Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas semisal Gunung Uhud, niscaya tidak mencapai (tidak bisa menyamai) infak satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 3673, al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2541, al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4658, al-Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3861, dan al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/11, 54, 63.
An-Nawawi memberi nama babnya “Tahrimu Sabbish Shahabah radhiallahu ‘anhum (Haramnya mencela sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum),”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak mencapai (menyamai) infak satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.”
Menjelaskan bahwa apabila salah seorang dari kalian menginfakkan semisal gunung Uhud berupa emas, niscaya pahala infaknya itu tidak akan menyamai pahala dan keutamaan yang diperoleh sahabat dari infak yang mereka berikan berupa satu mud makanan atau setengahnya.
Sebab, infak sahabat itu disertai dengan keikhlasan yang lebih dan baiknya niat. Selain itu, mereka berinfak dalam keadaan mereka lebih membutuhkannya karena keadaan mereka yang serba kekurangan, banyak kebutuhan, dan kepentingan yang mendesak. (Aunul Ma’bud, 12/269)
Al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menyatakan, infak para sahabat lebih utama karena dikeluarkan pada saat darurat dan keadaan yang sempit. Berbeda halnya dengan infak selain mereka. Selain itu, infak mereka dikeluarkan untuk menolong dan melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak mungkin terjadi lagi sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula jihad mereka dan seluruh amalan ketaatan mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
“Tidaklah sama di antara kalian, orang yang menginfakkan hartanya dan berperang sebelum al-Fathu[1] dengan orang yang selain mereka. Mereka itu lebih besar derajatnya di sisi Allah daripada orang-orang yang berinfak dan berjihad setelah itu….” (al-Hadid: 10)
Hal ini disertai dengan rasa kasih sayang, cinta, khusyuk, tawadhu, dan mengutamakan orang lain (daripada diri mereka sendiri) yang ada dalam jiwa mereka dan jihad fi sabilillah dengan sebenar-benarnya.
Di samping itu, keutamaan/kemuliaan bersahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam walau hanya sebentar, tidak dapat diimbangi oleh satu amalan pun. Derajat ini tidak dapat dicapai dengan sesuatu pun, dan keutamaan itu tidak dapat diambil dengan qiyas. Itu adalah keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang Dia berikan kepada siapa yang diinginkan-Nya. (Syarh Shahih Muslim, 16/93)
Penjelasan Hadits
Tatkala terjadi perselisihan antara Khalid ibnul Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhuma, Khalid pun mencerca Abdurrahman. Sementara itu, Abdurrahman lebih dahulu masuk Islam daripada Khalid, bahkan termasuk as-Sabiqunal Awwalun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur Khalid dengan sabda beliau di atas.
Hadits di atas menunjukkan kepada kita tentang haramnya mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai penamaan bab dalam Shahih Muslim oleh an-Nawawi rahimahullah.
Oleh karena itu, tidak ada alasan sedikit pun bagi kita untuk membolehkan pencelaan terhadap mereka radhiallahu ‘anhum. Sebab, Nabi melarang sahabat yang belakangan masuk Islam mencela sahabat yang terdahulu dalam keimanan. Padahal keduanya memiliki keutamaan bersahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kejelekan pelakunya dan jeleknya hasil perbuatan ini.
Apabila sesama sahabat saja dilarang saling mencela, lantas bagaimana halnya apabila yang mencela itu bukan sahabat? Atau malah orang yang tidak mempunyai keutamaan sama sekali dari kalangan Zanadiqah (kelompok zindiq), Rawafidh (Syi’ah), serta para pengekor hawa nafsu dan ahlul bid’ah?
Kira-kira apa gerangan yang akan diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang tersebut? Sebesar apa sanksi serta hukuman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pelaku perbuatan tersebut?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Khalid radhiallahu ‘anhu mencela sahabat-sahabat beliau, padahal Khalid radhiallahu ‘anhu juga termasuk sahabat beliau?
Akhirnya beliau menyatakan,
Sebab, Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu dan yang semisalnya adalah termasuk as-Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali masuk Islam). Dia sudah menjadi sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Khalid radhiallahu ‘anhu dan semisalnya masih memusuhi beliau.
Mereka, para as-Sabiqunal Awwalun, menginfakkan harta mereka dan berjihad sebelum Fathu (Perjanjian Hudaibiyyah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada sahabat yang berinfak dan berjihad setelah Fathu Makkah. Meski demikian, masing-masing Allah subhanahu wa ta’ala berikan kebaikan.
