Dari Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu anhu, beliau berkisah,
كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، قَالَ: إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُونَ فِي رُؤْيَتِهِ، فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَصَلَاةٍ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ فَافْعَلُوا
Kami pernah duduk bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Saat itu beliau memandang ke arah bulan pada malam purnama. Beliau bersabda, “Sesungguhnya kalian akan memandang Rabb kalian sebagaimana kalian memandang bulan. Kalian tidak berdesakan ketika memandang Allah. Jika kalian mampu untuk tidak melewatkan shalat sebelum terbitnya matahari dan shalat sebelum tenggelamnya matahari, lakukanlah!”
Hadits di atas dikeluarkan oleh al-Bukhari (no. 554) dan Muslim (no. 633).
Imam al-Bukhari rahimahullah mengeluarkannya melalui jalan Amr bin ‘Aun, dari Khalid dan Husyaim, dari Ismail dari Qais, dari Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu anhu.
Adapun Imam Muslim rahimahullah mengeluarkan hadits di atas melalui jalan Zuhair bin Harb, dari Marwan bin Muawiyah al-Fazari, dari Ismail, dari Qais, dari Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu anhu.
Para ulama rahimahumullah menyatakan bahwa hadits tentang ru’yatullah mencapai derajat mutawatir. Di antara mereka adalah Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (3/390), Ibnu Qayyim dalam Hadil Arwah (hlm. 219—251), Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (2/161), dan Ibnu Abil Izz dalam Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah (1/243).
Baca juga: Hanya Bagi Allah, Sifat yang Mahatinggi di Langit dan di Bumi
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Hadil Arwah,
“Hadits-hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat yang menjelaskan tentang ru’yatullah mencapai derajat mutawatir. Sahabat yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah Abu Bakr ash-Shiddiq, Abu Hurairah, Abu Said al-Khudri, Jarir bin Abdillah al-Bajali, Shuhaib bin Sinan ar-Rumi, Abdullah bin Mas’ud al-Hudzali, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari, Adi bin Hatim ath-Tha’i, Anas bin Malik al-Anshari, Buraidah bin al-Hushaib al-Aslami, Abu Razin al-Uqaili, Jabir bin Abdillah al-Anshari, Abu Umamah al-Bahili, Zaid bin Tsabit, Ammar bin Yasir, Aisyah Ummul Mukminin, Abdullah bin ‘Amr, Umarah bin Ruwaibah, Salman al-Farisi, Hudzaifah ibnul Yaman, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin al-Ash—dan hadits beliau mauquf—Ubai bin Ka’b, Ka’b bin Ujrah, Fadhalah bin Ubaid—dan haditsnya mauquf—dan salah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Berikut ini pemaparan hadits-hadits mereka dalam kitab-kitab Shahih, Musnad, dan Sunan.
Hadits-hadits tersebut diterima dengan sepenuh hati dan lapang jiwa. Tidak dengan men-tahrif (mengubah)nya, atau hati sempit, juga tidak mendustakan. Barang siapa mendustakannya, ia tidak termasuk hamba yang akan memandang wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Ia termasuk golongan yang terhalangi pada hari kiamat nanti.”
Baca juga: Mengenal Allah
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (Fathul Bari 13/443) mengatakan,
“Ad-Daraquthni telah menghimpun seluruh jalan periwayatan tentang ru’yatullah di akhirat nanti. Ternyata, didapati lebih dari dua puluh jalan. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menelitinya lebih lanjut dalam kitab Hadil Arwah, ternyata malah sampai tiga puluh jalan. Sebagian besar jalan periwayatannya bagus.”
Ibnul Qayyim rahimahullah menukil keterangan al-Baihaqi dalam hal ini. Al-Baihaqi rahimahullah berkata,
“Kami memperoleh riwayat yang menetapkan ru’yatullah dari Abu Bakr ash-Shiddiq, Hudzaifah ibnul Yaman, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abu Musa, dan lain-lain radhiallahu anhum.
Tidak ada satu pun riwayat dari seorang sahabat yang menafikannya. Andai mereka berbeda pendapat dalam masalah ini, pasti perbedaan itu akan dinukilkan kepada kita sebagaimana telah dinukilkan kepada kita dari mereka perbedaan pendapat tentang halal, haram, syariat, dan hukum-hukum.
Perbedaan pendapat di antara mereka tentang ru’yatullah dengan mata kepala di dunia, dinukilkan kepada kita. Ru’yatullah dengan mata kepala pada hari kiamat telah diriwayatkan dari mereka dan tidak dinukilkan adanya perbedaan di kalangan mereka, sebagaimana telah dinukilkan perbedaan mereka tentang ru’yatullah di dunia. Karena itu, kita memastikan bahwa para sahabat telah bersepakat dan berijmak dalam hal ru’yatullah dengan mata kepala di akhirat.”
