Dalam demokrasi, orang mengenal istilah one man one vote. Dengan satu orang satu suara, maka tak ada lagi istilah muslim atau kafir, ulama atau juhala, ahli maksiat atau orang saleh, dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan “hukum”. Walhasil, keputusan “terbaik” adalah keputusan yang diperoleh dengan suara mayoritas. Lalu bagaimana dengan sistem Islam? Siapakah yang patut didengar suaranya?
Dalam ketatanegaraan Islam, dikenal istilah “ahli syura”. Posisinya yang sangat penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dengan struktur ketatanegaraan. Karena bagaimanapun bagusnya seorang pemimpin, ia tetap tidak akan pernah lepas dari kelemahan, kelalaian, atau ketidaktahuan dalam beberapa hal. Sampai-sampai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diperintahkan untuk melakukan syura, apalagi selain beliau tentunya. Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Jika Allah subhanahu wa ta’la mengatakan kepada Rasul-Nya—padahal beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya, dan paling bagus idenya—, ‘Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’, maka bagaimana dengan yang selain beliau?” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 154)
Kata asy-syura adalah ungkapan lain dari kata musyawarah atau masyurah yang dalam bahasa kita juga dikenal dengan musyawarah, sehingga ahli syura adalah orang-orang yang dipercaya untuk diajak bermusyawarah.
Disyariatkannya Syura
Allah subhanahu wa ta’la berfirman:
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali ‘Imran: 159)
Juga Allah subhanahu wa ta’la memuji kaum mukminin dengan firman-Nya:
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dan mereka menafkahkan sebagian yang kami rezekikan kepada mereka.” (asy-Syura: 38)
Kedua ayat yang mulia di atas menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah. Ditambah lagi dengan praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering melakukannya dengan para sahabatnya, seperti dalam masalah tawanan Perang Badr, kepergian menuju Uhud untuk menghadapi kaum musyrikin, menanggapi tuduhan orang-orang munafik yang menuduh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berzina, dan lain-lain. Demikian pula para sahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih al-Bukhari, 13/339 dengan Fathul Bari)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya.” (Fathul Bari, 13/341)
Pentingnya Syura
Syura teramat penting keberadaannya sehingga para ulama, di antaranya al-Qurthubi rahimahullah, mengatakan, “Syura adalah keberkahan.” (Tafsir al-Qurthubi, 4/251)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah di antara mereka kecuali Allah subhanahu wa ta’la akan tunjuki mereka kepada yang paling utama dari yang mereka ketahui saat itu.” (Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah dalam al-Adabul Mufrad dan Ibnu Abi Hatim rahimahullah dengan sanad yang kuat.” Lihat Fathul Bari, 13/340)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya menyebutkan faedah-faedah musyawarah, di antaranya:
Apa yang Perlu Dimusyawarahkan?
Para ulama berbeda pendapat dalam mempermasalahkan hal-hal yang sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah Allah subhanahu wa ta’la untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya, sebagaimana tersebut dalam surat Ali Imran ayat 159. Dalam hal ini, Ibnu Jarir rahimahullah menyebutkan beberapa pendapat:
Pendapat terakhir inilah yang dianggap paling kuat oleh al-Jashshash rahimahullah dengan alasan-alasan yang disebut dalam kitab beliau. Lalu beliau juga berkata, “Dan pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya dari Allah subhanahu wa ta’la, yang tidak boleh bagi beliau melakukan musyawarah pada hal-hal yang telah ada ketentuannya dari Allah subhanahu wa ta’la. Ketika Allah subhanahu wa ta’la tidak mengkhususkan urusan agama dari urusan dunia ketika memerintahkan Nabi-Nya untuk musyawarah, maka pastilah perintah untuk musyawarah itu pada semua urusan.