Jadi, sahabat seperti Abdurrahman radhiallahu ‘anhu dan semisalnya memiliki kelebihan dalam hubungan persahabatannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dimiliki oleh Khalid radhiallahu ‘anhu dan sahabat semisalnya yang berislam dan berperang setelah Fathu. Maka dari itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mencela mereka yang bersahabat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum Fathu Makkah.
Siapa saja yang sama sekali tidak pernah menjadi sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka perbandingan dia dengan orang yang menjadi sahabat Rasulullah seperti perbandingan Khalid radhiallahu ‘anhu dengan para sahabat yang terdahulu masuk Islam.Bahkan. orang tersebut tidak ada kadarnya apabila dibandingkan dengan kemuliaan Khalid radhiallahu ‘anhu dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 576)
Al-Imam ‘Ali al-Qari rahimahullah menyatakan, pembicaraan dalam hadits ini sangat mungkin ditujukan kepada umat secara umum, tidak dibatasi hanya sahabat yang berselisih tersebut. Dengan cahaya nubuwwah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa perbuatan semisal ini akan terjadi pada ahlul bid’ah. Maka dari itu, beliau melarang mereka dengan hadits ini. (Tuhfatul Ahwadzi, 10/246)
Keutamaan Sahabat Tidak Bisa Dicapai oleh Siapa pun
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah telah menjelaskan bahwa keutamaan bersahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meski hanya sebentar, tidak bisa dibandingkan dengan satu amalan pun. Derajat ini tidak dapat dicapai dengan sesuatu pun. Keutamaan itu tidak dapat diambil dengan qiyas. Hal itu adalah keutamaan Allah subhanahu wa ta’ala yang Dia berikan kepada siapa yang diinginkan-Nya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Jadi, apa pun amalan yang dilakukan oleh orang-orang yang setelah para sahabat, dia tidak bisa mencapai derajat para sahabat dari sisi shuhbah (persahabatan) mereka dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keutamaan mereka pernah bergaul dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, hadir di majelisnya, mendengarkan wejangan dan pengajarannya dalam waktu lama atau sebentar. Apalagi menyertai beliau dalam berjihad meninggikan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala, mendukung dakwah beliau dengan pengorbanan jiwa dan harta.
Keutamaan seperti ini jelas tidak dapat diraih oleh selain sahabat, sampai pun derajat sahabat yang paling rendah[2] atau sahabat yang hanya sesaat melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan beriman.
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Janganlah kalian mencela sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh, kedudukan salah seorang dari mereka sesaat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada amalan salah seorang kalian selama 40 tahun.”
Dalam lafadz yang lain, “Lebih baik daripada ibadah salah seorang dari kalian seumur hidup.” (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 1006; dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Tahqiq Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah hlm. 469)
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala melihat kepada hati-hati hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala dapatkan hati Muhammad adalah sebaik-baik hati para hamba. Allah subhanahu wa ta’ala pun memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai rasul-Nya.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala melihat hati-hati hamba setelah hati Muhammad. Ternyata Allah subhanahu wa ta’ala dapatkan hati-hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba. Allah subhanahu wa ta’ala pun menjadikan mereka sebagai penolong Nabi-Nya.
Mereka berperang membela agama-Nya. Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin (yakni para sahabat), maka itu baik di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Apa yang mereka pandang jelek, maka itu jelek di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (Riwayat Ahmad, 1/380; dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Tahqiq Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah hlm. 470)
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata, “Para sahabat pantas mendapatkan kecintaan dan pemuliaan karena keutamaan mereka, terdepannya mereka dalam beriman, dan kekhususan mereka menjadi sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersamaan dengan itu, mereka telah berbuat baik kepada umat ini karena telah menyampaikan seluruh yang datang dari Rasul mereka. Tidak sampai pada seseorang satu ilmu pun atau satu berita pun melainkan dengan perantaraan para sahabat.” (Syarhul ‘Aqidah al-Wasithiyyah, hlm. 166)
Setelah membawakan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi tentang kedudukan dan keutamaan sahabat, al-Hafizh Abu Bakr al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah berkata, “Berita-berita yang semakna dengan ini begitu luas. Seluruhnya sesuai dengan berita yang ada dalam nash al-Qur’an. Semua itu berkonsekuensi kesucian sahabat dan kepastian tentang kebaikan serta kebersihan mereka.
