(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari)
Mandi wajib tentu bukan sesuatu yang asing bagi mereka yang telah memasuki usia baligh. Namun masih banyak hal seputar mandi wajib yang disalahpahami oleh umat. Apa saja itu? Simak pembahasannya melalui kajian berseri mulai edisi ini!
Mandi merupakan perkara yang dikenal/ akrab di kalangan setiap orang, karena mandi termasuk bagian dari rutinitas sehari-hari. Paling tidak aktivitas ini dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore. Namun ada mandi yang ditentukan oleh aturan syariat, ada yang hukumnya wajib dan ada yang sunnah. Inilah yang dinamakan mandi syar’i. Adapun mandi syar’i, pengertiannya adalah menggunakan air yang suci yang dikenakan ke seluruh tubuh dengan cara khusus dengan memenuhi syarat dan rukun-rukun yang ada. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 31/94, Taudhihul Ahkam 1/366). Mandi syar’i inilah yang disebutkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah I berfirman:
“Jika kalian junub maka bersucilah (mandilah).” (Al-Maidah: 6)
“Dan janganlah kalian mendekati mereka (para istri) sampai mereka suci, maka bila mereka telah bersuci…” (Al-Baqarah: 222)
Yakni mandi.
Adapun dari As-Sunnah, seperti sabda Rasulullah n:
“Apabila seorang laki-laki telah duduk di antara empat cabang seorang wanita1, kemudian ia bersungguh-sungguh terha-dapnya, maka sungguh telah wajib mandi.” (HR. Al-Bukhari no. 291, kitab Al-Ghusl, bab Idza’l Taqal Khitanani dan Muslim no. 348, kitab Al-Haidh, bab Naskh “Al-Ma’u minal Ma’i” wa Wujubul Ghusl bil Tiqa’i Khitanaini)
Sebab-sebab yang Mewajibkan Mandi
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Ada empat keadaan yang disepakati yang mewajibkan seorang untuk mandi, yaitu masuknya hasyafah (kepala) dzakar2 ke dalam farji (kemaluan wanita/ vagina), keluar mani, haid dan nifas” (Al-Majmu’ 2/149). Al-Imam Al-Mawardi t menyatakan, laki-laki dan wanita berserikat dalam dua dari empat perkara yang mewajibkan mandi tersebut (yaitu bertemunya dua khitan dan keluar mani), adapun dua perkara yang lainnya (haid dan nifas) khusus bagi wanita (Al-Hawil Kabir, 1/208). Demikian pula yang dinyatakan Al-Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (2/9)
1. Bertemunya dua khitan
Masuknya kemaluan seorang suami ke dalam kemaluan istrinya, mewajibkan mandi bagi keduanya, baik mengeluarkan mani ataupun tidak. Demikian pendapat jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi’in, dan para imam setelah mereka.
Pendapat ini yang dipegangi Sufyan Ats-Tsauri, Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan sebagian pengikut madzhab Zhahiriyyah. Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas ahlul ‘ilmi dari kalangan shahabat Nabi n, para fuqaha tabi’in, dan orang-orang yang setelahnya.” Beliau juga berkata: “Mayoritas ahlul ‘ilmi beramal dengan amalan ini.” (Sunan Tirmidzi 1/73 dan 74, Syarhu Ma’anil Atsar 1/73, Al-Muhalla 1/249, Syarhu Shahih Muslim 4/36)
Adapun sejumlah ahlul ilmi lain dari kalangan shahabat serta jumhur shahabat Anshar g, dan orang-orang setelah mereka seperti ‘Atha bin Abi Rabah, Abu Salamah bin Abdirrahman bin Auf, Hisyam bin ‘Urwah, Al-A’masy dan sebagian pengikut madzhab Zhahiriyyah, demikian pula sebagian penduduk Hijaz, dinukilkan dari Al-Imam Asy-Syafi’i t, beliau berkata: “Adapun sebagian penduduk Hijaz telah menyelisihi kami dalam masalah ini, mereka mengatakan: ‘Tidak wajib mandi (bila seseorang jima’) sampai ia mengeluarkan mani’.
