Berkeluarga bukanlah sekadar hidup bersama dalam satu rumah. Ibarat menanam, banyak hal yang bisa dilakukan suami/istri agar apa yang mereka tanam senantiasa tumbuh dan terus berbuah.
Di satu kampung dari perkampungan di Yaman, pernah ada sebelas orang wanita duduk berkumpul. Mereka sepakat untuk menceritakan sifat dan keadaan suami-suami mereka. Mereka pun saling berjanji untuk tidak menyembunyikan sedikit pun keadaan suami mereka. Apa gerangan yang mereka kisahkan?
قَالَتِ الأُوْلَى: زَوْجِي لَحْمُ جَمَلٍ غَثٍّ عَلَى رَأْسِ جَبَلٍ، لاَ سَهْلٍ فَيُرْتَقَى وَلاَ سَمِيْنٍ فَيُنْتَقَلَ.
“Suamiku ibarat daging unta yang kurus kering di atas puncak gunung yang tidak mudah didaki. Daging itu sendiri tidaklah gemuk hingga dapat mengundang hasrat untuk memindahkannya.”[1]
“Tidak akan kusebarkan berita suamiku. Sebab, bila kuceritakan tentangnya, aku khawatir akan terus berbicara tanpa meninggalkan satu pun cerita tentang dirinya. Apabila aku mengingatnya, yang aku ingat adalah urat yang menggembung dan tampak pada wajah, tubuh, dan perutnya.”[2]
قَالَتِ الثَّالِثَةُ: زَوْجِي الْعَشَنَّقُ، إِنْ أَنْطِقْ أُطَلَّقْ، وَإِنْ أَسْكُتْ أُعَلَّقْ.
“Suamiku terlalu tinggi. Apabila aku bicara (mendebatnya dalam satu perkara atau menceritakan celanya), ia akan menalakku. Namun, apabila aku diam (bersabar dengan keadaanku), aku dibiarkannya tergantung (seperti wanita yang tidak memiliki suami dan tidak pula menjanda).”
قَالَتِ الرَّابِعَةُ: زَوْجِي كَلَيْلِ تِهَامَةَ، لاَ حَرَّ وَلاَ قُرَّ وَلاَ مَخَافَةَ وَلاَ سَآمَةَ.
“Suamiku seperti malam di Tihamah[3]. Tidak panas, tidak pula sangat dingin, tidak menakutkan, dan tidak pula menjemukan.”[4]
قَالَتِ الْخَامِسَةُ: زَوْجِي إِذَا دَخَلَ فَهِدَ، وَإِنْ خَرَجَ أَسِدَ، وَلاَ يَسْأَلُ عَمَّا عَهِدَ.
“Suamiku, apabila masuk dia rumah, seperti macan kumbang[5]. Apabila dia keluar rumah, seperti singa. Dia tidak pernah bertanya tentang apa yang diberikan dan diamanahkannya.”[6]
قَالَتِ السَّادِسَةُ: زَوْجِي إِنْ أَكَلَ لَفَّ، وَإِنْ شَرِبَ اشْتَفَّ، وَإِنِ اضْطَجَعَ الْتَفَّ، وَلاَ يُوْلِجُ الْكَفَّ لِيَعْلَمَ الْبَثَّ.
“Suamiku, apabila makan, banyak dan menyantap semua hidangan tanpa menyisakan. Apabila dia minum, sampai habis. Apabila berbaring, ia berselimut sendirian (menjauh dari istrinya). Dia tidak pernah memasukkan telapak tangannya untuk mengetahui kesedihanku (guna berupaya menghilangkannya).”[7]
قَالَتِ السَّابِعَةُ: زَوْجِي غَياَيَاءُ –أَوْ عَيَايَاءُ– طَبَاقَاءُ، كُلُّ دَاءٍ لَهُ دَاءٌ، شَجَّكِ أَوْ فَلَّكِ أَوْ جَمَعَ كُلاًّ لَكِ.
“Suamiku dungu—atau tidak mampu menggauli wanita (impoten)—dan sangat keterlaluan dungunya. Semua penyakit (cacat/cela) ada padanya. Apabila engkau mengajaknya bicara, dia akan melukai kepala atau badanmu, atau melukai kepala dan badanmu sekaligus.”[8]
قَالَتِ الثَّامِنَةُ: زَوْجِي الْمَسُّ مَسُّ أَرْنَبٍ، وَالرِّيْحُ رِيْحُ زَرْنَبٍ.
