الْحَمْدُ لِلهِ ذِي الفَضْلِ وَالإِحْسَانِ، جَعَلَ إِقَامَةَ الصَّلاَةِ مِنْ أَعْظَمِ صِفَاتِ أَهْلِ الإِيْمَانِ، وَأشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً تُنْجِيْ مَنْ قَالَهَا وَعَمِلَ بِهَا مِنَ النِّيْرَانِ، وَتُوْجِبُ لَهُ دُخُوْلَ الجَنَانِ، وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُؤَيَّدُ بِالمُعْجِزَاتِ وَالبُرْهَانِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأصْحَابِهِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمً كَثِيْرًا؛
أَمّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ سُبْحَانَ وَتَعَالَى أَمَرَ بِإِقَامَةِ الصَّلاَةِ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah l, Rabb yang menciptakan dan menguasai serta mengatur seluruh alam semesta. Kita senantiasa memuji-Nya dalam keadaan apapun dan di manapun kita berada. Dialah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan tidak ada sesembahan selain-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah n, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berjalan di atas petunjuknya.
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Shalat lima waktu adalah perintah Allah l yang paling besar setelah kewajiban bertauhid kepada-Nya. Bahkan Allah l memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menegakkannya. Hal ini mengandung pengertian lebih dari sekadar menjalankannya. Menegakkan shalat sebagaimana diterangkan oleh para ulama adalah menjalankannya sebagaimana diperintahkan Allah l yaitu secara berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki dengan memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, serta kewajiban-kewajibannya. Dan akan lebih sempurna apabila dengan menjalankan sunnah-sunnahnya.
Hadirin jamaah shalat jum’at rahimakumullah,
Berdasarkan petunjuk dari Al-Qur`an dan hadits Nabi n, para ulama menyebutkan bahwa syarat sahnya shalat ada 9 (sembilan). Syarat-syarat ini harus dipenuhi ketika seseorang hendak mulai mengerjakan hingga dia menyelesaikan shalatnya. Kesembilan syarat tersebut adalah: Islam, berakal, tamyiz, suci dari hadats, suci dari najis, menutup aurat, telah masuk waktunya, menghadap kiblat dan niat. Berdasarkan syarat pertama, yaitu Islam, maka tidak sah dan tidak diterima shalat seseorang apabila dia mengerjakannya dalam keadaan dirinya masih kafir. Bahkan ibadah apapun yang dia lakukan tidak akan diterima oleh Allah l selama dia melakukannya dalam keadaan kafir. Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin untuk mengetahui agamanya dengan benar serta menjaga dirinya dari melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa mengeluarkannya dari agamanya. Karena bisa jadi seseorang merasa dirinya muslim, namun sesungguhnya dia telah keluar dari agamanya karena terjatuh pada perbuatan syirik atau pembatal Islam lainnya. Sehingga dirinya menyangka akan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah l, namun ternyata dia tidak bakal mendapatkannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah l tentang keadaan orang-orang kafir:
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar. Orang yang dahaga menyangkanya (ada) air, namun ketika mendatanginya dia tidak mendapati air sedikitpun.” (An-Nur: 39)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Adapun syarat sahnya shalat yang kedua yaitu berakal, menunjukkan bahwasanya seseorang apabila dia mengerjakannya dalam keadaan gila maka shalatnya tidak sah. Begitu pula orang yang mabuk, tidur, dan semisalnya. Hal ini karena mereka tidak menyadari apa yang dilakukannya. Hanya saja orang yang meninggalkan shalat karena gila atau karena tertidur tidak dicatat sebagai orang yang berbuat dosa, sebagaimana disebutkan oleh Nabi n dalam sabdanya:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَالْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَالصَّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغََ
“Diangkat pena dari tiga orang, (yaitu): orang yang tertidur sampai dia bangun, orang yang gila sampai dia sadar dan anak kecil sampai dia baligh.” (HR. Ahmad dan lainnya disahihkan Al-Albani t dalam Al-Irwa`)