Mereka, ahlul ‘ilmi yang berpendapat tidak wajib mandi bila tidak keluar mani, berdalil dengan hadits riwayat Az-Zuhri dari Abu Sa’id Al-Khudri z, ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah n: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang tergesa-gesa mengakhiri jima’ dengan istrinya sementara ia belum mengeluarkan mani, apakah ada kewajiban (mandi) baginya?’. Beliau n menjawab:
“Hanyalah air itu dicurahkan karena keluar air3 (yakni mandi itu hanyalah diwajibkan karena keluar mani, –pent.).“ (HR. Muslim no. 343 kitab Al-Haidh, bab Al-Ma’u minal Ma’i)
Abu Sa’id Al-Khudri z juga menga-barkan bahwa Nabi n bersabda:
“Apabila terputus senggamamu atau engkau tidak mengeluarkan mani, maka tidak ada kewajiban mandi bagimu, yang wajib bagimu adalah berwudhu.” (HR. Muslim no. 345 kitab Al-Haidh, bab Al-Ma’u minal Ma’i)
Zaid bin Khalid Al-Juhani mengabarkan bahwa ia pernah bertanya kepada Utsman bin Affan z: “Apa pendapatmu, bila se-orang lelaki menggauli istrinya namun ia ti-dak mengeluarkan mani?” Utsman menja-wab:
“Ia berwudhu sebagaimana wudhunya untuk shalat dan (sebelumnya) ia mencuci kemaluannya.”
Kemudian Utsman z berkata:
“Aku mendengar hal ini dari Rasulullah n.”
Zaid berkata: “Aku juga menanyakan hal ini kepada Ali bin Abi Thalib, Az-Zubair ibnul Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Ubai bin Ka’b g. Mereka semua meme-rintahkan demikian (sebagaimana yang dinyatakan Utsman z).” (HR. Al-Bukhari no. 292 bab Ghusli Ma Yushibu min Farjil Mar’ah dan Muslim no. 347 bab Al-Ma’u minal Ma’i) [Syarhul Ma’anil Atsar 1/68-79, Al-Muhalla 1/249, Al-Hawil Kabir 1/208, Al-Majmu’ 2/154, Fathul Bari 1/497, Subulus Salam 1/131, Nailul Authar 1/310, As-Sailul Jarrar 1/272]
Namun yang rajih (kuat) dalam hal ini, wallahu a’lamu bish-shawab, adalah pendapat jumhur ulama, berdalil dengan hadits Abu Hurairahz, bahwasanya Nabi n bersabda:
“Apabila seorang laki-laki telah duduk di antara empat cabang seorang wanita kemudian ia bersungguh-sungguh padanya4 maka sungguh telah wajib mandi”. (HR. Al-Bukhari no. 291 bab Idzal Taqa Al-Khitanani dan Muslim no. 348 bab Naskh “Al Ma’u minal Ma’i” wa Wujubul Ghusl biltiqa’i Khitanaini)
Hadits ini, dari jalan perawi yang bernama Mathar, ada tambahan lafadz:
“Sekalipun tidak inzal (keluar mani).” (HR. Muslim no. 348)
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan dengan lafadz:
“Apabila seorang laki-laki telah duduk di antara empat cabang seorang wanita kemudian ia memasukkan khitan(nya, –pent.) dengan khitan (istrinya, –pent.), maka sungguh telah wajib mandi.” (Sunan Abi Dawud no. 216 kitab Ath-Thaharah bab Fil Iksal, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Dan makna hadits ini sebagaimana dinyatakan ahlul ‘ilmi, perintah wajibnya mandi karena jima’ tidak tergantung dengan keluarnya mani. Bahkan kapanpun hasyafah (pucuk dzakar) masuk ke dalam farji hingga tersembunyi, telah wajib mandi bagi laki-laki dan wanita tersebut. (Syarhu Shahih Muslim 4/41)
Aisyah x mengabarkan: “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah n tentang seseorang yang menggauli istrinya kemudian ia lemah/ tidak bisa mengeluarkan mani. Apakah wajib bagi keduanya mandi?” Rasulullah n menjawab dalam keadaan Aisyah ketika itu duduk di dekat beliau:
“Aku melakukan hal itu, aku dan dia ini (yakni Aisyah, –pent.), kemudian kami mandi5.” (HR. Muslim no. 350 bab Naskh “Al Ma’u minal Ma’i” wa Wujubul Ghusl bil Tiqa’i Khitanaini)
Dan sabda Rasulullah n:
“Apabila bertemu dua khitan, sungguh telah wajib mandi.” (HR. Ahmad 6/239, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 1261)
Adapun hadits yang dipakai oleh pendapat kedua6 merupakan hukum yang berlaku di awal Islam kemudian hukumnya dihapus (mansukh) (Ad-Dararil Mudhiyyah hal. 37, Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, bab Mujibat Ghusl, masalah Massul Khitan, Taudhihul Ahkam, 1/371).
