & HIV/AIDS di Indonesia
Berikut ini kami akan membawakan sebagian dalil (baca: dalih) yang dipakai oleh beberapa pihak untuk melegalkan dan membenarkan LGBT.
Ketika Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang pihak-pihak yang para wanita muslimah diperbolehkan melepas hijabnya di hadapan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan,
ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ
“… pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)….”
Dalam Tafsir al-Baghawi (18/35) disebutkan beberapa penafsiran:
Ada sebuah penafsiran yang sering diseret oleh aktivis LGBT untuk menjadi dalil (baca: dalih) bagi mereka, yakni penafsiran Ikrimah, salah seorang murid Ibnu Abbas. Bahkan, sebagian mereka mengaku merujuk ke Tafsir ath-Thabari. Mereka mengklaim bahwa lafal
غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ
ditafsirkan oleh Ikrimah dengan “lelaki yang kecenderungan seksualnya kepada sesama jenis atau waria (mukhannats).”
Menurut mereka, hal ini menunjukkan bahwa LGBT adalah kewajaran karena al-Qur’an menyebutkannya. Bahkan, mereka juga menyebutkan bahwa orang-orang penyuka sesame jenis adalah bawaan dari lahir, yang mereka istilahkan wis cithakane (cetakannya memang sudah seperti itu dari sananya).
Klaim yang serampangan ini tentu sangatlah keliru. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut.
Sungguh fatal kesalahan dalam penerjemahan tafsir tersebut. Ikrimah mengatakan,
هُوَ المُخَنَّثُ الَّذِي لَا يَقُوْمُ زُبُّهُ
“Waria yang mengalami impotensi total.”
Tidak sedikit pun beliau menyebut ketertarikan sesama jenis. Silakan buka Tafsir ath-Thabari yang mereka rujuk! Sama sekali tidak disebutkan kecenderungan seksual sesama jenis. Ikrimah hanya menyebutkan impotensi total, yang artinya tidak memiliki hasrat sama sekali kepada selain jenis atau sesama jenis.
Demikian pula, makna mukhannats/mukhanits menurut ahli bahasa Arab adalah lelaki yang menyerupai wanita dalam hal perangai, tutur kata, dan gerakannya (bukan orientasi seksual). Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa mukhannats ada dua tipe:
Dia tidak berhak mendapat celaan. Akan tetapi, orang yang seperti ini dituntut untuk berusaha meninggalkan sifat tersebut secara bertahap dan kontinu. Jika dia membiarkan sifat tersebut ada pada dirinya, apalagi merasa ridha dengan keadaannya, dia berhak mendapat celaan.
Orang yang seperti ini kondisinya diancam keras dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma,
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَال
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari) (Lihat Fathul Bari 10/409)
Salah satunya adalah istilah wildan mukhalladun (anak-anak yang kekal) pada surah al-Waqi’ah ayat 17 dan al-Insan ayat 19, dan ghilman (anak-anak yang menjadi pelayan) pada surah ath-Thur ayat 24.
Mereka mengatakan, “Janji Qur’an tentang kehidupan di surga kepada masyarakat Arab masa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, tidak hanya bidadari atau hunian, tapi juga anak-anak muda berwajah tampan. Janji Qur’an erat kaitannya dengan kondisi masyarakat yang diajak berbicara, artinya disesuaikan imajinasi masyarakat di mana Qur’an diturunkan. Dalam perkataan lain, ketika Qur’an diwahyukan ada banyak lelaki yang memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak muda tampan. Karena itu Qur’an menjanjikan demikian.”
Seorang muslim yang mengagungkan al-Qur’an tentu akan merasa geram dengan kutipan di atas. Kutipan tersebut tidak ubahnya merupakan sebuah penistaan terhadap al-Qur’an, kitab suci umat Islam. Dari mana mereka bisa mengambil kesimpulan seperti itu? Sangat tidak ilmiah dan tanpa dasar. Duhai, sekiranya mereka mau membuka kitab-kitab tafsir induk yang tidak diragukan lagi keilmiahannya.
Saat menjelaskan tafsir penggalan ayat
وَيَطُوفُ عَلَيۡهِمۡ غِلۡمَانٌ لَّهُمۡ
“Dan berkeliling di sekitar mereka anak-anak muda untuk (melayani) mereka….” (ath-Thur: 24)
Imam Qurthubi rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, “Maksudnya, berkeliling menyuguhkan buah-buahan, hidangan, makanan dan minuman. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala pada ayat lain,
يُطَافُ عَلَيۡهِم بِصِحَافٍ مِّن ذَهَبٍ
“Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas.” (az-Zukhruf: 71)
يُطَافُ عَلَيۡهِم بِصِحَافٍ مِّنيُطَافُ عَلَيۡهِم بِكَأۡسٍ مِّن مَّعِينٍۢ
“Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir.” (ash-Shaffat: 45)
Ada yang berpendapat bahwa anak-anak itu adalah anak-anak mereka sendiri yang meninggal mendahului mereka, maka Allah subhanahu wa ta’ala membuat gembira ahli surga dengan kehadiran anak-anak tersebut.
Adapula ulama yang berpendapat, mereka adalah pelayan yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan untuk melayani ahli surga, bukan dari anak-anak mereka.
Adapula yang berpendapat, mereka adalah anak-anak yang diciptakan di surga. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 7/10)
Jadi, jelas bahwa yang dimaksud adalah melayani mengantarkan hidangan, bukan melayani hasrat seksual. Sungguh lancang pernyataan para pendukung LGBT. Bagaimana bisa berita tentang anak-anak yang menjadi pelayan di surga serta-merta diseret ke pemahaman bolehnya LGBT?!
Berdalih dengan klaim bahwa bangsa Arab dahulu banyak yang memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak muda tampan, tidak bisa diterima. Buktinya, dalam buku induk sejarah Islam, al-Bidayah wan Nihayah (9/185) karya Ibnu Katsir disebutkan,
“Mafsadah yang ditimbulkan perbuatan liwath termasuk yang paling jelek. Perbuatan itu tidak dikenal oleh bangsa Arab terdahulu, sebagaimana dihikayatkan dari sebagian mereka. Walid bin Abdul Malik (salah satu khalifah Bani Umayyah) menyatakan, ‘Seandainya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyampaikan kepada kita kisah kaum Luth alaihis salam di dalam al-Qur’an, aku tidak akan menyangka ada lelaki yang ‘menunggangi’ lelaki’.”
Wallahu Musta’an.
[1] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, maknanya adalah keragu-raguan atau kekurangjelasan tentang sesuatu (apakah halal atau haram dan sebagainya) karena kurang jelas status hukumnya; tidak terang (jelas) antara halal dan haram atau antara benar dan salah.