Karena itu, tidak ada seorang pun dari mereka yang membutuhkan pengakuan dari satu makhluk pun terkait dengan kebaikan mereka. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan hal tersebut untuk mereka karena Dia-lah yang mengetahui yang tersembunyi dalam batin mereka.”
Beliau juga mengatakan, “Seandainya tidak datang satu keterangan dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya tentang para sahabat sebagaimana yang telah kami sebutkan, niscaya keadaan yang mereka alami dan hadapi berupa hijrah, jihad, menolong agama Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, pengorbanan darah dan harta (untuk membela agama Allah subhanahu wa ta’ala -pen.), membunuh bapak dan anak-anak mereka (yang masih kafir ketika berhadapan di medan laga -pen.), saling menasihati dalam agama, kekuatan iman dan keyakinan, semua itu cukup menjadi kepastian tentang kelurusan mereka dan kesucian mereka.
Mereka lebih utama selama-lamanya dari seluruh orang yang dianggap baik dan seluruh orang yang disucikan, dari kalangan orang-orang yang datang setelah mereka.” (al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hlm. 48—49)
Hukum Mencela Sahabat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Mencela sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumnya haram dengan dalil al-Kitab dan as-Sunnah.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 571)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Mencela sahabat radhiallahu ‘anhum hukumnya haram, termasuk kekejian yang diharamkan. Sama saja, yang dicela itu dari kalangan sahabat yang terlibat dalam fitnah (peperangan antara sesama muslimin -pen.) ataupun selain mereka. Sebab, mereka berijtihad dalam peperangan tersebut dan melakukan penafsiran dalam berbagai urusan yang terjadi.”
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Mencela salah seorang sahabat adalah perbuatan maksiat yang termasuk dosa-dosa besar.” (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Abu Zur’ah rahimahullah berkata, “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketahuilah bahwa dia adalah zindiq. Sebab, keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu haq di sisi kita, demikian pula al-Qur’an. Dan para sahabat Nabi yang menyampaikan al-Qur’an dan sunnah-sunnah beliau kepada kita.
Sementara itu, para zindiq tersebut ingin mencacati persaksian kita terhadap mereka—para sahabat—agar mereka dapat membatilkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang kita ambil dari para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Justru mereka itulah orang yang lebih pantas dicacat keberadaannya. Mereka itulah orang-orang zindiq.” (al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hlm. 49)
Bentuk sanksi atau ‘iqab yang diberikan kepada orang yang mencela sahabat, diperselisihkan para ulama. Ada yang menvonis harus dibunuh, ada yang tidak. Jumhur ulama sendiri berpandangan, orang yang berbuat demikian diberi hukuman ta’zir[3] dan tidak dibunuh. Sementara itu, sebagian ulama mazhab Maliki berpendapat orang itu dibunuh. (Syarh Shahih Muslim, 16/93)
Al-Imam Ahmad rahimahullah berpendapat, orang yang mencela salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dari kalangan ahlul bait maupun selain mereka, hukumannya adalah dipukul dengan keras. Adapun masalah membunuh dan mengkafirkan orang yang berbuat demikian, beliau tawaqquf[4].
Ada yang berpendapat bahwa siapa yang melakukan hal itu, ia harus diberi “pelajaran”, dihukum dan diminta bertobat. Apabila ia bertobat, tobatnya diterima. Apabila mengulanginya, ia dihukum dan dipenjara selama-lamanya sampai mati atau bertobat.
Demikian dihikayatkan hal ini oleh al-Imam Ahmad dari para ulama yang pernah beliau jumpai. Al-Kirmani menghikayatkannya dari al-Imam Ahmad, Ishaq, al-Humaidi, Sa’id bin Manshur, dan selain mereka.
Al-Harits bin ‘Utbah berkata, “Didatangkan ke hadapan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz seorang lelaki yang mencela ‘Utsman radhiallahu ‘anhu.
‘Umar bin Abdul ‘Aziz bertanya, “Apa yang mendorongmu untuk mencercanya?”
“Aku membencinya,” jawab si pencerca.
“Apakah jika engkau membenci seseorang, engkau akan mencelanya?” tanya ‘Umar lagi.