Hal ini disampaikan oleh Ubay bin Ka’b z diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud t dalam Sunan-nya no. 215 kitab Ath-Thaharah, bab Fil Iksal, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, dari Sahl bin Sa’d, ia berkata: “Ubay bin Ka’b z menceritakan kepadaku bahwa fatwa yang dulunya mereka nyatakan yaitu adalah rukhshah (keringanan) yang diberikan Rasulullah n di awal Islam. Kemudian setelahnya Rasulullah n meme-rintahkan mereka untuk mandi (setelah jima’ walaupun tidak keluar mani, –pent.).”
Abu Musa Al-Asy’ari z berkata: “Sekelompok shahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar berselisih pendapat. Shahabat dari kalangan Anshar berkata: ‘Tidak wajib mandi kecuali bila keluar mani dengan memancar’. Shahabat dari kalangan Muhajirin berkata: ‘Bahkan bila telah bercampur (suami dengan istrinya) sungguh telah wajib mandi’. Abu Musa berkata: “Aku akan menjadi penengah bagi kalian dalam masalah ini. Aku pun bangkit menuju ke kediaman Aisyah x dan meminta izin kepadanya untuk masuk. Aisyah pun mengizinkan. Maka aku bertanya kepadanya: “Wahai ibu, aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu namun aku malu.” Aisyah menjawab: “Jangan engkau malu untuk bertanya kepadaku sebagaimana engkau (tidak malu untuk) bertanya kepada ibumu yang telah melahirkanmu. Sedangkan aku adalah ibumu.” Aku pun bertanya: “Apa yang mewajibkan mandi?” Aisyah menjawab: “Engkau bertanya kepada orang yang tepat, yang mengetahui perkara ini dengan sebenarnya. Rasulullah n telah bersabda:
“Apabila seorang laki-laki duduk di antara empat cabang seorang wanita, dan khitan yang satu menyentuh khitan yang lain7 maka sungguh telah wajib mandi.” (HR. Muslim no. 349 bab Naskh “Al-Ma’u minal Ma’i” wa Wujubul Ghusl bil Tiqa’i Khitanaini)
Al-Imam Al-Mawardi t berkata: “Diriwayatkan dari Mahmud bin Labid, ia berkata: ‘Aku pernah bertanya kepada Zaid bin Tsabit tentang seseorang yang mema-sukkan dzakarnya (ke dalam farji istrinya, –pent.) namun ia tidak inzal (apa yang harus dilakukannya, –pent.)?’ Zaid menjawab: ‘Orang itu mandi (janabah)’. Aku berkata: ‘Ubay dulunya mengatakan orang yang demikian tidak harus mandi’. Zaid kembali menjawab: ‘Ubay menarik kembali penda-patnya tersebut (ruju’) sebelum ia meninggal’. Riwayat ini menunjukkan bahwa pendapat tidak wajib mandi tersebut mansukh karena tidak boleh (tidak mungkin) seorang shahabat menarik pendapatnya dari satu nash kecuali setelah ia mengetahui nash tersebut dihapus”. (Al-Hawil Kabir 1/210-211, Syarh Ma’anil Atsar 1/73)