Akan tetapi orang yang meninggalkannya karena sebab tertidur, setelah dia bangun maka dia wajib mengerjakan shalat-shalat yang ditinggalkannya. Hal ini disebutkan oleh sabda Nabi n:
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa (dari mengerjakan) shalat atau dia tertidur dari shalat (sehingga meninggalkannya), maka kewajibannya adalah mengerjakannya ketika dia ingat.” (HR. Muslim)
Saudara-saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah,
Adapun syarat yang ketiga adalah tamyiz, yaitu telah berusia 7 (tujuh) tahun atau lebih. Hal ini sebagaimana sabda Nabi n:
مُرُا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِيْ الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika telah mencapai umur tujuh tahun dan pukullah mereka apabila tidak mau shalat ketika sudah berumur sepuluh tahun, serta pisahkan mereka (pada usia tersebut) dari tempat tidurnya.” (HR. Ahmad dan lainnya disahihkan Al-Albani t dalam Al-Irwa`)
Hadits ini menunjukkan bahwa apabila seorang anak mengerjakan shalat ketika usianya telah mencapai tujuh tahun maka shalatnya sah, meskipun belum ada kewajiban atasnya untuk menjalankannya. Adapun anak yang belum berumur tujuh tahun maka belum diperintahkan untuk shalat. Sehingga tidak semestinya bagi anak yang usianya belum mencapai tujuh tahun untuk ditempatkan di shaf bersama-sama orang-orang dewasa yang telah memenuhi syarat ketika menjalankan shalat. Karena dia tidak dianggap orang yang sedang shalat sehingga keberadaannya di dalam shaf secara tidak langsung bisa memutus shaf. Wallahu a’lam bish-shawab.
Hadirin, jamaah shalat jum’at rahimakumullah
Syarat yang keempat adalah bersuci dari hadats, baik berupa hadats besar yaitu dengan mandi ataupun hadats kecil yaitu dengan berwudhu. Akan tetapi dalam keadaan tertentu seseorang diberi kemudahan untuk bertayammum sebagai pengganti dari berwudhu ataupun mandi. Yaitu apabila seorang dalam keadaan tidak mendapatkan air, atau ada air namun dikhawatirkan akan menyebabkan bertambah parahnya sakit yang dideritanya atau memperlambat kesembuhannya. Allah l berfirman:
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan (maksudnya melakukan jima’), lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah wajah dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Ma`idah:6)
Hadirin rahimakumullah,
Adapun syarat sahnya shalat yang kelima adalah suci dari najis, baik yang mengenai badannya, pakaian atau tempat yang digunakan untuk shalat. Namun jika baru ingat atau mengetahui adanya najis setelah selesai dari shalat, maka shalatnya sah. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam hadits yang menyebutkan bahwa Nabi n ketika diberitahu oleh malaikat Jibril di tengah-tengah shalatnya bahwa pada sandal yang dipakai oleh beliau n ada najisnya, maka beliau n melemparkan sandalnya dan melanjutkan shalatnya tanpa mengulangi shalatnya dari awal.
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Syarat yang keenam dari syarat sahnya shalat adalah menutup aurat. Allah l berfirman:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah ketika (menuju) masjid (untuk menjalankan shalat).” (Al-A’raf: 31)
Ayat ini memerintahkan kepada kita untuk tidak sekadar menutup aurat, namun memerintahkan kita untuk berpenampilan yang baik ketika hendak menjalankan shalat. Maka sudah semestinya bagi kita untuk berpakaian yang bersih dan rapi ketika hendak mengerjakannya. Bukankah seseorang juga malu untuk memakai pakaian yang kotor dan bau ketika ingin menghadap pimpinannya? Maka semestinya seseorang lebih malu untuk berpenampilan seenaknya ketika hendak berhubungan dengan Allah l melalui shalat. Begitu pula seseorang semestinya memerhatikan aturan syariat dalam berpakaian baik di luar shalat maupun ketika shalat. Seperti tidak menggunakan pakaian yang menyerupai model pakaian orang kafir, baik pakaian yang sangat ketat maupun sangat tipis. Begitupula tidak mengenakan pakaian yang terdapat gambar makhluk yang bernyawa, serta tidak memakai pakaian yang menutup bagian mata kakinya (bagi laki-laki, ed.) dan yang lainnya.