Tampaknya pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari (13/340) setelah menyebutkan pendapat-pendapat di atas. Juga oleh asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya (hlm. 154) seperti yang terpahami dari ucapan beliau. Jadi tidak semua perkara dimusyawarahkan sampai-sampai sesuatu yang telah ditentukan syariat pun dimusyawarahkan, tapi hal tertentu saja seperti yang dijelaskan di atas. Yang mendukung hal ini adalah bacaan Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma:
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam sebagian urusan itu.” (Tafsir al-Qurthubi, 4/250)
Semua hal di atas kaitannya dengan musyawarah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka yang boleh dimusyawarahkan oleh umatnya perkaranya semakin jelas, yaitu pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya baik dari Allah subhanahu wa ta’la maupun Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya, jika telah ada ketentuannya dari syariat, maka tidak boleh melampauinya. Mereka harus mengikuti ketentuan syariat tersebut. Allah subhanahu wa ta’la berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (al-Hujurat: 1)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah mengatakan, “Maka Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak memilih musyawarah jika beliau memiliki hukum dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (Shahih al-Bukhari, 13/339—340 dengan Fathul Bari)
Sebaliknya, jika sudah ada ketentuannya dalam syariat namun mereka tidak mengetahuinya, lupa, atau lalai, maka boleh bermusyawarah untuk mengetahui ketentuan syariat dalam perkara tersebut, bukan untuk menentukan sesuatu yang berbeda dengan ketentuan syariat. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Seorang hakim/pemimpin diperintahkan untuk bermusyawarah, karena seorang penasihat akan mengingatkan dalil-dalil yang dia lalaikan dan menunjukkan dalil-dalil yang tidak dia ingat, bukan untuk bertaklid kepada penasihat tersebut pada apa yang dia katakan. Karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’la tidak menjadikan kedudukan yang demikian (diikuti dalam segala hal) itu bagi siapa pun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fathul Bari, 13/342)
Al-Bukhari rahimahullah mengatakan, “Para imam setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat bermusyawarah pada hal-hal yang mubah dengan para ulama yang amanah, untuk mengambil yang paling mudah. Jika jelas bagi mereka Al-Qur’an maupun As-Sunnah, maka mereka tidak melampauinya untuk (kemudian) mengambil selainnya. Hal itu dalam rangka meneladani Nabi…” (Shahih al-Bukhari, 13/339—340 dengan Fathul Bari. Lihat pula hlm. 342 baris 18)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Jika seorang (pemimpin) bermusyawarah dengan mereka (ahli syura) kemudian sebagian mereka menjelaskan kepadanya sesuatu yang wajib dia ikuti baik dari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, atau ijma’ kaum muslimin, maka dia wajib mengikutinya dan tiada ketaatan kepada siapa pun pada hal-hal yang menyelisihinya. Adapun jika pada hal-hal yang diperselisihkan kaum muslimin, maka mestinya dia meminta pendapat dari masing-masing mereka beserta alasannya. Lalu pendapat yang paling mirip (dekat) dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya itulah yang ia amalkan.” (Siyasah Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyah rahimahullah, hlm. 133—134 dinukil dari Fiqh Siyasah Syar’iyyah, hlm. 58)
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Syura terjadi karena perbedaan pendapat. Maka seseorang yang bermusyawarah hendaknya melihat perbedaan tersebut kemudian melihat kepada pendapat yang paling dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah jika ia mampu. Lalu jika Allah subhanahu wa ta’la membimbingnya kepada yang Allah subhanahu wa ta’la kehendaki, maka hendaknya ia ber-’azam (bertekad) untuk kemudian melakukannya dengan bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’la, yang inilah ujung dari ijtihad yang diminta dan dengan inilah Allah subhanahu wa ta’la perintahkan Nabi-Nya dalam ayat ini (Ali ‘Imran ayat 159).” (Tafsir al-Qurthubi, 4/252)
Siapakah Ahli Syura?
Ini merupakan pembahasan yang sangat penting, mengingat ahli syura sangat besar andilnya dalam menentukan sebuah keputusan, baik ataupun buruk. Sehingga jika tidak dipahami secara benar, akan berakibat sangat fatal. Ketika seseorang salah dalam menentukan ahli syura yaitu dengan memilih orang yang tidak memiliki kriteria yang ditentukan syariat, maka ini menjadi alamat kehancuran. Saking pentingnya hal ini, al-Imam al-Bukhari rahimahullah bahkan menulis bab khusus dalam kitab Shahih-nya yang berjudul “Orang Kepercayaan Pemimpin dan Ahli Syuranya”.
