Tanya:
Saya mau tanya tentang ayat yang ada kata “sajada”, apakah disunnahkan untuk sujud? Kalau ya, lalu bacaannya apakah tiap-tiap ayat berbeda? Cara melakukannya bagaimana? Terima kasih sebelumnya.
Dijawab: oleh Ustadz Qomar Suaidi hafizhahullah
Menanggapi pertanyaan tersebut, kami sampaikan bahwa sujud tersebut dinamakan sujud tilawah. Tilawah artinya bacaan. Sujud tilawah disebut juga sujudul Qur’an. Jadi, sujud tersebut adalah sujud yang disebabkan karena bacaan.
Bacaan yang dimaksud adalah bacaan pada ayat-ayat yang disebut ayat sajdah. Ayat sajdah bukanlah setiap ayat yang disebutkan padanya kata sajada (سجد), melainkan ayat-ayat tertentu yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau para sahabatnya pernah melakukan sujud tilawah padanya. Ayat-ayat tersebut kemudian dikumpulkan oleh para ulama.
Ibnu Hazm rahimahullah menyimpulkan, jumlah ayat sajdah ada empat belas, yaitu:
Terdapat beberapa perbedaan pendapat pada penentuan beberapa ayat, tetapi mayoritas yang tersebut di atas telah disepakati. Biasanya, dalam cetakan mushaf ada tanda pada tiap-tiap ayat sajdah tersebut.
Adapun bacaannya, terdapat sebuah riwayat yang menerangkannya. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَقُولُ فِى سُجُودِ الْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ يَقُولُ فِى السَّجْدَةِ مِرَارًا: سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ
“Dalam sujud al-Qur’an pada malam hari, Rasulullah biasa membaca dalam sujud berulang-ulang,
سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ
‘Telah sujud wajahku untuk yang menciptakannya dan membuka penglihatan serta pendengarannya dengan kemampuan dan kekuatan-Nya’.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan yang lain; dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: إِنِّي رَأَيْتُ الْبَارِحَةَ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ كَأَنِّي أُصَلِّي إِلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ فَقَرَأْتُ السَّجْدَةَ فَسَجَدْتُ فَسَجَدَتِ الشَّجَرَةُ لِسُجُودِي فَسَمِعْتُهَا تَقُولُ: اللَّهُمَّ احْطُطْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا وَاكْتُبْ لِي بِهَا أَجْرًا وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا.
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ قَرَأَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ مِثْلَ الَّذِى أَخْبَرَهُ الرَّجُلُ عَنْ قَوْلِ الشَّجَرَةِ.
“Aku pernah berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seseorang datang lalu berkata, ‘Sesungguhnya semalam aku melihat seperti halnya orang yang bermimpi. Aku seakan-akan melakukan shalat menghadap pangkal sebuah pohon. Aku membaca ayat sajdah, lalu aku sujud dan pohon itu ikut sujud. Aku mendengar pohon itu mengucap,
اللَّهُمَّ احْطُطْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا وَاكْتُبْ لِي بِهَا أَجْرًا وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا
‘Ya Allah, gugurkanlah dariku dosaku dengan sujud ini, dan tulislah pahala bagiku dengan sujud ini, serta jadikanlah sujud ini tabungan untukku di sisi-Mu’.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Lalu aku melihat Nabi membaca ayat sajdah kemudian beliau sujud. Aku mendengar beliau membaca dalam sujudnya seperti yang diberitakan oleh orang tersebut tentang apa yang dibaca oleh pohon itu.”
Apakah Disyaratkan dalam Keadaan Suci ketika Melakukan Sujud?
Sujud tilawah bisa dilakukan dalam shalat, bisa pula di luar shalat. Dalam shalat, tentu sujud tilawah dilakukan dalam keadaan suci. Adapun sujud tilawah di luar shalat tidak dipersyaratkan suci.