“Suamiku, usapan dan sentuhannya seperti sentuhan kelinci. Adapun wanginya seperti wangi zarnab (sejenis tumbuhan yang semerbak baunya).”[9]
قَالَتِ التَّاسِعَةُ: زَوْجِي رَفِيْعُ الْعِمَادِ، طَوِيْلُ النِّجَادِ، عَظِيْمُ الرَّمَادِ، قَرِيْبُ الْبَيْتِ مِنَ النَّادِ.
“Suamiku, rumahnya tinggi (seperti rumah para tokoh/pembesar sehingga selalu dituju para tamu). Dia menyandang pedang yang panjang (karena posturnya yang tinggi), banyak debunya[10], dan rumahnya dekat dengan tempat pertemuan.”[11]
قَالَتِ الْعَاشِرَةُ: زَوْجِي مَالِكٌ وَمَا مَالِكٌ، مَالِكٌ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ، لَهُ إِبِلٌ كَثِيْرَاتُ الْمَبَارِكِ، قَلِيْلاَتُ الْمَسَارِحِ، وَإِذَا سَمِعْنَ صَوْتَ الْمِزْهَرَ، أَيْقَنَّ أَنَّهُنَّ هَوَالِكُ.
“Suamiku Malik. Siapakah Malik? Alangkah agung dan mulianya dia. Malik lebih baik daripada mereka semua (para suami yang telah diceritakan keadaannya/sifatnya). Ia memiliki unta yang banyak yang menderum di pekarangannya dan ada sedikit yang digembalakan[12]. Apabila unta-unta ini mendengar suara mizhar (alat yang dibunyikan untuk menyambut tamu), mereka pun yakin bahwa mereka akan mati (disembelih sebagai jamuan untuk tamu).”
“Suamiku Abu Zar’in. Siapakah Abu Zar’in? Dia menggerakkan kedua telingaku dengan perhiasan[13]. Dia penuhi kedua lenganku (beserta seluruh tubuhku) dengan lemak (gemuk). Dia memuliakanku sampai aku merasa diriku begitu mulia sehingga aku berbangga diri. Dia mendapati aku hidup dengan keluargaku (yang fakir) dengan hanya memiliki sedikit kambing yang kami gembalakan di tepi gunung.
Lalu (setelah menikahiku) ia menjadikan aku hidup dalam kemewahan, memiliki kuda dan unta, sawah ladang, dan selainnya. Di sisinya aku berbicara tanpa pernah dijelek-jelekkan dan dibantah. Aku tidur di pagi hari tanpa ada yang membangunkan (karena semua pekerjaan telah ditangani oleh para pembantu). Aku pun minum sampai puas.
Ibu Abu Zar’in, siapakah ibu Abu Zar’in? Tempat perabot dan perlengkapannya besar lagi penuh, rumahnya pun luas.
Putra Abu Zar’in, siapakah putra Abu Zar’in? Tempat berbaringnya seperti tikar anyaman dari pelepah kurma[14] dan mengenyangkannya dzira’ (bagian hasta) kambing (betina berusia 4 bulan).”[15]
Putri Abu Zar’in, siapakah putri Abu Zar’in? Dia taat/berbakti kepada ayah dan ibunya, sempurna tubuhnya (atau gemuk berisi), dan membuat marah madunya (karena iri melihat kelebihannya).
Budak perempuan Abu Zar’in, siapakah budak perempuannya Abu Zar’in? Dia tidak menyebarkan pembicaraan kami, tidak berkhianat dalam mengurusi makanan kami, dan tidak memenuhi rumah kami dengan ranting/sampah.”[16]
قَالَتْ: خَرَجَ أَبُو زَرْعٍ وَاْلأوْطَابُ تُمْخَضُ، فَلَقِيَ امْرَأَةً مَعَهَا وَلَدَانِ لَهَا كَالْفَهْدَيْنِ يَلْعَبَانِ مِنْ تَحْتِ خَصْرِهَا بِرُمَّانَتَيْنِ فَطَلَّقَنِي وَنَكَحَهَا. فَنَكَحْتُ بَعْدَهُ رَجُلاً سَرِيًّا، رَكِبَ شَرِيًّا، وَأَخَذَ خَطِّيًّا، وَأَرَاحَ عَلَيَّ نَعَمًا ثَرِيًّا، وَأَعْطَانِي مِنْ كُلِّ رَائِحَةٍ زَوْجًا، وَقَالَ: كُلِي أُمَّ زَرْعٍ، وَمِيْرِيْ أَهْلَكِ. قَالَتْ: فَلَوْ جَمَعْتُ كُلَّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ مَا بَلَغَ أَصْغَرَ آنِيَةِ أَبِي زَرْعٍ.