Ia lalu memerintahkan agar si pencerca itu dicambuk 30 kali. Ibrahim bin Maisarah berkata, “Aku belum pernah sama sekali melihat ‘Umar bin Abdil ‘Aziz memukul seseorang, kecuali seorang laki-laki yang mencerca Mu’awiyah. ‘Umar mencambuknya beberapa kali.”
Al-Imam Malik berkata, “Siapa yang mencerca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia dibunuh. Siapa yang mencerca sahabat, ia diberi ‘pelajaran’.” (Semua atsar kami nukilkan dari kitab ash-Sharimul Maslul, hlm. 567, 568, 569, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Kesimpulannya, mencela sahabat itu ada tiga macam:
Orang yang seperti ini dihukumi kafir karena mendustakan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, yang telah memuji dan ridha terhadap para sahabat. Bahkan, siapa yang ragu tentang kekufuran orang yang semisal ini, ia pun kafir. Sebab, celaan tersebut mengandung konsekuensi bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan al-Qur’an dan as-Sunnah kepada umat ini adalah kafir dan fasiq.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia.” (Ali ‘Imran: 110)
Sebaik-baik umat ini adalah generasi pertamanya (yakni para sahabat). Celaan yang ditujukan kepada generasi pertama ini berarti menuduh bahwa mayoritas para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang kafir atau fasiq. Konsekuensinya, umat ini adalah sejelek-jelek umat dan pendahulu umat ini adalah orang-orang yang paling jelek.
Ada dua pendapat di kalangan ahlul ilmi. Ada yang mengkafirkan pelakunya, ada pula yang menyatakan tidak kafir tetapi harus dicambuk dan dipenjara sampai mati atau bertobat ucapannya itu.
Pelakunya tidak dikafirkan, namun diberi hukuman ta’zir yang bisa membuatnya jera dari perbuatannya. (ash-Sharimul Maslul hlm. 586—587, Syarh Lum’atil I’tiqad, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hlm. 152)
Sosok Sayyid Quthb sebagai Pencela Sahabat
Kita telah mengetahui betapa tinggi dan mulia kedudukan para sahabat dengan persaksian Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dari itu, mereka tidak boleh dicela. Justru kita wajib tidak membicarakan kejelekan mereka. Kita harus menyakini bahwa sekalipun mereka punya kesalahan, kesalahan itu terlalu kecil jika dibandingkan dengan kebaikan yang ada pada mereka.
Apabila salah seorang dari mereka punya satu dosa, ia mungkin sudah bertobat dari dosa tersebut; atau ia telah melakukan kebaikan yang banyak yang akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya, atau ia telah diampuni oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan keutamaannya sebagai orang yang terdahulu masuk Islam; atau diampuni dengan syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena para sahabat adalah orang-orang yang paling berhak mendapatkan syafaat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; atau ia ditimpa ujian dan cobaan di dunia yang menjadi penghapus dosanya. (al-‘Aqidah al-Wasithiyah dengan syarahnya, hlm. 175)
Namun, lihatlah seorang yang bernama Sayyid Quthub. Ia mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mata hatinya telah buta sehingga tidak bisa melihat keutamaan dan kemuliaan mereka. Dengan berani dan lancang, Sayyid mencerca dan mencela mereka radhiallahu ‘anhum.
Di antara cercaan Sayyid kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
Ia menyatakan dengan lisannya yang buruk, “Kami cenderung menganggap kekhalifahan ‘Ali sebagai kepanjangan alami bagi kekhalifahan Syaikhain sebelumnya (yakni Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma -pen.). Sungguh, masa ‘Utsman adalah celah di antara keduanya.” (al-‘Adalah al-Ijtima’iyyh, hlm. 206)
Ia menuduh bahwa gambaran tentang hakikat hukum Islam mengalami perubahan pada masa pemerintah ‘Utsman. Ia berkata, “Sungguh termasuk aspek yang buruk, ‘Utsman menemui masa kekhalifahannya dalam keadaan telah tua renta, lemah semangatnya untuk meneguhkan Islam, serta lemah keinginannya untuk menyumbat makar Marwan dan makar Umayyah yang datang dari belakangnya.” (hlm. 186)
Ia juga secara dusta menuduh ‘Utsman bahwa beliau tidak mengatur dengan baik harta kaum muslimin, dan lebih mengutamakan keluarganya untuk memimpin manusia.
