Allah Yang Maha Penyayang pasti mengabulkan doa-doa hamba-Nya, karena Dia Yang Mahatinggi telah berfirman,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kelurusan.” (al-Baqarah: 186)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ
“Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permohonan kalian.” (Ghafir: 60)
Selain adab-adab berdoa yang perlu diamalkan agar doa tersebut mustajab (dikabulkan), ada pula waktu, tempat, dan keadaan yang perlu diperhatikan saat berdoa. Dengan demikian, diharapkan doa itu akan diijabahi oleh Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa. Di antara waktu, tempat, dan keadaan tersebut adalah:
Aisyah radhiyallahu anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu bila aku mengetahui kapan malam Qadar itu (mendapatkan malam Qadar), apa yang harus aku ucapkan?”
Beliau menjawab, “Ucapkanlah (doa),
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku’.”[1]
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyebutkan sifat hamba-hamba-Nya yang beriman,
وَبِٱلۡأَسۡحَارِ هُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ
“Dan pada waktu akhir malam mereka meminta ampun.” (adz-Dzariyat: 18)
Abu Hurairah radhiyallahu anhu menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرُ يَقُوْلُ: مَنْ يَدْعُوْنِي فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنْي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kita Yang Mahatinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang akhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku mengabulkan doa-Nya. Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan permintaannya. Siapa yang minta ampun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya’.”[2]
Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu anhu berkata: Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, doa apakah yang didengarkan (dikabulkan)?”
Beliau menjawab,
جَوْفُ اللَّيْلِ اْلآخِرُ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ
“Doa yang dipanjatkan di tengah malam yang akhir dan di akhir shalat wajib.”[3]
Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud ‘di akhir shalat fardhu’. Apakah maksudnya sebelum salam atau setelah salam?
Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya, Zadul Ma’ad, “Di akhir shalat bisa jadi sebelum salam dan bisa jadi setelahnya. Adapun Syaikh kami (Ibnu Taimiyah rahimahullah) menguatkan pendapat yang menyatakan sebelum salam.”
Adapun Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berpandangan[4] di akhir setiap shalat fardhu adalah sebelum salam. Jadi, menurut beliau, doa tersebut dipanjatkan setelah membaca tahiyat akhir sebelum mengucapkan salam sebagai penutup ibadah shalat. Beliau berkata, “Riwayat yang menyebutkan adanya doa yang dibaca di akhir shalat artinya doa itu dibaca sebelum salam. Adapun zikir yang dinyatakan untuk dibaca di akhir shalat, maksudnya zikir itu dibaca setelah selesai shalat. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَإِذَا قَضَيۡتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمۡۚ
“Apabila kalian telah selesai mengerjakan shalat, berzikirlah kalian kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring di atas rusuk kalian.” (an-Nisa`: 103)
Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ
“Doa yang tidak tertolak adalah (doa yang dipanjatkan) antara azan dan iqamat.”[5]
Sahl bin Sa’d radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ثِنْتَانِ لاَ تُرَدَّانِ أَوْ قَلَّمَا تُرَدَّانِ، الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَعِنْدَ الْبَأْسِ حِيْنَ يُلْحِمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا
“Dua waktu/keadaan yang tidaklah tertolak doa yang dipanjatkan ketika itu atau jarang sekali ditolak, yaitu doa ketika diserukan panggilan shalat dan doa ketika peperangan saat merapat/mendekatnya sebagian mereka dengan sebagian yang lain (bertemu/berhadapan dengan musuh di medan perang, -pent.).”[6]
Jabir radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya pada malam hari ada satu waktu yang tidaklah bertepatan dengan seorang muslim meminta kepada Allah satu kebaikan dari perkara dunia dan akhirat pada waktu itu, kecuali Allah akan memberikan permintaannya tersebut, dan waktu tersebut ada pada setiap malam.”[7]
Abu Hurairah radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebut hari Jumat dan beliau bersabda,
فِيْهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ
“Ada satu saat pada hari Jumat bila bertepatan seorang hamba muslim melaksanakan shalat lalu ia minta sesuatu kepada Allah, pasti Allah akan memberikan permintaannya tersebut.”