“(Suatu hari) Abu Zar’in keluar dari rumah saat susu-susu dalam periuk dan bejana diolah untuk diambil saripatinya. Lalu ia berjumpa dengan seorang wanita bersama dua anak laki-lakinya yang laksana dua ekor macan. Keduanya asyik bermain dengan dua delima (yang dilemparkan) dari bawah pinggang si wanita[17]. Abu Zar’in pun menalakku dan menikahi wanita itu.
Setelah bercerai dengannya, aku menikah dengan seorang lelaki yang bagus bentuk dan penampilannya. Ia menunggangi kuda yang bagus lagi pilihan yang berjalan tanpa merasa letih. Ia memegang tombak dari negeri Khath (untuk berperang).
Ia mendatangkan ke kandang ternak harta yang banyak (berupa unta dan selainnya) untukku[18]. Ia juga memberiku sepasang dari setiap yang berlalu[19].
Ia berkata, “Makanlah, wahai Ummu Zar’in, dan berilah makanan itu kepada keluargamu.”[20]
Ummu Zar’in berkata, “Seandainya aku kumpulkan segala sesuatu yang diberikannya kepadaku niscaya tidak mencapai bejana Abu Zar’in yang paling kecil sekalipun.”[21]
Kisah yang cukup panjang di atas dituturkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada suaminya yang mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[22]. Dengan sabar dan tanpa jemu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya. Selesai istrinya berkisah, beliau menyatakan,
كُنْتُ لَكَ كَأَبِي زَرْعٍ لأُمِّ زَرْعٍ
“Aku bagimu seperti Abu Zar’in bagi Ummu Zar’in.”[23]
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menggambarkan bagusnya pergaulan beliau terhadap istrinya[24]. Memang, dalam hidup berkeluarga, masing-masing dituntut untuk bergaul dengan pasangannya dengan cara yang baik, yang dapat mengikat cinta dan melanggengkan kebersamaan. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan dalam firman-Nya,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan cara yang makruf.” (an-Nisa: 19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menuntunkan kepada seorang suami untuk berbicara yang baik dengan istrinya, berbuat yang baik, dan berpenampilan yang baik sesuai dengan kemampuannya. Hal ini sebagaimana seorang suami senang apabila istri melakukan hal yang sama. Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan,
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Mereka (para istri) punya hak yang sebanding dengan kewajiban mereka dengan cara yang makruf.” (al-Baqarah: 228) (al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, hlm. 281)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan adanya hak seorang istri terhadap suaminya, seperti halnya suami punya hak yang harus ditunaikan oleh istrinya. Jadi, masing-masing melaksanakan apa yang semestinya mereka tunaikan untuk pasangannya dengan cara yang makruf. (Mahasinut Ta’wil, Imam al-Qasimi rahimahullah, 2/175)
Bandingkan satu contoh pergaulan Rasulullah shallallahu wa sallam bersama istri beliau di atas dengan kekakuan sebagian suami ketika bermuamalah dengan istrinya. Tidak ada senda gurau, tidak ada cerita yang bisa mengikat cinta, dan tidak ada perhatian terhadap pembicaraan pasangannya.
Apalagi mau melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, duduk sejenak mendengarkan cerita istri. Padahal perbuatan yang mungkin dianggap kecil ini dapat menjadi media untuk menunjukkan kecintaan kepada pasangan hidup, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menunjukkan rasa cinta beliau kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hal seperti ini jelas akan mendekatkan hati dan melekatkan cinta di antara suami istri.
Apabila seorang suami enggan duduk sejenak dan bercengkerama dengan istrinya dengan alasan terlalu sibuk, banyak hal yang lebih penting yang harus diurusi dan sebagainya, seharusnya ia melihat sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hari-hari beliau juga sarat dengan kesibukan, menyampaikan risalah dari Allah, mengajari manusia, memimpin negeri dan umat, menegakkan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi dengan jihad fi sabilillah, dan sebagainya.
Namun, beliau menyempatkan duduk mendengar cerita istrinya yang panjang. Kesan apa lagi yang bisa ditangkap selain betapa baiknya pergaulan beliau terhadap istrinya. Sementara itu, kita dituntut untuk menjadikan beliau sebagai suri teladan.