Sayyid menyatakan, “Utsman memahami bahwa keberadaannya sebagai imam menganugerahkannya kebebasan untuk mengatur harta kaum muslimin. Ia bebas memberi dan menghadiahkan. Karena itu, pada kebanyakan kesempatan ia memberi harta kepada orang yang dijadikannya sebagai pimpinan dalam perpolitikan. Jika tidak demikian, dalam urusan apa engkau menjadi imam/pimpinan?
‘Utsman juga dianugerahi kebebasan untuk membawa Bani Mu’ith dan Bani Umayyah dari kalangan kerabatnya untuk memimpin manusia. Di kalangan keluarganya ini ada al-Hakam (ibnul ‘Ash) yang pernah diusir oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu semata-mata dilakukannya karena ia menganggap bahwa termasuk kewajibannya adalah memuliakan keluarganya, berbuat baik pada mereka dan menjaga/memerhatikan mereka.” (hlm. 186)
Ia juga menuduh ‘Utsman telah menyimpang dari ruh Islam.
Sayyid mengatakan, “Sungguh, para sahabat (ketika itu) memandang bahwa (apa yang terjadi di masa ‘Utsman) merupakan penyimpangan dari ruh Islam. Mereka pun saling memanggil kembali ke Madinah untuk menyelamatkan Islam dan menyelamatkan Khalifah (yakni ‘Utsman radhiallahu ‘anhu -pen.) dari ujian. Sementara itu, Khalifah dalam ketuaan dan kerentaannya tidak dapat menguasai urusannya dari Marwan.
Sungguh, sulit bagi kita untuk menjelekkan ruh Islam pada diri ‘Utsman. Akan tetapi, sulit juga bagi kita untuk memaafkannya dari kesalahannya. Kesalahannya bertemu dengan kejelekan dalam memimpin kekhalifahannya, sementara dia adalah orang tua yang tidak berdaya yang diliputi oleh keburukan Umayyah.” (hlm. 187)[5]
Bahkan, Sayyid Quthb ini memuji pemberontakan yang dilakukan terhadap Khalifah ‘Utsman.
Ia menyatakan, “Akhirnya meletuslah pemberontakan terhadap ‘Utsman.
Tercampurlah dalam pemberontakan itu al-haq dengan al-bathil, kebaikan dan kejelekan. Namun, orang yang melihat urusan dengan mata Islam dan merasakannya dengan ruh Islam, mau tidak mau akan menetapkan bahwa pemberontakan itu secara umum lebih dekat dan mengarah kepada ruh Islam daripada tindakan ‘Utsman, atau lebih lembut dan halus daripada tindakan Marwan dan Bani Umayyah yang ada di belakangnya.” (hlm. 189)[6]
Ia berkata, “Sungguh, sudah menjadi kodrat bahwa orang-orang yang mencari manfaat ini tidaklah ridha terhadap ‘Ali radhiallahu ‘anhu. Mereka juga tidak rela dengan syariat persamaan hak (yang ia maksudkan adalah kaum Muhajirin -pen.). Demikian pula orang-orang yang melanggar keutamaan dan menginginkan monopoli (yang dimaksudkannya adalah kaum Anshar -pen.). Mereka ini pun pada akhirnya bergabung dengan kelompok yang lain, kelompok Umayyah. Di dalamnya mereka bisa mencari muka untuk memenuhi ambisi mereka.” (hlm. 193)
Sayyid berkata, “Cukuplah bagi kami untuk menampilkan contoh kemewahan yang sangat yang dibawakan oleh al-Mas’udi[7] (seorang Syi’ah yang hasad kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, -pen.).
Al-Mas’udi berkata, “Pada masa ‘Utsman, para sahabat mengumpulkan sawah ladang dan harta. Pada hari terbunuhnya, ‘Utsman memiliki harta dalam simpanan sekitar 150 ribu dinar dan ribuan dirham. Sementara itu, nilai sawah ladangnya yang ada di Wadi al-Qura, Hunain, dan selainnya sekitar 100 ribu dinar. Dia juga meninggalkan unta dan kuda yang banyak.
Adapun az-Zubair, harta peninggalan setelah wafatnya mencapai harga 50 ribu dinar. Ia meninggalkan 1.000 ekor kuda dan 1.000 budak perempuan.
Adapun Thalhah, hasil buminya dari negeri Irak mencapai 1.000 dinar setiap hari, dan dari Nahiyatus Sarah lebih banyak lagi.