Selain Ubay bin Ka’ab z, ada beberapa shahabat lain yang ruju’ dari pendapat semula dan menyepakati pendapat jumhur, namun ada pula yang tidak mencabut pendapatnya. (Al-Majmu’ 2/154)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata: “Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits dihapus hukumnya. Adapun Ibnu Abbas c mentakwil hadits ini, ia berkata: “Hanyalah Nabi n menyatakan: dalam perkara ihtilam.” (At-Talkhishul Habir, 1/203)
Ibnu Abi Syaibah t dan selainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas c bahwasanya beliau membawa pemahaman hadits kepada bentuk yang khusus yaitu jima’ yang terjadi dalam mimpi (ihtilam). Ini merupakan penakwilan yang menjamak antara dua hadits tanpa saling mempertentangkannya. Dan hukum yang seperti ini terus berlaku tanpa diragukan. (Fathul Bari 1/495-496)
Di samping adanya hadits, atsar dan penerangan ahlul ‘ilmi yang menunjukkan naskh ini, hadits-hadits tentang mandi setelah jima’ meskipun tidak keluar mani -seperti di antaranya hadits ‘Aisyah atau hadits Abu Hurairah8- itu lebih rajih daripada hadits “Al- ma’u minal Ma’i”. Karena hadits tentang mandi setelah jima’ meskipun tidak keluar mani adalah manthuq (diucapkan secara lisan/ tekstual), sedangkan meninggalkan mandi bila tidak keluar mani dari hadits “Al-ma’u minal ma’i” diperoleh dari mafhum (apa yang dipahami dari hadits, bukan dari pernyataan tegas dari lisan Rasulullah n, -pent.). Dan yang manthuq dalam hal ini pengamalan/perbuatan dikedepankan daripada yang mafhum sekalipun mafhum mencocoki al-bara`ah al ashliyyah. Allah I sendiri berfirman:
“Jika kalian junub maka bersucilah (mandilah).” (Al-Maidah: 6)
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Bahasa Arab menunjukkan bahwa (kata) janabah (junub) itu dipakai untuk menunjukkan makna jima’ secara hakiki walaupun tidak inzal9.” [Fathul Bari 1/495-496, Subulus Salam 1/132, Nailul Authar 1/310, Ats-Tsamarul Mustathab, bab Mujibat Ghusl, masalah Massul Khitan]
Al-Imam Asy-Syafi’i t dalam Ikhtilaful Hadits berkata: “Hadits ‘Al ma’u minal Ma’i’ tsabit akan tetapi hadits ini mansukh.” (Fathul Bari 1/497)
Al-Imam Al-Bukhari t berkata: “Mandi (setelah jima’ bila tidak keluar mani, -pent.) adalah lebih hati-hati10 dan ini adalah keputusan yang paling akhir11.” (Kitab Al-Ghusl, bab Ghusli Ma Yushibu min Farjil Mar’ah setelah hadits no. 293, Al-Imam Muslim t juga meriwayatkan hadits Ubay ini dalam Shahih-nya no. 346)
Adapun Al-Imam Ibnul Mundzir t (wafat tahun 318 H) dalam kitabnya Al-Ausath (2/81), beliau mengatakan: “Aku tidak mengetahui adanya khilaf dari kalangan ahlul ‘ilmi pada hari ini, tentang wajibnya mandi apabila telah masuk dzakar seorang suami dalam farji istrinya walaupun tidak keluar maninya.” Demikian pula Al-Hafizh Ibnul Qaththan t (wafat tahun 628 H) dalam kitabnya Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’ 1/97.