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh, telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)
Bisa jadi, terlintas pertanyaan di benak, bukankah para wanita itu menceritakan aib suami mereka? Mengapa kisah seperti itu disampaikan oleh Aisyah radhiayallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah ini ghibah?
Jawabannya, ini bukan ghibah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan istrinya terus berkisah.
Seandainya hal itu terlarang dan mungkar, niscaya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mendiamkannya, walaupun itu diperbuat oleh kerabatnya yang paling dekat dan orang yang paling dikasihinya. Apa yang diceritakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah pembicaraan yang mubah dan tidak mengandung perkara yang terlarang.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan bahwa menghikayatkan orang yang tidak tertentu tidak termasuk ghibah yang dilarang. Cerita yang disampaikan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha sama dengan seseorang berkata, “Di kalangan manusia itu ada seorang yang jelek.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan kisah para wanita yang majhul (tidak diketahui siapa mereka) dan siapa suami mereka. TIdak diketahui pula, apakah mereka berislam atau tidak sehingga bisa diberlakukan kepada mereka hukum tentang ghibah.
Dengan demikian, tidak ada keberatan mendengar kisah mereka karena tidak ada yang merasa tersakiti dan terzalimi (Fathul Bari, 9/332—333). An-Nawawi rahimahullah juga menyatakan yang semakna dengan penjelasan ini (Syarhu Shahih Muslim, 15/222).
Namun, apabila ada seorang wanita pada hari ini menceritakan tentang suaminya dalam perkara yang tidak disukai oleh suaminya, ini jelas merupakan ghibah yang diharamkan, kecuali ia melakukannya dalam rangka meminta fatwa atau mengadukan kezaliman kepada pihak yang berkepentingan.
Hadits Ummu Zar’in di atas mendapat perhatian ulama karena banyak faedahnya dalam syariat. Karena itu, mereka mencantumkannya dalam kitab-kitab mereka, memuatnya dalam kitab khusus, atau menulis syarah (penjelasan) tentang lafaz-lafaznya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengumpulkan beberapa faedah tersebut, di antaranya:
[1] Orang-orang enggan membawa daging itu ke rumah mereka. Mereka justru membiarkannya di tempatnya. Wanita ini hendak menggambarkan sedikitnya kebaikan pada diri suaminya. Tubuhnya kurus dan lemah, juga memiliki akhlak yang buruk, sombong, takabur, dan suka mengangkat dirinya lebih dari kadarnya.
[2] Wanita ini mengisyaratkan banyaknya aib pada diri suaminya. Namun, ia tidak ingin membahasnya karena jika dibicarakan, akan panjang dan tidak akan ada selesainya.
[3] Tihamah merupakan negeri yang panas, tidak ada angin dingin yang berhembus di sana. Pada malam harinya, deburan ombak lautnya begitu tenang, suhu udaranya sedang. Jadi, malam di Tihamah menyenangkan bagi penduduknya karena dapat menghilangkan kelelahan yang mereka alami akibat teriknya panas di siang hari.
[4] Wanita ini menggambarkan bagusnya pergaulan suaminya, pertengahan keadaannya, dan selamat batinnya. Dia merasakan nikmatnya hidup di sisi suaminya tanpa ada kekhawatiran dan ketakutan.
[5] Macan kumbang dikatakan sebagai hewan yang pemalu, sedikit kejahatannya, dan banyak tidurnya. Sementara itu, singa adalah hewan yang giat berburu.
[6] Sifat yang disebutkan oleh si wanita tentang suaminya mengandung dua kemungkinan, bisa jadi pujian dan bisa jadi celaan. Pujian dari sisi ia menyifati suaminya sebagai macan kumbang karena ketika masuk rumah mesti menerjangnya (menggaulinya). Ini menunjukkan bahwa ia dicintai oleh si suami sehingga suaminya mesti tidak sabar bila melihatnya. Atau bisa jadi maknanya ialah suaminya menutup mata terhadap kekurangan yang ada dalam rumahnya dan tidak pernah menghukumi istrinya karena kekurangan tersebut.
Adapun di tengah-tengah manusia, dia sigap dan pemberani seperti singa. Ia memberi keluarganya makanan, minuman, dan pakaian, tanpa pernah bertanya tentang pemberiannya setelah itu. Ia selalu berlapang hati dan memaafkan kekurangan yang didapati dari istrinya.