Abdurrahman bin ‘Auf, di tempat pertambatannya ada 1.000 ekor kuda. Ia juga punya 1.000 ekor unta, 10 ribu ekor kambing. Seperempat peninggalan hartanya setelah wafatnya mencapai nilai 84 ribu.
Lain lagi Zaid bin Tsabit, ia meninggalkan emas dan perak yang bisa memecahkan kapak-kapak. Di samping itu, ia juga meninggalkan harta yang lain dan sawah ladang.
Az-Zubair membangun rumahnya di Bashrah, juga di Mesir, Kufah, dan Iskandariyah.
Thalhah juga demikian. Ia membangun rumahnya di Kufah dan memperindah rumahnya di Madinah dengan membangunnya dengan kapur, batu bata, dan pohon jati.
Sa’d bin Abi Waqqash membangun rumahnya di ‘Aqiq, meninggikan atap/tiangnya dan meluaskan halamannya….” (al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah hlm. 209-210 dan seterusnya)
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata, “Orang yang memikirkan dengan detail tindakan-tindakan Sayyid Quthub dan tata caranya serta mengetahui mazhabnya, niscaya tahu bahwa Sayyid Quthub ini seorang pencela. Bahkan, ‘Umar radhiallahu ‘anhu pun akan terkena celaannya, karena sepanjang hidupnya ‘Umar melebihkan (sebagian muslimin) dalam hal pemberian. Melebihkan pemberian kepada satu orang daripada yang lain, yang dijalankan oleh ‘Umar ini, adalah kezaliman menurut Sayyid Quthub.
Hanya saja ia tidak mencerca ‘Umar sebagai penyamaran dari satu sisi dan agar bisa menjalankan doktrin sosialis pada sisi yang lain.
Orang yang memikirkan dengan teliti dan memahami ucapan Sayyid Quthub akan tahu bahwa ia mengharuskan pemerintah/penguasa merampas/mengambil paksa harta milik umat dan membaginya dengan cara sosialis-marxis.”[8]
Ia berkata dalam kitabnya Kutub wa Syakhshiyyat (hlm. 242—243): “Mu’awiyah dan temannya yang bernama ‘Amr tidaklah mengalahkan ‘Ali karena lebih mengetahui apa yang diinginkan oleh jiwa manusia dan lebih memahami tindakan yang bermanfaat yang sesuai situasi daripada ‘Ali.
Akan tetapi, mereka berdua bisa memerangi dan mengalahkan ‘Ali karena mereka bebas menggunakan segalah kotoran dan makar. Adapun ‘Ali terikat dengan akhlaknya dalam memilih sarana-sarana bergaul.
Tatkala Mu’awiyah dan temannya ini cenderung kepada dusta, tipu daya, kemunafikan, sogok menyogok, dan jual beli hak/kehormatan, ‘Ali tidak mau turun mengikuti mereka ke derajat yang paling rendah ini.
Tidaklah heran ketika keduanya sukses dan ‘Ali gagal. akan tetapi, kegagalan itu lebih mulia daripada seluruh kesuksesan.”[9]
Masih banyak lagi cercaan, tuduhan, dan sangkaan jelek yang dilemparkan Sayyid Quthub terhadap para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pemaparan di atas cukuplah sebagai gambaran bagi kaum muslimin tentang kejahatan Sayyid Quthub terhadap para sahabat radhiallahu ‘anhum.
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata, “Demikianlah Sayyid Quthub mengarahkan cercaan yang zalim dan tuduhan yang penuh dosa kepada para sahabat tanpa hujah, bukti, petunjuk dan ilmu, serta tanpa sumber tepercaya. Semua itu sekadar khayalannya, yang tumbuh dari akidah sosialisnya yang ghuluw dan racun yang diminumnya sampai puas dari sumber-sumber Rafidhah dan pengajaran-pengajaran kaum sosialis.” (Adhwa’u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu’zhamis shahabah radhiallahu ‘anhum)
Tentu saja akan lebih adil kalau kita melihat akidah Sayyid dan pemikirannya, agar jelas bagi kita, siapa sebenarnya dia dan apa bandingannya dengan para sahabat mulia yang dicercanya.