Lalu beliau menyebutkan sebuah hadits dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلاَ اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيْفَةٍ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ بِطاَنَتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، وَبِطاَنَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، فَالْمَعْصُوْمُ مَنْ عَصَمَ اللهُ تَعَالىَ
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi dan tidaklah menjadikan seorang khalifah kecuali ia akan punya dua orang kepercayaan. Salah satunya memerintahkan kepada yang baik dan menganjurkannya, sementara yang lain memerintahkan kepada yang jelek dan menganjurkan kepadanya. Maka orang yang terlindungi adalah yang dilindungi oleh Allah.” (Sahih, HR. al-Bukhari, kitab al-Ahkam “Bab Bithanatul Imam”, no. 7198)
Dari hadits ini dipahami, ada tiga macam pemimpin: ada yang cenderung kepada yang baik, ada yang cenderung kepada yang buruk, serta ada yang terkadang cenderung kepada yang baik dan terkadang kepada yang buruk. (Fathul Bari, 13/390—391)
Atas dasar ini, akan dinukilkan keterangan para ulama yang menjelaskan siapa sebenarnya yang berhak untuk duduk di majelis permusyawaratan. Dalam hal ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ
“Seorang yang diminta musyawarahnya adalah orang yang dipercaya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, disahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihul Jami’ no. 6700. Lihat pula ash-Shahihah no. 1641)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa ahli syura haruslah orang yang amanah, karena tidak mungkin seorang yang tidak amanah akan dipercaya. Dalam firman Allah subhanahu wa ta’la kepada Nabi-Nya:
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Maksudnya dengan Abu Bakr dan ‘Umar.” (Sanadnya sahih diriwayatkan oleh an-Nahhas dalam an-Nasikh wal Mansukh, al-Hakim dan disahihkan oleh beliau serta oleh adz-Dzahabi)
Demikianlah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dalam masalah tawanan Perang Badr dan dalam masalah lainnya. Juga dengan ‘Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu dalam masalah kejadian Ifk—yaitu tuduhan zina kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha—(Shahih al-Bukhari no. 7369) dan juga sahabat yang lain. Yang jelas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajak musyawarah kepada seluruh para sahabatnya dalam setiap hal. Akan tetapi memilih mereka yang pantas dalam perkara tersebut.
Ahli syura Abu Bakr radhiallahu ‘anhu, Maimun bin Mihran radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Jika Abu Bakr mendapati sebuah masalah maka beliau melihat kepada Kitabullah. Jika beliau mendapatkan sesuatu yang memutuskan perkara itu, maka beliau putuskan dengannya. Jika beliau mengetahuinya dari Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun memutuskan dengannya. Bila tidak beliau ketahui, beliau keluar kepada kaum muslimin dan bertanya kepada mereka tentang Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada perkara tersebut). Bila hal itu tidak mampu (menyelesaikan), maka beliau panggil tokoh-tokoh kaum muslimin dan para ulama mereka lalu beliau bermusyawarah dengan mereka.” (Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dengan sanad yang sahih.” Lihat Fathul Bari, 13/342)
Ahli syura ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Para qurra adalah orang-orang majelisnya ‘Umar dan ahli syuranya, baik yang tua maupun yang muda.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 7286, lihat Fathul Bari, 13/250)
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Al-Qurra maksudnya para ulama yang ahli ibadah.” (Fathul Bari, 13/258)
Di antara mereka adalah Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma sendiri, sebagaimana beliau kisahkan, “Umar memasukkan aku bersama orang-orang tua yang pernah ikut Perang Badr, maka seolah-olah sebagian mereka marah dan mengatakan, ‘Mengapa ‘Umar memasukkan pemuda ini bersama kita, padahal kita pun punya anak-anak semacam dia.’ Maka ‘Umar mengatakan, ‘Hal itu berdasarkan apa yang kalian ketahui (yakni bahwa dia dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari sumber ilmu)’.” (HR. al-Bukhari, 6/28)
Riwayat ini menunjukkan bahwa majelis syura ‘Umar radhiallahu ‘anhu adalah para sahabat ahli Badr karena mereka lebih utama daripada yang lain. Kemudian ‘Umar radhiallahu ‘anhu mengikutkan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bersama mereka karena ilmu yang dimilikinya, yang ilmu beliau bahkan melebihi sebagian sahabat ahli Badr, karena beliau didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Allah, pahamkan dia tentang agama dan ajari dia takwil.”