Baca juga: Kedudukan Para Sahabat di Sisi Allah dan Rasul-Nya serta Kaum Mukminin
Sebagian kalangan menganggap bahwa hadits Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu anhu termasuk hadits ahad. Al-Allamah Ibnul Wazir rahimahullah dalam kitabnya, ar-Raudhul Basim, menjelaskan anggapan tersebut,
“Anggapan ini sangat aneh dan merupakan kejahilan besar. Sebab, ahli hadits meriwayatkan hadits tentang ru’yatullah dalam jumlah yang banyak. Jumlahnya mencapai delapan puluh hadits. Sahabat yang meriwayatkan lebih dari tiga puluh orang.”
Pembaca yang budiman, masalahnya bukan mutawatir atau ahad, melainkan keyakinan mereka yang sudah sesat! Pernyataan sebagai hadits ahad hanyalah alasan yang dibuat-buat. Betapa banyak hadits mutawatir yang mereka dustakan. Semua kedustaan ini mereka lakukan demi memperjuangkan kesesatan. Na’udzubillah!
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ
“Sungguh, kalian akan benar-benar melihat Rabb kalian.”
Maksudnya, dengan mata kepala, secara nyata. Bukan dengan mata hati atau hanya mengetahui. Akan tetapi, memandang dengan mata kepala.
كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ
“… sebagaimana halnya kalian memandang bulan pada malam purnama.”
Sebagaimana kalian memandang bulan dengan mata kepala, demikian juga kaum mukminin akan memandang Allah subhanahu wa ta’ala dengan mata kepala.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyamakan antara cara memandang Allah dengan cara memandang bulan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidaklah menyamakan antara yang dipandang. Sebab, tidak ada sesuatu pun yang sama dengan-Nya.
لَا تُضَامُونَ فِي رُؤْيَتِهِ
“Kalian tidak berdesakan ketika memandang Allah.”
Keadaan kalian saat memandang Allah subhanahu wa ta’ala sama dengan keadaan kalian ketika memandang bulan purnama, malam keempat belas atau kelima belas. Saat itu kalian tidak saling berdesakan, tidak saling menutupi dan menghalangi. Kalian juga tidak saling mengganggu satu sama lain. Masing-masing bisa memandang Allah subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu, salah satu caranya adalah menjaga shalat Subuh dan shalat Ashar secara berjamaah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa (menjaga) untuk selalu mengerjakan shalat bardain (Subuh dan Asar), ia akan masuk surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) (Syarah al-Wasithiyah karya Ibnu Utsaimin; Syarah al-Wasithiyah karya al-Harras)
Pembahasan ini sangat penting, termasuk akidah dasar keimanan seorang hamba. Hal ini karena memandang Allah merupakan kenikmatan besar. Segenap hamba berlomba dan berpacu untuk bisa merasakan nikmat ini. Setiap hamba berusaha agar tidak terhalang untuk memandang Allah, agar tidak terusir dari pintu rahmat-Nya.
Bukti pentingnya pembahasan ini adalah perhatian ulama. Para ulama mencantumkan pembahasan ini di dalam kitab-kitab akidah karya mereka. Bahkan, sejumlah ulama mengumpulkan dan menyusun hadits-hadits tentang ru’yatullah secara khusus. Di antaranya adalah ad-Daraquthni, al-Ajurri, Ibnu an-Nahhas, dan yang lain.