Dalam kitab tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an (6/4003—4004) tentang tafsir surat al-Ikhlas, ia berkata, “Sesungguhnya alam ini adalah kesatuan wujud. Tidak ada hakikat kecuali hakikat-Nya. Tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Jadi, seluruh wujud yang lain hanyalah bersandar kepada Wujud yang hakiki itu.”
Ucapannya ini, jelas sekali menunjukkan pemahaman wihdatul wujud.
Demikian pula ucapannya, “Islam menginginkan agar manusia menempuh jalan menuju hakikat ini. Manusia merasakan penderitaan saat menjalani kenyataan hidup. Bersamaan dengan itu, mereka mestinya merasakan bahwa tidak ada hakikat kecuali Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada wujud kecuali wujud-Nya.”
Ia juga membela akidah Nirwana[10] yang dianut oleh pemeluk Hindu- Budha.[11]
Sementara itu, ia sendiri tidak mengingkari kesyirikan yang dilakukan di kuburan-kuburan[12].
Ia menolak sifat istiwa’ Allah subhanahu wa ta’ala di atas ‘Arsy-Nya saat menafsirkan surat Yunus ayat 1. (Fi Zhilalil Qur’an, 3/1762—1763)
Ia menganggap sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala hanyalah sekadar makna yang tidak ada hakikatnya.[13]
Dalam Fi Zhilalil Qur’an (5/2715), “Akan tetapi, mereka tidak kuasa untuk menyusun satu surat pun yang semisal kitab al-Qur’an ini. Sebab, kitab ini adalah buatan Allah subhanahu wa ta’ala, bukan buatan manusia.”[14]
Dalam kitabnya at-Tashwirul Fanni fil Qur’an (hlm. 200—204), ia menyebutkan bahwa Nabi Musa adalah seorang pemimpin yang membela ‘ashabiyyah qaumiyyah (fanatik golongan/suku), emosional, tidak sabaran, tidak memiliki ketenangan. Musa berjanji tidak akan menjadi penolong orang-orang yang berbuat dosa. Namun, ia menyelisihi janjinya dengan membantu seseorang dari kaumnya yang berkelahi dengan seseorang dari kaum Fir’aun. Musa juga meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala permintaan yang tidak pantas.[15]
Hal ini tampak dari pernyataannya, “Ya Allah, aku adalah hamba-Mu. (Aku beribadah kepada-Mu) bukan karena takut dari neraka-Mu, bukan pula karena ingin masuk ke dalam surga-Mu.” (at-Tashwirul Fanni fil Qur’an)
Pemikiran seperti ini disebutkan oleh sebagian Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai pemikiran seorang zindiq.[16]
Masih banyak lagi penyimpangan orang ini. Beberapa contoh di atas cukuplah mewakili gambaran tentang Sayyid Quthub.
Akan tetapi, kebobrokan dan boroknya menjijikkan tidak membuatnya malu dan minder untuk tampil mencerca para sahabat yang mulia.
Bisa jadi, sekelompok manusia akan menyalahkan kita karena menjelekkan Sayyid Quthub, pencela sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka beralasan, dia adalah seorang yang punya banyak jasa terhadap Islam, gugur sebagai syahid, dia begini, dia begitu, dan seterusnya. Sederet pujian dilontarkan untuk Sayyid. Mereka membela Sayyid Quthub karena cemburunya terhadap tokoh nyeleneh dan bebal[17] ini.
Kita katakan kepadanya sebagaimana ucapan asy-Syaikh Rabi’[18] hafizhahullah, “Wahai sekalian muslimin, di mana ghirah (cemburu) kalian terhadap akidah Islam (yang dirusak oleh orang seperti Sayyid Quthub)? Di mana ghirah kalian terhadap tokoh-tokoh umat ini (para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dicela oleh Sayyid Quthub)? Di mana sikap kalian apabila dibandingkan dengan sikap salaful ummah terhadap orang yang mencela sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sampai kapan kalian sabar menanggung kezaliman, kelaliman, dan penganiayaan ini?”
Wallahul musta’an.
Ditulis oleh al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
[1] Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata al-Fathu di sini. Mayoritas ulama menafsirkan dengan pembukaan kota Makkah. Adapun asy-Sya’bi dan yang lain menafsirkan dengan Perjanjian Hudaibiyah.
