(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
“Masa silam saya kelam,” ucap anak muda itu mengenang masa lalunya. Penampilannya yang necis tak membersitkan sedikit pun sebagai mantan pecandu obat terlarang. Rambut lurus bagai kucai dipotong pendek. Sisirannya yang dibelah tengah menambah tampilan lebih apik. Semburat wajahnya menyimpan keteduhan.
“Dulu, ganja, putaw, atau sabu adalah teman setia saya,” lanjut pemuda itu. Awal dirinya berkenalan dengan barang-barang terlarang adalah dari teman bergaul. Beberapa teman sepermainan menyeretnya untuk coba-coba mengisapnya. Satu, dua kali hingga akhirnya menjadi candu. Dirinya menemukan suasana lain setelah mengonsumsi obat-obat tersebut, fly. Semakin hari, dari waktu ke waktu, intensitas pemakaian obat itu pun bertambah. Akhirnya, dia merasakan, apabila tidak mendapatkan obat terkutuk tersebut, dia merasa tersiksa.
“Bahkan, sampai saya harus menyilet lengan saya lalu saya isap darah yang keluar. Itu jika saya tak bisa mendapatkan barang setan tersebut,” tuturnya datar seraya memperlihatkan bagian kedua lengannya yang diiris-iris untuk diisap darahnya.
Beragam obat terlarang pernah masuk ke dalam tubuhnya. Mulai yang diisap hingga yang disuntikkan. Saat itu, dirinya benar-benar terjerat sekawanan setan. Tidak bisa lepas. Teramat sangat sulit untuk memisahkan diri dari mereka. Setiap saat seakan-akan dirinya dikuntit, terus disodori barang-barang terlarang.
Nasihat dari orang tuanya tidak pernah dihiraukannya. Begitu pula nasihat dari saudara-saudara atau sanak famili, didengarnya, tetapi tidak pernah digubris. Ia pun tetap bergelut dengan narkoba. Bisik rayu setan lebih ampuh baginya dibandingkan dengan nasihat. Perangkap Iblis benar-benar mencengkeramnya.
“Karena saya tidak pernah menghiraukan nasihat, ada saudara orang tua saya yang mengusulkan agar saya tidak lagi diakui sebagai anak,” akunya. “Namun, ibu saya tidak setuju,” paparnya sendu mengenang hal itu.
Akibat perbuatannya, nama baik keluarga tercoreng di hadapan masyarakat. Apalagi ibunya adalah seorang pegiat dakwah. Ibunya sering diminta mengisi berbagai pengajian. Tidak sedikit masyarakat yang mencemooh dan melecehkan orang tuanya, terutama ibunya. Bisa mengajari orang lain, tetapi anak kandungnya sendiri terjerat nafsu setan. Begitulah di antara kata-kata yang terlontar.
Sungguh, orang tuanya benar-benar sedang diuji. Tidak mengherankan apabila saudara-saudaranya mengusulkan agar dirinya dibuang, dikeluarkan dari anggota keluarga, dan tidak diakui lagi sebagai anak. Ini semua karena beratnya menanggung malu. Ya, malu karena nama baik keluarga tercoreng.
Di tengah cemooh, cercaan, dan hinaan sebagian orang, ibunya tetap sabar. “Setiap ada waktu, ibu selalu menasihati saya. Ibu selalu memberi kelembutan kepada saya,” kenangnya. Mata anak muda itu mulai berkaca-kaca. Ia berusaha untuk tidak menitikkan air mata. Ia berupaya tegar saat mengenang ibunya yang penyabar. Anak muda itu menghela napas panjang. Suasana sunyi. Daun di pepohonan bergoyang tersentuh angin. Langit biru tersaput tipis awan putih.
Satu malam, ibunya terbangun. Seperti biasa, ibunya menunaikan shalat tahajud. Malam demi malam dilaluinya dengan munajat kepada Allah l. Malam demi malam ditaburinya dengan rukuk, sujud, zikir, dan doa. “Saat ibu tengah bermunajat, saya terbangun. Saya tatap ibu yang berselubung mukena putih. Seakan-akan mata tak mau berkedip. Saya tatap terus ibu,” ucapnya sungguh-sungguh.