Faidah
Sebagian ulama mengatakan bahwa kewajiban mandi dengan bertemunya dua khitan itu disyaratkan bila tidak ada penghalang di antara dua kemaluan tersebut, sehingga bila ada penghalang tidaklah diwajibkan mandi. Namun yang lainnya berpendapat tetap diwajibkan mandi karena sabda Rasulullah n: maknanya umum, dan bersungguh-sungguh itu tetap bisa dilakukan walau ada penghalang. Ada lagi pendapat yang merinci, dengan menyatakan bila penghalang itu tipis yang dengannya kenikmatan jima’ bisa dirasakan dengan sempurna maka wajib mandi, namun bila penghalangnya tidak tipis maka tidak wajib mandi. (Al-Hawil Kabir 1/212, Syarhu Shahih Muslim 4/41, Asy-Syarhul Mumti’ 1/220)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata, pendapat yang merinci ini lebih dekat kepada kebenaran, dan untuk lebih hati-hati sebaiknya mandi. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/220)
2. Keluar mani
Allah I berfirman:
“Jika kalian junub maka bersucilah (mandilah).” (Al-Maidah: 6)
Yang dimaksud dengan junub adalah orang yang keluar mani dengan memancar dari kemaluannya dan ia merasakan nikmatnya (Asy-Syarhul Mumti’ 1/216). Rasulullah n bersabda:
“Hanyalah air itu dicurahkan karena keluar air (yakni mandi itu hanyalah diwajibkan karena keluar mani, –pent.).” (HR. Muslim no. 343 kitab Al-Haidh, bab Al-Ma’u minal Ma’i)12
Dzahir hadits di atas menunjukkan wajibnya mandi karena keluar mani, baik keluarnya dengan memancar disertai rasa nikmat ataupun tidak.
Memang dalam permasalahan ini kita dapati ahlul ilmi berbeda pendapat. Sehingga baik perintah yang mewajibkan mandi ini secara umum di setiap keluar mani walau tanpa disertai syahwat dengan sebab apapun, yang merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan yang lainnya (Al-Hawil Kabir 1/212, Al-Majmu 1/160, Al-Muhalla 1/252), ataupun mandi hanya diwajibkan bila keluarnya dengan syahwat, yang merupakan pendapat jumhur ahlul ilmi dan para fuqaha (Al-Mughni 1/128, Majmu Al-Fatawa 21/296, Ats-Tsamarul Mustathab bab Mujibat Ghusl, masalah Khurujul Mani bi Syahwatin, Asy-Syarhul Mumti’ 1/216), mereka mensyaratkan dua hal untuk mewajibkan mandi karena keluar mani:
Pertama: keluarnya mani dengan memancar.
Kedua: merasakan nikmat saat keluarnya.
Dengan demikian, bila mani itu keluar dari orang yang sedang terjaga (tidak tidur) dengan tidak terasa nikmat dan tidak memancar maka tidak wajib mandi menurut pendapat ini. Dalilnya hadits ‘Ali z bahwasanya Rasulullah n bersabda:
“Apabila engkau memancarkan mani, mandilah dari janabah. Namun bila tidak memancar, engkau tidak perlu mandi.” (HR. Ahmad dalam Musnad, 1/107. Asy-Syaikh Al-Albani t menghasankannya dalam Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab bab Mujibat Ghusl, masalah Khurujul Mani bi Syahwatin dan dalam Irwa`ul Ghalil 1/162 beliau berkata: “Hadits ini sanadnya hasan atau shahih”, sementara lafadz:
“Apabila engkau memancarkan air (mani), mandilah!” sebagaimana yang diriwayatkan Abu Dawud dan yang selainnya, dishahihkan oleh beliau dalam Irwa`ul Ghalil no.125)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata: “Al-Hadzfu (dalam hadits tersebut) maknanya terlempar/ memancar, dan tidaklah datang sifat yang demikian terkecuali dikarenakan syahwat. Oleh karena itu, Al-Majdu Ibnu Taimiyah mengatakan: “Di sini ada perhatian bahwasanya mani yang keluar tanpa syahwat, baik karena sakit ataupun dingin, tidak wajib mandi.” (Nailul Authar 1/308) Dan pendapat inilah yang penulis pilih, wallahu ‘allam bish-shawab.
Adapun bila mani itu keluar dengan memancar (syahwat) yang diiringi dengan lesu/ lemahnya badan, sama saja baik keluarnya karena jima’ atau karena ihtilam, ataupun karena sebab lain dari seorang lelaki atau seorang wanita, maka ulama sepakat orang tersebut harus mandi. (Al-Iqna’ fi Masa‘ilil Ijma’, Al-Imam Al-Hafidz Ibnul Qaththan, 1/97)
Dan apabila mani itu keluar dari orang yang tidur maka wajib mandi secara mutlak, karena orang yang sedang tidur tidak dapat merasakan dan membedakannya. Kenyataan yang kita dapatkan, banyak orang ketika bangun dari tidurnya, ia mendapatkan bekas mani tersebut (basah) di sekitar pakaiannya namun ia tidak ingat apakah ia ihtilam (mimpi senggama) atau tidak.