[2] Para sahabat itu memang berbeda-beda derajat, keutamaan dan kemuliaannya, seperti Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu lebih utama dari sahabat-sahabat yang lain, kemudian setelahnya para al-Khulafa’ ar-Rasyidun yang lain, dan seterusnya. (al-‘Aqidah al-Wasithiyyah beserta syarahnya, hlm. 167-169)
[3] Ta’zir adalah hukuman yang tidak dapat dikadarkan secara pasti, yang wajib ditunaikan oleh hakim karena adanya pelanggaran terhadap hak Allah atau hak anak Adam. Hukuman ini dilaksanakan dalam setiap maksiat yang tidak ada hukum hadnya dan tidak ada kaffarah-nya secara umum. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 12/254)
[4] Mendiamkan, tidak memberikan pendapat.
[5] Matha’in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah pasal ke-14 Ramyu ‘Utsman bil inhiraf ‘an ruhil Islam.
[6] Matha’in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah pasal ke-15 Sayyid Quthb yara anna ats-tsaurah al-lati qadaha Ibnu Saba’ Al-Yahudi aqrabu ila ruhil islam min ‘Utsman bin ‘Affan.
[7] Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata, “Bila pembaca merujuk pada kitab al-Mas’udi niscaya akan mengetahui bahwa al-Mas’udi membawakan kedustaan ini untuk mencela sahabat-sahabat besar tersebut.” (Adhwa’ Islamiyyah ‘ala akidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min Utsman wa mu’dhamis shahabah radhiallahu ‘anhum.
[8] Adhwa’u Islamiyyah ‘ala akidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu’zhamis shahabah radhiallahu ‘anhum.
[9] Adhwa’u Islamiyyah ‘ala akidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu’zhamis shahabah radhiallahu ‘anhum.
[10] Nirwana maknanya selamat, yakni selamatnya ruh yang terus-menerus mengalami perbaikan di tengah peredaran dan perputarannya dalam menitis ke tubuh-tubuh manusia. Ketika telah selamat, ruh ini tidak butuh lagi untuk menitis karena ia telah selamat dari perjalanan tersebut dan telah menyatu dengan Sang Pencipta.
Ia telah meninggalkan jasad di alam materi dan masuk ke alam yang kekal abadi. Derajat Nirwana atau tercapainya keselamatan itu merupakan tujuan tertinggi dalam kehidupan bagi penganut Hindu dan Budha.
[11] Adhwa’u Islamiyyah ‘ala aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi, pasal ke-9 Qaul Sayyid Quthub bi ‘aqidah wihdatul wujud wal hulul wal jabr, karya asy-Syaikh Rabi’ al-Madkhali, al-‘Awashim Mimma fi Kutub Sayyid Quthb minal Qawashim pasal ke-5, karya asy-Syaikh Rabi’ dan makalah asy-Syaikh Rabi’ berjudul: Qaul Sayyid Quthb bi ‘Aqidah Wihdatul Wujud wal Hulul wal Jabr wa Difa’uhu ‘an-Aqidah an-Nirfana al-Hindukiyyah al-Budziyyah.
[12] Adhwa’u Islamiyyah ‘ala akidah Sayyid Quthb wa Fikrihi, pasal ke-6 Asy-syirku wa ‘ibadatul awtsan ‘inda Sayyid waman sara nahjihi.
[13] Adhwa’u Islamiyyah ‘ala akidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-10 Ghuluw Sayyid fi ta’thil sifatillah kama huwa sya’nu Jahmiyyah dan makalah asy-Syaikh Rabi’ berjudul Min Ushuli Sayyid Quthub al-Bathilah al-Mukhalafah Li Ushuli as-Salafis Shalih.
[14]Adhwa’u Islamiyyah ‘ala akidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-8 Qaulu Sayyid bi khalqil Qur’an wa anna kalamallahi ‘ibaratun anil iradah.
[15] Adhwa’u Islamiyyah ‘ala akidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal pertama Adabu Sayyid ma’a rasulillah dan kalimillah Musa ‘alaihis shalatu wa sallam.
[16] Makalah Syaikh Rabi’: Min Ushuli Sayyid Quthb Al-Bathilah Al-Mukhalafah Li Ushuli As-Salafish Shalih.
[17] Dikatakan demikian karena telah dinasihati oleh asy-Syaikh Mahmud Syakir agar tidak mencela sahabat, namun Sayyid malah membenarkan perbuatannya mencela sahabat. (Muqaddimah cetakan kedua kitab Matha’in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam)
[18] Mukadimah cetakan kedua kitab Matha’in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.