Asysyariah
Asysyariah

puasa ramadhan bersama penguasa, syiar kebersamaan umat islam

5 tahun yang lalu
baca 18 menit
Puasa Ramadhan Bersama Penguasa, Syiar Kebersamaan Umat Islam

Taat kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah sebanyak-banyaknya kemudian disebarkan kepada masyarakat. Akibat buruk dari ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu di antaranya adalah munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat menentukan awal Ramadhan atau hari raya.

Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-harinya diliputi suasana ibadah; puasa, shalat tarawih, bacaan Al-Qur’an, dan sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak ayal, kedatangannya menjadi dambaan; dan kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam.

Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga menjadi salah satu syiar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan puasa Ramadhan; menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Mereka juga mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai ibadah lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya, bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakan dan memilikinya.

Namun, syiar kebersamaan itu kian hari semakin pudar. Elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan keputusan yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan itu terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar.

Tak pelak, puasa Ramadhan yang merupakan syiar kebersamaan itu (kerap kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentu saja, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan persatuan umat.

Mengapa Bisa Terjadi?

Bisa jadi, Anda akan berkata, “Itu karena adanya perbedaan pendapat di antara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh rukyatul hilal (melihat hilal) ataukah dengan ilmu hisab?”

Bisa jadi juga, Anda mengatakan, “Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ (tempat keluarnya hilal) ataukah setiap negeri mempunyai mathla’ masing-masing?”

Apabila kita mau jujur soal pudarnya syiar kebersamaan itu, terlepas adanya realitas perbedaan pendapat di atas, sebab utamanya makin tenggelamnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat Islam dalam hal yang maKruf (kebaikan).

Mungkin timbul pertanyaan, “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap penguasa dan pelaksanaan puasa Ramadhan?”

Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:

  1. Puasa Ramadhan merupakan syiar kebersamaan umat Islam.

Suatu kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa.

  1. Penentuan pelaksanaan puasa Ramadhan merupakan perkara yang makruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan.

Oleh sebab itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika penentuannya setelah melalui sekian proses, dari pengerahan tim rukyatul hilal di sejumlah titik hingga digelarnya siding isbat.

  1. Realitas membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal pelaksanaan puasa Ramadhan dan penentuan hari raya Idul Fitri, benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat.

Sebaliknya, ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barang siapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barang siapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barang siapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari 13/120)

Mungkin ada yang bertanya, “Adakah untaian fatwa dari para ulama seputar permasalahan ini?”

Jawabannya, ada. Berikut ini kita nukilkan sebagiannya.

Fatwa Para Ulama Seputar Puasa Ramadhan Bersama Penguasa

  • Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,

“Seseorang (hendaknya) berpuasa bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.”

Beliau juga berkata, “Tangan Allah subhanahu wa ta’ala bersama al-jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 25/117)

  • Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata,

“Sebagian ulama menafsirkan hadits ini[1] dengan ucapan (mereka), ‘Sesungguhnya puasa dan berbuka itu (dilaksanakan) bersama al-jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 2/443)

  • Imam Abul Hasan as-Sindi rahimahullah berkata,

“Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan puasa Ramadhan, berbuka puasa/Idul Fitri dan Idul Adha, -pen.) keputusannya bukanlah di tangan individu. Mereka tidak berhak melakukannya sendiri-sendiri. Permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam.

Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit), tetapi penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya persaksian tersebut tidak dianggap. Orang tersebut wajib mengikuti mayoritas umat Islam dalam masalah itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 2/443)

  • Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani[2] rahimahullah berkata,

“Selama belum (terwujud) persatuan negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan puasa Ramadhan, -pen.), aku berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan puasa Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing.

Mereka tidak boleh bercerai-berai, yakni sebagian berpuasa bersama pemerintah dan yang lain berpuasa bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya maupun tertunda. Sebab, hal itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri, sebagaimana yang terjadi di beberapa negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. Wallahul musta’an.” (Tamamul Minnah hlm. 398)

  • Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah juga berkata,

“Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang di antara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka, dan menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan.

Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi—meski benar menurut yang bersangkutan—dalam ibadah yang bersifat bersama, seperti puasa, hari raya, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian sahabat radhiyallahu anhum shalat bermakmum di belakang sahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?!

Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna (empat rakaat) dalam safar dan ada pula yang meng-qashar-nya (dua rakaat). Namun, perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda pendapat dengannya, -pen.). mereka tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Sebab, mereka mengetahui bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekadar berbeda pendapat.