Bisa jadi pula, yang dimaksud si wanita adalah menggambarkan sifat jelek suaminya. Suaminya tidak pernah melakukan ‘pendahuluan’ sebelum jimak, tetapi langsung menerjang. Suaminya akhlaknya jelek, suka memukul istri, dan tidak peduli dengan keadaan istri dan anak-anaknya.
[7] Wanita ini menyifati suaminya dengan sifat yang tercela bagi seorang lelaki, yaitu banyak makan dan minum, serta jarang menggauli istri.
[8] Maksudnya, apabila aku membantahnya dalam satu perkara, ia akan memukul kepalaku hingga luka atau tubuhku hingga berdarah, atau ia lakukan kedua-duanya.
[9] Wanita ini menggambarkan indahnya sifat suaminya, bagus akhlaknya, lembut budi pekertinya, selalu necis, bersih, dan wangi.
[10] Suaminya sangat dermawan, banyak tamu yang mendatanginya hingga ia sering menyembelih hewan dan memasaknya sebagai jamuan bagi tamu-tamunya. Karena seringnya memasak, banyak debu yang dihasilkan. Ia juga dermawan pada keluarganya.
[11] Wanita ini menggambarkan suaminya sebagai seorang tokoh yang dermawan, berakhlak mulia, dan baik pergaulannya dengan istri.
[12] Sebab, kebanyakannya dipersiapkan untuk disembelih guna memuliakan tamu.
[13] Maksudnya, Abu Zar’in memenuhi kedua telinga Ummu Zar’in dengan berbagai jenis perhiasan dari emas, mutiara, dan semisalnya.
[14] Tidak butuh tempat yang besar.
[15] Tidak banyak makan dan minumnya.
[16] Dia seorang yang bersih dan selalu membersihkan rumah majikannya tanpa membiarkan kotoran ada di dalamnya.
[17] Sebagian ulama mengatakan, makna dari lafaz ini adalah kedua pantat wanita itu besar sehingga apabila ia berbaring terlentang di atas punggungnya, badan yang dekat dengan pantatnya terangkat, tidak menyentuh bumi dan menyisakan celah yang bisa dilewati buah delima.
[18] Dia pergi berperang, pulang dengan membawa kemenangan dan ganimah, hingga ia bisa mendatangkan hewan ternak yang banyak.
[19] Dalam riwayat Muslim, “Dari setiap yang disembelih”. Ummu Zar’in hendak menggambarkan banyaknya pemberian yang diberikan suaminya kepadanya, hingga ketika memberi ia tidak hanya memberi satu.
[20] Ummu Zar’in menggambarkan bagaimana ketokohan/kepemimpinan suaminya, keberanian, keutamaan, kemurahan, dan kedermawanannya. Namun, di hati Ummu Zar’in, ia tetap tidak sebanding dengan Abu Zar’in. Sebab, Abu Zar’in adalah suaminya yang pertama sehingga cintanya kepada Abu Zar’in tetap menetap di hatinya, sebagaimana dikatakan,
مَا الْحُبُّ إِلاَّ لِلْحَبِيْبِ اْلأَوَّلِ
“Tidaklah cinta itu kecuali untuk kekasih yang pertama.”
Semua penjelasan makna hadits yang tercantum di atas dinukilkan secara ringkas dari Fathul Bari (9/312—331) dan Syarhu Shahih Muslim (15/212—221).
[21] HR. al-Bukhari no. 5189, “Kitab an-Nikah”, “Bab Husnil Mu’asyarah ma’al Ahl” dan Muslim no. 2448, “Kitab Fadha`ilus Shahabah”, “Bab Dzikr Hadits Ummu Zar’in”.
[22] Di selain ash-Shahihain disebutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam-lah yang bercerita kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha. Jadi, kisah ini marfu’ seluruhnya. Lihat keterangan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah tentang hal ini dalam Fathul Bari (9/310—311).
[23] Dalam satu riwayat ada tambahan,
إِلاَّ أَنَّهُ طَلَّقَهَا وَإِنِّي لاَ أُطَلِّقُكَ
“… Hanya saja, Abu Zar’in akhirnya menalak Ummu Zar’in, sedangkan aku tidak akan menalakmu.”
[24] Ini yang dijadikan judul bab oleh Imam al-Bukhari rahimahullah. Beliau menempatkan hadits ini dalam Shahih-nya, pada “Kitab An-Nikah”, “Bab Baiknya pergaulan (suami) terhadap istrinya.”