“Beriman (bahwa kaum mukminin) akan melihat (wajah Allah yang Mahamulia) pada hari kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang sahih.” (Ushulus Sunnah hlm. 23)
“Ahlus Sunnah bersaksi bahwa kaum mukminin akan melihat dan memandang Rabb mereka—Tabaraka wa Ta’ala—pada hari kiamat dengan mata kepala mereka. Hal ini sebagaimana berita yang sahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya kalian akan memandang Rabb kalian, sebagaimana kalian memandang bulan’.” (Aqidah Ashabul Hadits hlm. 61)
“Pada hari itu, mereka akan melihat Rabb mereka. Mereka tidak merasa ragu dan bimbang dalam melihat Allah subhanahu wa ta’ala. Wajah mereka menjadi berseri dengan kemuliaan dari-Nya. Dengan karunia-Nya, mata mereka akan melihat kepada-Nya, dalam kenikmatan yang kekal abadi ….” (Syarah Sunnah karya al-Muzani hlm. 82)
“Memandang wajah Allah bagi penghuni surga adalah kebenaran, tanpa penglihatan mereka bisa meliputi-Nya ketika melihat-Nya, dan tidak boleh (menanyakan) bagaimana (tata caranya dan seperti apa), sebagaimana disebutkan kitab Rabb kita,
وُجُوهٌ يَوۡمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ ٢٢ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ٢٣
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnya lah mereka melihat.” (al-Qiyamah: 22—23)
Penafsiran ayat ini adalah sebagaimana yang Allah ketahui dan kehendaki. Semua hadits sahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menjelaskan masalah ini adalah seperti yang beliau sabdakan. Maknanya juga seperti yang beliau inginkan. Kita tidak boleh membicarakan masalah ini dengan menakwil kepada pendapat kita sendiri. Tidak boleh pula kita mereka-reka dengan hawa nafsu. Sebab, seseorang tidak akan selamat dalam beragama kecuali jika dia tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mengembalikan ilmu dalam hal-hal yang kurang jelas kepada ulama.” (Aqidah ath-Thahawiyah)
“Ya, memandang Allah dengan mata kepala memang untuk kaum mukminin di dalam janah (surga). Memandang Allah subhanahu wa ta’ala juga diberikan untuk manusia pada hamparan luas hari kiamat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang mutawatir dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya, kalian akan memandang Rabb kalian sebagaimana kalian memandang matahari pada waktu siang. Tidak ada awan yang menghalangi’.”
Setelahnya, Syaikhul Islam rahimahullah menjelaskan,
“Hadits-hadits di atas dan hadits-hadits lain dalam kitab-kitab Shahih, telah diterima oleh salaf. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah juga telah bersepakat. Yang mendustakan dan mengubahnya adalah kelompok Jahmiyah dan para pengikutnya, seperti kelompok Mu’tazilah, Rafidhah, dan kelompok lainnya yang mendustakan sifat-sifat Allah, termasuk memandang Allah dan selainnya. Mereka adalah kaum Mu’aththilah, seburuk-buruk makhluk dan ciptaan.” (Majmu’ al-Fatawa, 3/390—391)
Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah berkata,
“Artinya, memandang Allah subhanahu wa ta’ala pada hari akhir nanti. Setiap hamba wajib beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan dilihat pada hari akhir. Kaum mukminin akan memandang Allah subhanahu wa ta’ala. Kaum Mu’tazilah mengingkari ru’yatullah pada hari akhir berdasarkan syubhat-syubhat batil. Ahlus Sunnah telah membantah mereka dengan hujah dan keterangan dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Di antara ulama yang membantah mereka adalah Ibnul Qayyim rahimahullah. Ibnul Qayyim berdalil dengan tujuh ayat dari Al-Qur’an. Bisa jadi, ada yang menilai jauh berdalil dengan ayat-ayat tersebut. Akan tetapi, jika ia mau merenunginya, ia pasti mengetahui bahwa Ibnul Qayyim memang benar dalam hal berdalil dengan ayat-ayat tersebut.” (Syarah Ushul Sunnah hlm. 28)
Pembaca, selain hadits mutawatir, ada juga beberapa ayat Al-Qur’an yang menetapkan ru’yatullah. Pembahasan ini hanya akan menguraikan dua ayat. Adapun ayat-ayat lain dapat dirujuk lebih luas lagi dalam kitab-kitab ulama.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وُجُوهٌ يَوۡمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ ٢٢ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ٢٣
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnya lah mereka melihat.” (al-Qiyamah: 22—23)
Abu Abdillah al-Qurthubi rahimahullah berkata dalam penjelasan ayat ini, “Artinya, memandang Rabbnya (Allah). Jumhur ulama berpendapat berdasarkan penafsiran ini.” (Tafsir al-Qurthubi 19/107)
Imam ath-Thabari rahimahullah menyebutkan beberapa pendapat dalam hal ini. Di akhir pemaparannya, beliau berkata, “Dari dua pendapat tersebut, yang paling benar menurut kami adalah pendapat yang telah kami sebutkan dari al-Hasan dari Ikrimah, yaitu makna ayat adalah memandang Allah subhanahu wa ta’ala. Hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerangkan makna ini.” (Tafsir ath-Thabari 37/119)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “(Maknanya), melihat dengan mata kepala.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/450)
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Ayat ini bermakna memandang Allah subhanahu wa ta’ala. Demikianlah pendapat jumhur ulama. Yang dimaksud oleh ayat ini semakna dengan maksud yang terkandung dalam hadits-hadits sahih yang mutawatir, yaitu hamba-hamba Allah akan memandang Rabb mereka sebagaimana mereka memandang bulan pada malam purnama.” (Fathul Qadir 5/338)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Makna ini, alhamdulillah, adalah makna yang disepakati oleh para sahabat, tabiin, dan salaf umat ini. Makna ini juga telah disepakati oleh para imam Islam dan penyeru hidayah kepada manusia.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/450)
Beberapa nukilan dari ulama di atas menunjukkan bahwa barang siapa yang pendapatnya berbeda, ia telah keluar dari wilayah kebenaran.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لِّلَّذِينَ أَحۡسَنُواْ ٱلۡحُسۡنَىٰ وَزِيَادَةٌۖ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah).” (Yunus: 26)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Shuhaib,
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، قَالَ: يَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ، وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ قَالَ: فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ، فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ. ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ
“Apabila penduduk surga telah masuk ke dalam surga, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu untuk Aku tambahkan?’
Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah menjadikan wajah kami putih bercahaya? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?’
Kemudian Dia menyingkap hijab. Tidak ada satu pun nikmat yang diberikan kepada penduduk surga yang lebih mereka sukai dibandingkan memandang Rabb mereka azza wa jalla.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca ayat ini. (HR. Muslim no. 181)
Baca juga: Surga, Kenikmatan Abadi yang Telah Ada
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna firman Allah “dan tambahannya”, “Maksud ‘tambahan’ ialah dilipatgandakannya pahala amalan kebaikan sampai sepuluh kali bahkan tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih. ‘Tambahan’ ini juga mencakup nikmat yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan untuk mereka berupa istana, bidadari, dan keridhaan-Nya, serta nikmat menyenangkan yang Allah masih menyembunyikannya.
Kenikmatan yang paling agung dan tinggi, melebihi semua kenikmatan di surga, adalah memandang wajah Allah subhanahu wa ta’ala yang Mahamulia. Inilah ‘tambahan’ yang paling agung, melebihi semua nikmat yang Allah berikan kepada para penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan karena amal perbuatan mereka, melainkan karena karunia dan rahmat Allah.
Penafsiran ‘tambahan’ dengan ‘memandang wajah Allah yang mulia’ telah diriwayatkan dari Abu Bakr ash-Shiddiq, Hudzaifah bin al-Yaman, Abdullah bin Abbas, Said bin al-Musayyab, Abdurrahman bin Abi Laila, Abdurrahman bin Sabith, Mujahid, Ikrimah, Amir bin Sa’d, Atha’, ad-Dhahhak, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi, Muhammad bin Ishaq, dan ulama lain dari kalangan salaf dan khalaf. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati mereka semua.” (Tafsir Ibnu Katsir 2/545)
Ada beberapa kelompok yang menyelisihi pendapat Ahlus Sunnah dalam hal ru’yatullah. Namun, yang terkenal ada dua:
Setiap kelompok mengaku memiliki dalil untuk mempertahankan pendapatnya. Namun, pemahaman yang salah dan keyakinan sesat menyebabkan mereka jauh dari kebenaran.
Para ulama Ahlus Sunnah telah mengupas tuntas dan menerangkan dengan jawaban yang memuaskan terhadap syubhat-syubhat mereka. Jawaban yang tidak menyisakan keraguan sedikit pun. Cukuplah ayat Al-Qur’an dan hadits mutawatir tentang ru’yatullah menjadi pegangan dan keyakinan. Adapun bayangan dan konsekuensi yang muncul dari akal dan pikiran manusia yang dangkal, hendaknya dihilangkan. Allahu musta’an.
Baca juga: Kedudukan Akal dalam Islam
Syaikh Shalih al-Fauzan berkomentar tentang kelompok-kelompok yang menentang adanya ru’yatullah pada hari kiamat,
“Seperti tindakan kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah, dan orang-orang yang berguru dari mereka serta berpegang dengan takwil batil mereka. Padahal, yang wajib bagi kita adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak tenggelam dalam akal dan pikiran kita sendiri. Kita berhukum dengan keterangan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seharusnya, Al-Qur’an dan As-Sunnah mengatur akal dan pikiran kita.” (Ta’liq al-Aqidah ath-Thahawiyah, 1/349)
Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Oleh sebab itu, sebagian ulama menyatakan, barang siapa mengingkari ru’yatullah, dia kafir murtad. Kewajiban seorang mukmin adalah menetapkan ru’yatullah. Dia dikafirkan karena dalil-dalil yang menetapkan ru’yatullah adalah dalil yang qath’i secara tsubut dan dalalah.” (Syarah al-Wasithiyah, Ibnu Utsaimin, hlm. 436)
Di pengujung tulisan ini, tidak lupa kita berdoa dan meminta, dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Ammar bin Yasir radhiallahu anhu,
أَسْأَلُكَ لِذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ
“Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu di akhirat kelak. Aku juga meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu.” (HR. an-Nasai; Syaikh al-Albani menilainya sahih dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 1301)
Amin, ya Mujibas sailin!