Dalam kejadian lain, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengisahkan:
Ketika itu, saya berada di tempat singgah Abdurrahman bin ‘Auf di Mina dan beliau di sisi ‘Umar, dalam sebuah haji yang merupakan akhir hajinya. Abdurrahman mengarahkan pertanyaan kepada saya, “(Apa pendapatmu) jika kamu melihat seseorang datang kepada amirul mukminin (‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu) hari ini lalu ia mengatakan, ‘Wahai amirul mukminin, apakah Anda dapat melakukan sesuatu pada fulan yang mengatakan, [Seandainya ‘Umar telah meninggal maka aku telah membai’at fulan. Demi Allah, tidaklah bai’atnya Abu Bakr dahulu kecuali hanya sesaat lalu langsung sempurna.]
Maka (mendengar laporan itu) ‘Umar marah lalu mengatakan, “Sungguh saya insya Allah akan berdiri sore ini di hadapan manusia dan akan memperingatkan mereka dari orang-orang itu yang ingin merampas urusan mereka.”
Maka Abdurrahman mengatakan, “Wahai amirul mukminin, jangan kau lakukan! Karena musim haji ini menampung orang-orang hina (juga), sesungguhnya merekalah yang akan lebih banyak dekat denganmu di saat kamu berdiri di hadapan mereka. Saya khawatir jika engkau bangkit dan mengucapkan sebuah ucapan lalu dibawa terbang oleh setiap yang terbang, mereka tidak memahaminya dan tidak mendudukkan pada tempatnya. Maka tundalah hingga engkau pulang ke Madinah, karena Madinah adalah rumah hijrah dan (rumah) As-Sunnah sehingga engkau dapat mengkhususkan ahli fiqih dan tokoh-tokoh masyarakat, lalu kamu katakan apa yang mungkin kamu katakan. Sehingga ahlul ilmi akan memahami ucapanmu dan menempatkannya pada tempatnya.” (Riwayat al-Bukhari)
Setelah terjadinya usaha pembunuhan terhadap ‘Umar dan ‘Umar pun sudah merasa dekat ajalnya, dia menyerahkan urusan kepemimpinan ini kepada enam orang sahabat.
Dikatakan kepada beliau, “Berwasiatlah wahai amirul mukminin, berwasiatlah! Tunjuklah khalifah.”
Jawabnya, “Saya tidak mendapati orang yang lebih berhak terhadap perkara ini (kekhilafahan) lebih dari orang-orang itu, yang Rasulullah meninggal dalam keadaan ridha terhadap mereka.”
Lalu beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, az-Zubair, Thalhah, Sa’d, dan Abdurrahman radhiallahu ‘anhum. (Sahih, riwayat al-Bukhari no. 3700, dengan Fathul Bari, 7/59)
‘Umar menyerahkan urusan ini hanya kepada enam orang sahabat yang memiliki sifat tersebut, padahal saat itu para sahabat berjumlah lebih dari 10 ribu orang.
Al-Bukhari mengatakan, “Para imam setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, bermusyawarah pada hal-hal yang mubah dengan para ulama yang amanah untuk mengambil yang paling mudah. Jika jelas bagi mereka Al-Qur’an ataupun As-Sunnah, maka mereka tidak melampauinya untuk (kemudian) mengambil selainnya. Hal itu dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (Shahih al-Bukhari, 13/339—340 dengan Fathul Bari. Lihat pula hlm. 342 baris 18)
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Janganlah dia bermusyawarah jika terjadi suatu masalah kecuali dengan seorang yang amanah, berilmu dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta riwayat-riwayat dari sahabat dan setelahnya, serta berilmu tentang pendapat-pendapat para ulama, qiyas, dan bahasa Arab.” (Mukhtashar al-Muzani)
Ibnu at-Tin rahimahullah menukilkan dari Asyhab, seorang murid al-Imam Malik rahimahullah, bahwa al-Imam Malik mengatakan, “Semestinya seorang pemimpin menjadikan seseorang yang menerangkan kepadanya tentang keadaan masyarakatnya di saat dia sendirian. Hendaknya orang tersebut orang yang bisa dipercaya, amanah, cerdas, dan bijaksana.” (Fathul Bari, 13/190)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Hendaknya ahli syuramu adalah orang-orang yang bertakwa dan amanah serta orang yang takut kepada Allah subhanahu wa ta’la.” (Tafsir al-Qurthubi, 4/250—251)