Ketika Ummu Sulaim x, istri Abu Thalhah z, datang menemui Nabi n dan bertanya:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu (dari menerangkan) kebenaran. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi apabila ia ihtilam13?” Rasulullah n menjawab: “Iya, bila ia melihat air (mani saat terjaga dari tidurnya, –pent.)”. (HR. Al-Bukhari no. 282, kitab Al-Ghusl, bab Idza Ihtalamatil Mar’ah dan Muslim no. 313 kitab Al-Haidh, bab Wujubul Ghusl alal Mar’ah bi Khurujil Mani minha)
Hal ini menunjukkan wajibnya mandi bila seseorang bangun dari tidurnya karena mendapati pakaiannya basah karena air mani, baik menyadari/ merasakan keluarnya atau tidak, dan sama saja baik ia ingat mimpinya atau tidak, karena orang yang tidur terkadang lupa.
Dalam hal ini, tidak ada perbedaan pendapat dari ahlul ‘ilmi bahwa wanita sama dengan lelaki, bila si wanita ihtilam dan mendapati (pakaiannya) basah karena keluar mani saat ia terjaga dari tidurnya, maka ia wajib mandi (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/98)
Aisyah x menyampaikan bahwa: “Rasulullah n pernah ditanya tentang seorang lelaki yang ketika bangun dari tidur mendapati (di sekitar pakaian dalamnya, –pent.) basah namun ia tidak ingat apakah ia ihtilam. Beliau bersabda: “Orang itu mandi”. Beliau juga ditanya tentang seseorang yang mimpi ia ihtilam namun ia tidak mendapatkan basah di sekitarnya. Beliau berkata: “Tidak ada kewajiban mandi baginya.” (HR. Abu Dawud no. 236, kitab Ath-Thaharah bab Fir Rajul Yajidul Billah fi Manamihi, At-Tirmidzi no. 113 bab Fiman Yastayqizhu Fayara Balalan wa La Yadzkuru Ihtilaman, dll. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Al-Imam Ibnul Qaththan t berkata: “Telah sepakat ahlul ilmi yang kami hafal, bahwasanya bila seorang lelaki mimpi ihtilam atau mimpi melakukan jima’ namun ketika terjaga dari tidurnya ia tidak mendapati basah (mani) maka tidak ada kewajiban mandi baginya, tidak pula wajib berwudhu.” (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/99)
Faidah
Orang yang bangun tidur dan mendapati di sekitar pakaiannya basah, maka ia tidak lepas dari salah satu keadaan berikut:
Pertama: Ia yakin yang keluar itu mani, maka ketika itu wajib mandi, baik ia ingat ihtilamnya atau tidak.
Kedua: Ia yakin yang keluar itu bukanlah mani tapi madzi, maka ia tidak wajib mandi namun cukup membasuh bagian tubuhnya yang terkena, karena madzi itu najis, hukumnya sama dengan hukum kencing.