Imam al-Bukhari rahimahullah menyampaikan sebuah riwayat dalam Shahih-nya, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau dahulu sujud tidak dalam keadaan suci (wudhu). (“Abwabu Sujudil Qur’an”, Bab “Sujudul Muslimin Ma’al Musyrikin”)
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Sujud tilawah dilakukan dalam shalat wajib dan sunnah, dan pada selain shalat, pada setiap saat, (walaupun) saat terbit matahari, saat tenggelamnya dan saat matahari di tengah siang, menghadap kiblat atau tidak, dalam keadaan suci atau tidak.” (al-Muhalla, 5:157, “Kitabush Shalah”, bab “Sujudul Qur’an”)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, al-Ikhtiyarat, “Sujud tilawah bukanlah shalat sehingga dalam hal ini tidak dipersyaratkan syarat-syarat shalat. Ia boleh dilakukan tidak dalam keadaan suci. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pun dahulu sujud tidak dalam keadaan suci. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Bukhari rahimahullah. Akan tetapi, sujud dengan syarat-syarat shalat lebih baik.” (al-Fatawa al-Kubra)
Apakah Dipersyaratkan Takbir dalam Sujud Tilawah?
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak disyariatkan padanya takbiratul ihram, tidak pula salam. Inilah sunnah yang dikenal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan diamalkan oleh kebanyakan ulama salaf.” (al-Fatawa al-Kubra, 5/340)
Akan tetapi, tampaknya ucapan beliau ini berlaku apabila sujud tilawah dilakukan di luar shalat.
Sebagian ulama—seperti Abu Qilabah dan Ibnu Sirin rahimahumallah—berpendapat bahwa sujud ini dimulai dengan takbir.
Adapun di dalam shalat, para ulama juga berbeda pendapat.
Beliau mengatakan, “Sekelompok sahabat telah meriwayatkan sujud tilawah Nabi shallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak ayat, dalam banyak kesempatan, tetapi tidak seorang pun dari mereka menyebutkan takbir untuk sujud. Oleh karena itu, kami condong pada pendapat tidak adanya takbir.”
Ini adalah pendapat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Nabi shalahu ‘alaihi wasallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut.
أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ، فَيُكَبِّرُ كُلَّمَا خَفَضَ وَرَفَعَ، فَإِذَا انْصَرَفَ قَالَ: إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُولِ اللهِ
“Beliau (Abu Hurairah radhiayallahu ‘anhu) shalat bersama mereka, lalu beliau mengucapkan takbir setiap kali turun dan setiap kali naik. Ketika selesai, beliau mengatakan, ‘Sesungguhnya aku adalah orang paling serupa shalatnya dengan Rasulullah di antara kalian’.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabul Adzan”, Bab “Itmamut Takbir fir Ruku”)
Hukum Sujud Tilawah
Para ulama juga berbeda pendapat tentang hal ini.
Yang rajih (kuat) adalah mazhab yang pertama berdasarkan dalil berikut ini.
أَنَّهُ سَأَلَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَزَعَمَ أَنَّهُ قَرَأَ عَلَى النَّبِيِّ) وَالنَّجْم)ِ فَلَمْ يَسْجُدْ فِيهَا
“Ia bertanya kepada Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengaku pernah membacakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam surah an-Najm dan beliau tidak sujud.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab Sujudul Qur’an”, Bab “Man Qara’a as-Sajdah wa lam Yasjud”)
قَرَأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ بِسُورَةِ النَّحْلِ حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ نَزَلَ فَسَجَدَ وَسَجَدَ النَّاسُ، حَتَّى إِذَا كَانَتِ الْجُمُعَةُ الْقَابِلَةُ قَرَأَ بِهَا حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ، وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ. وَلَمْ يَسْجُدْ عُمَرُ .
وَزَادَ نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ : إِنَّ اللهَ لَمْ يَفْرِضِ السُّجُودَ إِلاَّ أَنْ نَشَاءَ
“Pada hari Jum’at Umar membaca surah an-Nahl di atas mimbar. Ketika sampai pada ayat sajdah beliau turun lalu sujud sehingga orang-orang pun ikut sujud. Saat Jum’at berikutnya, beliau membaca lagi surah tersebut hingga sampai pada ayat sajdah lantas beliau berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya kita melewati ayat sajdah. Barang siapa bersujud, sungguh ia telah benar; dan barang siapa tidak bersujud, tiada dosa baginya.’
Umar sendiri tidak bersujud.
Nafi’ rahimahullah menambahkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, (beliau berkata), “Allah subhanahu wata’ala tidak mewajibkan sujud kecuali sekehendak kita.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Abwabu Sujudil Qur’an”, Bab “Man Ra’a anna Allah lam Yujib as-Sujud”)