Bahkan, sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada momen berkumpulnya manusia, seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) apabila dia tetap mempertahankan pendapatnya.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (1/307) bahwa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu shalat di Mina empat rakaat (Zuhur, Asar, dan Isya, -pen.).

Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu mengingkarinya seraya berkata, “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari haji, -pen.) bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, dan pada awal pemerintahan Utsman dua rakaat. Setelah itu Utsman shalat empat rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian (sebagian shalat empat rakaat dan sebagian lagi dua rakaat, -pen.). Harapanku, empat rakaat shalat itu yang diterima adalah dua rakaat darinya.”

Namun, ketika di Mina, sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu justru shalat empat rakaat. Ditanyakan kepada beliau, “Engkau telah mengingkari Utsman yang shalat empat rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat empat rakaat pula?!”

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, “Perselisihan itu jelek.”

Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu anhu.

Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.) berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir pada bulan Ramadhan dengan dalih beda mazhab.

Demikian pula orang-orang yang berpuasa dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin maupun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falak, tanpa peduli harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin.

Hendaklah mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Kita berharap agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah subhanahu wa ta’ala bersama al-jama’ah.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 2/444—445)

  • Syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya,

“Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam, semisal Kerajaan Saudi Arabia, tetapi di negeri kami belum diumumkan; bagaimanakah hukumnya?

Apakah kami berpuasa bersama Kerajaan Saudi Arabia ataukah berpuasa dan berbuka bersama penduduk negeri kami, setelah ada pengumuman?

Demikian pula halnya dengan Idul Fitri, apa yang harus kami lakukan apabila terjadi perbedaan antara negeri kami dan negeri yang lain? Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas Anda dengan kebaikan.”

Beliau menjawab,

“Setiap muslim hendaknya berpuasa dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Waktu puasa itu pada hari kalian (umat Islam) berpuasa, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Idul Adha adalah pada hari kalian berkurban.” (Lihat Fatawa Ramadhan hlm. 112)

  • Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ditanya,

“Umat Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai permasalahan, seperti (penentuan) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun. Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap tahunnya.

Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu, dan terkadang fanatisme mazhab atau partai, tanpa memedulikan rambu-rambu syariat Islam dan bimbingan para ulama yang kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Adakah sebuah nasihat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya) sekian kejelekan?

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik dan penjagaan-Nya kepada Anda.”

Beliau menjawab,

“Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah belah dalam beragama. Allah berfirman subhanahu wa ta’ala,

شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًا وَٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ

“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu, ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya’.” (asy-Syura: 13)

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ

“Berpegangteguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)

وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka azab yang pedih.” (Ali Imran: 105)

Jadi, umat Islam wajib menjadi umat yang satu dan tidak berpecah belah dalam beragama. Hendaklah waktu puasa dan berbuka mereka satu, dengan mengikuti keputusan lembaga/departemen yang menangani urusan umat Islam. Mereka tidak boleh bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus tertinggal dari puasa di Kerajaan Arab Saudi atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hlm. 51—52)

  • Al-Lajnah ad-Da`imah lil Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta berfatwa,

“… Tidak mengapa bagi penduduk suatu negeri, jika tidak melihat hilal (bulan sabit) di tempat tinggalnya pada malam ke-30, untuk mengambil hasil rukyatul hilal dari tempat lain di negerinya.

Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat dalam hal penentuannya, yang harus diikuti adalah keputusan penguasa di negeri tersebut apabila ia seorang muslim. Sebab, (dengan mengikuti) keputusannya, akan sirnalah perbedaan pendapat itu. Jika penguasa bukan seorang muslim, hendaklah kaum muslimin negeri tersebut mengikuti keputusan majelis/departemen yang membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut.

Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan puasa Ramadhan dan shalat id di negeri mereka.

Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.”

Pemberi fatwa: asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hlm. 117)

Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban berpuasa bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga nukilan ringkas di atas menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.

Bisa jadi, masih ada yang mengatakan bahwasanya kewajiban menaati penguasa dalam perkara semacam ini hanya berlaku untuk seorang penguasa yang adil. Adapun jika penguasanya zalim atau seorang koruptor, tidak wajib taat kepadanya walaupun dalam perkara-perkara kebaikan dan bukan kemaksiatan, termasuk dalam hal penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan ini.

Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, jika umat dihadapkan pada polemik atau perbedaan pendapat, prinsip ‘berpegang teguh dan merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam’ haruslah senantiasa dikedepankan. Allah subhanahu wa ta’ala membimbing kita dalam kalam-Nya nan suci,

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ

“Berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya saat terjadi perselisihan. Dia (juga) memerintah kita agar bersatu di atas Al-Qur’an dan as-Sunnah, baik dalam hal keyakinan maupun amalan….” (Tafsir al-Qurthubi, 4/105)

Para pembaca yang mulia…

Apabila Anda telah siap untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah, simaklah bimbingan dari Al-Qur’an dan as-Sunnah berikut ini.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي  ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖاْۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kalian.” (an-Nisa: 59)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan ulil amri adalah orang-orang yang Allah wajibkan untuk ditaati, dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan yang lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 12/222)

Adapun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau shallallahu alaihi wa sallam seringkali mengingatkan umatnya seputar masalah ini. Di antaranya dalam hadits-hadits beliau berikut ini.

  1. Sahabat ‘Adi bin Hatim radhiyallahu anhu berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ، لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ-فَذَكَرَ الشَّرَّ-فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيْعُوا

“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Rasulullah bersabda, “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab as-Sunnah, dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)

  1. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

    يَكُونُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَيَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ (حُذَيْفَةُ): قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!

    “Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Akan ada pula di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dan berbadan manusia.”

    Hudzaifah berkata, “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”

    Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya. Tetap dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari sahabat Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu anhu, 3/1476, no. 1847)

    1. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

    شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهُ، أَفَلاَ  نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

    “Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.”

    Ditanyakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?”

    Beliau bersabda, “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari sahabat ‘Auf bin Malik radhiyallahu anhu, 3/1481, no. 1855)

    Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah, pengalaman, dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagai berikut.

    • Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata,

    “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.”

    Orang-orang berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya. Bagaimana dengan penguasa yang jahat?”

    Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat, Allah subhanahu wa ta’ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad….” (Syu’abul Iman, karya Imam al-Baihaqi 13/187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Syaikh Abdus Salam bin Barjas hlm. 57)

    • Imam Ibnu Abil ‘Iz al-Hanafi rahimahullah berkata,

    “Kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Sebab, tidak menaati mereka dalam hal yang makruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar daripada yang sudah terjadi selama ini. Dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 368)

    • Imam al-Barbahari rahimahullah berkata,

    “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang telah Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jumat, dan jihad bersama mereka. Berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hlm. 14)

    • Imam Ibnu Baththah al-Ukbari rahimahullah berkata,

    “Para ulama ahli fikih, ilmu, ahli ibadah, dan orang-orang zuhud sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini telah bersepakat bahwa shalat Jumat, Idul Fitri, dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan kurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (al-Ibanah, hlm. 276—281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hlm. 16)

    • Imam al-Bukhari rahimahullah berkata,

    “Aku telah bertemu dengan seribu orang lebih ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir….” Kemudian beliau berkata, “Aku tidak melihat adanya perbedaan di antara mereka tentang perkara berikut ini—beliau lalu menyebutkan sekian perkara, di antaranya kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang makruf).” (Syarh Ushulil subhanahu wa ta’ala’tiqad karya al-Lalika`i, 1/194—197)

    • Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah berkata,

    “Di dalam hadits ini (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Hurairah di atas, -pen.) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, 13/120)

    Simpulan

    Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil simpulan:

    1. Puasa Ramadhan merupakan syiar kebersamaan umat Islam yang harus dipelihara.

    2. Syiar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di setiap negeri bercerai berai dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan.

    3. Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini, keputusannya berada di tangan penguasa umat Islam di setiap negeri, bukan di tangan individu.

    4. Puasa Ramadhan bersama penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan salah satu prinsip agama Islam yang dapat mengukuhkan persatuan mereka, baik penguasa tersebut adil maupun jahat.

    Sebab, kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa. Terlebih manakala ketentuannya itu melalui proses rukyatul hilal di sejumlah titik di penjuru negeri dan sidang-sidang istimewa.

    1. Realitas membuktikan, berpuasa Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam) benar-benar menciptakan suasana persatuan dan kebersamaan umat.

    Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh umat pun demikian mencolok. Yang demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban berpuasa Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam).

    Wallahu a’lam bish-shawab.

     


    [1] Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu,

    الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَةٍ

     “Puasa itu pada hari kalian (umat Islam) berpuasa, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Idul Adha adalah pada hari kalian berkurban.”                         

    [2] Beliau termasuk ulama yang berpendapat bahwasanya pelaksanaan puasa Ramadhan dan Idul Fitri di dunia ini hanya dengan satu mathla’ saja sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul Minnah (hlm. 398). Walaupun demikian, beliau sangat getol mengajak umat Islam (saat ini) untuk melakukan puasa Ramadhan dan Idul Fitri bersama penguasanya, sebagaimana nasihat beliau di atas.

 

Ditulis oleh Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.