Ketiga: Ia tidak tahu, apakah yang keluar itu mani atau madzi. Pada keadaan ini, bila ia ingat bahwa ia telah ihtilam maka ia menganggap yang keluar itu adalah mani. Karena Rasulullah n ketika ditanya tentang mandinya seorang wanita yang ihtilam, beliau mengiyakan bila wanita tersebut melihat air mani. Bila ia tidak bermimpi, tapi sebelumnya ia berpikir tentang jima’ atau sebelumnya ia bermesraan dengan istrinya, maka yang sering terjadi itu adalah madzi, karena keluarnya tidak dirasakan. Dengan demikian ia hanya mencuci bagian tubuh atau pakaiannya yang terkena. Namun bila ia tidak berpikir tentang jima’ dan ia tidak melakukan hal-hal yang mengantarkan kepada jima’, maka ada dua pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengatakan wajib mandi demi kehati-hatian seperti pendapat ‘Atha`, Asy Sya’bi, An-Nakha’i dan Ahmad. Mayoritas ahlul ilmi yang lain berpendapat tidak wajib mandi sampai ia yakin bahwa basah yang didapatkannya itu adalah karena keluarnya mani. (Syarhus Sunnah 2/9, Al-Mughni 1/130, Asy-Syarhul Mumti’, 1/217-218, Taudhihul Ahkam 1/373)
(bersambung, insya Allah)
1 Ulama berbeda pendapat dalam menerangkan apa yang dimaksud dengan empat cabang ini. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dalam hadits ini adalah dua tangan dan dua kaki si wanita. Ada yang mengatakan dua kaki dan dua pahanya. Ada pula yang mengatakan dua betis dan dua pahanya. Ada yang berpendapat dua paha dan dua sisi kemaluannya. Pendapat lain mengatakan dua paha dan dua ujung dari bagian sisi kemaluannya dan terakhir ada yang berpendapat empat sisi kemaluannya. Al-Qadhi ‘Iyadh menguatkan pendapat yang terakhir sedangkan Ibnu Daqiqil Ied memilih pendapat yang pertama. Beliau beralasan: “Karena pendapat yang menerangkan bahwa empat cabang itu adalah dua tangan dan dua kaki lebih dekat kepada hakikat atau hal ini merupakan hakikat ketika duduk. Pernyataan ini merupakan kinayah (kiasan) dari jima’, maka Nabi n mencukupkan dengan kiasan ini dari menyebut jima’ secara terang-terangan.” (Fathul Bari 1/493, Syarhu Shahih Muslim 4/40, Al-Majmu’ 2/155)
2 Adapun masuknya hasyafah pada farji wanita, apabila yang dimaksud di sini tidak mengeluarkan mani, maka permasalahan ini diperselisihkan. Selengkapnya, lihat penjelasan lebih lanjut.
3 Dalam sabda Nabi n , air yang disebutkan pertama adalah air untuk mandi sedangkan air yang kedua adalah mani. (Fathul Bari 1/496)
4 Bersungguh-sungguh di sini adalah kiasan dari memasukkan kemaluan. (Fathul Bari 1/493)
5 Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya menyebut perkara yang semisal ini di hadapan istri bila ada maslahat dan tidak menyakitkan. Nabi n hanyalah menyampaikan demikian agar lebih mengena/ meyakinkan di jiwa si penanya. (Syarhu Muslim 4/42)
6 Yang mengatakan tidak wajib mandi karena bersenggama kecuali bila keluar mani.
7 Ulama berkata: “Maknanya dzakar seseorang telah masuk ke dalam farji istrinya”. Karena ulama telah sepakat, jika seseorang meletakkan dzakarnya di atas khitan istrinya dan ia tidak memasukkan dzakarnya tersebut maka tidak wajib mandi baginya, baik bagi si suami maupun bagi istrinya. (Syarhu Shahih Muslim 4/42, Al-Majmu’ 2/149, Al-Hawil Kabir 1/211).
8 Yaitu hadits:
9 Sementara dalam ayat disebutkan orang yang junub diperintah untuk mandi.
10 Seandainya tidak ada nash yang menunjukkan naskh dan tidak bisa ditarjih di antara dalil yang ada, maka mandi itu lebih hati-hati bagi agama seorang hamba. (Fathul Bari 1/496)
11 Paling akhir dari dua perkara dari penetap syariat atau dari ijtihad para imam. (Fathul Bari 1/496)
12 Mungkin timbul pertanyaan di benak pembaca, bukankah hadits ini mansukh dengan keterangan yang telah disebutkan ketika membahas wajibnya mandi karena bertemunya dua khitan, lalu kenapa dalam pembahasan berikutnya tetap dibawakan sebagai dalil?
Maka jawabannya, bahwa manthuq hadits Abu Sa’id z ini tidaklah terhapus dengan hadits Abu Hurairah z:
karena inzal (keluarnya mani) memang mengharuskan dan mewajibkan mandi, dengan demikian yang mansukh hanyalah mafhumnya. (Taudhihul Ahkam 1/371)
13 Dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa Ummu Sulaim x berkata:
“Wahai Rasulullah, apabila dalam mimpinya seorang wanita melihat suaminya menggaulinya, apakah ia harus mandi?”