Ia melanjutkan, “Saat saya menatap ibu, saya seperti diingatkan. Malam itu, kesadaran menyelinap ke dalam hati. Malam itu, saya bertobat,” kisahnya mengenang detik-detik tobatnya.
Sejak peristiwa itu, kehidupan anak muda tersebut berubah drastis. Semangat hidupnya mencuat kembali. Kepedulian terhadap agama pun tumbuh. Ibadahnya mulai berlangsung teratur. Pemuda itu telah insaf, meniti kembali jalan yang benar. Kegelapan yang selama ini menyelimuti, sirna. Ia berada dalam cahaya terang benderang. Ia yakin, semua ini tak luput dari sepenggal doa ibunda, setelah kehendak Allah l.
Kisah di atas nyata, diungkapkan langsung kepada penulis sekitar tahun 1980-an.
Rasulullah n bersabda,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
“Tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang dizalimi, doa orang yang sedang safar (dalam perjalanan), dan doa orang tua terhadap anaknya.” (HR. at-Tirmidzi no. 3448 dari Abu Hurairah z, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam ash-Shahihah no. 598 dan 1797)
Setiap orang tua tentu menghendaki anaknya tumbuh menjadi orang yang baik, tidak menyusahkannya, apalagi membuat ulah di masyarakat. Namun, terkadang antara harapan dan kenyataan tidak selaras. Anak yang dicita-citakan berkepribadian indah ternyata rusak ditelan oleh laju zaman. Walau orang tua telah mengupayakan pendidikan yang cukup, namun anak salah mengambil teman bergaul. Ia pun terseret kepada pola perilaku yang tidak baik. Hedonis; yang hanya ingin hidup bergaya, tampilan wah, gaya mewah ala borjuis, prinsipnya hanya ingin senang. Ia tidak mau hidup prihatin, apalagi hidup susah penuh perjuangan. Ia berusaha memenuhi setiap keinginannya walau harus dengan cara melanggar syariat. Atau, anak terseret menjadi “gali” (gabungan anak liar). Hidup di jalanan, memalak orang lain guna memenuhi kebutuhannya. Bisa jadi pula, ia terperangkap mafia narkoba, dan beragam kenakalan serta kejahatan bisa dilakukan oleh seorang anak. Nas’alullaha al-‘afiyah (Kita memohon keselamatan kepada Allah saja).
Semua itu bisa disebabkan oleh sikap mental yang rapuh, tidak mampu berpikir dewasa dan bijak. Bisa jadi pula, hal itu tumbuh karena dipengaruhi oleh teman. Dengan istilah lain, disebabkan oleh pergaulan bebas. Pergaulan yang tidak memberi rangsangan untuk menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik.
Allah l telah menyebutkan bahwa anak dan harta adalah cobaan. Firman-Nya,
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (at-Taghabun: 15)
Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mendoakan, mendidik, membimbing, dan mengarahkan anak. Manakala tugas tersebut telah tertunaikan secara baik dan sungguh-sungguh, namun anaknya tetap berperilaku tidak sesuai dengan yang diharap, tentu orang tua tidak lantas patah arang, berputus asa. Hendaknya orang tua menyadari, sesungguhnya Allah-lah yang memberi hidayah. Firman-Nya,
“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 178)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah merinci perihal hidayah. Pertama, hidayah yang disebut sebagai al-huda (petunjuk) dengan makna ad-dalalah (tuntunan) dan al-bayan (penjelasan). Ini sebagaimana yang dijelaskan oleh firman-Nya,
“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (Fushshilat: 17)
Kedua, hidayah yang berbentuk al-huda (petunjuk) dengan makna at-taufiq dan al-ilham. Hidayah dengan makna ini hanyalah Allah l yang memberi. Adapun manusia, termasuk Rasulullah n, tidak memiliki kekuasaan untuk memberinya. Allah l berfirman,
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (al-Qashash: 56) (Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, hlm. 8—9)
Rasulullah n sangat menginginkan agar paman beliau, Abu Thalib, berislam dan mengucapkan kalimat tauhid menjelang akhir kehidupannya. Namun, sampai ajal tiba, Abu Thalib tetap kafir. Rasulullah n tidak memiliki kekuasaan untuk memberi hidayah at-taufiq bagi pamannya. Karena itu, turunlah ayat di atas (al-Qashash: 56). (Lihat Shahih al-Bukhari no. 4772, hadits dari Sa’id bin al-Musayyab)
Demikianlah. Rasulullah n telah berusaha semaksimal mungkin agar paman beliau menjadi seorang muslim. Nasihat, bimbingan, dan arahan beliau kepada sang paman sebegitu intensif. Namun, Allah l berkehendak lain. Hidayah at-taufiq tidak turun kepada paman beliau.
“Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8)
Demikian pula Nabi Ibrahim q. Beliau terus-menerus menasihati ayahnya agar mau menerima dakwah tauhid dan menaati Allah l. Beliau n berbicara, “Wahai ayahku… wahai ayahku… wahai ayahku….”
Perhatikanlah firman Allah l,
Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Rabb Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Rabb Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 42—45)
Akan tetapi, usaha sungguh-sungguh Nabi Ibrahim q tidak membuahkan apa yang diharap. Ayahnya justru membalas nasihat Nabi Ibrahim q dengan ucapan yang dikisahkan oleh al-Qur’an,
Ayahnya berkata, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (Maryam: 46)
Pelajaran pun bisa dipetik dari kisah Nabi Nuh q dengan anaknya. Allah l berfirman,
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hud: 42—43)
Setelah anaknya tenggelam, Nabi Nuh q memohon kepada Allah l, sebagaimana dalam firman-Nya,
Dan Nuh berseru kepada Rabbnya sambil berkata, “Ya Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu lah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.” (Hud: 45)
Namun, kemudian Allah l menjelaskan kepada Nabi Nuh q perihal kedudukan anaknya. Firman-Nya,
Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sungguh (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Oleh sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Hud: 46)
Lantas, Nabi Nuh q memohon ampun kepada Allah l.
Nuh berkata, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat) nya. Sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Hud: 47)
Para nabi Allah l pun tidak bisa memberi hidayah at-taufiq kepada orang-orang terdekatnya. Meskipun demikian, kisah para nabi tersebut memberikan pelajaran, betapa mereka telah berupaya keras membimbing orang-orang terdekatnya. Mereka sangat kuat menghendaki orang terdekatnya berada di atas jalan Allah l, bukan jalan kesesatan. Akan tetapi, hidayah itu di tangan Allah k.
Segenap upaya untuk membebaskan buah hati dari lingkungan yang tidak baik tentu memerlukan kesabaran. Sabar dalam hal menghadapi beragam aral merintang, baik kendala itu datang dari anak sendiri maupun dari lingkungan masyarakat. Hakikat itu semua adalah untuk menguji sejauh mana taraf kesabaran kita. Bisa jadi, seorang ayah atau ibu akan menghadapi cemooh dan cercaan dari orang-orang atas perbuatan anaknya. Namun, semua itu adalah ujian. Sabarkah ia menerima takdir yang telah ditetapkan oleh Allah l?
“Berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 155)
Rasulullah n bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكِ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang yang beriman. Sungguh, seluruh urusannya baik baginya. Tidaklah ada seorang pun (yang seperti itu) melainkan hanya seorang mukmin. Jika ia ditimpa sesuatu yang menyenangkan, ia bersyukur. Sikap syukurnya itu membawa kebaikan baginya. Jika ia ditimpa mudarat, ia bersabar. Sikap sabarnya itu membawa kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 64)
Dengan kesabaran, kita menepis keputusasaan. Dengan kesabaran, kita menebar banyak harapan. Dengan kesabaran, kita menuai kebaikan.
الصَّبْرُ ضِيَاءٌ
“Sabar itu kemilau cahaya.” (HR. Muslim “Kitabu az-Zakat”, “Bab Fadhlu at-Ta’affuf wash Shabr” dari Abu Malik al-Harits bin ‘Ashim al-Asy’ari z)
Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sabar. Amin.
Wallahu a’lam.