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Syarat sahnya shalat yang ketujuh adalah telah masuk waktu shalat, sebagaimana tersebut dalam firman Allah l:
“Sesungguhnya shalat itu telah diwajibkan pada waktu yang telah ditentukan atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa`: 103)
Sehingga tidaklah benar apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang menunda-nunda waktu shalat sampai keluar waktunya dengan alasan dalam perjalanan atau karena sakit. Bahkan semestinya mereka menjalankannya pada waktu yang telah ditetapkan atau menjamak shalat-shalat yang bisa dijamak. Adapun menjalankan shalat yang diwajibkan pada malam hari dengan dilakukan di siang hari dan sebaliknya, atau menjalankan shalat fajar setelah terbitnya matahari, maka ini adalah perbuatan yang melanggar syariat Allah l. Wallahu a’lam bish-shawab.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَمَرَ بِالْـمُحَافَظَةِ عَلىَ الصَّلاَةِ إِلَى الْمَمَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ فِيْ رُبُوْبِيَّتِهِ وإِلَهِيَّتِهِ وَمَا لَهُ مِنَ اْلأَسْماءِ وَالصِّفَاتِ، وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسُوْلُهُ الْـمُؤَيَّدُ بِالمُعْجِزَاتِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ ذَوِيْ الْمَنَاقِبِ العَظِيْمَةِ وَالْكَرَامَاتِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمً كَثِيْرًا، أَمّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى فَإِنَّ تَقْوَاهُ سَبَبٌ لِنَيْلِ العِلْمِ النَّافِعِ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa berusaha untuk mempelajari agama Islam dan mengamalkannya. Karena dengan itu Allah l akan mengaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan ilmu kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 282)
Jamaah jum’at rahimakumullah,
Masih berkaitan dengan syarat-syarat sahnya shalat, syarat yang kedelapan adalah menghadap kiblat. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah l:
“Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arahnya.” (Al-Baqarah:144)
Berkaitan dengan syarat ini, maka seseorang yang tidak berusaha mencari tahu arah kiblat dalam keadaan dia tidak tahu arah, kemudian setelah shalat dia baru tahu bahwa shalatnya tidak menghadap kiblat, maka shalatnya tidak sah. Syarat ini juga tetap berlaku meskipun orang yang menjalankannya dalam keadaan sakit. Sehingga wajib bagi orang yang sakit untuk menghadap kiblat meskipun dia shalat dalam keadaan berbaring miring, baik di atas sisi kanannya maupun sisi kirinya. Apabila shalatnya sambil berbaring di atas punggungnya maka dia menjadikan kakinya ke arah kiblat. Kecuali kalau tidak memungkinkan untuk melakukan itu semua, maka tidak mengapa baginya untuk shalat wajib ke arah mana yang dia mampu untuk melakukannya.
Hadirin rahimakumullah,
Adapun syarat yang kesembilan adalah niat, yaitu keinginan yang kuat untuk melakukan shalat tertentu dalam rangka beribadah kepada Allah l. Namun niat tempatnya di hati. Sehingga ketika seseorang telah bewudhu kemudian masuk shaf bersama-sama orang yang shalat berarti telah melekat niat pada dirinya meskipun tidak dia ucapkan. Bahkan para ulama menyebutkan bahwa mengucapkan niat dengan mengatakan nawaitu ushalli dan seterusnya baik dengan lisannya maupun di dalam hatinya adalah bid’ah. Sehingga sudah semestinya kita tidak melakukannya, karena hal ini tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah n. Begitu pula wajib bagi kita untuk hati-hati dari penyakit was-was atau keraguan yang sering dimunculkan oleh setan. Sehingga terkadang ada orang yang bertakbir berkali-kali karena setan membisikkan kepadanya bahwa niatnya belum muncul dengan benar, atau ucapan takbirnya kurang benar.
Mudah-mudahan Allah l menjadikan kita sebagai orang-orang yang bisa menegakkan shalat. Sehingga kita tidak tergolong orang-orang yang shalat namun dikatakan sebagai orang yang celaka. Sebagaimana seseorang yang secara lahiriah mengerjakan gerakan-gerakan shalat namun di hadapan Allah l tidak dihukumi sebagai orang yang sedang shalat, karena dia mengakhirkan waktu shalatnya. Allah l berfirman:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Ma’un:4-5)
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمَ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمينَ فِي كُلِّ مَكانٍ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