Beliau mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan singkatnya waktu tersebut.[8]
Ulama berbeda pendapat tentang batasan waktunya. Ada yang mengatakan waktunya adalah saat masuknya khatib ke masjid. Ada yang mengatakan ketika matahari telah tergelincir, ada yang mengatakan setelah Ashar, dan adapula yang mengatakan sejak terbit fajar sampai terbit matahari. (al-Minhaj, 6/379)
Namun, dalam riwayat Abu Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari didapatkan penetapan waktunya. Abu Burdah menyampaikan bahwa Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhuma berkata kepadanya, “Apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang waktu pada hari Jumat tersebut?”
Abu Burdah menjawab, “Ya, aku mendengar ayahku berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
هِيَ ماَ بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ
“Waktunya adalah antara imam duduk sampai ditunaikannya shalat (Jumat).”[9]
Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“Saat terdekat seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud. Maka dari itu, perbanyaklah oleh kalian doa ketika sedang sujud.”[10]
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan dalam sabdanya,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.”[11]
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ:
“Tidak ada seorang pun dari kalian berwudhu lalu ia membaguskan wudhunya, kemudian berdoa,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ؛
إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
‘Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali hanya Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya,’
kecuali akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan yang bisa ia masuki dari pintu mana saja yang ia inginkan.”[12]
Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, ‘Aku pernah mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Aku membagi shalat (yakni surah Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.’
Apabila hamba membaca,
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’
Bila hamba membaca,
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Allah berfirman, ‘Hamba-Ku menyanjung-Ku.’
Bila hamba membaca,
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuliakan/mengagungkan Aku.’
Bila hamba membaca,
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
Allah berfirman, ‘Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan apa yang dimintanya.’
Bila hamba membaca,
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ٧
Allah berfirman, “Ini untuk hamba-Ku dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.”[13]
(Diringkas dari kitab ad-Du’a` Mafhumuhu, Ahkamuhu, Akhtha`un Taqa’u Fihi, oleh Muhammad bin Ibrahim Alu Hamd, dibaca dan diberi ta’liq (catatan/komentar) oleh Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah)
[1] HR. at-Tirmidzi no. 3513, “Kitab ad-Da’awat”; Ibnu Majah no. 3850, “Kitab ad-Du’a”, “Bab ad-Du’a` bil ‘Afwi wal ‘Afiyah”; Dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi, Shahih Ibni Majah, dan al-Misykat (no. 2091).
[2] HR. al-Bukhari no. 1145, “Kitab at-Tahajjud”, “Bab ad-Du’a` wash Shalah min Akhiril Lail”; Muslim no. 1769, “Kitab Shalatul Musafirin”, “Bab at-Targhib fid Du’a` wadz Dzikr fi Akhiril Lail wal Ijabah fihi”.
[3] HR. at-Tirmidzi no. 3499, “Kitab ad-Da’awat”, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi.
[4] Ketika menyampaikan pelajaran Zadul Ma’ad dalam majelis beliau yang diberkahi.
[5] HR. at-Tirmidzi no. 212, “Kitab Mawaqitush Shalah ‘an Rasulillah”, “Mab Ma Ja`a fi Annad Du’a` La Yuraddu Bainal Adzan wal Iqamah”; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa` (no. 244) dan al-Misykat (no. 671).
[6] HR. Abu Dawud no. 2540, “Kitab al-Jihad”, “Bab ad-Du’a` ‘Indal Liqa”; dinilai sahih dalam Shahih Abi Dawud.
[7] HR. Muslim no. 1767, “Kitab Shalatul Musafirin”, “Bab Fil Laili Sa’atun Mustajab Fihad Du’a”.
[8] HR. al-Bukhari no. 935, “Kitab al-Jumu’ah”, “Bab as-Sa’atul Lati fi Yaumil Jumu’ah”; dan Muslim no. 1966, “Kitab al-Jumu’ah”, “Bab Fis Sa’atil Lati fi Yaumil Jumu’ah”.
[9] HR. Muslim no. 1972.
[10] HR. Muslim no. 1083, “Kitab ash-Shalah”, “Bab Ma Yuqalu fir Ruku’i was Sujud”.
[11] HR. at-Tirmidzi no. 33585, “Kitab ad-Da’awat”, “Bab Fid Du’a Yauma ‘Arafah”; dinilai hasan dalam ash-Shahihah no. 1503.
[12] HR. Muslim no. 552, “Kitab ath-Thaharah”, “Bab adz-Dzikrul Mustahab ‘Aqibal Wudhu”.
[13] HR. Muslim no. 876, “Kitab ash-Shalah”, “Bab Wujubu Qira’atil Fatihah fi Kulli Rak’ah”.