Asy-Syihristani rahimahullah mengatakan, “…Akan tetapi wajib bersama penguasa itu (ada) seorang yang pantas berijtihad sehingga dia (penguasa itu, red.) dapat bertanya kepadanya dalam permasalahan hukum.” (al-Milal, 1/160)
Ibnu Khuwairiz Mandad rahimahullah mengatakan, “Wajib bagi para pemimpin untuk bermusyawarah dengan para ulama dalam hal-hal yang tidak mereka ketahui dan pada perkara agama yang membuat mereka bingung. Juga bermusyawarah dengan para pemimpin perang pada urusan peperangan, dengan tokoh masyarakat pada urusan yang berkaitan dengan maslahat masyarakat, dan dengan para menteri serta wakil-wakilnya pada perkara kemaslahatan negeri dan kemakmurannya.” (Tafsir al-Qurthubi, 4/250)
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Para ulama berkata, ‘Kriteria orang yang diajak musyawarah jika dalam perkara hukum hendaknya seorang ulama dan agamis. Jarang yang seperti itu kecuali orang yang berakal.’ Oleh karenanya al-Hasan mengatakan, ‘Tidaklah akan sempurna agama seseorang kecuali setelah orang yang bertakwa dan amanah serta orang yang takut kepada Allah subhanahu wa ta’la’.” (Tafsir al-Qurthubi, 4/250—251)
Al-Mawardi rahimahullah mengatakan ketika menjelaskan orang-orang yang berhak bermusyawarah untuk memilih imam/pemimpin, “…Syarat-syarat yang harus ada pada mereka ada tiga: Pertama, keadilan (yakni kesalehan agamanya) dengan berbagai syaratnya. Kedua, ilmu yang dengannya dia dapat mengetahui siapa yang berhak menjadi pemimpin dengan syarat-syarat kepemimpinan. Ketiga, ide yang bagus dan bijak yang dengan itu dia bisa memilih yang paling pantas untuk menjadi pemimpin.” (al-Ahkamus Sulthaniyyah, hlm. 4)
Dari penjelasan para ulama, kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa ahli syura adalah para ulama yang benar-benar berilmu tentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta pendapat-pendapat para ulama dalam berbagai masalah, bertakwa dan takut kepada Allah subhanahu wa ta’la. Juga memiliki sifat amanah, bijaksana dalam memutuskan suatu urusan, demikian pula memiliki keinginan baik untuk umat secara menyeluruh serta dari kalangan laki-laki bukan wanita.
Jika dibutuhkan bermusyawarah pada urusan-urusan duniawi maka juga bisa melibatkan para ahli yang berpengalaman dalam bidang-bidang tertentu namun tentu tidak lepas dari sifat-sifat dasar di atas. Demikian pula tidak bisa dilepaskan dari para ulama karena merekalah yang dapat mempertimbangkan sisi maslahat dan mafsadah yang hakiki dan secara syar’i, serta sisi halal dan haramnya.
Apakah Ahli Bid’ah Boleh Menjadi Ahli Syura?
Dengan mengetahui sifat-sifat ahli syura, tampak bahwa ahli bid’ah tidak bisa dijadikan sebagai ahli syura karena ahli bid’ah tidak dapat dipercaya agamanya, amanahnya, itikad baiknya, dan juga sifat yang lain tidak terpenuhi pada dirinya.
Demikian pula yang terjadi dalam sejarah beberapa peristiwa membuktikannya. Pada masa Khilafah ‘Abbasiyyah, tepatnya pada pemerintahan al-Makmun, yang menjadikan Bisyr al-Marrisi (seorang tokoh Mu’tazilah) sebagai salah satu penasihatnya, mengakibatkan tersebarnya akidah Mu’tazilah tentang Al-Qur’an yaitu bahwa Al-Qur’an bukan Kalamullah sehingga sebagian ulama terbunuh karena itu (tidak mau mengatakan Al-Qur’an bukan Kalamullah, red.) serta sebagian lagi dipenjara dan disiksa.
Demikian juga pada masa al-Musta’shim Billah yang menjadikan al-Wazir ibnul ‘Alqami (seorang Syi’ah yang menipu Khalifah) sebagai salah satu penasihatnya, sehingga dia membantu pasukan Tartar memasuki kota Baghdad dan menguasainya. Itu sebagian contoh. Semua ahlul bid’ah pada dasarnya sama, baik yang berpemikiran mengafirkan penguasa, berpemikiran mengafirkan yang tidak sepaham dengan mereka, berpemikiran Sufi, maupun yang lainnya.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc